Senin, 13 Juli 2009

Belajarlah, Agar Beradab!


Belajarlah, Agar Beradab!

Dr Adian Husaini
Peneliti INSISTS

Nuim Hidayat MSi
Peneliti INSISTS

Pendiri Nahdlatul Ula ma (NU), KH M Hasyim Asy’ari, menulis sebuah buku penting bagi dunia pendidikan. Judulnya, Aadabul ‘Aalim wal Muta’allim Terjemahan har fiahnya: Adab Guru dan Murid. Buku ini membahas tentang konsep adab. Kyai Hasyim Asy’ari membuka kitabnya dengan mengutip ha dits Rasulullah saw: “ Haqqul waladi ‘alaa waalidihi an-yuhsina ismahu, wa yuhsina murdhi’ahu, wa yuhsina adabahu.” (Hak se orang anak atas orang tuanya adalah men da patkan nama yang baik, pengasuhan yang baik, dan adab yang baik).


Jadi, mendidik anak agar menjadi orang beradab, seja tinya adalah tugas orang tua. Sebagai institusi pendidikan, sekolah mengambil alih sebagian tugas itu, menggantikan amanah yang dibebankan ke pada orang tua. Tujuannya te tap sama: jadikanlah anak beradab! Adab memang sangatlah penting kedudukannya dalam ajaran Islam. Imam Syafii, imam mazhab yang banyak menjadi panutan kaum Muslim di Indonesia, pernah ditanya, bagaimana upayanya dalam me raih adab? Sang Imam menjawab, bahwa ia selalu mengejar adab laksana seorang ibu yang mencari anak satu-satunya yang hilang.”

Demikianlah sebagian penjelasan KH Hasyim Asy’ari tentang makna adab. Menyimak paparannya, maka tidak bisa tidak, kata adab memang merupakan istilah yang khas maknanya dalam Islam. Bahkan, menurutnya, salah satu indikator amal ibadah seseorang diterima atau tidak di sisi Allah SWT adalah tergantung pada sejauh mana aspek adab disertakan dalam setiap amal perbuatan yang dilakukannya.

Lalu, apa sebenarnya kon sep adab? Uraian yang lebih rinci tentang konsep adab dalam Islam disampaikan oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, pakar filsafat dan sejarah Melayu. Menurut Prof. Naquib al-Attas, adab adalah “pengenalan serta pengakuan akan hak keadaan sesuatu dan kedudukan seseorang, dalam rencana susunan berperingkat martabat dan darjat, yang merupakan suatu hakikat yang berlaku dalam tabiat semesta.” Pengenalan adalah ilmu; pengakuan adalah amal. Maka, pengenalan tanpa pengakuan seperti ilmu tanpa amal; dan pengakuan tanpa pengenalan seperti amal tanpa ilmu. “Keduanya sia-sia kerana yang satu mensifatkan keingkaran dan keangkuhan, dan yang satu lagi mensifatkan ketiada sedaran dan kejahilan,” demikian Prof. Naquib al-Attas. (SM Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum Mus limin, (ISTAC, 2001).

Begitu pentingnya masalah adab ini, maka bisa dikatakan, jatuh-bangunnya umat Islam, tergantung sejauh mana me reka dapat memahami dan menerapkan konsep adab ini dalam kehidupan mereka. Ma nusia yang beradab terhadap orang lain akan paham bagai mana mengenali dan mengakui seseorang sesuai harkat dan martabatnya. Martabat ulama yang shalih beda dengan mar tabat orang fasik yang durha ka kepada Allah. Jika dikata kan menyebutkan, manusia yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling taqwa, ma ka seorang yang beradab tidak akan lebih menghormat kepa da penguasa yang zalim ketimbang guru ngaji di kampung yang shalih. Itu adab kepada manusia.

