Jumat, 23 April 2010

Dr Anis Malik Thoha, Ahli Pluralisme dari Demak

Dr Anis Malik Thoha, Ahli Pluralisme dari Demak

Bicaranya tenang, berlogika tinggi dan terkesan hati-hati. Ia excellent bila berbicara dalam bahasa Inggris dan Arab sekaligus. Kemahirannya yang tinggi dalam bahasa ini, menyebabkan ia diangkat International Islamic University Malaysia, menjadi Direktur IIUM Press. Selain mengajar berbagai bidang pemikiran Islam, kini ia bertanggungjawab terhadap seluruh pe ner bitan di IIUM. Mulai dari newsletter, buku, jurnal, makalah dan lain-lain.

Bagi banyak cendekiawan Muslim di Indonesia yang peduli dengan khazanah pemikiran Islam, namanya sudah cukup akrab. Dr Anis Malik Thoha, lahir di Demak, 31 Desember 1964. Masa kecilnya banyak dilalui di pesantren. Orang tuanya mendidik agama dengan ‘ketat’. “Saya tidak boleh mendengarkan musik saat itu dan kalau keluar rumah tidak boleh gundulan, harus pakai kopiah,”ujarnya kepada Islamia-Republika.

Ayahnya hanyalah seorang Muslim yang taat dan bekerja sebagai petani biasa. Di pesantren ia sering ‘kurang sangu’. Tapi kondisi itu justru menyebabkan dirinya terpacu untuk belajar lebih tekun. Di masa remajanya, ia telah menamatkan hafalan seribu bait kaidah bahasa Arab, Alfiyyah Ibnu Malik.

Sejak duduk di Perguruan Islam Mathali’ul Falah, Pati Jawa Tengah, ia sudah mempunyai cita-cita untuk melanjutkan di Universitas Madinah. Ia melihat beberapa gurunya telah pergi ke sana dan kebetulan sekolahnya juga sudah mendapat akreditasi (mu’adalah) Universitas Islam Madinah.

Niatnyapun kesampaian. Di Madinah, ia ingin memperdalam lebih jauh bahasa Arab. Ia memilih Fakultas Bahasa Arab. Tapi ketika tes, ia tak lolos. “Saya dianggap ‘cacat aqidah’ oleh komite muqabalah syakhshiyyah (yang terdiri dari empat dosen senior) yang menguji saya selama kurang-lebih tiga jam. Saya lulus semua pertanyaan, tapi mentok pada pertanyaan tentang masalah aqidah,”kenangnya. Komite Dosen itu akhirnya merekomendasikan dirinya agar masuk ke Fakultas Da’wah dan Ushuluddin. Anis merasa syok dengan keputusan itu. Fakultas itu bukan cita-citanya. “Setahun lebih saya down tidak semangat belajar,”tuturnya. Tapi dari situlah justru titik baliknya. Minat keilmuannya tumbuh dan dia kini menyadari Allah SWT Yang Maha Tahu mempunyai rencana lain kepada dirinya.

Di Madinah inilah, Anis memahami makna dari perang pemikiran. “Terus terang, apa yang kemudian dikenal dengan war of ideas inilah yang sejatinya telah menyentak kesadaranku untuk melanjutkan belajar ke jenjang yang lebih tinggi lagi guna mempersiapkan dan membekali diri dengan ‘senjata dan amunisi’ yang diperlukan dalam ‘perang’ ini. Seumur-umur, baru mulai waktu itulah aku baru tahu agamaku, aku baru ngerti apa artinya keberpihaanku pada Islam dan apa yang harus saya lakukan untuk Islam,” ungkapnya.

Lulus dari Madinah (1988), Anis melanjutkan Masternya di Universitas Punjab dan Universitas Islam Internasional Islamabad, Pakistan. Ia mengambil bidang yang selama ini menjadi minatnya. Yaitu Islamic Studies (Punjab) dan Comparative Religion (Islamabad). Tesis Masternya berjudul: Al-Islam wa Tayyar al-Taghrib fi Indonesia, 1971-1991 (Islam dan Arus Pembaratan di Indonesia, 1971-1991),

Tahun 2001 ia menyelesaikan doktornya di International Islamic University Islamabad dengan disertasi berjudul: “Al-Taaddudiyyah al-Diniyyah: Ru’yah Islamiyyah (Pluralisme Agama, Pandangan Islam). Disertasi ini mendapat tiga penghargaan sekaligus: Gold Medal dari International Islamic University Islamabad (2005), Isma’il Al-Faruqi Publications Award dari International Islamic University Malaysia (2006) dan Best Non-Fiction Book Award dari Islamic Book Fair 2007, Jakarta.

