Minggu, 13 Desember 2009

Prof. Dr. HM Rasjidi: Melihat Apa yang Tidak Dilihat Orang Lain


Prof. Dr. HM Rasjidi:
Melihat Apa yang Tidak Dilihat Orang Lain

Oleh:
Nuim Hidayat


“Sebenarnya banyak orang yang kecewa, seperti yang saya dengar sendiri langsung dari kalangan IAIN, mengapa ia, dengan latar belakang pendidikan seperti itu, hanya puas dengan menerjemahkan buku, padahal pekerjaan itu dapat dilakukan oleh orang lain dengan mutu yang sama profesionalnya? Betapapun dinilai banyak kelemahannya, Harun Nasution telah mengarang paling tidak enam buku yang berharga untuk dibaca, yang memberikan interpretasinya sendiri tentang filsafat, agama dan Islam. Demikian pula Nurcholish Madjid telah menyeleksi bahan-bahan dari Khasanah Intelektual Islam dengan uraian penilaian yang kritis dan baru, baik dalam cara maupun isinya.”



Demikian kritik Prof. Dawam Rahardjo pada Rasjidi pada buku 70 Tahun Prof Dr HM Rasjidi. Meski Dawam kemudian meneruskan tulisannya bahwa Chairil Anwar pun juga menerjemahkan karya-karya puisi asing, di samping mencipta puisi sendiri, tapi di kalimat itu jelas terlihat bahwa Dawam berniyat meninggikan Harun Nasution dan Nurcholish Madjid serta ‘merendahkan’ Rasjidi. Karya Nurcholish memang kaya referensi, tapi mempunyai ia mempunyai kesalahan fundamental dalam bidang aqidah. Karyanya ibarat gedung yang mengagumkan banyak orang karena interiornya yang bagus, tapi pondasinya retak dan rapuh, sehingga sewaktu-waktu bangunan itu runtuh. Dan hanya para ahli bangunan yang berpengalamanlah yang dapat melihat kerapuhan gedung itu.



Mungkin di sinilah peranan Prof Rasjidi sebagai ‘ahli bangunan’ yang telah berpengalaman internasional dalam mendidik mahasiswa dan manusia-manusia Islam. Pengalaman intelektual Rasjidi di Al Azhar Mesir, McGill Kanada, Sorbonne Perancis, Yogyakarta, Jakarta dan lain-lain menjadikan dirinya saat itu melawan dan menulis kritikan keras kepada pemikiran-pemikiran Harun Nasution dan Nurcholish Madjid. Rasjidi tahu bahaya pemikiran keduanya. Dan memang seorang ‘alim’ (ulama/intelektual Islam) seringkali mengetahui, melihat apa yang tidak dilihat oleh orang ‘jahil’.



Rasjidi menulis buku Koreksi terhadap Drs. Nurcholish Madjid tentang Sekulerisme dan buku Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Tentang buku Harun Nasution, Rasjidi menyatakan: “Saya menjelaskan kritik saya fasal demi fasal dan menunjukkan bahwa gambaran Dr. Harun tentang Islam itu sangat berbahaya, dan saya mengharapkan agar Kementrian Agama mengambil tindakan terhadap buku tersebut, yang oleh Kementrian Agama dan Direktorat Perguruan Tinggi dijadikan buku wajib di seluruh IAIN di Indonesia.”



Kini timbul pertanyaan siapa Rasjidi? Rasjidi, yang nama kecilnya Saridi, lahir di Kotagede Yogyakarta pada Kamis 20 Mei 1915 atau 4 Rajab 1333 H. Ia anak kedua dari Bapak Atmosugido. Ia menempuh sekolah dasar di Muhammadiyah Yogyakarta. Rasjidi kemudian melanjutkan sekolah menengahnya di perguruan Al Irsyad al Islamiyah, Malang, dibawah pimpinan Syekh Ahmad Surkati. Semangat mencari ilmunya makin tinggi, karena yang mengajar di situ bukan hanya guru-guru dari Indonesia, tapi juga dari Mesir, Sudan dan Mekkah.



Syekh Ahmad Surkati pendiri al Irsyad al Islamiyah, mendidik langsung Rasjidi dengan seksama. Menurut Surkati, Rasjidi adalah anak yang tekun dan cerdas, sehingga dicintai guru-gurunya. Kepandaian Rasjidi dalam bahasa Arab –mampu menghafal Alfiyah Ibnu Malik dalam usia 15 tahun —menjadikannya diangkat sebagai asisten pelajaran gramatika bahasa Arab. Dalam usia remaja itu, Rasjidi juga hafal buku Logika Aristoteles yang berjudul “Matan as Sullam.”



