Senin, 21 Juni 2010

Catatan Kecil untuk Munas PKS: Bersama-sama Kaum Muslim Kita Berjuang!


Catatan Kecil untuk Munas PKS:
Bersama-sama Kaum Muslim Kita Berjuang!
Oleh: Nuim Hidayat*

Pengantar

Saat ini Munas PKS sedang berlangsung di Jakarta. Kemarin dan hari ini (17/6), tokoh-tokoh PKS menyatakan bahwa partainya terbuka untuk non Islam. Bahkan Anis Matta menyatakan bahwa anggota legislatif PKS non Islam sudah sekitar 20 orang.

Dari diskusi-dikusi dan pengajian –pengajian Islam di berbagai tempat banyak yang menyayangkan perubahan-perubahan mendasar di PKS. Baik menyangkut gaya hidup anggota DPR-DPRD atau pejabatnya maupun prinsip-prinsip dakwahnya. Anggota-anggota DPR-DPRD dari partai-partai Islam, kebanyakan mengikuti gaya hidup anggota-anggota DPR-DPRD partai sekuler. Gaya hidup hedonis/bermewah-mewah kini banyak menjangkiti para politikus dan pejabat di negeri kita. Contoh misalnya, melihat kemiskinan di negeri kita yang jumlahnya minimal 40 juta (menurut Bank Dunia sekitar 100 juta bila yang jadi patokan bahwa yang disebut miskin pendapatan per hari kurang dari 2 dolar US per hari), harusnya wakil-wakil rakyat itu saat ini minta penurunan gaji. Buka hanya diam saja menikmati gaji yang ada. Karena gaji para politikus dan pejabat itu diambil dari uang rakyat.

Bagaimana mereka bisa merasa ’tidak berdosa’ menggunakan uang rakyat yang kondisinya kini puluhan juta berada dalam kemiskinan? Rasulullah, Khulafaur Rasyidin dan pemimpin-pemimpin Islam yang sholeh tidak pernah mencontohkan seperti itu. Di masa-masa mereka meskipun kekayaan negara kaya (baitul mal), tapi para pemimpin itu hidup sederhana. Karena mereka menyadari bahwa gaji mereka itu diambil dari uang rakyat. Sebagaimana petugas amil zakat atau infaq tidak boleh seenaknya mengambil uang yang dikumpulkan para donatur. Lain masalahnya bila uang itu dari usaha-bisnis sendiri.

Dan disitulah rahasia keberhasilan Islam, rahasia cepat tersebarnya dakwah Islam dulu adalah ketika pemimpin-pemimpinnya memberikan keteladanan dalam hidup. Mereka rela hidup sederhana di tengah-tengah baitul mal yang kaya. Apalagi bila baitul mal dalam kondisi miskin –seperti di Indonesia—mereka tidak akan memperkaya diri sendiri di tengah-tengah kemiskinan rakyat. Karena pemimpin (dalam setiap level) adalah contoh. Dan kata pepatah ’ikan busuk dari kepalanya’.

Itu dari prinsip-prinsip ekonomi Islam. Dari segi aqidah Islam, sudah jelas bahwa Rasulullah mencontohkan dalam perjuangan dakwah Islam, Rasul tidak pernah memasukkan orang-orang non Islam dalam manajemen dakwah. Mereka mesti masuk Islam dulu –tentu dengan kesadaran sendiri—untuk bisa ikut dalam manajemen dakwah Rasulullah. Tidak ada sunnah Rasulullah bahwa dalam organisasi dakwah (partai islam,ormas islam dll), orang-orang kafir ikut bersama Rasul dalam dakwah menyebarkan Islam.

Dan itulah inti hidup kita, yaitu melanjutkan risalah Rasulullah saw. Bila kita baca sirah Nabi, maka Rasul bila mengutus utusan ke daerah minoritas Islam, Rasulullah nmemerintahkan kepada mereka untuk mendakwahkan Islam, menyebarkan Islam. Seperti ketika Rasul mengutus Muadz bin Jabal, Khalid bin Walid dll ke daerah minoritas Islam. Rasul tidak pernah menyuruh yang penting mereka mendukung Rasulullah (mendulang suara), meski mereka tidak menjadi Islam. Dan saya khawatir memasukkan orang-orang non Islam dalam partai Islam atau organisasi Islam, adalah perbuatan bid’ah yang besar dan teladan buruk dalam sejarah Islam di Indonesia.