Adab terkait dengan iman dan ibadah dalam Islam. Adab bukan sekedar “sopan santun”. Jika dimaknai sopan santun, bisa-bisa ada orang yang menuduh Nabi Ibrahim a.s. sebagai orang yang tidak beradab, karena berani menyatakan kepada ayahnya, “Se sungguhnya aku melihatmu dan kaummu berada dalam kesesatan yang nyata.” (QS 6:74). Bisa jadi, jika hanya ber dasarkan sopan santun, tindakan mencegah kemunkaran (nahyu ‘anil munkar) akan dikatakan sebagai tindakan tidak beradab. Padahal, dalam Is lam, adab terkait dengan iman dan ibadah kepada Allah. Ukuran seorang beradab atau tidak ditentukan ber dasarkan ukuran sopansan tun menurut manusia. Seorang yang berjilbab di kolam renang bisa dikatakan ber perilaku tidak sopan, karena semua perenangnya berbikini.

Adab di Tamadun Melayu

Ulama besar dan sastrawan dari Riau, Raja Ali Haji pun telah menyinggung tentang pentingnya akal dan adab. Ia menyatakan kelebihan seorang manusia adalah pada akal dan adab dan bukan pada janis bangsa dan asal. Maka, dalam kitabnya, Bustan al Katibin, yang ditulisnya tahun 1850, ia menyatakan: “Jikalau beberapa pun bangsa jika tiada ilmu dan akal dan adab, ke bawah juga jatuhnya, yakni kehinaan juga diperolehnya.”

Maka agar seseorang, masyarakat atau bangsa itu menjadi mulia, Ali Haji menasehatkan agar individu-individu itu memahami agama. Sebagaimana hadits Rasulullah saw yang terkenal: “Barang siapa dikehendaki Allah kebaikan, maka ia diberi pemahaman kepada ilmu agama (ad diin).”

Pembinaan individu yang ber-adab ini juga menjadi perhatian yang serius ulama-ulama Melayu abad 18. Seperti Syekh Abdus Shamad al Palimbani dan Syekh Daud Abdullah Fathani. Syekh Palimbani misalnya menulis Hidayah as Salikin. Kitab ini disusun diantaranya merujuk pada karya-karya Imam al Ghazali Minhajul Abidin, Ihya’ Ulumud Din dan dan al-Ar bain fi Ushul ad Din. Sedangkan karya Syeikh Daud bin Abdul lah al Fathani di antara nya adalah menerjemahkan kitab al Ghazali Bidayah al Hidayah. (Dikutip dari maka lah pakar sejarah Melayu, Wan Mohd Shaghir Abdullah, “Se ja rah Tasawuf dan Perkembangannya di Nusantara”, 2006).

Syekh Wan Ahmad al Fathani dari Pattani (1856-1908), dalam kitabnya Hadiqatul Azhar war Rayahin (Terj. Oleh Wan Shaghir), berpesan agar seseorang mempunyai adab, maka ia harus selalu dekat dengan majelis ilmu. Ia menyatakan : “Jadi kan olehmu akan yang sekedudukan engkau itu (majelis) perhimpunan ilmu yang engkau muthalaah akan dia. Su pa ya mengambil guna eng kau daripada segala adab dan hikmah.”

Menjabarkan konsep adab Prof. SM Naquib al-Attas, Prof. Wan Mohd. Nor Wan Daud, guru besar Institut Alam dan Tamadun Melayu-Universiti Kebangsaan Malaysia, mencatat, bahwa sedikitnya terdapat 18 entri mengenai ta’dib, addaba dan adab yang bisa dijumpai dalam lebih dari satu buku koleksi hadits. Lihat AJ Wensinck dan JP Mensing, Boncordance Indices de la Tradition Musulmane, 7 jil. (Leiden :EJ Brill, 1943), I :26 ; Nasrat Abdel Rahman, The Semantic of Adab in Arabic, al Syajarah jil.2, No. 2, 1997, hh. 189-207. Dalam artikel ini Prof. Abdel Rahman mengana lisis pelbagai arti perkataan adab dan perkataan yang dide rivasi darinya, khususnya per kataan ta’dib, dari 50 penga rang (penulis) buku berbahasa Arab dan analisis tersebut secara umum menguatkan pemahaman al Attas.”