Karya disertasinya ini memang diselesaikan dengan penuh perjuangan. Selain ia kerjakan jauh dari anak-istri, ia juga hampir putus asa ketika menyelesaikan tulisan ini. Kisahnya, ketika ia sudah hampir menyelesaikan draf terakhirnya, laptop tuanya basah kuyup kehujanan. Ia panik luar biasa. “Sambil menangis, saya berdoa kepada Allah SWT apa yang terbaik bagi saya. Waktu itu, saya sudah menyiapkan diri untuk menerima keadaan yang terburuk sekalipun, yakni gagal dan angkat koper (pulang). Habis, kalau harus mulai dari awal lagi, rasanya sudah tidak mungkin, karena sudah terlalu lama (2 tahunan) jauh dari anak-istri,” kenangnya dengan mata berkaca-kaca. Allah pun mengabulkan doanya. Setelah sekitar sehari semalam ia mengeringkan laptopnya dengan kipas, akhirnya komputer jinjingnya itu bisa dihidupkan. Itu pun dengan tampilan layar yang tidak jelas. Ia harus memati-hidupkan beberapa kali, sehingga akhirnya file drafnya dapat dibuka dengan sempurna.

Selain sehari-hari mengajar dan pernah mengepalai di Department of Ushuluddin and Comparative Religion IIUM, Anis juga sering diundang menjadi pembicara di berbagai seminar internasional, antara lain di Turki, Kanada, Jepang dan lain-lain.

Ketika ditanyakan kepadanya siapakah guru yang paling berpengaruh kepada dirinya? Laki-laki lima anak ini menyatakan bahwa semua guru-gurunya berpengaruh membentuk kepribadiannya. Ia merasa tanpa bimbingan dan didikan mereka, ia bukanlah apa-apa. "Tapi kalau harus menyebut siapa guru yang paling ber pe ngaruh, maka guru itu adalah kedua orangtuaku. Merekalah yang pertama kali mengajar dan mendidikku tentang agamaku. Allahumma irhamhuma kama rabbayani shaghira." nuim hidayat

http://koran.republika.co.id/koran/155/108703/DR_ANIS_MALIK_THOHA_Ahli_Pluralisme_dari_Demak

Senin, 12 April 2010

JANGAN HINA NABI!


Kamis, 11 Maret 2010 pukul 15:36:00
JANGAN HINA NABI!
Oleh:
Nuim Hidayat

http://koran.republika.co.id/koran/155/105997/JANGAN_HINA_NABI

Pada 9 dan 11 Januari 1918, media cetak berbahasa Jawa, Djawi Hisworo, yang terbit di Surakarta, mengeluarkan tulisan yang menghina Nabi Muhammad SAW. Artikel yang ditulis Martodharsono dan Djokodikoro itu, isinya menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah pemabuk dan pemadat. Penerbitan ini mendapat reaksi hebat dari umat Islam. Di Surabaya, pada Februari 1918, digelar satu rapat umum yang isinya menuntut agar pemerintah Hindia Belanda menindak kedua penulis dan pemimpin redaksi media tersebut. Centraal Sjarikat Islam juga membentuk panitia, Tentara Nabi Muhammad SAW, dengan tujuan: (1) Membangun kesatuan dan persatuan lahir dan batin antar-Muslimin. (2) Menjaga dan melindungi kehormatan agama Islam, kehormatan Rasulullah Muhammad saw dan kehormatan kaum Muslimin. Tokoh-tokoh Sjarikat Islam, antara lain adalah Oemar Said Djokroaminoto, H Agoes Salim, Abdoel Moeis, Soerjopranoto dan Wignjadisastra. (Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, 2009: 392).

Pada tahun 1931, kaum Muslim Indonesia juga memberikan respon keras terhadap kasus Ten Berge (Ten Berge Affair). Peristiwa ini terjadi ketika seorang pastor Jesuit bernama J.J. Ten Berge menerbitkan dua artikel berjudul De Koran en Evanglie en Koran; Studien, Tijdscift voor Godsdient, Wetenschap en Litteren (1931).

Dalam artikelnya itu, Ten Berge memberikan komentar terhadap QS Surat Al Maidah ayat 75: Almasih putra Maryam itu hanyalah seorang Rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya benar-benar seorang perempuan. Keduanya memerlukan makanan. Komentarnya, Siapa saja dapat menyaksikan bahwa, menurut Muhammad, orang-orang Kristen memahami sang Bapak, ibu dan putra dalam pengertian seksual. Bagaimana mungkin dia (Muhammad) seorang antropomorfis, seorang Arab yang bodoh, dan sensualis yang tiada tandingnya, yang terbiasa tidur dengan banyak perempuan, memahami konsep kebapakan yang berbeda dan pada ke nyataannya lebih canggih?

Insiden itu memicu kemarahan kaum Muslim Indonesia. Berbagai aksi massa dilakukan di sejumlah kota di Indonesia dilakukan oleh organisasi-organisasi Islam. Pemerintah kolonial mencoba menenangkan umat Islam dengan menyita seluruh sisa penerbitan. Peristiwa itu sendiri terus menyedot perhatian rakyat Indonesia, karena umat Katolik di bawah pimpinan Mgr. Wilekens, mengecam tindakan peme rintah kolonial dan menganggapnya tidak sah. Kaum Muslim memang dikenal sangat tinggi sensitivitasnya soal penghinaan Nabi Muhammad SAW. Kasus Roman Langit Makin Mendung karya Ki Panji Kusmin yang digugat oleh Hamka. Hampir seratus tahun kemudian penghinaan kepada Nabi terjadi lagi.

