Minggu, 13 Desember 2009

Prof. Dr. HM Rasjidi: Melihat Apa yang Tidak Dilihat Orang Lain


Prof. Dr. HM Rasjidi:
Melihat Apa yang Tidak Dilihat Orang Lain

Oleh:
Nuim Hidayat


“Sebenarnya banyak orang yang kecewa, seperti yang saya dengar sendiri langsung dari kalangan IAIN, mengapa ia, dengan latar belakang pendidikan seperti itu, hanya puas dengan menerjemahkan buku, padahal pekerjaan itu dapat dilakukan oleh orang lain dengan mutu yang sama profesionalnya? Betapapun dinilai banyak kelemahannya, Harun Nasution telah mengarang paling tidak enam buku yang berharga untuk dibaca, yang memberikan interpretasinya sendiri tentang filsafat, agama dan Islam. Demikian pula Nurcholish Madjid telah menyeleksi bahan-bahan dari Khasanah Intelektual Islam dengan uraian penilaian yang kritis dan baru, baik dalam cara maupun isinya.”



Demikian kritik Prof. Dawam Rahardjo pada Rasjidi pada buku 70 Tahun Prof Dr HM Rasjidi. Meski Dawam kemudian meneruskan tulisannya bahwa Chairil Anwar pun juga menerjemahkan karya-karya puisi asing, di samping mencipta puisi sendiri, tapi di kalimat itu jelas terlihat bahwa Dawam berniyat meninggikan Harun Nasution dan Nurcholish Madjid serta ‘merendahkan’ Rasjidi. Karya Nurcholish memang kaya referensi, tapi mempunyai ia mempunyai kesalahan fundamental dalam bidang aqidah. Karyanya ibarat gedung yang mengagumkan banyak orang karena interiornya yang bagus, tapi pondasinya retak dan rapuh, sehingga sewaktu-waktu bangunan itu runtuh. Dan hanya para ahli bangunan yang berpengalamanlah yang dapat melihat kerapuhan gedung itu.



Mungkin di sinilah peranan Prof Rasjidi sebagai ‘ahli bangunan’ yang telah berpengalaman internasional dalam mendidik mahasiswa dan manusia-manusia Islam. Pengalaman intelektual Rasjidi di Al Azhar Mesir, McGill Kanada, Sorbonne Perancis, Yogyakarta, Jakarta dan lain-lain menjadikan dirinya saat itu melawan dan menulis kritikan keras kepada pemikiran-pemikiran Harun Nasution dan Nurcholish Madjid. Rasjidi tahu bahaya pemikiran keduanya. Dan memang seorang ‘alim’ (ulama/intelektual Islam) seringkali mengetahui, melihat apa yang tidak dilihat oleh orang ‘jahil’.



Rasjidi menulis buku Koreksi terhadap Drs. Nurcholish Madjid tentang Sekulerisme dan buku Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Tentang buku Harun Nasution, Rasjidi menyatakan: “Saya menjelaskan kritik saya fasal demi fasal dan menunjukkan bahwa gambaran Dr. Harun tentang Islam itu sangat berbahaya, dan saya mengharapkan agar Kementrian Agama mengambil tindakan terhadap buku tersebut, yang oleh Kementrian Agama dan Direktorat Perguruan Tinggi dijadikan buku wajib di seluruh IAIN di Indonesia.”



Kini timbul pertanyaan siapa Rasjidi? Rasjidi, yang nama kecilnya Saridi, lahir di Kotagede Yogyakarta pada Kamis 20 Mei 1915 atau 4 Rajab 1333 H. Ia anak kedua dari Bapak Atmosugido. Ia menempuh sekolah dasar di Muhammadiyah Yogyakarta. Rasjidi kemudian melanjutkan sekolah menengahnya di perguruan Al Irsyad al Islamiyah, Malang, dibawah pimpinan Syekh Ahmad Surkati. Semangat mencari ilmunya makin tinggi, karena yang mengajar di situ bukan hanya guru-guru dari Indonesia, tapi juga dari Mesir, Sudan dan Mekkah.



Syekh Ahmad Surkati pendiri al Irsyad al Islamiyah, mendidik langsung Rasjidi dengan seksama. Menurut Surkati, Rasjidi adalah anak yang tekun dan cerdas, sehingga dicintai guru-gurunya. Kepandaian Rasjidi dalam bahasa Arab –mampu menghafal Alfiyah Ibnu Malik dalam usia 15 tahun —menjadikannya diangkat sebagai asisten pelajaran gramatika bahasa Arab. Dalam usia remaja itu, Rasjidi juga hafal buku Logika Aristoteles yang berjudul “Matan as Sullam.”



Perkenalannya dengan banyak guru-guru Timur Tengah itu, menjadikan Rasjidi bersemangat untuk melanjutkan studinya di Mesir. Ketika di Mesir, selain mempelajari ilmu-ilmu agama, di Sekolah Persiapan Darul Ulum (setingkat Sekolah Menengah) juga ia diajar aljabar, ilmu bumi, sejarah dan lain-lain. Sehingga kemudian Rasjidi menguasai bahasa Perancis, Inggris, Arab dan Belanda tentunya. Ia pun menjadi seorang hafizh, hafal al Qur’an 30 juz. Penulis Soebagijo IN menceritakan : “Dengan diantar oleh Syekh Thantawy Djauhary pengarang Tafsir al Jawahir yang masyhur serta sahabat karib Sjekh Ahmad Surkati, dia mendaftarkan ke Sekolah Persiapan untuk memasuki Sekolah Guru Tinggi bahasa Arab yang bernama Darul Ulum (kelas III)...Rasjidi diuji untuk masuk kelas V. Di kelas itu dia belajar 8 bulan lamanya, dan akhirnya berhasil meraih diploma Sekolah Menengah Umum dengan agama dan hafal al Qur’an secara lengkap, yakni 30 juz Al Qur’an, di samping mendapatkan sertifikat untuk mata pelajaran bahasa Inggeris dan Prancis. Karena di sana berlaku sistem Prancis, maka di Mesir diploma Sekolah Menengah Lanjutan disebut surat ijazah Baccalaureat. Dengan ijazah Baccalaureat itu, Rasjidi berhak meneruskan ke perguruan tinggi.”



Ia kemudian melanjutkan ke Universitas al Azhar, Kairo. Di sana ia mengambil jurusan Filsafat dan Agama. Setelah empat tahun belajar di situ, ia mendapat gelar Licence. Di kelas itu mahasiswanya hanya tujuh orang. Ia menempati rangking satu mengalahkan mahasiswa dari Mesir, Albania dan Sudan.



Setelah kembali ke tanah air beberapa tahun, Rasjidi melanjutkan kuliahnya di Fakultas Sastra, Universitas Sorbonne, Paris. Pada hari Jumat, 23 Maret 1956, Rasjidi akhirnya meraih gelar doktor di universitas terkemuka itu dengan disertasi berjudul l'Evolution de l'Islam en Indonesie ou Consideration Critique du Livre Centini (Evolusi Islam di Indonesia atau Tinjauan Kritik terhadap Kitab Centini).



Rasjidi adalah Menteri Agama RI pertama. Di pemerintahan, ia juga pernah menjabat sebagai Duta Besar RI di Mesir, Arab Saudi dan lain-lain. Sebelumnya di bidang organisasi, ia pernah terlibat diantaranya dalam organisasi PII dan Masyumi. Ia juga pernah aktif sebagai Dosen di Sekolah Tinggi Islam (UII) Yogyakarta, Guru Besar Fakultas Hukum UI, Guru Besar Filsafat Barat di IAIN Syarif Hidayatullah dan menjadi Dosen tamu di McGill University.



Rasjidi menulis buku dan menerjemahkan buku-buku yang bermutu yang ia temui ketika belajar atau bertugas di luar negeri. Karya-karya asli Rasjidi antara lain : Islam Menentang Komunisme, Islam dan Indonesia di Zaman Modern, Islam dan Kebatinan, Islam dan Sosialisme, Mengapa Aku Tetap Memeluk Agama Islam, Agama dan Etik, Empat Kuliah Agama Islam pada Perguruan Tinggi, Strategi Kebudayaan dan Pembaharuan Pendidikan Nasional, Hendak Dibawa Kemana Umat Ini? Sedangkan karya terjemahnya antara lain: Filsafat Agama, Bibel Qurán dan Sains Modern, Humanisme dalam Islam, Janji-janji Islam dan Persoalan-persoalan Filsafat.



Rasjidi, yang murid-muridnya kini banyak tersebar di Indonesia, telah meninggalkan warisan perjalanan hidup dan karya tulis yang berharga bagi kita. Adakah kita mengambil pelajaran dari liku-liku kehidupannya?*

Rabu, 04 November 2009

Politik dan Pendidikan Islam


Politik dan Pendidikan Islam

Oleh: Nuim Hidayat



”Wahai anak-anakku pelajarilah ilmu, maka apabila kamu sekalian berada di tengah-tengah ilmu kamu bisa memimpin, dan apabila kamu bisa menyediakan ilmu kamu bisa hidup.” (Khalifah Abdul Malik bin Marwan)



Tahun 60-an ada perbincangan yang menarik antara Prof Deliar Noer dengan Kiyai Zarkasyi. ”Cuma ada pesan saya...kan pak Natsir tidak boleh berpolitik,”kata Kiyai Zarkasyi kepada Deliar Noer.”Sekurang-kurangnya walau tak resmi, namun langkahnya dalam berpolitik terlambat. Saya ada pesan,”lanjutnya, dan minta agar disampaikannya ke Pak Natsir. ”Saya ingat Ki Hajar Dewantoro,”kata Kiyai Zarkasyi. ”Setelah ia kembali dari Belanda dan tidak boleh bergerak aktif dalam bidang politik, ia membatasi dirinya bergerak dalam bidang sosial, khususnya dalam pendidikan. Ia mendirikan Taman Siswa, dan ia berhasil dengan usahanya ini. Saya berpikir apakah setidaknya Pak Natsir tidak berbuat hal yang seperti ini,”kata Kiyai Zarkasyi. ”Ia seorang pemimpin: bisa di bidang politik dan sosial. Tetapi asalnya juga dari bidang pendidikan.”



Dan, Kiyai Zarkasyi menyebut-nyebut kegiatan Natsir di jaman Belanda dengan sekolah-sekolah Pendis-nya (Pendidikan Islam) di Bandung, terdiri dari TK, HIS, MULO dan HIK. Menurut Kiyai Zarkasyi, Pendis ini sedikit banyak berhasil. ”Kalau tidak Jepang masuk,”tambahnya,”tentu sekolahan tersebut akan berkembang.”



”Dan kini dalam bidang politik, Pak Natsir mendapat hambatan,”sambung pendiri Gontor ini,”Alihkan perhatian penuh ke bidang yang agaknya lebih perlu dikelola,”katanya tegas. ”Dan saya harap,”sambungnya,”Saudara menyampaikan ini kepada beliau.” Ia menambahkan bahwa orang seperti Pak Natsir, dana pun akan tiba. Dan dengan pendidikan usahanya akan lebih nyata, kebebasan juga akan lebih terpelihara...begitu saya kembali dari Gontor, permulaan tahun 1970-an itu, pesan Kiyai Zarkasyi sempat saya sampaikan kepada Pak Natsir. (Prof. Dr. Deliar Noer dalam KH Imam Zarkasyi di Mata Umat, Gontor Press, 1996, 643-644)



Politik



Kehidupan politik Indonesia saat ini cenderung materialistis. Uang dan jabatan menjadi motivasi dan tujuan akhir. Dalam pemilihan ketua partai (kecuali sebagian kecil), bupati, gubernur, bahkan presiden uang menjadi faktor utama penentu keberhasilan. Bukan ilmu, kapabilitas calon dan adab atau akhlak yang baik yang dimiliki sang calon.



