Senin, 25 Oktober 2010

Tauhid, Hamka, dan Al Qur’an (Renungan untuk Syafii Maarif dan kita semua)


Tauhid, Hamka, dan Al Qur’an
(Renungan untuk Syafii Maarif dan kita semua)


Ada sebuah hadis yang sahih, dirawikan dari Abd bin Humaid dari ar Rabi’ bin Anas...bahwa seketika (suatu ketika) orang bertanya kepada Rasulullah, tentang siapa yang dimaksud dengan orang-orang yang sesat. Lalu Rasulullah menjawab:”Yang dimaksud dengan orang-orang yang dimurkai ialah Yahudi dan yang dimaksud orang-orang yang sesat ialah Nasrani.” (Hamka, Tafsir Al Azhar, Juzu’1:93)


Begitulah Buya Hamka menafsirkan surat al Fatihah ayat 7, yang berbunyi: “Jalan orang-orang yang Engkau kurniai nikmat atas mereka, bukan (jalan) orang-orang yang telah dimurkai atas mereka dan bukan jalan orang-orang sesat.”


Jadi, kalau kita ingin melihat pendapat Hamka tentang Kristen, Yahudi dan agama-agama lain selain Islam, alangkah adilnya bila kita melihat pendapat Hamka kepada ayat-ayat yang lain. Sebagaimana kalau kita ingin melihat tafsir Al Qur’an pada suatu kata, alangkah kelirunya bila kita main cuplik satu dua ayat, tapi tidak mau melihat ayat-ayat lainnya.



Sudah lama kalangan pluralis (Islam liberal) menjadikan surah Al Baqarah ayat 62 dan Al Maidah ayat 69 sebagai senjata mereka untuk membela bahwa agama-agama lain di luar Islam bukan jalan yang sesat. “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al Maidah : 69). Ayat hampir sama terdapat pula dalam surat Al Baqarah ayat 62.



Mereka beralasan, bahwa disitu hanya disebut kalimat “beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh”, sebagai syarat untuk masuk surga. Tidak disebut disitu kalimat “beriman kepada Nabi Muhammad” sebagai syarat untuk jalan keselamatan.



Cara penafsiran seperti ini sebenarnya sangat aneh, kalau tidak mau dikatakan ngawur. Karena ada beberapa ayat yang hanya menyebut beriman kepada Allah dan hari kemudian, tapi ada kaitannya dengan iman kepada Rasul. Dalam surat al Ahzab dinyatakan: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. 33:21). “Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada teladan yang baik bagimu; (yaitu) bagi orang yang mengharap (pahala) Allah dan (keselamatan pada) Hari kemudian. Dan barangsiapa yang berpaling, maka sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Maha Kaya lagi Maha terpuji.” (QS. 60:6).



Selain itu banyak ucapan Rasulullah saw. yang terkenal hanya menyebutkan iman kepada Allah dan hari Akhir. Misalnya: “Barangsiapa iman kepada Allah dan hari Akhir, maka hormatilah tamunya.” Ada pula: “Barangsiapa iman kepada Allah dan hari Akhir, maka hormatilah tetangganya.” Bagaimana Anda menafsirkan hadits seperti ini?





Selain itu ayat-ayat Al Qur’an untuk menyebut masalah keimanan –termasuk iman kepada Nabi Muhammad saw—kadang-kadang hanya menyebut iman saja, kemudian iman kepada Allah saja, iman kepada hari kiamat, iman kepada Rasul dan kadang menyebut lengkap rukun iman (selain iman kepada takdir yang disebut dalam hadits Rasulullah saw.). “Rasul telah beriman kepada al-Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul -Nya. (Mereka mengatakan):"Kami tidak membeda-bedakan antara seserangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya", dan mereka mengatakan:"Kami dengar dan kami ta'at". (Mereka berdoa):"Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali". (QS. Al Baqarah 285)



Terus bagaimana kaum pluralis memahami ayat di bawah ini. Yaitu dalam surat al Maidah disini hanya menyebut “Hai orang-orang yang beriman”, siapakah yang dimaksud di situ apakah orang Islam saja atau orang-orang non Islam juga? Firman Allah swt: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS. 5:51). Juga firman-Nya: “Hai orang-orang yang beriman jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS. 2:153). Ratusan ayat al Qur’an yang menyebut iman –yang maknanya Islam ini—dengan lafadz “aamanu” saja.