Saya tahu bahwa yang saya tulis ini mungkin tidak berpengaruh banyak bagi Munas PKS sekarang ini. Saya menyadari bahwa dalam harakah –sebagaimana saya pernah ikuti--, yang berkuasa adalah amirnya. Dan amir biasanya hanya mendengar dari orang-orang kepercayaannya (inner circlenya), bukan dari orang lain meski kuat argumentasinya. Tapi itu tidak masalah. Karena saya berprinsip kebenaran mesti disampaikan, baik diterima maupun tidak. ’Busur panah bila telah dilepaskan ia akan mencapai sasarannya sendiri’. Kewajiban kita adalah menyampaikan, kepada Allah SWT kita semua bertawakkal.

Di bawah ini saya angkat kembali catatan kecil saya untuk PKS, yang kebetulan dimuat di Majalah Hidayatullah, edisi Maret 2008. Mudah-mudahan manfaat.

000

Bersama-sama Kaum Muslim Kita Berjuang

Kepada sahabat2
Generasi Muda Islam

Kususun buku ini untukmu
Turutilah djedjak pemimpinmu
kenangkan sedjarahnya
teruskan perjuangannya


Di tengah gegap gempitanya 'partai-partai Islam' saat ini berkonsolidasi untuk pemilu 2009, maka muncullah gagasan partai Islam agar terbuka dan inklusif. Partai Kebangkitan Bangsa telah lebih dulu memulai gagasan ini dengan memasukkan beberapa non Muslim menjadi pengurus atau anggota DPP Partai PKB. Partai Keadilan Sejahtera, juga menerima gagasan inklusif ini. Meski sebenarnya PKS juga telah memulai menerima anggota/pengurus non Muslim/anggota DPRD untuk daerah Irian.

Melihat gagasan inklusif partai-partai Islam (dalam AD/ART-nya) ini, membuat penasaran diri saya untuk bertanya: bolehkah dalam berpartai kita bersama-sama non Muslim? Kemudian saya membuka-buka kembali buku sejarah. Alhamdulillah di rumah saya ketemu buku "Alam Fikiran dan Djedjak Perjuangan Prawoto Mangkusasmito" yang yang disusun oleh SU Bajasut. Buku ini selain memaparkan pemikiran-pemikiran Ketua Umum Masyumi Prawoto juga melampirkan dokumentasi Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Masyumi.


Di Anggaran Dasar Partai Politik Islam Indonesia Masjumi ditegaskan: "Tujuan Partai ialah terlaksananya ajaran dan hukum Islam, di dalam kehidupan orang seorang , masyarakat dan negara Republik Indonesia, menuju keridhaan Ilahi." (Pasal III). Pada pasal IV-nya dinyatakan: "Usaha partai untuk mencapai tujuannya:
Menginsyafkan dan memperluas pengetahuan serta kecakapan Umat Islam Indonesia dalam perjuangan politik
Menyusun dan memperkokoh kesatuan dan tenaga umat Islam Indonesia dalam segala lapangan
Melaksanakan kehidupan rakyat terhadap perikemanusiaan, kemasyarakatan, persaudaraan dan persamaan hak berdasarkan taqwa menurut ajaran Islam
Bekerjasama dengan lain-lain golongan dalam lapangan bersamaan atas dasar harga menghargai


Nah, ini yang menarik, di pasal V tentang anggota dinyatakan, Anggota Partai terdiri dari:
Anggota biasa, ialah warga negara Indonesia yang beragama Islam (laki-laki dan perempuan) dan tidak menjadi anggota partai politik lain
Anggota teras, terpilih dari anggota-anggota biasa
Anggota Istimewa, ialah Pengurus Besar/Pusat perhimpunan Islam yang bukan partai politik


Keharusan anggota wajib beragama Islam ini lebih tegas lagi, dijelaskan dalam "Anggaran Rumah Tangga Partai Politik Islam Indonesia Masjumi". Dalam Bab II Pasal 3 dijelaskan: "Syarat-syarat untuk menjadi anggota partai: 1. Tiap warga negara Republik Indonesia yang beragama Islam, laki-laki maupun perempuan, berumur sekurang-kurangnya 18 tahun atau sudah kawin dan tidak menjadi anggota partai politik lain dapat diterima menjadi anggota biasa..." (ART Partai ini ditetapkan dalam Sidang Dewan Partai, 9-12 Oktober 1953. Artinya sebelum pemilu 1955 dimana Masjumi memperoleh suara ).