Padahal ilmu dan adab pemimpin politik itu menjadi syarat utama dalam memimpin masyarakat. Ulama Melayu terkemuka, Syekh Ahmad al Fathani mencirikan sifat-sifat yang mesti dimiliki pemimpin politik. Diantaranya: sempurna anggota (indera), baik budi pekerti, baik kefahaman, cerdik/bijaksana, faham terhadap sekalian ilmu terutama ilmu berhitung dan ilmu tarikh, benar dalam perkataan dan menjauhkan kebohongan, elok perlakuan muamalat, berkelakuan yang lembut, dalam perjumpaan selalu memberikan kelapangan, tidak tamak pada makanan, minuman dan perkawinan, menjauhi bermain-main dalam segala urusan, mempunyai ketinggian himmah (cita-cita), bersungguh-sungguh pada membangun kerajaan, mencintai keadilan, benci kezaliman, mempunyai hati yang tabah dan berani dan mengetahui sekalian muslihat.”



Pentingnya ilmu politik ini, dikemukakannya pada kitab Hadiqatul Azhar : ”Muhimmah, pada bicara ilmu siasat (politik). Yaitu ilmu memperbaiki rakyat dengan menunjukkan mereka itu kepada jalan yang melepaskan mereka itu daripada tiap-tiap kekeruhan pada dunia dan akherat..maka hukumnya ilmu itu wajib kifayah.” (Wan Mohd Saghir: 1992, 103).



Masalahnya, dalam ilmu politik sekuler saat ini, masalah akherat tidak dimasukkan sebagai urusan negara. Akherat tidak dijadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan politik dan inilah awal malapetaka politik di Indonesia dan negeri-negeri Islam lainnya. Sehingga suap, ingkar janji, kebohongan, hasad, tamak, riya’ menjadi tontotan politik sehari-hari.



Padahal dahulu bila para ulama memberikan nasehat kepada raja atau sultan selalu diawali dengan nasehat agar para pemimpin itu mula-mula bertakwa kepada Allah, taat kepada Rasul-Nya dan seterusnya. Dulu, dalam sejarah Islam, Jendral Abdullah bin Husain, ketika menasihati anaknya, maka dia menulis agar agar ingat kepada Allah SWT, ingat hari pembalasan, orang miskin dan sebagainya. Apakah ada jenderal sekarang ini yang menasihati anaknya demikian? Juga ketika khalifah Ali bin Abi Thalib menasihati kepada gubernurnya. Ia menasihatkan tentang pentingnya ketakwaan kepada Allah SWT, perhatian kepada orang miskin, jangan terpengaruh godaan dunia dan lain-lain. Apakah ada sekarang ulama atau pejabat yang menasihatkan seperti itu?



Politik dan Pendidikan Islam



Dalam era kehidupan politik yang sekuler saat ini, juga ditandai dengan munculnya pemimpin-pemimpin palsu dalam segala bidang. Pemimpin-pemimpin ini hanya mampu mengulang-ulangi praktek pendidikan yang yang datang atau dipengaruhi sepenuhnya oleh Barat. Intelektual terkemuka Melayu, Syed Muhammad Naquib al Attas mengemukakan dalam bukunya Risalah untuk Kaum Muslimin : ”Saluran yang melancarkan penyelundupan faham-faham asasi yang asing itu adalah sistem pembelajaran dan pendidikan yang dikuatkuasakan oleh kuasa-kuasa politik serta gejala-gejala pentadbirannya, dan seterusnya dibantu oleh golongan para guru dan pensharah dan golongan penulis yang menyamarkan faham-faham itu sebagai hasil sastera. Dan betapakah lagi kacaunya andaikata orang-orang yang mewakili kuasa-kuasa tersebut, dan guru dan pensharah dan penulis itu tiada pula memahami serta mengenali dan mengetahui benar-benar sifat serta hakikat kandungan faham-faham yang dikuatkuasakan dan dianjurkannya itu! Kaum Muslimin harus insaf bahawa sebahagian besar mereka yang memainkan peranan dalam menyebarkan kekeliruan dan kepalsuan ini –baikpun secara disedari mauhupun tiada disedari—merupakan orang-orang yang bukan sahaja tiada memahami serta mengenali dan mengetahui benar ilmu kebudayaan Barat, bahkan jua yang tiada mempunyai ilmu keislaman, dan yang pengetahuan serta amalan Islamnya sangat-sangatlah menyedihkan sebab sekadar yang bertaraf kebudak-budakan belaka. Padahal golongan-golongan ini dibiarkan –malah diberi amanah—oleh kaum Muslimin untuk memimpinnya dalam pelbagai lapangan kehidupan!”



Lebih lanjut Prof al Attas menasehatkan: ”Janganlah hendaknya kau fikir –wahai saudaraku Muslimin—bahwa sekarang ini kononnya dengan tersingkirnya ciri-ciri zahiriah kolonialisme kebudayaan Barat, pemimpin-pemimpin kita yang Islam yang telah kita amanahkan untuk menjalankan tugas membimbing masyarakat kita itu, memang benar-benar menunaikan tugas mereka dengan secara yang tiada berlawanan dengan Islam. Kau harus insaf bahwa kebanyakan mereka itu mewarisi ilmu serta cara berfikir kolonial yang jahil terhadap Islam. Mereka belum lagi berhasil menunaikan syarat-syarat serta pencapaian ilmu yang fardhu ain di sisi Islam, dan boleh dikatakan langsung sunyi daripada ilmu pengetahuan Islam yang harus dianggap sebagai fardhu kifayah yang terutama bagi mereka, maka betapakah dapat mereka itu menghindarkan diri dan masyarakatnya terpesong (terperosok) ke jalan yang sesat!”



Dalam bidang ilmu pengetahuan yang merujuk kepada pendidikan dan pelajaran, kata al Attas, pemimpin-pemimpin kita yang bertanggungjawab mengenainya tiada sadar bahwa banyak yang diajarkan di sekolah-sekolah dan pusat-pusat pengajian tinggi itu bukanlah ilmu pengetahuan, akan tetapi ilmu yang batil yang berselaputkan dugaan yang mensia-siakan masa dan mengelirukan fikiran dan diri penuntutnya



Prof Wan Mohd Nor Wan Daud, Guru Besar ATMA UKM Malaysia, menjelaskan lebih jauh, bahwa perubahan yang terpenting dalam pendidikan adalah perubahan pendidikan di tingkat tertinggi. S3, S2 dan S1. “Ini bukan bersifat elitis yang negatif, tapi elitis yang stratejik. Pendidikan mengubah orang dewasa dahulu. Yakni kalau orang dewasa telah berubah, maka anak-anak akan berubah. Semua anbiya’ diturunkan untuk mengajar kepada orang-orang dewasa. Dan mereka menyadarkan pemimpin-pemimpn politik tertinggi saat itu. Karena itu kita mendirikan ISTAC dulu, juga Prof Al-Attas ketika tahun 70-an Seminar di Mekkah tentang Pendidikan, mengingatkan tentang pentingnya Universitas. Bila universitas telah dibereskan, maka sekolah-sekolah menengah juga akan beres. Sebab guru-guru sekolah menengah dari universitas juga, pegawai-pegawai kantor juga universitas, paling kurang S1. Kalau fokus di level bawah, maka perubahan itu tidak akan berlaku dengan sebaik-baiknya. Orang-orang Barat faham akan hal itu. Mereka tidak menggarap SD, atau sekolah menengah, tapi menggarap di tingkat universitas.”



Sejarah Islam



Dalam zaman Umawiyah tampak sekali bahwa tujuan pendidikan selain untuk kepentingan agama juga untuk kepentingan sosial. Umpamanya Abdul Malik bin Marwan berkata kepada anak-anaknya,”Wahai anak-anakku pelajarilah ilmu, maka apabila kamu sekalian berada di tengah-tengah ilmu kamu bisa memimpin, dan apabila kamu bisa menyediakan ilmu kamu bisa hidup.” Orang mengetahui bahwa pada waktu itu banyak ulama mengajar anak-anak khalifah dan orang-orang dari kelompok atas, syair, sejarah, juga sejarah orang-orang Arab, nenek moyang mereka dan tindakan-tindakan mereka yang hebat-hebat.



Adapun dalam zaman Abasiyah, maka kedudukan ulama adalah tinggi sekali. Para khalifah menghormati para ulama dan ditempatkan pada tempat yang tinggi sesuai dengan ilmunya. Inilah sebabnya mengapa orang-orang giat belajar supaya mereka memperoleh kedudukan yang baik. Perlu diketahui bahwa para ulama itu pada umumnya dari kalangan orang-orang miskin dan rakyat biasa. Lalu mereka meningkat karena ilmunya kepada tingkatan yang tinggi. Ahli syair Abul Itahiyah asalnya adalah tukang batu, Abu Tamam asalnya adalah penjual air di masjid Amr. Ayah Bashar adalah orang yang membikin alat dari tanah, al Jahiz penjual roti dan ikan, az Zajjaz tukang menulis di kaca, dan bapak al Ghazali penenun bulu. (KH Imam Zarkasyi di Mata Umat, hal. 928).*

Mudah-mudahan manfaat, bisa dilihat di : http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=9723:politik-dan-pendidikan-islam&catid=68:opini&Itemid=68

Rabu, 07 Oktober 2009

“Walaupun Puyuh Mencuri Sayap Elang, Dia tak Bisa Terbang”


Prof. Dr. Wan Mohd Nor bin Wan Daud
(Peneliti Utama, Institut Alam dan Tamadun Melayu, Universiti Kebangsaan Malaysia, ATMA-UKM ):

“Walaupun Puyuh Mencuri Sayap Elang, Dia tak Bisa Terbang”


Tidak banyak profesor yang mudah ditemui dan senang diajak berbincang dengan para mahasiswa. Prof Wan Daud adalah salah satu pengecualian. Di kamar kerjanya sekarang, ATMA-UKM –setelah lebih lima tahun terpaksa meninggalkan ISTAC— hampir tiap hari ia menerima tamu. Mulai dari yang memberi pertanyaan, mengadukan masalah atau yang ingin silaturrahim untuk berdiskusi. Tamu yang datang pun bervariasi, mulai dari profesor, doktor, mahasiswa biasa atau tokoh-tokoh ketua perhimpunan mahasiswa.

Berbincang dengan Prof Wan, seperti berbincang dengan sahabat dekat. Ia akan melayani, menjawab pertanyaan-pertanyaan dan berdiskusi dengan kita dengan riang gembira. Mungkin karena kepribadiannya yang menarik itulah, maka Prof Naquib al Attas jatuh hati padanya mengajak bersama untuk membangun ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization), 1988. Prof Wan Daud pun menyambut ajakan ini dengan tangan terbuka. Karena ini adalah proyek besar yang berniyat untuk menjayakan pemikiran dan peradaban Islam semula.

Tapi takdir berkehendak lain. Setelah membangun dan mengelola ISTAC selama lebih kurang 15 tahun, Prof Naquib dan Prof Wan Daud dipaksa hengkang dari ISTAC. .Kini Prof Naquib banyak di rumah membuat karya dan memberikan kursus-kursus tentang Islam dan Prof Wan pindah ke ATMA-UKM, melanjutkan kepeduliannya membina para mahasiswa, khususnya tingkat master dan doktoral.

Selain banyak berdiskusi dan membimbing para mahasiswa, Prof Wan juga kini sibuk menulis. Ia kini sedang mempersiapkan tiga buku, yang diharapkan dapat terbit tahun ini atau tahun depan. Yaitu buku tentang tanggapan/tulisan para tokoh atau murid-murid tentang Prof Naquib Al Attas, buku tentang aliran-aliran filsafat yang menghancurkan ilmu pengetahuan dan buku tentang syarah ar Raniri, Aqaid an Nasafi.

Prof Wan Daud lahir di Kelantan pada 23 Desember 1955. Ia menyelesaikan sarjana mudanya jurusan Ilmu Biologi dan masternyajurusan pendidikan di Notthern Illinois University, AS. Gelar PhD-nya diraih di The University of Chicago. Selama studi di Amerika, ia aktif dalam kegiatan-kegiatan mahasiswa Islam. Ia pernah menjadi “President of the National Malaysian Islamic Study Group” dan “President of Muslim Student Association of USA and Canada”.