Perkataan adab, menurut al Attas, memiliki arti yang sangat luas dan mendalam, sebab pada awalnya perkataan adab berarti undangan ke sebuah jamuan makan,yang di dalamnya sudah terkandung ide mengenai hubungan social yang baik dan mulia. Namun adab kemudian digunakan dalam konteks yang terbatas, seperti untuk sesuatu yang merujuk pada kajian kesusastraan dan etika profesional dan kemasyarakatan. Menurut Wan Daud, filosof terkenal, Al Farabi juga mendefinisikan ta’dib sebagai aktivitas yang memproduksi suatu karakter yang bersumber dari sikap moral. Maka, sebenarnya, makna kedua istilah, ta’lim dan tarbiyah telah tercakup di dalam istilah ta’dib. Ibnul Mubarak menyatakan: “Kita lebih memerlukan adab daripada ilmu yang banyak.”

Jika adab hilang pada diri seseorang, maka akan mengakibatkan kezaliman, kebodohan dan menuruti hawa nafsu yang merusak. Karena itu, adab mesti ditanamkan pada selu ruh manusia dalam berbagai lapisan, pada murid, guru, pe mimpin rumah tangga, pemimpin bisnis, pemimpin masya rakat dan lainnya. Bagi orang-orang yang memegang institusi, bila tidak terdapat adab, maka akan terjadi kerusakan yang lebih parah. Kata Prof Wan Mohd. Nor: “Gejala penyalahgunaan kuasa, penipu an, pelbagai jenis rasuah, politik uang, pemu baziran, kehilangan keberanian dan keadilan, sikap malas dan ‘sam bil lewa’, kegagalan pemimpin rumah tangga dan sebagainya mencerminkan masalah pokok ini.”

Sikap boros dalam menggunakan kekayaan negara adalah sifat yang buruk bagi pemimpin dan dapat berakibat pada pencopotan dari jabatannya. Da lam teks Hikayat Aceh menurut Prof. Wan Mohd Nor (2007), terdapat dua kasus, dimana Sultan Seri Alam yang sangat boros dan Sultan Zainal Abidin yang zalim dimakzulkan dari kursi pemerintahan.

Adab terhadap ilmu

Jadi, menurut Prof. Wan Mohd. Nor, jika adab hilang pada diri seseorang, maka akan mengakibatkan kezalim an, kebodohan dan menuruti hawa nafsu yang merusak. Ma nusia dikatakan zalim, jika - misalnya - meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Maka, dengan pemahaman seperti itu, seorang Muslim yang ber adab pasti lebih mencintai dan meng idolakan Nabi Muham mad saw ketimbang manusia manapun.

Manusia Muslim yang beradab juga akan menghormati sahabat-sahabat nabi dan keluarganya. Begitu juga seorang muslim yang beradab akan lebih menghormati ulama pewaris nabi, ketimbang penguasa yang zalim.

Salah satu adab penting yang harus dimiliki se orang Muslim adalah adab terhadap ilmu. Saeorang yang ber adab, menurut SM Naquib al-Attas, seorang ber adab haruslah mengenal dera jat ilmu, mana ilmu yang wajib ‘ain (wa jib dimiliki oleh setiap muslim) dan mana yang wajib kifayah (wa jib dimiliki sebagian Muslim).