Jadi Masjumi tegas mengharamkan anggota partainya non Muslim. Apalagi jadi pengurus partai. Seperti sudah lazim kita ketahui untuk menjadi pengurus partai (atau anggota DPRD sebuah partai), seseorang diharuskan menjadi anggota terlebih dahulu. Jadi bila merujuk sejarah, maka suatu hal yang aneh partai Islam anggota/pengurus non Muslim (inklusif).


Bagi partai yang ingin menegakkan syariah Islam di Indonesia, atau partai dakwah, tentu hal yang aneh bila dalam perjuangan partai itu ada anggota/pengurus non Muslim. Bagaimana mau berdakwah, mengajak orang lain ke jalan Islam, sementara dalam rumah tangga partai dakwah sendiri ada yang non Muslim? Logika berpikir yang benar, tentu untuk menjadi partai dakwah, maka anggota/pengurus yang di dalam harus bersiap untuk dakwah. Dan untuk siap berdakwah, maka seseorang harus menjadi Muslim terlebih dulu.


Sayangnya, kini sejarah Masjumi yang didirikan oleh alim ulama dan cendekiawan Islam yang penuh keteladanan itu kini jarang lagi ditengok oleh politikus-politikus partai. Para politikus saat ini mencoba gagah-gagahan untuk melepas diri sejarah perjuangan Islam Indonesia masa lalu. Padahal Masjumi Masjumi didirikan dari hasil Muktamar Islam Indonesia di Yogyakarta 7-8 November 1945, oleh hampir semua tokoh berbagai organisasi Islam dari masa sebelum perang serta masa pendudukan Jepang. Organisasi-organisasi Islam yang masuk Masjumi antara lain: Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, Perikatan Umat Islam, Persatuan Umat Islam, Persis, Al Irsyad, Al Jamiyatul Washliyah, Al Ittihadiyah dan lain-lain (Lihat buku Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, hal. 47-50).

Padahal Al-Qur'an berulangkali dalam ayatnya mengingatkan kita agar menengok dan meneladani sejarah. Baik sejarah individu, masyarakat atau sebuah bangsa. Politik hari ini, adalah sejarah sejarah esok hari. Allah SWT mengingatkan:


"Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman. (QS. 11:120).


"Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir. (QS. 7:176)


Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. (QS. 12:111).


Maka buku pemikiran Prawoto Mangkusasmito di atas, bukanlah sekedar kalimat-kalimat pemuas akal belaka. Di halaman persembahannya ditulis:
"Kususun buku ini untukmu
Turutilah djedjak pemimpinmu
kenangkan sedjarahnya
teruskan perjuangannya


Tapi, kini kondisi partai politik lebih parah. Disadari atau tidak, ideologi sekuler Barat –lewat lobi-lobi para orientalis/indonesianis-- telah masuk dalam cara berpikir banyak orang partai. Sehingga dalam dan antar partai Islam yang terjadi rebutan jabatan, rebutan angggota DPR/DPRD dan rebutan sumber-sumber uang. Tanpa melihat lagi aqidah, kapabilitas dan keamanahan seorang calon. Partai bukan dilihat lagi sebagai alat perjuangan dakwah dan alat perjuangan untuk menegakkan syariat Islam di Indonesia. Padahal Al-Qur'an jelas menegaskan fungsi organisasi Islam atau partai Islam adalah menegakkan amar makruf nahi mungkar. Bukan untuk mencari suara belaka. Untuk apa kekuasaan dipegang, bila tidak ditegakkan amar makruf nahi mungkar? Al Qur'an mengingatkan: "Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung." (QS. 3:104)

Cara berpikir Barat yang menyesatkan lainnya –yang banyak diadopsi oleh partai-partai sekuler— adalah partai diibaratkan negara kecil. Dari sinilah ide pluralisme, inklusivisme partai masuk. Padahal partai bukanlah tipikal negara. Partai bukan negara. Dalam negara tidak dilarang orang-orang non Islam hidup bersama kaum Muslim. Partai bisa diibaratkan rumah keluarga besar kita. Dalam keluarga, kita berkewajiban menjaga aqidah istri, anak-anak dan sistem dalam keluarga itu agar tidak keluar dari nilai-nilai Islam. Keluarga kita harus Islami, tapi kita menghormati tetangga kita yang non Muslim. Bahkan kita bisa saling membantu dalam hal kebaikan dengan mereka.