Lelaki beristri satu dan mempunyai anak empat ini, telah menulis lebih dari 12 buku dan monograph. Ia juga telah menulis lebih dari 30 makalah-makalah akademik yang serius yang dimuat dalam jurnal nasional dan internasional. Di antara buku-bukunya yang telah diterbitkan adalah: The Concept of Knowledge in Islam: Its Implications for Education in Developing Country, The Beacon on the Crest of Hill, Penjelasan Budaya Ilmu, Pembangunan Malaysia: Ke Arah Satu Pemahaman Baru yang Lebih Sempurna, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al Attas: An Exposition of the Original Concept of Islamization, Mutiara Taman Adabi: Sebuah Puisi Mengenai Agama, Filsafat dan Masyarakat dan lain-lain.

Saat ini, selain banyak menjadi nara sumber atau penceramah tentang Islamisasi, filsafat Islam, pendidikan Islam dan tamadun Islam, Melayu dan Barat di berbagai Negara, seperti Amerika, Inggris, Rusia, Pakistan, Rusia, Turki, Afrika Selatan, Singapura dan Indonesia, Prof Wan juga sering diminta untuk menjadi pembicara tentang kepemimpinan. Bulan Juni 2009 lalu, ia diminta IDB (Islamic Development Bank) dan universitas-universitas di Timteng, untuk memberikan pelatihan bagi para pemimpin perbankan/profesional, dosen-dosen, mahasiswa-mahasiswa di Jedah dan Bahrain. Ia juga banyak memberikan pelatihan kepemimpinan di negerinya sendiri, Malaysia. Bukunya terbaru yang ditulis bersama dengan Prof. Naquib Alatas: The ICLIF Leadership Competency Model (LCM): an Islamic Alternative, menjadi buku panduan untuk pelatihan itu.

Berikut adalah petikan wawancara dari koresponden Hidayatullah di Malaysia, Nuim Hidayat, yang mewawancarai Prof Wan Daud di kantornya ATMA-UKM, Bangi-Selangor, Malaysia:


Setelah menggulirkan Islamisasi, mengapa Anda dan Prof Al Attas secara bersamaan mengeluarkan buku tentang Leadership ini?

Pertama sekali kita katakan, bahwa islamisasi dalam bentuknya yang paling intensif berlaku pada pribadi. Apabila pribadi itu mau diislamkan, maka aspek pertama yang diislamkanya adalah akal pikirannya. Apabila alam pikriannya tidak dikuasai dengan pandangan alam Islami, maka tindak-tanduknya, akhlaknya baik di tingkat pribadi maupun sosial atau di tingkat negara atau global tidak akan dapat dibentuk mengikut kehendak Islam.

Dan akal pikiran seseorang itu dibentuk melalui ilmu pengetahuan. Dalam Al Qur’an penekanan terhadap ilmu pengetahuan ini adalah cukup fundamental. Menurut Prof Hamidullah dan banyak pengkaji lainnya, bahwa setelah nama-nama Allah yang paling banyak disebut Al Qur’an, maka setelah itu banyak disebut kata yang berkait dengan ilmu pengetahuan, makna-maknanya dan contoh-contohnya. Seperti ungkapan, ya’lamun, ya’qilun, yatafakkarun, dan sebagainya.

Ayat-ayat ini banyak ayat Makiyyah. Maknanya ini adalah pembinaan pada generasi pertama. Yakni untuk mempersiapkan kepemimpinan umat masa itu dan juga kepemimpinan umat mendatang. Mereka yang akan menjadi pemimpin dan pengikut yang bijak. Sehingga kemudian ketika di Madinah, ilmu menjadi budaya.

Dalam Perang Badar saja, ada satu kaidah perang yang penting, yang digunakan oleh Rasulullah saw. Bahwa Rasulullah memberikan syarat pembebasan tawanan pada siapa-siapa yang bisa mendidik sepuluh umat Islam. Maka di sini pendidikan itu adalah ‘resiko politik’, di mana Rasulullah membebaskan tawanan yang paling pandai. Biasanya di zaman sekarang, tawanan yang paling pandai itu dipenjarakan dalam waktu yang lama. Tetapi bagi Rasulullah, bila seorang paling pandai bisa mendidik sepuluh orang, maka keuntungan bagi umat Islam sepuluh kali lipat.

Ada buku Prof Naquib al Attas, yang cukup terkenal dan monumental, yaitu Islam and Secularism. Ia menyebut bahwa masalah umat Islam yang paling fundamental bukanlah ekonomi, ketentaraan/militer, politik, sains --walaupun itu adalah masalah yang penting-- tapi masalah fundamental yang menimbulkan berbagai masalah ini, adalah kekeliruan dan kekacauan ilmu pengetahuan yang berakhir pada kehilangan adab umat Islam. Kehilangan adab dan kekeliruan ilmu pengetahuan ini melahirkan kepemimpinan yang salah dalam semua bidang.

Maka sebenarnya permulaannya kita diminta oleh Direktur Eksekutif ICLIF (The International Centre for Leadership in Finance, Kuala Lumpur), Datuk Rafiah binti Salim yang kemudian dia diangkat pemerintah Malaysia mejadi rektor wanita pertama di Universiti Malaya. Dia meminta kita menulis buku tentang leadership itu. Selepas 3-4 bulan minta penulisan itu, dia dilantik menjadi rektor di Universiti Malaya. Jadi dia tidak sempat ‘melihat’ buku ini, walaupun tentu dia tentu dapat buku ini kemudian.

Buku ini sebenarnya merupakan satu proses natural dalam proses Islamisasi yang kita gulirkan bersama. Sesungguhnya kita tidak mengira akan melahirkan buku leadership itu secepat ini, kalau tidak diminta oleh Datuk Rafiah itu. Bisa jadi tidak tidak tahun 2007 terbit, mungkin tahun depan. Jadi dia datang lebih awal sedikit dari semula yang kita rencanakan. Karena dalam kehidupan ini sering tidak mengikut jadwal yang kita rencanakan. Hidup mati kita juga begitu.

Tapi dari segi proses Islamisasi, penerbitan buku ini adalah natural. Karena masalah kita sekarang adalah belum cukupnya para pemimpin yang benar di segala bidang. Banyak kepemimpinan bidang ekonomi, sosial, pendidikan, agama dan politik yang tidak menepati kehendak alam Islam dan akhlak yang mulia. Ini karena Confusion of Knowledge (kekacauan ilmu pengetahuan). Confusion of Knowledge ini disebabkan karena hilangnya adab.

Jadi tidak ada upaya untuk meletakkan sesuatu di tempat yang betul. Sebab umat Islam ini bukan tidak ada resources (sumber daya). Bukan tidak ada minyak, tidak ada kekayaaan, fasilitas, ilmu dan sebagainya, tapi masalahnya itu semua tidak digunakan secara betul. Misalnya kini, tokoh non Muslimdigunakan sebagai rujukan utama dalam kajian Islam atau dalam bidang politik seorang penyanyi atau pelawak diminta untuk menjadi pemimpin politik.

Bagaimana sifat kepemimpinan itu?

Perlu diingat, bahwa dalam Islam, kepemimpinanan bukanlah.bersifat satu dimensi. Pertama sekali kepemimpinan itu adalah satu kualitas insaniyah. Seseorang itu harus bisa memimpin dirinya. Bermakna, bagaimana dia memimpin jiwa aqlinya, memimpin jiwa badaninya, nafsunya, syahwatnya atau marahnya. Karena itu ini ada kaitannya dengan ilmu dan adab/akhlak.

Kalau dia ada ilmu tentang dirinya, tentang ilmu aqidah, halal haram, maka dia bisa mengontrol secara rasional kehendak hewaninya dalam dirinya itu. Kehendak hewani bukan harus dimatikan, tapi perlu dikontrol. Sebab kita perlu ada rasa syahwat, kalau tidak kita tidak punya anak. Perlu ada marah, sehingga bisa berjuang, berjihad di jalan yang benar. Juga berani menyatakan yang benar. Karena menyatakan yang benar ini adalah manifestasi dari rasa marah itu. Cuma jangan marah selalu. Juga jangan syahwat selalu.

Kepemimpinan bersifat multidimensi (lintas sektoral) ini contohnya, pemimpin dalam bidang politik maka dia juga pemimpin keluarganya. Banyak keputusan politik, ditentukan oleh keluarganya yang tidak dipilih oleh rakyat. Jadi dia tidak bisa memimpin rakyat, kalau dia tidak bisa memimpin keluarganya itu. Banyak kita tahu bahwa pemimpin dalam bidang, perbankan, politik, universitas contohnya, memutuskan pelantikan atau pengangkatan seseorang, kadang-kadang ditentukan di rumahnya. Oleh suaminya, oleh anaknya atau istrinya. Begitu juga ketika seseorang memimpin universitas.

Maka kepemimpinan dalam ekonomi ada hubungannya dengan politik. Politik ada hubungannya dengan keluarga. Semuanya interrelated. Walaupun kita targetkan misalnya mendidik golongan-golongan pemimpin perbankan, profesional, maka prinsip-prinsip, contoh-contoh tidak hanya dari perbankan. Malah kita rujuk kepada Al Qur’an, Hadits, sejarah Rasulullah, sahabat dan para ulama-ulama yang kemudian. Para pemimpin di masa Utsmani, Mughol, Safawi, Andalusia, Melayu dan lain-lain. Jadi pendidikan kepemimpinan itu bukan khusus untuk para peniaga, meskipun mereka terlibat dalam pernigaaan, keuangan dan sebagainya.

Malah bila saya hadiri kursus-kursus di antara para pemimpin-pemimpin bank ini, mereka juga tidak menggunakan contoh-contoh dalam budang ekonomi saja. Mereka menggunakan contoh dalam bidang tentara, militer. Seperti Sun Tzu dalam The Art of War atau menggunakan Strategy of Jengis Khan dan sebagainya. Di mana tokoh-tokoh ini bukan seorang ekonom, tapi seorang tentara. Mereka juga menggunakan contoh sang Budha.

Jadi dalam training-traing tertinggi golongan direktur/manajer industri keuangan itu, mereka merujuk bukan hanya tentang ekonomi, tapi juga tentang hal-hal yang personal atau global. The Art of War misalnya, walaupun ditulis lebih dari 2000 tahun yang lalu, dimana isinya banyak tentang peperangan, tapi digunakan untuk ‘analogi’ pengurusan ekonomi, sosial dan lain-lain. Karena leadership memang begitu. Ia interrelated. Buku Niccollo Machiavelli, The Prince juga digunakan. Karena banyak asas kepemimpinan, peniagaan, dll. sekarang ini adalah Machiavellian. Padahal Machiavelli berbicara dalam konteks politik, yang banyak dibaca orang politik juga.

Apa saja karakter-karakter dasar yang mesti dimiliki seorang pemimpin?

Pemimpin itu dalam konteks Islam harus memahami dan menghayati worldview Islam. Worlview Islam adalah pandangan Islam yang sebenarnya harus terwujud dalam diri manusia (Muslim). Tentang tuhan, ruh, alam, manusia dan seterusnya. Tentang hakekat manusia, bahwa dia dijadikan, tidak kekal. Ada alam akhirat setelah alam dunia ini. Juga tentang arti kekuasaan, ilmu pengetahuan dan kebahagiaan. Ini akan membentuk worlview Islam pada diri seseorang (pemimpin). Sehingga tidak dikelirukan oleh worldview lain.

Tapi kita tahu beberapa tahun belakangan ini, pandangan alam Islam itu telah dikelirukan. Dengan unsur-unsur sekuler yang sekarang ini marak, dengan kejahilan umat Islam sendiri, dengan kaidah-kaidah yang salah dalam memahami teks-teks Al Qur’an dan Hadits dan sejenisnya. Bila hal-hal seperti ini berlaku maka worlview berubah. Bila worldview berubah, tujuan berubah. Motivasinya, kaidahnya juga berubah. Dia menjadi bukan lagi Islami. Meskipun tak sepenuhnya anti Islami. Tapi Islami dari segi komperehensif, tidak mewujud dalam dirinya. Maknanya bila pemahaman Islamnya komperehensif dan clear, walaupun dia buat silap (kesalahan), dia tahu itu suatu kesalahan, maka dia akan bertobat. Dia tahu jalan untuk memperbaikinya. Karena worlview itu telah jelas dalam dirinya. Tapi kalau worldview itu kelitu, maka dia tidak tahu kalau yang dia buat itu salah. Karena dia tidak tahu benarnya.

