Suatu Hari Ramadhan di Pesantren Husnayain Sukabumi
Raja Ali Haji, A Teeuw dan Gorrys Keraf
Oleh: Nuim Hidayat (Pengajar Pesantren Husnayain)
Seperti biasa tiap Senin pagi saya bersama beberapa Ustadz mengajar ke Pesantren Husnayain Sukabumi, Saya di pesantren itu diamanahi mengajar bahasa Indonesia untuk murid-murid SMA. Tapi kadangkala juga disuruh mengajar Tauhid, Sejarah dan lain-lain, seperti pada semester-semester lalu. Murid di pesantren itu tidak begitu banyak. Rata-rata santrinya sekelas kurang dari 20 orang. Bila pelajaran, mereka laki-laki dan perempuan kumpul dalam kelas. Laki-laki di depan, perempuan di belakang.
Dulu pernah ada niat untuk memisahkan laki-laki dan perempuan -atau baniin dan banaat, istilah popular di pesantren itu—tapi karena gurunya kurang, kini dicampur lagi.
Meski dicampur interaksi baniin dan banaat dijaga ketat. Bila ketahuan mereka pacaran –misalnya berduaan di tempat sepia tau berboncengan motor- pesantren tak segan-segan akan mengeluarkannya. Meski total jumlah santri tidak begitu banyak, tapi saya melihat semangat dalam diri mereka menyala dalam belajar. Mereka tiap hari latihan bicara bahasa Arab atau Inggris. Kosa kata ‘bahasa asing’ hampir tiap hari diberikan untuk dihafalkan. Untuk semakin memperlancar bahasa lain, mereka sering mengadakan latihan pidato dalam bahasa Arab/Inggris. Latihan ini diikuti oleh semua santri dan masing-masing mereka gantian ke depan mempersembahkan pidato terbaiknya. Saya pernah mengikuti acara ini –pada malam hari—serunya bukan main. Saya melihat hampir tidak ada yang malu atau grogi dalam latihan pidato itu. Mereka bertepuk tangan atau tertawa riang bila kawannya yang ngomong berbahasa asing itu salah ucap atau bingung memperpanjang ceramahnya.
Raja Ali Haji, A Teeuw dan Gorrys Keraf
Oleh: Nuim Hidayat (Pengajar Pesantren Husnayain)
Seperti biasa tiap Senin pagi saya bersama beberapa Ustadz mengajar ke Pesantren Husnayain Sukabumi, Saya di pesantren itu diamanahi mengajar bahasa Indonesia untuk murid-murid SMA. Tapi kadangkala juga disuruh mengajar Tauhid, Sejarah dan lain-lain, seperti pada semester-semester lalu. Murid di pesantren itu tidak begitu banyak. Rata-rata santrinya sekelas kurang dari 20 orang. Bila pelajaran, mereka laki-laki dan perempuan kumpul dalam kelas. Laki-laki di depan, perempuan di belakang.
Dulu pernah ada niat untuk memisahkan laki-laki dan perempuan -atau baniin dan banaat, istilah popular di pesantren itu—tapi karena gurunya kurang, kini dicampur lagi.
Meski dicampur interaksi baniin dan banaat dijaga ketat. Bila ketahuan mereka pacaran –misalnya berduaan di tempat sepia tau berboncengan motor- pesantren tak segan-segan akan mengeluarkannya. Meski total jumlah santri tidak begitu banyak, tapi saya melihat semangat dalam diri mereka menyala dalam belajar. Mereka tiap hari latihan bicara bahasa Arab atau Inggris. Kosa kata ‘bahasa asing’ hampir tiap hari diberikan untuk dihafalkan. Untuk semakin memperlancar bahasa lain, mereka sering mengadakan latihan pidato dalam bahasa Arab/Inggris. Latihan ini diikuti oleh semua santri dan masing-masing mereka gantian ke depan mempersembahkan pidato terbaiknya. Saya pernah mengikuti acara ini –pada malam hari—serunya bukan main. Saya melihat hampir tidak ada yang malu atau grogi dalam latihan pidato itu. Mereka bertepuk tangan atau tertawa riang bila kawannya yang ngomong berbahasa asing itu salah ucap atau bingung memperpanjang ceramahnya.