Islam memandang kedudukan ilmu sangatlah penting, sebagai jalan mengenal Allah dan beribadah ke pada-Nya. Ilmu juga satu-satunya jalan meraih adab. Orang yang berilmu (ulama) adalah pewaris nabi. Karena itu, dalam Bidayatul Hidayah, Imam Al-Ghazali mengingat kan, orang yang mecari ilmu dengan niat yang salah, untuk mencari keuntungan duniawi dan pujian manusia, sama saja dengan menghancurkan agama. Dalam kitabnya, Adabul ‘Alim wal-Muta’allim, KH Hasyim Asy’ari juga mengutip hadits Rasulullah saw: “Barangsiapa mencari ilmu bukan karena Allah atau ia mengharapkan selain keridhaan Allah Ta’ala, maka bersiaplah dia mendapatkan tempat di neraka.”

Ibnul Qayyim al-Jauziyah, murid terkemuka Syaikhul Islam Ibn Taimiyah, juga menulis sebuah buku berjudul Al-Ilmu. Beliau mengutip ungkapan Abu Darda’ ra yang menyatakan: “Barang siapa berpendapat bahwa pergi menuntut ilmu bukan merupakan jihad, sesungguhnya ia kurang akalnya.”

Abu Hatim bin Hibban juga meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah ra, yang pernah mendengar Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa masuk ke masjid ku ini untuk belajar kebaikan atau untuk mengajarkannya, maka ia laksana orang yang berjihad di jalan Allah.”

Karena begitu mulianya kedudukan ilmu dalam Islam, maka seorang yang beradab tidak akan menyia-nyiakan umurnya untuk menjauhi ilmu, atau mengejar ilmu yang tidak bermanfaat, atau salah niat dalam meraih ilmu. Sebab, akibatnya sangat fatal. Ia tidak akan pernah mengenal Allah, tidak akan pernah meraih kebahagiaan sejati. Sebab, dengan mengenal dan berzikir kepada Allah, maka hati akan menjadi tenang.

Maka, belajarlah ilmu yang benar! Belajarlah dengan niat yang benar! Jadilah manusia yang adil dan beradab! Ingatlah, nasihat Luqmanul Hakim kepada anaknya: ”Wa hai anak ku, janganlah kamu menserikatkan Allah, sesungguhnya syirik adalah kezaliman yang besar.” (QS 31:13).(-)

Kamis, 09 Juli 2009 pukul 01:57:00, http://republika.co.id/koran/155/61060/Belajarlah_Agar_Berasab

Jumat, 03 Juli 2009

Nasehat Natsir, Al Fatih dan Sayyidina Ali



Nasehat Natsir, Al Fatih dan Sayyidina Ali

Nuim Hidayat
Peneliti INSISTS

Mohammad Natsir lahir di Minangkabau, Sumatera Barat, 17 Juli 1908. Wafat di Jakarta 6 Februari 1993. Ia dididik Islam sejak kecil oleh orang tua dan lingkungannya. Pendidikan formal di HIS Solok, MULO (1923-1927) dan AMS di Bandung (1930). Ia antara lain berguru kepada KH A Hassan, KH Agus Salim dan Syekh Ahmad Syurkati.

Natsir beberapa periode pernah menjadi Menteri Penerangan dan Perdana Menteri. Natsir memegang sebagai Ketua Pimpinan Pusat Masyumi pada 1949, 1951, 1952, 1954 dan 1956. Setelah Masyumi dibubarkan, Buya Natsir dengan kawankawannya -tokoh-tokoh Islam Masyumimendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia pada 1967.

Ketika berkiprah di Dewan Dakwah, Natsir melakukan pendidikan dai secara nasional dan sistematis, mendirikan perguruan tinggiperguruan tinggi Islam di luar IAIN, memelopori pendirian pesantren-pesantren di sekitar kampus-kampus umum, mengirimkan dai-dai sekolah ke Timur Tengah dan lain-lain.

Ketokohan Natsir bukan hanya pada tulisan-tulisannya yang bernas dan mence rahkan, tapi juga sejarah hidup dan perjuangan dakwahnya yang mencengangkan. Mulai remaja, dewasa sampai dengan tuanya, kehidupan Natsir penuh dengan keteladanan. Sehingga Mr. Mohammad Roem menyatakan bahwa kalaulah Natsir itu bukan orang yang paling pandai, ia adalah seorang yang terpandai di Indonesia.