Contohnya dalam ekonomi dan perbankan Islam. Riba itu haram. Jelas riba itu haram. Tapi persoalan dalam Islam, bukan hanya riba, tapi juga pengentasan kemiskinan. Bank Islam harus dapat mengentaskan kemiskinan. Ini hanya satu contoh kecil saja. Bagaimana telah berlaku kekeliruan.

Juga dalam kepemimpinan politik Muslim.Bukan hanya pemimpin menjaga bidang ekonomi, perniagaan atau kesejahteraan. Tapi penjagaan terhadap jiwa dan akhlak rakyat, terhadap keselamatan yaumil akhirah haruslah dibuat dengan baik. Para pemimpin di bidang itu kini tak berbuat sewajarnya. Dianggap bahwa pembangunan ekonomi itu yang paling tinggi. Dalam Islam, ekonomi tentu tak dikecilkan. Kita harus menjada harta kita, menjaga keluarga, menjaga negara kita, tapi semua adalah alat untuk kemajuan rohani dan ukhrawi. Tapi sekarang justru yang rohani dan ukhrawi ini ditepikan. Bukan dibuat sebagai kebijakan utama. Ekonomi yang dinomorsatukan.

Dalam konteks sekarang, misalnya krisis ekonomi yang berlangsung sekarang. Bila perusahaan itu bangkrut, apakah manajer/direktur mau dikurangi pendapatannya? Perusahaan mengalami kerugian, ramai pekerja-pekerja yang dipecat, tapi ia (manajer) itu tidak mau rugi. Mereka tidak mau mengeluarkan uangnya atau dipotong gajinya. Sebab ia hanya melihat dari segi kontrak saja. Kontrak dengan pekerjanya bisa dibatalkan setiap waktu, sedang kan kontrak dia nggak mau diapa-apakan. Maka disini bukan kontrak itu yang terpenting, tapi segi maslahat ia lupakan. Hilang sifat ihsan, sifat kasih sayang kepada manusia lain.

Dalam buku ini juga kita paparkan bagaimana contohnya orang yang paling praktikal macam para sahabat yang menjadi khalifah sebagai teladan. Misalnya.Jendral Abdullah bin Husain. Dia seorang jendral dalam sejarah Islam. Dulu jenderal itu orang yang mengerti hal-hal yang praktis (paktikal). Tapi dia menulis surat kepada anaknya, agar ingat kepada Allah SWT, ingat hari pembalasan, orang miskin dan sebagainya. Apabila kita bicara dengan jenderal sekarang, bagaimana? Jenderal sekarang ini, bukan praktikal. Kalau dulu mereka maju perang, kalau kalah ditebas kepala mereka. Contoh-contoh yang disebutkan dalam buku itu adalah bagaimana hal-hal ukhrawi, imani, akhlaki itu mejadi pendorong utama bagi hal-hal duniawi.

Contoh Sayyidina Ali. Dia orang yang sangat praktikal. Tapi dalam surat ke gubernurnya, ia sangat menekankan hal-hal yang bersifat ukhrawi, imani, dan lain-lainl. Ibnu Sina, juga seorang yang praktikal (ahli kedokteran), dia menekankan pada ilmu, pada shalat nawafil dll. Dalam kaidah Islam ada satu kesatuan yang saling menyokong (ukhrawi duniawi). Sekarang ini telah banyak dikelirukan. Maka contohnya bila kita bercakap tentang keilmuan, pemikiran, itu praktikal dan logical. Orang dulu sebenarnya lebih pratikal dari orang sekarang. Mereka political juga. Aqidah, pandangan alam Islam ini teoritikal. Tapi teoritikal yang terkait langsung dengan paktik. Sekarang telah berlaku dualisme, tentang hal-hal yang berkaitan dengan aqidah, terpisah dengan hal-hal keuangan, politik, dsbnya.

Bagaimana adab yang dimiliki seorang pemimpin?

Adab yang dimaksudkan di sini adalah disiplin aqli, rohani dan fisik. Di mana seseorang itu menempatkan sesuatu di tempatnya yang betul, mengikut sistem Islam. Sehingga dia menempatkan Allah sebagai Tuhan di tempat yang sebenarnya. Tujuan adab sebenarnya adalah menjadikan seseorang itu menjadi ibadurrahman, menjadi muslim yang terbaik. Allah diletakkan pada tujuan pertama, bukan tujuan kedua atau ketiga. Sekarang ini kalau pemilihan umum, orang berjanji ke masyarakat, setelah pemilu lupa kepada tujuan awalnya itu. Jadi Allah dia gunakan untuk mendapatkan dunia. Kekuatan kepemimpinan akan berlaku, selama adabnya betul.

Contohnya bila seorang Muslim menjadikan Nabi sebagai contoh yang paling utama, dan juga para sahabatnya, maka keteladanan itu harus dioperasionalkan. Tapi karena sekarang ini adab berlalu, Nabi dan para sahabatnya dianggap sebagai out of date. Mereka lebih suka menggunakan Sun Tzu, Jengis Khan, yang tokoh-tokoh ini --memang boleh digunakan contoh (hikmah)-- tapi jangan dikatakan bahwa Nabi dan sahabat-sahabatnya itu out of date.

Atau kita lebih baik meneladani tokoh-tokoh ulama lain, seperti ulama-ulama Melayu. Syekh Yusuf Makarsari, Syekh Ar Raniri, Raja Ali Haji dsb nya. Sebab dalam politik Islam, tempat-tempat mereka ini bukan dibatasi oleh sejarah. Kita berprinsip bahwa siapa-siapa yang baik, mereka akan tetap baik (diteladani). Walaupun ada unsur-unsur pada dirinya atau pemikirannya yang mungkin saat ini boleh berubah. Seperti apa yang mereka pakai, dia makan dsbnya. Tapi akhlaknya itu tetap bisa diteladani. Juga bisa diteladani tentang keadilannya, kesabaran, keberanian, tawadhunya dll.

Kehilangan adab juga menyebabkan jatuhnya kepemimpinan. Dia mungkin baik-baik, tapi karena kelemahan kecil, ia dijatuhkan oleh kawannya yang tidak ada adab. Dia adianggap sebagai orang yang konservatif, out of date, tidak progresif. Padahal ulama-ulama itulah yang mau agar Melayu maju dari dulu sampai dengan sekarang.

Dengki juga mengakitbatkan kehilanga adab. Bagaimana dia berdengki kepada seorang pemimpin yang telah berjaya. Pemimpin itu misalnya mau menyatukan umat, menjayakan umat, ada di antara mereka yang dengki. Mestinya pemimpin seperti itu ditempatkan di tempat yang betul. Dia mestinya didukung. Tapi kadang-kadang adayang membuat fitnah-fitnah untuk menjatuhkan dia. Kita boleh menasihati dia kalau tidak setuju, bukan buat fitnah. Seorang pemimpin kalau zalim sekalipun, tentu kita tidak membenarkan kezalimannya, kita harus ikut dia. Tapi dia harus terus dinasihati. Atau kalau diganti harus dengan cara-cara yang bijak. Kalau kita jatuhkan dia, bukan tidak mungkin yang naik nanti akan buat kezaliman yang lain. Ini akan menimbulkan khawarij. Khawarijme ini akan menimbulkan ketidakstabilan dalam bidang politik. Karena tidak ada pemimpin yang tidak buat kesalahan. Dan bila berlaku instability maka akan berlaku kezaliman yang lebih merusak lagi.

Karena itu bagi Prof Naqib, untuk mengembabalikan budaya ilmu, budaya Islam harus berpegang pada adab. Kita harus me-refer kepada Rasulullah. Kepada ulama seperti Imam al Ghazali misalnya. Kalau al Ghazali dikecam juga, kita nanti akan merujuk pada orang-orang yang salah yang tidak berbuat apa-apa kepada Islam. Walaupun mungkin al Ghazali buat kesalahan, kesalahan yang ia buat kecil, sedangkan orang-orang yang jadi rujukan para pengecam al Ghazali itu, justru membuat kesalahan-kesalahan yang lebih besar.

Adab itu adalah satu syarat untuk mengembalikan kepada kepemimpinan dan intelektual masyarakat Islam. Jadi kita harus merujuk pada pemimpin yang sesuai, pemimpin ini tidak ramai. Kalau banyak orang nggak betul, maka seorang pemimpin pun cukup. Misalnya adalam bola, ada Maradona. Maka tidak banyak orang seperti Maradona. Dan Maradona harus ditempatkan sebagai pemain utama, kalau dia dibuat sebagai pemain sampingan maka tak berfungsi Maradona itu.

Orang-orang seperti itu tak ramai, tapi harus diberikan peranannya yang utama. Kalau orang yang hebat itu ramai, maka dia bukan orang hebat. Sifat ketokohan tertinggi itu tidak ramai. Imam Syafii seorang saja. Juga Imam Malik. Tapi pembangunan tamadun di Andalusia itu, meskipun pemain-pemainnya ramai, tapi mereka semuanya bermazhab Maliki, walaupun mereka tidak bersetuju dengan semua yang Imam Malik katakan, tapi mereka menghormati Imam Malik itu. Begitu juga ketika masa Utsmani.. Di Anatolia Turki, mereka bermazhab pada Imam Hanafi, dari segi teologi mereka bermazhab Imam Maturidi. Kita boleh berbeda, boleh ada perubahan, tapi mesti ada respek. Seperti orang Melayu ini, orang Jawa, Batak, Malaka, tapi hampir semuanya bermazhab Syafii.

Syekh ar Raniri misalnya membuat syarah an Nasafi. An Nasafi itu madzhabnya Maturdii. Raniri memuji Nasafi dan Taftazani (yang membuat syarah an Nasafi), tapi dia juga mengatakan bahwa dalam beberapa hal, Imam Syafii lebih hampir kepada kebenaran. Maka kalau ada orang menyatakan bahwa mazhab ini memecah belah umat Islam itu salah. Dalam bidang aqidah, ulama besar-besar merujuk pada ulama-ulama besar dari mazhab lain juga.

Bagaimana memulai lagi, menumbuhkan pemimpin-pemimpin baru?

Pertama sekali umat Islam harus bangkit dengan pandangan alam Islami yang tadi. Kita tentu tak bisa mengharapkan kesempurnaan. Karena kesempurnaan itu hanya pada Nabi saja. Dan para pemimpin kita harus menerima nasihat-nasihat, karena mereka juga tidak sempurna. Kita harus mengenal pasti siapa di antara umat Islam itu yang memancarkan pandangan alam Islam ini. Dan juga akhlaknya dan juga kewibawaannya untuk memimpin, sehingga orang lain memahami. Kalau orang nggak memahami dia sebagai pemimpin, maka ia tidak boleh memimpin. Jadi harus ada kecakapan memimpin.

Misalnya kepahaman dia (tentang Islam) tidak begitu mendalam, tapi dia mempunyai kecakapan memimpin dan akhlak yang baik, maka dia harus memimpin. Untuk meningkatkan pemahaman ini, maka dia harus konsultasi atau meminta nasihat yang lebih ahli. Inilah juga yang diharapkan Imam al Ghazali, Taftazani dan ar Raniri. Tak semestinya bahwa setiap pemimpin itu adalah orang yang paling baik dalam pemahaman dan dalam akhlak sekalipun. Tapi dia harus orang yang paling cakap mempimpin. Dia harus mengenali dirinya itu dan berkonsutasi dengan tokoh-tokoh yang lebih berwibawa. Dia harus mendengar nasihat-nasihat itu. Kalau tidak dia akan membenarkan kejahatan, membenarkan kezaliman. Kalau pemimpin itu membenarkan kejahatan, kezaliman dia boleh diberi sanksi dan dia boleh bertobat.