Walhasil, memang benar ungkapan Rasulullah saw, bahwa dalam kehidupan ini –berumah tangga, bekerja, berorganisasi dan berpartai—ditentukan oleh niat. Kalau dalam organisasi Islam bisa dilihat dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya. Sabda Rasulullah saw: "Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya dan sesungguhnya tiap-tiap orang tidak lain (akan memperoleh balasan dari) apa yang diniatkannya. Barangsiapa hijrahnya menuju (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu ke arah (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa hijrahnya karena (harta atau kemegahan) dunia yang dia harapkan, atau karena seorang wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu ke arah yang ditujunya." (HR Bukhari Muslim)

Keberhasilan Masjumi dengan asas Islam dan agenda penegakan syariah Islam di Indonesia (Islamisasi), dalam Pemilu tahun 1955, dan kegagalan Amien Rais dengan Partai Amanat Nasionalnya saat ini, sudah merupakan pelajaran berharga bagi kita untuk melangkah ke depan. Fa'tabiru ya Ulil Albab.*

(*Penulis adalah Dosen dan Penulis Buku "Sayid Qutb, Biografi dan Kejernihan Pemikirannya.")

Senin, 07 Juni 2010

Peradaban Islam: Peradaban Ilmu dan Tulisan

Peradaban Islam: Peradaban Ilmu dan Tulisan

Imam Syafii mengingatkan, “Ilmu itu bagaikan binatang liar, menulis (mencatat) adalah pengikatnya.”

Oleh: Nuim Hidayat*

BANGSA Arab hingga pada masa jahiliah, telah mengapresiasi kegiatan tulis-menulis dan urgensinya. Ketika itu, mereka memasukkan kemampuan menulis sebagai salah satu dari tiga syarat utama seseorang disebut minal kamilin (di antara orang-orang yang sempurna). Ibnu Sa’ad menuturkan, “Orang yang sempurna (al-Kamil) menurut mereka pada masa Jahiliah dan permulaan Islam adalah orang yang dikenal mampu menulis Arab, piawai dalam berenang, dan ahli dalam memanah.”

Rasulullah saw telah mendidik sahabat tentang pentingnya ilmu, dunia tulis menulis, dokumentasi dan lain-lain. Prof. Mustafa Azami misalnya, menyebut Rasulullah mempunyai 65 sekretaris (dalam bukunya Kuttabun Nabi, diterjemahkan GIP dengan judul 65 Sekretaris Nabi). Jumlah tersebut merupakan hasil penelitian sumber kitab-kitab yang ternama, dan manuskrip-manuskrip yang belum ditemukan oleh ulama sebelumnya.

Azami menyatakan bahwa saat meneliti dan menulis kitab itu, ia memperoleh naskah fotokopi dari kitab yang sangat bernilai, yaitu kitab al-Intishar lil Qur’an karya al-Baqilani (w. 403 H). Al-Baqilani mengulas para sekretaris Nabi saw. Ia menyebutkan nama-nama sekretaris Nabi yang sebagian besar telah dikenal oleh para penulis yang lain. Tetapi, sebagian lainnya tidak terdapat di kitab-kitab yang lain. Bahkan, ada beberapa nama dalam kitab tersebut yang tidak kami temukan di kitab-kitab yang beredar dan dikenal mengulas biografi sahabat, seperti kitab Thabaqat Ibni Sa’ad, Usudul Ghabah, al-Ishabah, dan kitab-kitab besar lainnya.

Al-Baqilani berkata, “Nabi saw. mempunyai banyak jamaah yang hebat dan cerdas. Semuanya dikenal sebagai sekretaris beliau, dan berasal dari kalangan Muhajirin dan Anshar.”