Dalam dialognya dengan Amien Rais, Kuntowijoyo dkk pada 1986-1987, Natsir mengkhawatirkan adanya penyakit bangsa Indonesia, termasuk umat Islamnya, yaitu cinta berlebihan kepada dunia. Kata Natsir: “Umat Islam dihinggapi penyakit wahn, yakni dunia yang berlebihan dan takut mengambil risiko. Keadaan semacam ini pernah terjadi dalam sejarah, pada waktu itu para prajurit yang ikut berperang karena tergiur pada harta rampasan perang, lalu karena kelengahan dan kepongahan ini mereka dengan mudah dikalahkan musuh. Hal ini terjadi pada saat Islam mengembangkan sayapnya di daratan Eropa.

Di negara kita penyakit cinta dunia yang berlebihan itu merupakan gejala yang “baru”, tidak kita jumpai pada masa revolusi, dan bahkan pada masa Orde Lama (kecuali pada sebagian elite masyarakat). Tetapi gejala yang “baru” ini, akhir-akhir ini terasa pesat “perkembangannya”, sehingga seperti sudah menjadi wabah dalam masyarakat. Jika gejala ini dibiarkan berkembang terus, maka bukan saja umat Islam akan dapat mengalami kejadian yang menimpa Islam di Spanyol, tetapi bagi bangsa kita umumnya akan menghadapi persoalan sosial yang cukup serius.

Penyakit cinta dunia ini, dengan demikian, memang bukan semata-mata permasalahan dakwah, yang harus dihadapi para mubaligh dan dai, tetapi sudah merupakan permasalahan nasional. Dalam konteks yang terakhir ini masalahnya menjadi lebih sulit ( complicated) karena bukan saja merupakan masalah ekonomi, tetapi masalah sosial, budaya, dan bahkan politik. Untuk ini terpulanglah kepada para pengambil keputusan untuk mengatasinya.”

Nasehat Natsir ini selaras dengan nasehat Mohammad al Fatih, pemimpin besar Islam yang menaklukkan Konstantinopel menjelang wafatnya:

“Tak lama lagi aku akan menghadap Allah SWT. Namun aku sama sekali tidak merasa menyesal, sebab aku meninggalkan pengganti seperti kamu. Maka jadilah engkau seorang yang adil, saleh dan pengasih.

Rentangkan perlindunganmu terhadap seluruh rakyatmu tanpa perbedaan. Bekerjalah kamu untuk menyebarkan agama Islam sebab ini merupakan kewajiban raja-raja di bumi.

Kedepankan kepentingan agama atas kepentingan lain apapun. Janganlah kamu lemah dan lengah dalam menegakkan agama. Janganlah kamu sekali-kali memakai orang-orang yang tidak peduli agama menjadi pembantumu. Jangan pula kamu mengangkat orang-orang yang tidak menjauhi dosa-dosa besar dan larut dalam kekejian...

Oleh sebab ulama itu laksana kekuatan yang harus ada di dalam raga negeri, maka hormatilah mereka. Jika kamu mendengar ada seorang ulama di negeri lain, ajaklah dia agar datang ke negeri ini dan berilah dia harta kekayaan. Hati-hatilah jangan sampai kamu tertipu dengan harta benda dan jangan pula dengan banyaknya tentara. Jangan sekali-kali kamu mengusir ulama dari pintupintu istanamu. Janganlah kamu sekali-kali melakukan satu hal yang bertentangan dengan hukum Islam. Sebab agama merupakan tujuan kita, hidayah Allah adalah manhaj (pedoman) hidup kita dan dengan agama kita menang.