Paus Benedict XVI, pada September 2006 menyatakan: Show me just what Muhammad brought that was new, and there you will find things only evil and inhuman, such as his command to spread by the sword the faith he preached. Paus menyebut Nabi Muhammad sebagai evil dan inhuman. Ketika itulah, terjadi reaksi yang hebat dari umat Islam di seluruh dunia. Tapi bukan berarti Paus tidak ada yang membelanya. Apa yang dikatakan intelektual AS, Daniel Pipes di artikelnya New York Sun, 19 September 2006? Pipes menyatakan: The West Should Be Free To Criticize Islam (Barat seharusnya bebas untuk mengritik Islam).

Sebelumnya tahun 1997 seorang perempuan Israel mengedarkan secara luas sebuah poster Muhammad as a pig. Tahun 1988, Salman Rushdi menerbitkan novel yang menghina Nabi. Tahun 2002, pendeta Jerry Falwell dari AS menyebut Nabi Muhammad sebagai teroris. Ulah Falweell ini memicu pembakaran gereja di India dan terjadi kerusuhan, sehingga sedikitnya 10 orang terbunuh.

Ketika Koran Denmark Jyllands-Posten, Februari 2006 memuat 12 gambar yang menghina Nabi Muhammad SAW, reaksi dari negerinegeri Islam sangat keras ke Denmark.

Beberapa tokoh Islam menyerukan pemboikotan terhadap produk Denmark dan di Nigeria terjadi kerusuhan yang menyebabkan beberapa orang meninggal.Tapi Daniel Pipes di New York Sun, 7 Februari 2006, membuat judul yang menghina Islam: gCartoons and Islamic Imperialism.

Disitu Pipes menyatakan : The key issue at stake in the battle over the twelve Danish cartoons of the Muslim prophet Muhammad is this: Will the West stand up for its customs and mores, including freedom of speech, or will Muslims impose their way of life on the West? Ultimately, there is no compromise: Westerners will either retain their civilization, including the right to insult and blaspheme, or not.

Pipes jelas tidak benar. Kaum Muslim tidak pernah memaksa pandangan hidupnya ke Barat. Dalam Islam, tidak dibenarkan pemaksaan seseorang atau sebuah komunitas untuk memeluk Islam. Menghadapi reaksi keras negeri-negeri Islam terhadap 12 kartun Denmark saat itu, negara Barat terbelah. Beberapa negara seperti Inggris, AS, New Zealand dan Polandia mengecamnya.

Tapi beberapa negara lain membelanya. Mereka beralasan, bahwa negara mereka memberikan jaminan terhadap kebebasan berekspresi (freedom of expression).

Bila negeri Barat terbelah menyikapi 12 kartun Denmark yang menghina Islam itu, maka tidak ada satupun negeri Islam yang mendukung kartun Denmark itu. Umat Islam tidak bebas berbuat apa saja untuk menghina agamanya. Apalagi menghina Nabi Muhammad SAW; manusia yang paling mulia. Karena itulah, umat Islam bersikap tegas terhadap setiap bentuk penyimpangan terhadap Islam.

Kemunculan setiap nabi palsu dipandang oleh umat Islam sebagai sebuah bentuk penyimpangan dan penodaan agama. Mirza Ghulam Ahmad ditolak pengakuannya sebagai Nabi. Di Indonesia, Lia Eden yang mengaku juga sebagai Malaikat Jibril juga menerima hukuman atas kasus penodaan agama. Karena itu, tidak mungkin seorang yang mengaku Muslim, sampai menyatakan, bahwa Kesalahan Lia Aminuddin persis sama dengan kesalahan Kanjeng Nabi Muhammad, meyakini suatu ajaran dan berusaha menyebarluaskannya.

Bagaimana mungkin orang yang mengaku Islam bisa berkata seperti itu? Kini, atas nama Kebebasan Beragama, sekelompok orang menuntut agar di Indonesia tidak ada lagi per aturan yang menghakimi satu aliran sesat atau tidak. Menurut mereka, pemahaman sesat atau tidak adalah relatif. Setiap penafsiran terhadap agama selalu bersifat relatif, sehingga seorang tidak boleh menghakimi yang lain sebagai sesat atau tidak. Bahkan, Lia Eden disetarakan dengan Nabi Muhammad SAW. Padahal, Nabi Muhammad SAW adalah Nabi sejati. Sedangkan Lia Eden adalah mengaku-aku sebagai jelmaan Malaikat Jibril.

Jika mengaku-aku sebagai utusan Presiden suatu negara saja bisa dijatuhi suatu hukuman; bukankah merupakan suatu kejahatan besar jika seorang mengaku sebagai utusan Allah?!