Azami menyebutkan, di antara sekretaris Rasulullah saw antara lain: Zaid bin Tsabit yang ditugaskan untuk menulis surat kepada raja-raja, Ali bin Abi Thalib yang bertugas menulis akad-akad perjanjian, al-Mughirah bin Syu’bah yang menulis kebutuhan-kebutuhan Nabi yang bersifat mendadak, Abdullah ibnul Arqam yang betugas mencatat utang-piutang dan akad lainnya di tengah masyarakat, dan lain-lain.

Guru Besar Universitas Ibnu Saud ini menyatakan, salinan naskah dari surat-surat Nabi saw. yang dikirimkan ke berbagai pihak di seantero penjuru itu juga dipelihara keberadaannya oleh beberapa sahabat. Misalnya Ibnu Abbas, Abu Bakar bin Hazm, Abu Bakar ash-Shiddiq, dan Umar ibnul Khaththab. Abu Bakar memiliki naskah surat Nabi saw. tentang masalah sedekah. Sementara Umar menyimpan semua naskah tentang akad-akad perjanjian dan kesepakatan yang diambil dari para tokoh terkemuka. Salinan atau copy-an dari surat-surat tersebut sangat berguna mengingat wilayah kekuasaan Islam yang luas.

Peradaban Tulisan

Dalam sirah Nabi, dapat dibaca bahwa belum genap satu tahun Rasulullah saw. tinggal di Madinah, beliau langsung menulis piagam yang dikenal dengan “Undang-Undang Negara Modern,” meminjam istilah beberapa peneliti. Piagam tersebut mengatur hubungan antara kaum Muhajirin (Mekah) bersama kaum Anshar (Madinah) di satu pihak, dan kaum Muslimin bersama kaum Yahudi di pihak lain. Menurut Azami, Madinah menjadi sebuah negara bagi kaum Muslimin. Sebuah negara menuntut adanya tata tertib, fasilitas, dan administrasi yang jelas. Sehingga tumbuh diwan-diwan atau kesekretariatan pada masa Nabi saw.

Tentang tradisi tulis menulis ini, akhirnya Prof. Azami menyimpulkan: ”Ketika Islam datang, jumlah para penulis masih dibilang minim (di kalangan kaum Quraisy hanya terdapat 17 orang -pen). Tetapi, berkat strategi pengajaran yang diterapkan Nabi saw., ilmu pun tersebar luas dalam waktu yang sangat singkat. Sehingga, jumlah para sahabat yang menulis untuk Nabi ketika itu mencapai enam puluh orang. Dengan merujuk sumber-sumber yang cukup memadai di tengah-tengah kita sekarang ini, kita dapat menggambar grafik yang luas bagi aktivitas tulis-menulis atau administrasi pada masa Nabi saw.”

Mengutip kembali al-Baqilani, Azami menyatakan, “Nabi saw. mempunyai banyak jamaah yang hebat dan cerdas. Semuanya dikenal sebagai sekretaris beliau, dan berasal dari kalangan Muhajirin dan Anshar.”

Azami mengkategorikan sekretaris Rasulullah sebagai berikut :

1. Kelompok yang dikenal sebagai sekretaris yang sering menulis, seperti Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Mu’awiyah bin Abu Sufyan ridhwanullah ‘alaihim ajma’in.

2. Kelompok sahabat yang ditetapkan sebagai sekretaris, tetapi frekuensi menulisnya tidak sama seperti kelompok pertama. Mereka misalnya Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar ibnul Khaththab, Abu Ayyub al-Anshari, dan lain sebagainya, ridhwanullah ‘alaihim ajma’in.

3. Kelompok sahabat yang nama-namanya tercantum dalam kitab al-Watsa`iqus Siyasiyyah dan kitab-kitab lainnya, tetapi kami tidak menemukan penyebutan nama mereka sebagai sekretaris Nabi saw.. Mereka misalnya Ja’far, al-Abbas, Abdullah bin Abu Bakar ridhwanullah ‘alaihim ajma’in.