Ambillah pelajaran ini dariku. Aku datang ke negeri ini laksana semut kecil, lalu Allah karuniakan kepadaku nikmat yang demikian besar ini. Maka berjalanlah seperti apa yang aku lakukan. Bekerjalah kamu untuk meninggikan agama Allah dan hormatilah ahlinya. Janganlah kamu menghambur-hamburkan harta negara dalam foya-foya dan senang-senang atau kamu pergunakan lebih dari yang sewajarnya. Sebab itu semua merupakan penyebab utama kehancuran.”

Patut juga para pemimpin negeri ini mengambil ibrah dari surat-surat Sayyidina Ali r.a. yang sangat berharga. Nasehat khalifah keempat ini adalah surat-surat yang dikirimkannya kepada gubernur Mesir Malik bin Harits al Asytar, pada tahun 655M. Nasihat ini berisi prinsip-prinsip dasar tentang pengelolaan atau manajemen sebuah pemerintahan, organisasi dan lain-lain.

Menurut Profesor A Korkut Özal dari Turki, pada perkembangan selanjutnya ternyata surat ini memberi banyak inspirasi bahkan menjadi bahan acuan bagi banyak pemimpin, melintasi ruang dan waktu. Tercatat ia mampu melintasi Eropa di masa Renaissance bahkan Edward Powcock (1604-1691), profesor di Universitas Oxford, menerjemahkan surat ini ke dalam bahasa Inggris untuk pertama kalinya dan pada 1639 disebarkan melalui serial kuliahnya yang disebut Rhetoric. Diantara nasehatnya adalah: “Ketahuilah wahai Malik bahwa aku telah mengangkatmu menjadi seorang Gubernur dari sebuah negeri yang dalam sejarahnya berpengalaman dengan pemerintahan-pemerintahan yang benar maupun tidak benar.

Sesungguhnya orang-orang akan melihat segala urusanmu, sebagaimana engkau dahulu melihat urusan para pemimpin sebelummu. Rakyat akan mengawasimu dengan matanya yang tajam, sebagaimana kamu menyoroti pemerintahan sebelumnya juga dengan pandangan yang tajam. Mereka akan bicara tentangmu, sebagaimana kau bicara tentang mereka.

Sesungguhnya rakyat akan berkata yang baik-baik tentang mereka yang berbuat baik pada mereka. Mereka akan (dapat) ‘menggelapkan’ semua bukti dari tindakan baikmu. Karenanya, harta karun terbesar akan kau peroleh jika kau dapat menghimpun harta karun dari perbuatan-perbuatan baikmu. Jagalah keinginan agar selalu di bawah kendali dan jauhkan dirimu dari halhal yang terlarang. Mereka adalah makhlukmakhluk yang lemah, bahkan sering melakukan kesalahan. Bagaimanapun berikanlah ampun dan maafmu sebagaimana engkau menginginkan ampunan dan maaf dari-Nya. Sesungguhnya engkau berada di atas mereka dan urusan mereka ada di pundakmu.

Sedangkan Allah berada di atas orang yang mengangkatmu. Allah telah menyerahkan urusan mereka kepadamu dan menguji dirimu dengan urusan mereka. Jangan katakan:”Aku ini telah diangkat menjadi pemimpin, maka aku bisa memerintahkan dan harus ditaati”, karena hal itu akan merusak hatimu sendiri, melemahkan keyakinanmu pada agama dan menciptakan kekacauan dalam negerimu.

Bila kau merasa bahagia dengan kekuasaan atau malah merasakan semacam gejala rasa bangga dan ketakaburan, maka pandanglah kekuasaan dan keagungan pemerintahan Allah atas semesta, yang kamu sama sekali tak mampu kuasai. Hal itu akan meredakan ambisimu, mengekang kesewenang-wenangan dan mengembalikan pemikiranmu yang terlalu jauh.*

Kamis, 11 Juni 2009 pukul 01:06:00
http://republika.co.id/koran/155/55731/Nasehat_Natsir_Al_Fatih_dan_Sayyidina_Ali