Taubat adalah kesadaran aqliyah dan rohaniyah tentang apa-apa yang telah dilakukannya. Taubat adalah karena dia tahu perbuatannya salah.Tapi kalau dia justifikasi bahwa dia tidak bersalah, maka dia merasa tobat tak perlu lagi. Dia merasa benar, malah yang benar dia anggap salah. Dalam teks aqidah ar Raniri dia katakan: Raja yang zalim, dia boleh memegang kepemimpinan. Tapi bila raja itu berbuat yang menjatuhkan imannya, menyatakan bahwa babi itu halal, arak itu halal, itu kufur, maka dia boleh dijatuhkan. Kalau dalam demokrasi dia boleh dijatuhkan dalam pemilu atau impeachment.

Dalam umat Islam sekarang ini, ketidakstabilan berlaku, karena terlalu banyak pertukaran pemimpin. Padahal dia membuat kesalahan-kesalahan yang tidak fundamental. Duit yang diguakan dalam demokrasi ini begitu besar. Lebih mahal dari pembinaan manusia yang berkualitas, lebih mahal dari pembinaan rumah-rumah rakyat kecil yang diperlukan. Duit dibuang untuk pemilu. Inti demokrasi untuk membangun rakyat, kesejahteraannya, sekarang berubah, intinya adalah proses. Hanya pada proses, tak mengira pada perubahan yang terjadi. Ini bukan suatu tindakan yang bijak.

Jadi, pandangan alam Islami ini harus dipahami lebih mendalam, baik di masyarakat level paling atas maupun tingkat paling bawah. Peningkatan pemahaman worldview ini harus dimulai dari level atas. Sebab rakyat awam mengikut golongan yang paling atas. Kalau dia benar sekalipun, kalau golongan atas tak melakukan, maka kebenaran itu biasanya akan dinafikan. Karena itu, kata Prof Naquib, perubahan yang paling strategis adalah prubahan di level atas.

Karena itu perubahan yang terpenting adalah perubahan pendidikan di tingkat tertinggi. S3, S2, S1. Ini bukan bersifat elitis yang negaitif, tapi elitis yang strategik. Pendidikan juga mengubah orang dewasa dahulu. Yakni kalau orang dewasa telah berubah, maka anak-anak akan berubah. Tapi alau anak-anak berubah, orang-orang tua atau dewasa tidak berubah, perubahan akan kecil maknanya. Anak-anak shalat, bapaknya tidak shalat. Lama-lama anaknya tidak shalat. Itu kaidah Ilahi juga, Semua anbiya’ diturunkan untuk orang-orang dewasa. Dan mereka menyadarkan pemimpin-pemimpn politik tertinggi saat itu. Karena itu kita mendirikan ISTAC dulu, juga Prof Naquib ketika tahun 70-an Seminar di Mekkah tentang Pendidikan, mengingatkan tentang pentingnya Universitas.

Bila universitas telah dibereskan, maka sekolah-sekolah menengah juga akan beres. Sebab guru-guru sekolah menengah dari universitas juga, pegawai-pegawai keuangan juga universitas, paling kurang S1. Kalau fokus di level bawah, maka perubahan itu tidak akan berlaku dengan sebaik-baiknya. Orang-orang Barat faham akan hal itu. Mereka tidak menggarap SD, atau sekolah menengah, tapi menggarap di tingkat universitas.

Nampaknya dunia Islam tidak serius dalam menggarap pendidikan tinggi ini?

Bukan tidak serius, pendidikan tinggi ini paling sulit. Untuk mendidik orang-orang yang pintar ini paling sukar. Karena itulah kita memerlukan leadership, intelektual yang pintar itu. Diberikan pinjaman untuk mahasiswa, juga dididik keberaniannya dan lain-lain. Tapi tentu harus dipikirkan semuanya. Pendidikan di tingkat bawah atau menengah juga Ok digarap. Tapi jangan pikir itu sudah selesai. Sebab semuanya menjurus ke atas.

Masalah umat ini bukan karena SDM yang tidak bagus, tapi karena kepemimpinan yang tidak bagus. Mereka mungkin pergi shalat, umrah, pakai jilbab, tapi worldviewnya bagaimana. Juga akhlaknya. Dia pikir selesai pergi ke masjid dapat pahala. Jangan diperentengkan pahala itu. Jadi ada ibadah-ibadah fardi/ individu yag mungkin bisa dilaksanakan, tapi yang ijtimai/kemsyarakatan ini mesti harus dilaksanakan secara serius.

Mengapa Barat ramai atau serius memperhatikan masalah universitas ini?

Mereka ramai (serius) karena mereka telah mengenal pasti masalah itu. Mereka tahu petanya dimana. Dalam kehidupan kita kalau banyak tokoh alhamdulillah. Tapi persoalannya tokoh itu sedikit, dan dari sedikit ini apa yang telah kita lakukan. Jadi kalau yang sedikit tokoh ini diabaikan, tak diberi kesempatan, maka tak akan jadi ramai. Sebab siapa yang akan belajar kepada dia? Sebab dia ditutup, dibungkus. Jadi pertama cari dulu tokoh yang ada, kemudian kasih posisi. Sehigga dia ada peluang untuk mendidik dan mengajar. Sehingga nanti akan jadi ramai murid-muridnya.

Maka persoalan yang paling awal, siapakah dalam bidang-bidang itu yang paling berwibawa? Yang mempunyai integritas. Tapi masalahnya jumlah yang sedikit ini tidak diberdayakan. Orang lebih yang rendah ilmu dan kepribadiannya, dipernobatkan diangkat-angkat. Dan mereka ini bila berada di posisi itu, maka ia akan mengecil-ngecilkan yang besar. Kemudian menuduh seorang tokoh ini tak bisa kerjasama dengan orang, angkuh, jahat, anti kerajaan, sufi, pro syiah dan lain-lain, dia menfitnah. Maka dalam buku saya, saya katakan: “Walaupun puyuh mencuri sayap elang, dia tak bisa terbang. Dia tak bisa mengawal kuatnya angin di awan, hatinya sebesar kuman.”

Jadi walaupun orang itu diletakkan tinggi-tinggi, menjadi perdana menteri, pengarah/direktur, dia tidak bisa memegang amanah itu. Sebab amanah memerlukan ilmu, keberanian, akhlak dan keadilan. Jadi masalahnya bukan tak ada menteri, profesor, presiden, tapi masalah kecakapan. Macam puyuh tadi. Sehingga akhirnya mereka-mereka ini malah menjadi rayap, hewan yang meruntuhkan bangunan dari dalam.

Karena itu dalam hadits yang terkenal dikatakan bahwa “Bila Allah murka dalam satu umat, dia akan tarik ilmu dengan mematikan orang-orang yang berilmu dan digantikan dengan orang-orang yang tidak berilmu. Dan orang ini bila diminta pandangan, maka dia menyampaikan pada orang-orang ramai dan pandangannya sesat menyesatkan.”

Mematikan ilmuwan (ulama) itu bukan hanya maknanya mencabut nyawa ilmuwan itu saja. Ilmuwan yang mati, tapi ilmunya dimanfaatkan, diguna banyak orang, dia masih belum mati. Mati bila ilmu tak digunakan lagi. Seperti Imam Malik dan Imam Ghazali mereka tidak mati, karena ilmunya terus dipergunakan orang sampai sekarang. Tapi bila orang-orang yang tak berilmu memimpin, maka menjadi rusaklah dirinya dan umat juga. Orang yang tak berilmu akan mengatakan yang haram itu halal atau sebaliknya.

Dalam buku saya yang baru akan terbit nanti, saya mengutip al Ghazali bahwa ada empat kategori orang. Pertama, orang yang tahu bahwa dirinya tahu, ia harus diikuti. Ia harus diperhelangkan (dijadikan semacam burung elang). Yang kedua, orang yang tahu, dia tidak tahu. Ia harus diajari. Semacam kita-kita ini. Yang ketiga, tidak tahu bahwa ia tahu. Ia harus dikejutkan, harus diberi kesadaran. Keempat, ia tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu, ia harus ditepikan. Problemnya justru orang yang seperti ini kadang dipernobatkan, padahal ia akan buat banyak masalah.

Karegori ini penting, agar kita tahu menempatkan orang dimana. Orang yang tahu bahwa dirinya tahu, perlu dipernobatkan. Ar Raniri dan Raja Ali Haji perlu diteladani misalnya, agar rakyat menjadi terbimbing. Tapi kalau ia tidak tahu, hanya menuruti nafsunya, hanya karena keluarganya dari yang berkuasa, bapaknya orang berkuasa, atau ia menjadi menantunya kemudian berkuasa, maka rusaklah rakyat itu. Maka Abdullah Munsyi menyebut, bagaimana personifikasi orang di zamannya, setelah kerajaan Malaka hancur: Belalang disangka elang, cacing disangka ular naga, kutu disangka kura-kura. Jadi terjadi confussion and error.

Ada yang menyebut bahwa kepemimpinan yang benar itu adalah kepemimpinan berfikir, bukan kepemimpinan politik, ekonomi, militer, dan lain-lain. Bagaimana pendapat Anda?

Mengikut Imam Ghazali, ada tiga tipe kepemimpinan. Pertama, kepemimpinan para anbiya’, yang memimpin jiwa dan tubuh manusia. Kedua, kepemimpinan para umara’ yang memimpin tubuh saja. Ketiga kepemimpinan para ulama, yang memimpin jiwa. Bagi al Ghazali dan berlaku umat Islam juga, kepemimpinan yang paling afdhal, selepas Nabi, adalah kepemimpinan ulama. Sebab ulama dalah pewaris anbiya. Walaupun tubuh itu penting, tapi yang terbesar dalam manusia ini adalah jiwanya. Jiwanya bukan untuk hidup duniawi, tapi juga ukhrawi. Kalau boleh kedua-keduanya tentu lebih afdhal. Sebab ada di kalangan umara yang berupaya memimpin jiwanya masyarakat, ilmunya ada. Dan juga ada ulama yang bisa memimpin masyarakat, karena dia pewaris anbiya’ itu. Seperti contohnya para sahabat. Jadi ini bukan tiga kategori yang terpisah. Tapi tak banyaklah orang seperti ini.*

(Petikan wawancara bisa dinikmati di Majalah Hidayatullah, edisi Oktober 2009).

Selasa, 01 September 2009

Ilmu, Adab dan Kejayaan Bangsa


“Berjuanglah untuk memperoleh pelbagai ilmu dan peliharakan. Wahai pemuda jika kamu dapat menyebarkan ilmu niscaya kamu yang sempurna keperwiraannya. Himpunlah pelbagai kitab yang diciptakan. Allah berfirman kepada Nabi Yahya, peganglah kitab yang diwahyukan serta dengan kesungguhan.” (Syekh Ahmad al Fattani)


Tahun 1850 Masehi, di Melayu muncullah kitab yang monumental yang ditulis Raja Ali Haji yang ditulis dalam bahasa Arab Melayu yang berjudul Bustan al Katibin. Menurut Prof. Hashim bin Musa dari Universiti Malaya, kitab ini merupakan tulisan paling awal tentang bahasa Melayu yang disusun oleh orang Melayu. Delapan tahun kemudian (1858 M), Raja Ali Haji juga menulis tentang bahasa Melayu, yaitu Pengetahuan Bahasa: Kamus Loghat Melayu Johor, Pahang, Riau dan Lingga. “Sesungguhnya karya-karya tentang bahasa Melayu oleh Raja Ali Haji ini merupakan warisan yang amat berharga yang menjadi penyambung kepada tradisi pengajian bahasa dalam Islam yang bermula sejak zaman awal Islam lagi,”terang Prof Hashim yang memberi pengantar dan memperkenalkan kitab ini. (Bustan al Katibin, Raja Ali Haji, 2005:xiii).



Dalam Islam, memang ada keterkaitan yang dalam antara pemahaman bahasa atau ilmu dengan pentauhidan kepada Allah. “Dalam Islam, pengajian bahasa khususnya bahasa Arab dan bahasa penganut Islam yang lain, merupakan ilmu alat untuk mencapai makrifat yaitu mengenali Allah dan seluruh kewujudan, memperteguh keimanan dan ketakwaan, dan menyemai adab kesopanan yang mulia, yang mengandungi antara lain ilmu-imu nahwu (sintaksis), sharaf (morfologi), qawaid (bahasa), mantiq (logika), balaghah (retorik), istidlal (pendalilan), kalam (penghujahan) dan sebagainya,”ungkap Prof. Hashim.