Di antara Sekretaris Nabi dari kalangan Muhajirin, disebutkan: Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar ibnul Khaththab, Utsman bin ‘Affan, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Arqam, Khalid bin Sa’id, dan lain-lain. Para ahli sejarah menuturkan bahwa Nabi sangat memercayai Khalid, sehingga beliau menyuruhnya untuk mengumpulkan dokumen yang ditulisnya dan surat-surat yang distempelnya. Ia juga sebagai sekretaris Abu Bakar. Sedangkan Umar menugaskannya sebagai pengurus Baitul Maal.

Pada masa permulaan Islam, tempat “berkantor” para sekretaris dinamakan Diwan. Diwan juga dapat diartikan kumpulan lembaran-lembaran dan daftar tulisan yang berisi nama-nama tentara dan para pemberi sedekah. Dari hasil penelitiannya, Azami menyimpulkan ada tiga macam diwan pada masa permulaan Islam, yaitu:

1. Diwanul Insya` (kantor pembuatan surat-surat kenegaraan).

2. Diwanul Jaisy (pusat data personel militer)

3. Diwanul Kharaj/ al-Jibayah (pusat pengelolaan keuangan negara) untuk menginventarisasi pajak yang dikembalikan pada Baitul Maal dan pemberian yang diwajibkan atas setiap muslim.

Mengenai Diwanul Insya`, al-Qalaqsyandi berkata, “Diwan ini (al-Insya`) merupakan diwan yang pertama ada dalam Islam. Diwan ini telah digunakan pada masa Nabi saw.”

Pusat administrasi—dalam formatnya yang sederhana—telah dipergunakan pada masa Nabi saw. Tatkala roda pemerintahan dipegang oleh Sayyidina Umar r.a. dan Daulah Islam telah meluas, maka pengembangan sistem administrasi adalah suatu hal yang sangat penting. Umar r.a. telah menginstruksikan untuk membuat pusat administrasi (diwan) dengan format yang lebih menyeluruh dari format diwan sebelumnya.

Sebagai bukti, Diwanul Insya`(kantor pembuatan surat-surat kenegaraan)—sebagaimana dinyatakan al-Qalaqsyandi—adalah diwan yang pertama kali dibuat dalam Islam. Penggunaannya telah dimulai pada masa Nabi saw.

Berkaitan dengan Diwanul Jaisy (pusat data personel militer), sebuah keterangan dalam Shahih al-Bukhari dijelaskan, “…dari Hudzaifah r.a., ia berkata, ‘Nabi saw. bersabda, ‘Tulislah bagiku orang yang mengucapkan (ikrar) Islam.’ Maka kami pun menuliskannya sebanyak 1500 orang.”

Di antara indikator yang menunjukkan salah satu kebiasan mereka dalam mencatat orang-orang yang ditentukan keikutsertaannya dalam peperangan, adalah riwayat Imam Bukhari dalam kitabnya, Shahih al-Bukhari. “…dari Ibnu Abbas, ia mendengar Nabi saw. bersabda, ‘Seorang laki-laki sungguh tidak boleh menyendiri bersama seorang perempuan. Dan seorang perempuan sungguh tidak boleh melakukan perjalanan kecuali ada mahram yang ikut bersamanya.’ Maka seorang pria berdiri dan berkata, ‘Wahai Rasulullah! Apakah aku dicatat untuk ikut dalam peperangan ini dan itu, sementara istriku keluar demi suatu keperluan...’”

Rasululullah saw juga terbiasa menyuruh para sahabat agar segera menjawab surat-surat yang masuk kepada pemerintahan-Nya. Ibnul Qasim meriwayatkan dari Malik, ia berkata, “Telah sampai kepadaku sebuah riwayat, bahwa ada sepucuk surat yang sampai kepada Rasulullah saw., ‘Siapa yang mau menjawab surat ini atas namaku?’ Tanya beliau. Abdullah ibnul Arqam menjawab, ‘Saya.’ Ia pun lekas menulis surat jawaban atas nama Nabi. Kemudian ia membawa surat itu ke hadapan beliau (dan membacakannya). Beliau pun kagum dengan isi surat tersebut lalu meluluskannya.”

Tentang pentingnya menulis ini, Imam Syafii mengingatkan: “Ilmu itu bagaikan binatang liar, menulis (mencatat) adalah pengikatnya. Ikatlah hewan buruanmu dengan tali yang kuat. Adalah bodoh bila Anda memburu seekor kijang, kemudian Anda lepas begitu saja tanpa tali pengikat.”