Perkenalannya dengan banyak guru-guru Timur Tengah itu, menjadikan Rasjidi bersemangat untuk melanjutkan studinya di Mesir. Ketika di Mesir, selain mempelajari ilmu-ilmu agama, di Sekolah Persiapan Darul Ulum (setingkat Sekolah Menengah) juga ia diajar aljabar, ilmu bumi, sejarah dan lain-lain. Sehingga kemudian Rasjidi menguasai bahasa Perancis, Inggris, Arab dan Belanda tentunya. Ia pun menjadi seorang hafizh, hafal al Qur’an 30 juz. Penulis Soebagijo IN menceritakan : “Dengan diantar oleh Syekh Thantawy Djauhary pengarang Tafsir al Jawahir yang masyhur serta sahabat karib Sjekh Ahmad Surkati, dia mendaftarkan ke Sekolah Persiapan untuk memasuki Sekolah Guru Tinggi bahasa Arab yang bernama Darul Ulum (kelas III)...Rasjidi diuji untuk masuk kelas V. Di kelas itu dia belajar 8 bulan lamanya, dan akhirnya berhasil meraih diploma Sekolah Menengah Umum dengan agama dan hafal al Qur’an secara lengkap, yakni 30 juz Al Qur’an, di samping mendapatkan sertifikat untuk mata pelajaran bahasa Inggeris dan Prancis. Karena di sana berlaku sistem Prancis, maka di Mesir diploma Sekolah Menengah Lanjutan disebut surat ijazah Baccalaureat. Dengan ijazah Baccalaureat itu, Rasjidi berhak meneruskan ke perguruan tinggi.”



Ia kemudian melanjutkan ke Universitas al Azhar, Kairo. Di sana ia mengambil jurusan Filsafat dan Agama. Setelah empat tahun belajar di situ, ia mendapat gelar Licence. Di kelas itu mahasiswanya hanya tujuh orang. Ia menempati rangking satu mengalahkan mahasiswa dari Mesir, Albania dan Sudan.



Setelah kembali ke tanah air beberapa tahun, Rasjidi melanjutkan kuliahnya di Fakultas Sastra, Universitas Sorbonne, Paris. Pada hari Jumat, 23 Maret 1956, Rasjidi akhirnya meraih gelar doktor di universitas terkemuka itu dengan disertasi berjudul l'Evolution de l'Islam en Indonesie ou Consideration Critique du Livre Centini (Evolusi Islam di Indonesia atau Tinjauan Kritik terhadap Kitab Centini).



Rasjidi adalah Menteri Agama RI pertama. Di pemerintahan, ia juga pernah menjabat sebagai Duta Besar RI di Mesir, Arab Saudi dan lain-lain. Sebelumnya di bidang organisasi, ia pernah terlibat diantaranya dalam organisasi PII dan Masyumi. Ia juga pernah aktif sebagai Dosen di Sekolah Tinggi Islam (UII) Yogyakarta, Guru Besar Fakultas Hukum UI, Guru Besar Filsafat Barat di IAIN Syarif Hidayatullah dan menjadi Dosen tamu di McGill University.



Rasjidi menulis buku dan menerjemahkan buku-buku yang bermutu yang ia temui ketika belajar atau bertugas di luar negeri. Karya-karya asli Rasjidi antara lain : Islam Menentang Komunisme, Islam dan Indonesia di Zaman Modern, Islam dan Kebatinan, Islam dan Sosialisme, Mengapa Aku Tetap Memeluk Agama Islam, Agama dan Etik, Empat Kuliah Agama Islam pada Perguruan Tinggi, Strategi Kebudayaan dan Pembaharuan Pendidikan Nasional, Hendak Dibawa Kemana Umat Ini? Sedangkan karya terjemahnya antara lain: Filsafat Agama, Bibel QurĂ¡n dan Sains Modern, Humanisme dalam Islam, Janji-janji Islam dan Persoalan-persoalan Filsafat.



Rasjidi, yang murid-muridnya kini banyak tersebar di Indonesia, telah meninggalkan warisan perjalanan hidup dan karya tulis yang berharga bagi kita. Adakah kita mengambil pelajaran dari liku-liku kehidupannya?*