Dalam kitabnya Bustanul Katibin ini, Raja Ali Haji memulai dengan Muqaddimah dengan judul Fi Fadhilati al ilmu wal aqlu (Kelebihan Ilmu dan Akal). Pertamanya. ia mengutip hadits Rasulullah yang terkenal: “Barangsiapa dikehendaki Allah kebaikan, maka ia diberi pemahaman kepada ilmu agama (ad diin).” Kemudian Ali Haji menyatakan: “Adapun kelebihan akal itu seperti kata hukama husnu haliah, artinya akal itu sebaik-baik perhiasan. Dan lagi kata hukama al fadhlu bil aqli wal adabu la bil ahli wan nasabi, artinya kelebihan itu (pada) akal dan adab dan tiada (bukan) sebab bangsa dan asal.” Maka, terangnya, “Jikalau beberapa pun bangsa jika tiada ilmu dan akal dan adab, ke bawah juga jatuhnya, yakni kehinaan juga diperolehnya.”



Di sini, Ali Haji mengaitkan hubungan yang erat antara ilmu, akal dan adab. Artinya agar akal dan adab seseorang, masyarakat atau bangsa menjadi baik (menjadi unggul), maka mesti diberi ilmu yang benar. Lebih tegas lagi, Ali Haji menyatakan : “Man sa’a adabahu dha’an nasbahu, artinya barangsiapa jahat adabnya sia-sialah bangsanya.”





Selain itu, ulama, penasihat raja dan sastrawan dari Riau ini juga menjelaskan tentang tanda-tanda orang berakal. Ia mengungkapkan : ”Dan lagi kata Hukama, bermula itu akal basra’atul fahm, artinya, tanda berakal segera faham dan tahratul aqlu husnul ikhtiar wa dalil li tahu sahbatul ikhtiara, artinya buah akal itu membaikkan ikhtiar, dan tandanya bersahabat dengan orang yang pilihan daripada orang yang baik-baik.”



Kemudian, Ali Haji menunjukkan hubungan ilmu dengan kalam (kalimat/bahasa). ”Adapun kelebihan ilmu wal kalam amat besar sehingganya mengata setengah hukama, segala pekerjaan pedang boleh diperbuat dengan qalam. Adapun pekerjaan-pekerjaan qalam tiada boleh diperbuat dengan pedang, maka ini ibarat yang terlebih sangat nyatanya. Dan beberapa ribu dan laksa pedang yang sudah terhunus, dengan seguris qalam jadi tersarung, terkadang jadi tertangkap dan terikat dengan pedang sekali.”



Ali Haji menerangkan, apabila seseorang sudah mengetahui kelebihan ilmu, maka ia harus memelihara adab dan syaratnya. ”Adapun syaratnya itu, yaitu antara nafsumu dengan dirimu sendiri. Adapun adabnya itu antaramu dan gurumu.” Lebih lanjut ia menjelaskan lima syarat keberhasilan menuntut ilmu: ”Pertama, al himmat, artinya bersungguh-sungguh hal yang kuat pada hati pada berkehendak mendapat akan ilmu itu. Kedua, al mudarasah, artinya kuat mendaras (mengulang), meskipun sudah dapat akan mafhumnya, hendaklah didaras juga mana-mana ilmu yang sudah dibaca itu. Ketiga, muzakarah, artinya menyebut-nyebut ilmu itu pada yang bersama-sama menuntut mengaji sertanya, barangkali taulan kita itu lupa atau kita sendiri pun lupa juga. Maka tatkala dibawa beringat-ingatan itu menjadi menjadi bertambah-tambah ingatnya. Kelima, mutala’ah, artinya menilik pada ilmu yang sudah kita kaji itu serta memikirkan maknanya dan memikirkan mafhumnya, maka jika dapat maka yaitu yang dituntut. Dan lagi tersangkut pada fikiran kita itu sama ada pada maknanya atau mafhumnya ingatkanlah baik-baik pada tentang yang kita tersangkut itu. Apabila berjumpa dengan taulan kita yang sama pengajian dengan kita itu, maka kita tanyalah kepadanya. Maka jika taulan kita tiada juga boleh menguraikan barang yang kita tersangkut, maka kembalilah pada guru kita bertanyakan yang kita musykilkan itu, insya Allah Taala hasillah maksud kita adanya.”



Menurut Prof. Syed Mohammad Naquib al Attas yang juga diamati oleh Prof. Braginsky (1989,1993), pekerjaan kalam –istilah yang merujuk pada kegiatan penulisan—adalah tonggak kebudayaan Melayu, yang mengakar umbi selepas kedatangan Islam ke rantau ini. Menurut beliau, di bawah pengaruh Islam, orang Melayu mula sadar tentang kewujudan sastera sebagai satu entiti yang utuh, yang menjadi sebahagian integral hidup mereka (lihat Prof. Ungku Maemunah Mohd Tohir, Kritikan Sastera Melayu, Antara Cerita dan Ilmu, 2007).



Ulama terkemuka Melayu lainnya, Syekh Ahmad al Fathani (1856-1908 dari Pattani) juga pernah mengirim surat kepada Sultan Zainal Abidin, Sultan Trengganu, agar sultan-sultan berperan aktif dalam menyebarkan ilmu di masyarakat. Ia menulis: ”Aku berharap semoga bangsa Melayu dapat maju dengan pimpinannya dan dapat mencapai kemuncak peradaban kesejahteraan. Aku berharap semoga baginda berkenan menyebarkan ilmu, makrifat dan petunjuk. Lalu baginda menjadi kegembiraan dan rakyat mendapat kejayaan. Agar mereka dapat membukukan bahasa Melayu. Karena aku bimbang ia akan hilang atau dirusak oleh perubahan yang berlaku dari masa ke masa. Begitu pula hendaklah mereka mengarang sejarah Melayu yang meliputi segala perihal orang Melayu. Kalau tidak, mereka nanti akan hilang dalam lipatan sejarah. Wahai para cerdik pandai. Hidupkanlah sejarah bangsamu. Dengan itu kamu akan disebut dalam sejarah dan namamu akan harum sepanjang masa. (lihat plakat Khazanah Fathaniyah oleh Wan Mohd. Shaghir Abdullah).



Dalam bukunya Hadiqatul Azhar war Rayan, Asas Teori Takmilah Sastera Melayu Islam (terjemah Wan Mohd Shaghir Abdullah, 1998:80) Syekh Ahmad al Fathani menguraikan bab khusus tentang keutamaan ilmu, ahlinya, mengajar dan belajar. Dalam pendahuluan, ia mengutip al Qur’an surat Ali Imran ayat 18 : ”Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. para malaikat dan orang-orang yang berilmu[(juga menyatakan yang demikian itu). Tidak ada Tuhan melainkan dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”



Syekh al Fathani mengomentari ayat ini : ”Maka tilik olehmu, betapa memulai Allah SWT dengan dirinya, dan menduakan dengan Malaikat dan ’menigakan’ dengan ahli ilmu. Maka memadailah akan dikau dengan demikian itu, kelebihan, dan kemuliaan ilmu dan ahlinya.”



Ia juga mengutip pendapat Imam Syafii: ”Bermula menuntut ilmu itu terlebih utama daripada sembahyang sunat. Dan daripadanya juga Imam Syafii berpendapat: ”Barangsiapa tiada kasih (cinta) akan ilmu, tiada kebajikan padanya. Maka janganlah ada antara engkau dan antaranya berkenal-kenalan dan bertolan (bersahabat). Maka bahawasanya, yakni ilmu itu, kehidupan bagi segala hati, dan pelita bagi bashiran, yakni mata hati.”



Ia juga menyatakan : ”Ketahuilah olehmu bahawasanya ahli negeri yang besar-besar yang lain daripada bangsa kita sangat mengamat-amati (berusaha dengan sungguh-sungguh), mereka itu dengan syaan ilmu. Dan bersungguh-sungguh mereka itu mengajarkan dia akan anak-anak mereka itu hingga yang perempuan mereka itu sekalipun. Dan usaha mereka itu sehabis-habis usaha pada memudahkan menuntuti ilmu bagi segala orang yang gemar padanya dengan sekalian jalan...dan membina mereka itu akan beberapa banyak madrasah, iaitu rumah tempat mengajar, dan mengaji segala ilmu dan berbagai-bagai hikmah dan kepandaian yang bergantung dengan dunia dan akhirat mereka itu.”



Sultan Ahmad al Fathani juga menulis dalam bukunya itu harapan kepada kepada raja-raja Melayu yang besar diantaranya, Sutan Pattani, Sultan Kelantan, Sultan Trengganu, Sultan Kedah, Sultan Johor dan Sultan Deli, agar : ”Membesarkan segala himmah mereka itu, dan menghadapkan segala inayah mereka itu dan menyungguh-nyungguhkan usaha mereka itu pada bahawa dijadikan segala negeri mereka itu: bendaharaan ilmu, dan perladungan kepandaian, dan membukakan segala mata anak jenis mereka itu: kepada memandang cemerlang kebijakan dan handalan. Supaya ada kemegahan bangsa Melayu antara segala alam dan tertinggi nama mereka itu antara Bani Adam dan bertambah-tambah kelebihan ulama mereka itu atas segala ulama dan bertambah nyata agama mereka itu atas segala agama.”



Walhasil kita tutup kajian ringkas tentang ulama Melayu ini dengan Gurindam Dua Belas, Raja Ali Haji :



Jika hendak mengenal orang berbangsa

Lihat kepada budi dan bahasa



Jika hendak mengenal orang yang berbahagia

Sangat memeliharakan (diri dari) yang sia-sia



Jika hendak mengenal orang mulia

Lihatlah kepada kelakuan dia



Jika hendak mengenal orang yang berilmu

Bertanya dan belajar tiada jemu



Jika hendak mengenal orang yang berakal

Di dalam dunia mengambil bekal



Jika hendak mengenal orang yang baik perangai

Lihat pada ketika bercampur dengan orang ramai* (nh)

Senin, 13 Juli 2009

Belajarlah, Agar Beradab!


Belajarlah, Agar Beradab!

Dr Adian Husaini
Peneliti INSISTS

Nuim Hidayat MSi
Peneliti INSISTS

Pendiri Nahdlatul Ula ma (NU), KH M Hasyim Asy’ari, menulis sebuah buku penting bagi dunia pendidikan. Judulnya, Aadabul ‘Aalim wal Muta’allim Terjemahan har fiahnya: Adab Guru dan Murid. Buku ini membahas tentang konsep adab. Kyai Hasyim Asy’ari membuka kitabnya dengan mengutip ha dits Rasulullah saw: “ Haqqul waladi ‘alaa waalidihi an-yuhsina ismahu, wa yuhsina murdhi’ahu, wa yuhsina adabahu.” (Hak se orang anak atas orang tuanya adalah men da patkan nama yang baik, pengasuhan yang baik, dan adab yang baik).


Jadi, mendidik anak agar menjadi orang beradab, seja tinya adalah tugas orang tua. Sebagai institusi pendidikan, sekolah mengambil alih sebagian tugas itu, menggantikan amanah yang dibebankan ke pada orang tua. Tujuannya te tap sama: jadikanlah anak beradab! Adab memang sangatlah penting kedudukannya dalam ajaran Islam. Imam Syafii, imam mazhab yang banyak menjadi panutan kaum Muslim di Indonesia, pernah ditanya, bagaimana upayanya dalam me raih adab? Sang Imam menjawab, bahwa ia selalu mengejar adab laksana seorang ibu yang mencari anak satu-satunya yang hilang.”

Demikianlah sebagian penjelasan KH Hasyim Asy’ari tentang makna adab. Menyimak paparannya, maka tidak bisa tidak, kata adab memang merupakan istilah yang khas maknanya dalam Islam. Bahkan, menurutnya, salah satu indikator amal ibadah seseorang diterima atau tidak di sisi Allah SWT adalah tergantung pada sejauh mana aspek adab disertakan dalam setiap amal perbuatan yang dilakukannya.