Kehebatan dalam dunia tulis menulis ini terus berkembang, sehingga generasi sahabat, tabiin, tabiiut tabiin, dan seterusnya berprestasi dalam menjaga keotentikan Al-Qur’an dengan membukukannya, menuliskan Sunnah Rasulullah saw, melahirkan ilmu aj jarh wat ta’dil, ilmu bahasa Arab (sharaf, nahwu dll), ilmu matematika, ilmu fisika, dan lain-lain. Sejarah Islam kemudian mencatat ilmu terus berkembang dan perkembangan buku dalam Islam --apalagi setelah ditemukannya teknologi kertas-- melimpah luar biasa.

Dr Ahmad Amin dalam bukunya yang terkenal “Dhuha Islam“ menyatakan: “Banyak sekali jenis kertas yang terdapat dalam masa pemerintahan kerajaan Abbasiyah, antaranya ialah kertas firaun (mengambil nama orang-orang Firaun di Mesir), kertas sulaimani (mengambil nama Sulaiman bin Rashid, Gubernur Harun al Rashid di Khurasan), kertas jaafari (mengambil nama Jaafar al Barmaky), kertas al talhi (mengambil nama Thalhah bin Hasan). Pada masa tersebut juga terdapat banyak sekali tempat perusahaan kertas, di antaranya ialah di Samarqand, Baghdad, Tihamah, Yaman, Mesir, Damsyik, Tarablus, Humah, Khimath, Mambaj, Maroko, dan juga Andalus. Dalam abad yang kedua Hijrah terdapat perusahaan kertas yang dibuat dari perca-perca kain, kertas jenis ini telah digunakan secara meluas dan dapat menandingi kertas-kertas yang lain.”

Hasil dari wujudnya bahan-bahan kertas serta penulisan ilmu pengetahuan pada masa itu, maka terciptalah buku-buku dan tempat menyimpan buku (perpustakaan). Karena itu, perpustakaan merupakan sumber utama bagi kebudayaan di zaman Abbasiyah.

Ahmad Amin melanjutkan: “Satu perkara yang kita sebutkan di sini bahwa dengan sebab banyaknya kertas yang digunakan sebagai bahan penulisan dan banyaknya buku yang muncul pada masa itu, maka lahirlah pula satu perusahaan yang bernama Wiraqah yaitu perusahaan yang bertugas untuk menyalin, mentashih, serta menjilid buku-buku, dan lain-lain perkara yang berhubung dengan buku. Dengan sebab itu banyak sekali toko Wiraqah dan ia merupakan sumber yang penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada masa itu, karena pemilik toko-toko ini menyalin buku-buku ilmu pengetahuan, kemudian mereka mentashihnya, setelah itu dijilid lalu dijual kepada pembeli. Dengan demikian buku-buku tersebut tersebar luas di seluruh daerah. Mereka yang ingin mempelajari sesuatu ilmu pengetahuan pula akan mengunjungi toko-toko ini untuk membaca dan mengkaji buku-buku yang terdapat disini.”

Ziauddin Sardar dan MW Davies dalam bukunya berjudul Distorted Imagination menggambarkan penerbitan buku di dunia Islam 10 abad silam, hampir setara dengan pencapaian peradaban Barat saat ini, baik secara kualitas maupun kuantitas. “Hampir 1000 tahun sebelum buku hadir di peradaban Barat, industri penerbitan buku telah berkembang pesat di dunia Islam,”paparnya. (lihat Republika, 9 September 2008).

Sardar menyatakan bahwa di dunia Islam kali pertama perpustakaan umum berdiri. Peradaban Islam pula yang menjadikan perpustakaan sebagai tempat untuk meminjam buku. Tak cuma sebatas itu, darul al ilm (perpustakaan) pun menjadi tempat pertemuan dan diskusi. Perpustakaan di era kejayaan Islam juga menjadi sarana pertukaran ilmu antara guru dan murid. Di Baghdad saja saat itu, terdapat sekitar 36 perpustakaan umum, sebelum kota metropolis intelektual itu dihancurkan oleh tentara Mongol.*

http://hidayatullah.com/opini/pemikiran/12000-peradaban-islam-peradaban-ilmu-dan-tulisan