Agama Tauhid



Dalam Al Qur’an dan Hadits telah dijelaskan secara gamblang, bahwa seluruh agama Nabi dan Rasul adalah Islam. Maknanya tidak satu nabi pun beragama Nasrani, Yahudi, Majusi atau lainnya. Hadits Rasulullah saw : “Kami semua nabi-nabi, agama kami sama, aku orang yang paling dekat kepada putera Maryam, karena tidak ada satu pun nabi antara aku dan dia.” (HR Bukhari-Muslim). “Nabi-nabi adalah bersaudara, agama mereka satu, meskipun ibu-ibu mereka berlainan.” (Lebih lanjut lihat buku “Tren Pluralisme Agama” karya Dr. Anis Malik Thoha, GIP, 2005. Buku ini mendapat penghargaan sebagai karya ilmiah terbaik “Ismail al Faruqi Publications Award” dari IIUM, Kuala Lumpur).



Firman Allah swt: “Ketika Tuhan-nya berfirman kepadanya:"Tunduk patuhlah (Islam lah)!" Ibrahim menjawab:"Aku tunduk patuh (berislam) kepada Tuhan semesta alam.Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'kub. (Ibrahim berkata):"Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam. Adakah kamu hadir ketika Ya'kub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya:"Apa yang kamu sembah sepeninggalku". Mereka menjawab:"Kami akan menyembah Tuhan-mu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Isma'il, dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya menjadi Muslim (tunduk kepada-Nya)". (QS. 2:131-133).



Jadi jelas disitu, Islam adalah agama nabi Ibrahim. Juga Islam adalah agama nabi-nabi bani Israil lainnya. “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat didalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah (Muslim)...” (QS. Al Maidah 44).



“Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani Israil) berkatalah dia:"Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah" Para hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab:"Kamilah penolong-penolong (agama) Allah. Kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri (Muslim)”. (QS. Ali Imran 52).



Karena itu Syekh Ibn Arabi menyatakan: “Syariat-syariat semuanya adalah cahaya, dan syariat Muhammad saw. diantara cahaya-cahaya ini ibarat seperti cahaya matahari di antara cahaya bintang-bintang. Ketika matahari muncul reduplah cahaya-cahaya bintang-bintang tersebut dan terserap kedalam cahaya matahari. Maka sirnanya cahaya-cahaya tersebut ibarat dinaskhnya syariat-syariat dengan syariat Muhammad saw. dengan tetap eksisnya hakikat syariat-syariat tersebut, sebagaimana tetap eksisnya cahaya bintang-bintang. Oleh karena itu kita diwajibkan mengimani semua rasul. Dan semua syariat mereka adalah benar, dan tidak dinaskh karena batal atau salah sebagaimana yang diduga orang-orang bodoh. Maka semua jalan (syariat) mengacu pada jalan (syariat)nya Nabi saw. Seandainya para rasul hidup pada zamannya (Nabi Muhammad saw.) niscaya mereka akan mengikutinya sebagaimana syariat mereka mengikuti syariatnya.”



Walhasil, karena Yahudi dan Nashrani tidak mengakui kenabian Nabi Muhammad saw, maka batallah keimanan mereka. Tidak mungkin sama antara orang-orang yang mempercayai kenabian Nabi Muhammad dengan yang tidak mempercayai, bahkan melecehkannya. Allah Maha Pengampun sekaligus Maha Keras Siksaan-Nya. Lihatlah contoh di dunia ini, tidak semua orang tampan, tidak semua orang punya mata dan tidak semua orang kaya. Keadilan Allah tidak bisa kita ukur dengan akal semata di dunia ini. Keadilan Allah akan terbukti di akherat nanti. Wallahu aziizun hakiim.* (Dipetik dari buku ane, Imperialisme Baru).

Karya Klasik yang Perlu Dikaji Seksama


Judul : Islam dan Sekularisme
Penulis : Syed Muhammad Naquib Al-Attas
Penerbit : PIMPIN Bandung dan ATMA-UKM Bangi
Tahun: 2010 (Cetakan Pertama 1978)
Hal : 242 + xxx

Karya Klasik yang Perlu Dikaji Seksama


Suatu ketika di tahun 70-an di sebuah kampus Malaysia, terjadi dialog kecil antara dua orang profesor ahli sastra Melayu. Prof Syed Muhammad Naquib al Attas dan Prof Sutan Takdir Alisjahbana. Sutan Takdir, seorang pengagum Barat, menantang Alatas untuk membuktikan keberadaan Tuhan. “Saya beri waktu 20 detik, kalau Tuhan itu ada, cabut nyawaku,”kata Takdir. Alatas berdiam sejenak, kemudian menjawab: “Kalau Tuhan tunduk kepada kehedakmu, maka ia bukan Tuhan, ia budakmu. Tuhan berkehendak sendiri kapan Dia mau mencabut nyawamu dan kamu tidak akan bisa menolaknya.”