Lalu, apa sebenarnya kon sep adab? Uraian yang lebih rinci tentang konsep adab dalam Islam disampaikan oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, pakar filsafat dan sejarah Melayu. Menurut Prof. Naquib al-Attas, adab adalah “pengenalan serta pengakuan akan hak keadaan sesuatu dan kedudukan seseorang, dalam rencana susunan berperingkat martabat dan darjat, yang merupakan suatu hakikat yang berlaku dalam tabiat semesta.” Pengenalan adalah ilmu; pengakuan adalah amal. Maka, pengenalan tanpa pengakuan seperti ilmu tanpa amal; dan pengakuan tanpa pengenalan seperti amal tanpa ilmu. “Keduanya sia-sia kerana yang satu mensifatkan keingkaran dan keangkuhan, dan yang satu lagi mensifatkan ketiada sedaran dan kejahilan,” demikian Prof. Naquib al-Attas. (SM Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum Mus limin, (ISTAC, 2001).

Begitu pentingnya masalah adab ini, maka bisa dikatakan, jatuh-bangunnya umat Islam, tergantung sejauh mana me reka dapat memahami dan menerapkan konsep adab ini dalam kehidupan mereka. Ma nusia yang beradab terhadap orang lain akan paham bagai mana mengenali dan mengakui seseorang sesuai harkat dan martabatnya. Martabat ulama yang shalih beda dengan mar tabat orang fasik yang durha ka kepada Allah. Jika dikata kan menyebutkan, manusia yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling taqwa, ma ka seorang yang beradab tidak akan lebih menghormat kepa da penguasa yang zalim ketimbang guru ngaji di kampung yang shalih. Itu adab kepada manusia.

Adab terkait dengan iman dan ibadah dalam Islam. Adab bukan sekedar “sopan santun”. Jika dimaknai sopan santun, bisa-bisa ada orang yang menuduh Nabi Ibrahim a.s. sebagai orang yang tidak beradab, karena berani menyatakan kepada ayahnya, “Se sungguhnya aku melihatmu dan kaummu berada dalam kesesatan yang nyata.” (QS 6:74). Bisa jadi, jika hanya ber dasarkan sopan santun, tindakan mencegah kemunkaran (nahyu ‘anil munkar) akan dikatakan sebagai tindakan tidak beradab. Padahal, dalam Is lam, adab terkait dengan iman dan ibadah kepada Allah. Ukuran seorang beradab atau tidak ditentukan ber dasarkan ukuran sopansan tun menurut manusia. Seorang yang berjilbab di kolam renang bisa dikatakan ber perilaku tidak sopan, karena semua perenangnya berbikini.

Adab di Tamadun Melayu

Ulama besar dan sastrawan dari Riau, Raja Ali Haji pun telah menyinggung tentang pentingnya akal dan adab. Ia menyatakan kelebihan seorang manusia adalah pada akal dan adab dan bukan pada janis bangsa dan asal. Maka, dalam kitabnya, Bustan al Katibin, yang ditulisnya tahun 1850, ia menyatakan: “Jikalau beberapa pun bangsa jika tiada ilmu dan akal dan adab, ke bawah juga jatuhnya, yakni kehinaan juga diperolehnya.”

Maka agar seseorang, masyarakat atau bangsa itu menjadi mulia, Ali Haji menasehatkan agar individu-individu itu memahami agama. Sebagaimana hadits Rasulullah saw yang terkenal: “Barang siapa dikehendaki Allah kebaikan, maka ia diberi pemahaman kepada ilmu agama (ad diin).”

Pembinaan individu yang ber-adab ini juga menjadi perhatian yang serius ulama-ulama Melayu abad 18. Seperti Syekh Abdus Shamad al Palimbani dan Syekh Daud Abdullah Fathani. Syekh Palimbani misalnya menulis Hidayah as Salikin. Kitab ini disusun diantaranya merujuk pada karya-karya Imam al Ghazali Minhajul Abidin, Ihya’ Ulumud Din dan dan al-Ar bain fi Ushul ad Din. Sedangkan karya Syeikh Daud bin Abdul lah al Fathani di antara nya adalah menerjemahkan kitab al Ghazali Bidayah al Hidayah. (Dikutip dari maka lah pakar sejarah Melayu, Wan Mohd Shaghir Abdullah, “Se ja rah Tasawuf dan Perkembangannya di Nusantara”, 2006).

Syekh Wan Ahmad al Fathani dari Pattani (1856-1908), dalam kitabnya Hadiqatul Azhar war Rayahin (Terj. Oleh Wan Shaghir), berpesan agar seseorang mempunyai adab, maka ia harus selalu dekat dengan majelis ilmu. Ia menyatakan : “Jadi kan olehmu akan yang sekedudukan engkau itu (majelis) perhimpunan ilmu yang engkau muthalaah akan dia. Su pa ya mengambil guna eng kau daripada segala adab dan hikmah.”

Menjabarkan konsep adab Prof. SM Naquib al-Attas, Prof. Wan Mohd. Nor Wan Daud, guru besar Institut Alam dan Tamadun Melayu-Universiti Kebangsaan Malaysia, mencatat, bahwa sedikitnya terdapat 18 entri mengenai ta’dib, addaba dan adab yang bisa dijumpai dalam lebih dari satu buku koleksi hadits. Lihat AJ Wensinck dan JP Mensing, Boncordance Indices de la Tradition Musulmane, 7 jil. (Leiden :EJ Brill, 1943), I :26 ; Nasrat Abdel Rahman, The Semantic of Adab in Arabic, al Syajarah jil.2, No. 2, 1997, hh. 189-207. Dalam artikel ini Prof. Abdel Rahman mengana lisis pelbagai arti perkataan adab dan perkataan yang dide rivasi darinya, khususnya per kataan ta’dib, dari 50 penga rang (penulis) buku berbahasa Arab dan analisis tersebut secara umum menguatkan pemahaman al Attas.”

Perkataan adab, menurut al Attas, memiliki arti yang sangat luas dan mendalam, sebab pada awalnya perkataan adab berarti undangan ke sebuah jamuan makan,yang di dalamnya sudah terkandung ide mengenai hubungan social yang baik dan mulia. Namun adab kemudian digunakan dalam konteks yang terbatas, seperti untuk sesuatu yang merujuk pada kajian kesusastraan dan etika profesional dan kemasyarakatan. Menurut Wan Daud, filosof terkenal, Al Farabi juga mendefinisikan ta’dib sebagai aktivitas yang memproduksi suatu karakter yang bersumber dari sikap moral. Maka, sebenarnya, makna kedua istilah, ta’lim dan tarbiyah telah tercakup di dalam istilah ta’dib. Ibnul Mubarak menyatakan: “Kita lebih memerlukan adab daripada ilmu yang banyak.”

Jika adab hilang pada diri seseorang, maka akan mengakibatkan kezaliman, kebodohan dan menuruti hawa nafsu yang merusak. Karena itu, adab mesti ditanamkan pada selu ruh manusia dalam berbagai lapisan, pada murid, guru, pe mimpin rumah tangga, pemimpin bisnis, pemimpin masya rakat dan lainnya. Bagi orang-orang yang memegang institusi, bila tidak terdapat adab, maka akan terjadi kerusakan yang lebih parah. Kata Prof Wan Mohd. Nor: “Gejala penyalahgunaan kuasa, penipu an, pelbagai jenis rasuah, politik uang, pemu baziran, kehilangan keberanian dan keadilan, sikap malas dan ‘sam bil lewa’, kegagalan pemimpin rumah tangga dan sebagainya mencerminkan masalah pokok ini.”

Sikap boros dalam menggunakan kekayaan negara adalah sifat yang buruk bagi pemimpin dan dapat berakibat pada pencopotan dari jabatannya. Da lam teks Hikayat Aceh menurut Prof. Wan Mohd Nor (2007), terdapat dua kasus, dimana Sultan Seri Alam yang sangat boros dan Sultan Zainal Abidin yang zalim dimakzulkan dari kursi pemerintahan.

Adab terhadap ilmu

Jadi, menurut Prof. Wan Mohd. Nor, jika adab hilang pada diri seseorang, maka akan mengakibatkan kezalim an, kebodohan dan menuruti hawa nafsu yang merusak. Ma nusia dikatakan zalim, jika - misalnya - meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Maka, dengan pemahaman seperti itu, seorang Muslim yang ber adab pasti lebih mencintai dan meng idolakan Nabi Muham mad saw ketimbang manusia manapun.

Manusia Muslim yang beradab juga akan menghormati sahabat-sahabat nabi dan keluarganya. Begitu juga seorang muslim yang beradab akan lebih menghormati ulama pewaris nabi, ketimbang penguasa yang zalim.

Salah satu adab penting yang harus dimiliki se orang Muslim adalah adab terhadap ilmu. Saeorang yang ber adab, menurut SM Naquib al-Attas, seorang ber adab haruslah mengenal dera jat ilmu, mana ilmu yang wajib ‘ain (wa jib dimiliki oleh setiap muslim) dan mana yang wajib kifayah (wa jib dimiliki sebagian Muslim).

Islam memandang kedudukan ilmu sangatlah penting, sebagai jalan mengenal Allah dan beribadah ke pada-Nya. Ilmu juga satu-satunya jalan meraih adab. Orang yang berilmu (ulama) adalah pewaris nabi. Karena itu, dalam Bidayatul Hidayah, Imam Al-Ghazali mengingat kan, orang yang mecari ilmu dengan niat yang salah, untuk mencari keuntungan duniawi dan pujian manusia, sama saja dengan menghancurkan agama. Dalam kitabnya, Adabul ‘Alim wal-Muta’allim, KH Hasyim Asy’ari juga mengutip hadits Rasulullah saw: “Barangsiapa mencari ilmu bukan karena Allah atau ia mengharapkan selain keridhaan Allah Ta’ala, maka bersiaplah dia mendapatkan tempat di neraka.”

Ibnul Qayyim al-Jauziyah, murid terkemuka Syaikhul Islam Ibn Taimiyah, juga menulis sebuah buku berjudul Al-Ilmu. Beliau mengutip ungkapan Abu Darda’ ra yang menyatakan: “Barang siapa berpendapat bahwa pergi menuntut ilmu bukan merupakan jihad, sesungguhnya ia kurang akalnya.”

Abu Hatim bin Hibban juga meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah ra, yang pernah mendengar Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa masuk ke masjid ku ini untuk belajar kebaikan atau untuk mengajarkannya, maka ia laksana orang yang berjihad di jalan Allah.”

Karena begitu mulianya kedudukan ilmu dalam Islam, maka seorang yang beradab tidak akan menyia-nyiakan umurnya untuk menjauhi ilmu, atau mengejar ilmu yang tidak bermanfaat, atau salah niat dalam meraih ilmu. Sebab, akibatnya sangat fatal. Ia tidak akan pernah mengenal Allah, tidak akan pernah meraih kebahagiaan sejati. Sebab, dengan mengenal dan berzikir kepada Allah, maka hati akan menjadi tenang.

Maka, belajarlah ilmu yang benar! Belajarlah dengan niat yang benar! Jadilah manusia yang adil dan beradab! Ingatlah, nasihat Luqmanul Hakim kepada anaknya: ”Wa hai anak ku, janganlah kamu menserikatkan Allah, sesungguhnya syirik adalah kezaliman yang besar.” (QS 31:13).(-)

Kamis, 09 Juli 2009 pukul 01:57:00, http://republika.co.id/koran/155/61060/Belajarlah_Agar_Berasab

Jumat, 03 Juli 2009

Nasehat Natsir, Al Fatih dan Sayyidina Ali



Nasehat Natsir, Al Fatih dan Sayyidina Ali

Nuim Hidayat
Peneliti INSISTS

Mohammad Natsir lahir di Minangkabau, Sumatera Barat, 17 Juli 1908. Wafat di Jakarta 6 Februari 1993. Ia dididik Islam sejak kecil oleh orang tua dan lingkungannya. Pendidikan formal di HIS Solok, MULO (1923-1927) dan AMS di Bandung (1930). Ia antara lain berguru kepada KH A Hassan, KH Agus Salim dan Syekh Ahmad Syurkati.