Sampai disitu, kisah dialog yang diceritakan kembali oleh Prof Wan Mohd Nor Wan Daud kepada hadirin saat peluncuran buku “Islam dan Sekularisme” karya Prof Naquib al Attas (penerjemah Dr Khalif Muammar), pada 7 Agustus 2010 lalu, di Aula Masjid Ukhuwah Islamiyah,Universitas Indonesia. Selain dikaji secara serius di UI Depok dengan beberapa intelekual Muslim, buku klasik itu juga didiskusikan di Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

Buku Islam and Secularism karya sang jenius ini –julukan yang diberikan Fazlur Rahman kepada Naquib Alatas—telah diterjemahkan para cendekiawan Muslim ke dalam bahasa mereka, seperti bahasa Indonesia, Persia, Turki, Bosnis, Urdu, Tamil, Kosovo dan Arab. Karya agung ini, menurut Guru Besar Institut Alam dan Tamadun Melayu-Universiti Kebangsaan Malaysia, Prof Wan Daud: “adalah sebuah karya agung kulli, sejagat atau universal, karena seluruh isi kandungannya membincangkan dan menganalisa perkara-perkara paling asas dalam kebudayaan Barat dan agama Islam. Pendekatannya sekaligus ilmiah dengan hujjah yang kukuh dan dalil yang mengagumkan. Pendekatannya juga bersifat amaliah bila merencanakan perubahan kurikulum dan penubuhan institusi pengajian tinggi sebagai wahana paling strategis untuk mengembalikan kekuatan dan kemajuan umat Islam sedunia. Malah, bagian lampiran yang meringkaskan tahap-tahap dan daya pengislaman Alam Melayu mempunyai kaidah pengkajian dan penilikan yang dapat digunakan untuk memahami hakikat yang sama di daerah-daerah lain. Ciri-ciri yang terdapat pada karya ini secara langsung dapat difahami golongan Islam berpendidikan di seluruh dunia.”

Pemikiran dalam bab kelima buku ini, yaitu tentang “Dewesternisasi Ilmu”, menurut Alatas telah banyak membantu terlaksananya Konferensi/Persidangan Dunia Pertama tentang Pendidikan Islam yang diselenggarakan di kota Makkah pada tahun 1977. “Substansi Bab V buku ini diterbitkan dalam bahasa Inggris dan bahasa Arab dan dibacakan sebagai seuah ucapan dasar (Keynote Adress) dalam sesi umum. Pada tahun 1980, penjelasan terhadap beberapa paragraf dari bab tersebut yang berkaitan dengan konsep Pendidikan dalam Islam dibentangkan dan dibacakan dalam Persidangan Dunia Kedua tentang Pendidikan Islam yang diselenggarakan di kota Islamabad pada awal tahun yang sama,”jelas Prof Alatas dalam pengantarnya (hal. xxiv).

Dalam pembahasan tentang ‘penafibaratan’ ilmu ini ahli pemikiran Islam dan Barat ini, memulainya engan perkataan : “Telah banyak tantangan yang muncul di tengah-tengah kekeliruan manusia sepanjang sejarah, tetapi barangkali tidak ada yang lebih serius dan lebih merusak terhadap manusia daripada tantangan yang dibawa oleh peradaban Barat hari ini. Saya berani mengatakan bahwa tantangan terbesar yang muncul secara diam-diam di zaman kita adalah tantangan ilmu, sesungguhnya bukan sebagai lawan kejahilan, tetapi ilmu yang difahami dan disebarkan ke seluruh dunia oleh peradaban Barat; hakikat ilmu telah menjadi bermasalah karena ia telah kehilangan tujuan hakikinya akibat dari pemahaman yang tidak adil. Ilmu yang seharusnya menciptakan keadilan dan perdamaian, justru membawa kekacauan dalam kehidupan manusia; ilmu yang terkesan nyata, namun justru menghasilkan kekeliruan dan skeptisisme, yang mengangkat keraguan dan dugaan ke derajat ‘ilmiah’ dalam hal metdologi serta menganggap keraguan (doubt) sebagai sarana epistemologis yang paling tepat untuk mencapai kebenaran.”

Maka, bila Samuel Huntington pada awal tahun 1990-an menggemparkan dunia dengan teori the Clash of Civilizations, maka Naquib al-Attas lebih awal lagi tahun 70-an, telah menguraikan gagasan yang lebih mendalam, lebih intelektual dan spiritual dengan menyebutnya sebagai : “the perpetual clash of worldviews between Islam and the West.”

Selain mengungkap tentang pandangan alam Islam vs Barat, kesalahan-kesalahan mendasar tentang ilmu di Barat dan keunggulan ilmu dalam pandangan Islam, Prof Alatas juga mengupas secara tajam hal-hal penting yang perlu diketahui para kaum terpelajar dalam usaha membangkitkan umat ini. Dengan rujukan-rujukan klasik baik dari Barat dan Islam, ia mengupas jernih satu persatu topik tentang Latar Belakang Kristen Barat Masa Kini, Sekular-Sekularisasi-Sekularisme dan Islam Faham Agama dan Asas Akhlak.* (Nuim Hidayat, Lihat Islamia Republika, 21 Oktober 2010)