Natsir beberapa periode pernah menjadi Menteri Penerangan dan Perdana Menteri. Natsir memegang sebagai Ketua Pimpinan Pusat Masyumi pada 1949, 1951, 1952, 1954 dan 1956. Setelah Masyumi dibubarkan, Buya Natsir dengan kawankawannya -tokoh-tokoh Islam Masyumimendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia pada 1967.

Ketika berkiprah di Dewan Dakwah, Natsir melakukan pendidikan dai secara nasional dan sistematis, mendirikan perguruan tinggiperguruan tinggi Islam di luar IAIN, memelopori pendirian pesantren-pesantren di sekitar kampus-kampus umum, mengirimkan dai-dai sekolah ke Timur Tengah dan lain-lain.

Ketokohan Natsir bukan hanya pada tulisan-tulisannya yang bernas dan mence rahkan, tapi juga sejarah hidup dan perjuangan dakwahnya yang mencengangkan. Mulai remaja, dewasa sampai dengan tuanya, kehidupan Natsir penuh dengan keteladanan. Sehingga Mr. Mohammad Roem menyatakan bahwa kalaulah Natsir itu bukan orang yang paling pandai, ia adalah seorang yang terpandai di Indonesia.

Dalam dialognya dengan Amien Rais, Kuntowijoyo dkk pada 1986-1987, Natsir mengkhawatirkan adanya penyakit bangsa Indonesia, termasuk umat Islamnya, yaitu cinta berlebihan kepada dunia. Kata Natsir: “Umat Islam dihinggapi penyakit wahn, yakni dunia yang berlebihan dan takut mengambil risiko. Keadaan semacam ini pernah terjadi dalam sejarah, pada waktu itu para prajurit yang ikut berperang karena tergiur pada harta rampasan perang, lalu karena kelengahan dan kepongahan ini mereka dengan mudah dikalahkan musuh. Hal ini terjadi pada saat Islam mengembangkan sayapnya di daratan Eropa.

Di negara kita penyakit cinta dunia yang berlebihan itu merupakan gejala yang “baru”, tidak kita jumpai pada masa revolusi, dan bahkan pada masa Orde Lama (kecuali pada sebagian elite masyarakat). Tetapi gejala yang “baru” ini, akhir-akhir ini terasa pesat “perkembangannya”, sehingga seperti sudah menjadi wabah dalam masyarakat. Jika gejala ini dibiarkan berkembang terus, maka bukan saja umat Islam akan dapat mengalami kejadian yang menimpa Islam di Spanyol, tetapi bagi bangsa kita umumnya akan menghadapi persoalan sosial yang cukup serius.

Penyakit cinta dunia ini, dengan demikian, memang bukan semata-mata permasalahan dakwah, yang harus dihadapi para mubaligh dan dai, tetapi sudah merupakan permasalahan nasional. Dalam konteks yang terakhir ini masalahnya menjadi lebih sulit ( complicated) karena bukan saja merupakan masalah ekonomi, tetapi masalah sosial, budaya, dan bahkan politik. Untuk ini terpulanglah kepada para pengambil keputusan untuk mengatasinya.”

Nasehat Natsir ini selaras dengan nasehat Mohammad al Fatih, pemimpin besar Islam yang menaklukkan Konstantinopel menjelang wafatnya:

“Tak lama lagi aku akan menghadap Allah SWT. Namun aku sama sekali tidak merasa menyesal, sebab aku meninggalkan pengganti seperti kamu. Maka jadilah engkau seorang yang adil, saleh dan pengasih.

Rentangkan perlindunganmu terhadap seluruh rakyatmu tanpa perbedaan. Bekerjalah kamu untuk menyebarkan agama Islam sebab ini merupakan kewajiban raja-raja di bumi.

Kedepankan kepentingan agama atas kepentingan lain apapun. Janganlah kamu lemah dan lengah dalam menegakkan agama. Janganlah kamu sekali-kali memakai orang-orang yang tidak peduli agama menjadi pembantumu. Jangan pula kamu mengangkat orang-orang yang tidak menjauhi dosa-dosa besar dan larut dalam kekejian...

Oleh sebab ulama itu laksana kekuatan yang harus ada di dalam raga negeri, maka hormatilah mereka. Jika kamu mendengar ada seorang ulama di negeri lain, ajaklah dia agar datang ke negeri ini dan berilah dia harta kekayaan. Hati-hatilah jangan sampai kamu tertipu dengan harta benda dan jangan pula dengan banyaknya tentara. Jangan sekali-kali kamu mengusir ulama dari pintupintu istanamu. Janganlah kamu sekali-kali melakukan satu hal yang bertentangan dengan hukum Islam. Sebab agama merupakan tujuan kita, hidayah Allah adalah manhaj (pedoman) hidup kita dan dengan agama kita menang.

Ambillah pelajaran ini dariku. Aku datang ke negeri ini laksana semut kecil, lalu Allah karuniakan kepadaku nikmat yang demikian besar ini. Maka berjalanlah seperti apa yang aku lakukan. Bekerjalah kamu untuk meninggikan agama Allah dan hormatilah ahlinya. Janganlah kamu menghambur-hamburkan harta negara dalam foya-foya dan senang-senang atau kamu pergunakan lebih dari yang sewajarnya. Sebab itu semua merupakan penyebab utama kehancuran.”

Patut juga para pemimpin negeri ini mengambil ibrah dari surat-surat Sayyidina Ali r.a. yang sangat berharga. Nasehat khalifah keempat ini adalah surat-surat yang dikirimkannya kepada gubernur Mesir Malik bin Harits al Asytar, pada tahun 655M. Nasihat ini berisi prinsip-prinsip dasar tentang pengelolaan atau manajemen sebuah pemerintahan, organisasi dan lain-lain.

Menurut Profesor A Korkut Özal dari Turki, pada perkembangan selanjutnya ternyata surat ini memberi banyak inspirasi bahkan menjadi bahan acuan bagi banyak pemimpin, melintasi ruang dan waktu. Tercatat ia mampu melintasi Eropa di masa Renaissance bahkan Edward Powcock (1604-1691), profesor di Universitas Oxford, menerjemahkan surat ini ke dalam bahasa Inggris untuk pertama kalinya dan pada 1639 disebarkan melalui serial kuliahnya yang disebut Rhetoric. Diantara nasehatnya adalah: “Ketahuilah wahai Malik bahwa aku telah mengangkatmu menjadi seorang Gubernur dari sebuah negeri yang dalam sejarahnya berpengalaman dengan pemerintahan-pemerintahan yang benar maupun tidak benar.

Sesungguhnya orang-orang akan melihat segala urusanmu, sebagaimana engkau dahulu melihat urusan para pemimpin sebelummu. Rakyat akan mengawasimu dengan matanya yang tajam, sebagaimana kamu menyoroti pemerintahan sebelumnya juga dengan pandangan yang tajam. Mereka akan bicara tentangmu, sebagaimana kau bicara tentang mereka.

Sesungguhnya rakyat akan berkata yang baik-baik tentang mereka yang berbuat baik pada mereka. Mereka akan (dapat) ‘menggelapkan’ semua bukti dari tindakan baikmu. Karenanya, harta karun terbesar akan kau peroleh jika kau dapat menghimpun harta karun dari perbuatan-perbuatan baikmu. Jagalah keinginan agar selalu di bawah kendali dan jauhkan dirimu dari halhal yang terlarang. Mereka adalah makhlukmakhluk yang lemah, bahkan sering melakukan kesalahan. Bagaimanapun berikanlah ampun dan maafmu sebagaimana engkau menginginkan ampunan dan maaf dari-Nya. Sesungguhnya engkau berada di atas mereka dan urusan mereka ada di pundakmu.

Sedangkan Allah berada di atas orang yang mengangkatmu. Allah telah menyerahkan urusan mereka kepadamu dan menguji dirimu dengan urusan mereka. Jangan katakan:”Aku ini telah diangkat menjadi pemimpin, maka aku bisa memerintahkan dan harus ditaati”, karena hal itu akan merusak hatimu sendiri, melemahkan keyakinanmu pada agama dan menciptakan kekacauan dalam negerimu.

Bila kau merasa bahagia dengan kekuasaan atau malah merasakan semacam gejala rasa bangga dan ketakaburan, maka pandanglah kekuasaan dan keagungan pemerintahan Allah atas semesta, yang kamu sama sekali tak mampu kuasai. Hal itu akan meredakan ambisimu, mengekang kesewenang-wenangan dan mengembalikan pemikiranmu yang terlalu jauh.*

Kamis, 11 Juni 2009 pukul 01:06:00
http://republika.co.id/koran/155/55731/Nasehat_Natsir_Al_Fatih_dan_Sayyidina_Ali

Senin, 08 Juni 2009

Ketika Adab Berpolitik Hilang

Ketika Adab Berpolitik Hilang
Oleh : Nuim Hidayat*

“Jikalau beberapapun bangsa (keturunan) jika tiada ilmu, akal dan adab, ke bawah juga jatuhnya, yakni kehinaan juga diperolehnya” (Raja Ali Haji dalam Bustan al Katibin)

Menyaksikan atraksi elit-elit partai politik menjelang koalisi memilih pasangan presiden beberapa waktu lalu, banyak orang mengelus dada. Beberapa elit partai ngomongnya plintat plintut, omongan hari kemarin bisa berbeda dengan esok hari. Seolah-olah dalam berpolitik boleh tidak konsisten, tanpa adab, seolah-olah kehidupan politik boleh bohong, dan boleh tidak berakhlak. Politik dan aktor-aktornya seolah-olah berada di ruang vakum yang berbeda dengan ruang kehidupan masyarakat lainnya, ruang pendidikan, ruang akhlak, ruang sosial dan terutama ruang agama.

Mereka lupa adanya kata berhikmah “politik hari ini adalah sejarah esok hari”. Masyarakat, terutama kaum terpelajarnya, akan mencatat dengan teliti perkataan para politikus yang kurang beradab. Akan dicatat pula oleh sejarah adanya pemimpin yang suka meninggalkan musyawarah. Pemimpin yang mengikuti hawa nafsunya mengikuti kehendaknya sendiri, meski beberapa sahabat koalisinya mengusulkan sesuatu yang lain yang lebih baik.

Begitulah kalau politik meninggalkan adab. Politik meninggalkan kaidah-kaidah agama. Boleh jadi yang meninggalkan adab dalam berpolitik ini adalah partai-partai Islam sendiri. Sehingga kenapa perolehan suara partai-partai Islam menurun atau stagnan dalam pemilu kali ini, seharusnya elit-elit partai politik Islam mengevaluasi dirinya sendiri. Apakah elit politik partai Islam saat ini hidupnya bermewah-mewah seperti partai sekuler lain? Apakah elit politik partai Islam saat ini mau mengorbankan gajinya karena penduduk Indonesia yang miskin minimal masih 40 juta? Apakah elit politik masih berprinsip yang penting berkuasa meski proses yang ditempuh tidak Islami? Apakah elit politik Islam masih tergoda ketamakan terhadap tahta, wanita, harta? Apakah elit politik Islam masih memikirkan dakwah dan keteladanan dalam sikap politiknya?

Itu diantara pertanyaan-pertanyaan yang mengemuka sekarang. Sulit rasanya kalau aktor-aktor politik Islam meninggalkan adab dalam berpolitik, meninggalkan kaidah-kaidah agama dalam politik, mereka akan mendapat simpati dari mayoritas umat Islam. Terutama simpati tokoh-tokoh umat yang alim dan terpelajar. Banyaknya umat Islam yang golput dan apatis terhadap partai politik, adalah karena ulah elit politik Islam sendiri. Perlu dicatat, bahwa semakin hari, semakin tahun, umat Islam Indonesia –sebagaimana juga tren manusia di dunia-- makin terpelajar, makin kritis dan makin tidak mudah lupa terhadap terhadap sejarah aktor-aktor politik di negeri ini.

Sebagai insan politik, yang sejatinya manusia juga, maka elit politik tidak lepas dari nafsu-nafsu yang menggoda manusia. Apakah nafsu rakus harta, nafsu rakus jabatan, nafsu rakus pemujaan dan juga nafsu rakus seks kepada lain jenis. Para ulama telah bersepakat, bahwa yang dapat mengerem atau mengendalikan nafsu hanyalah agama atau keimanan kepada Allah SWT. Bila iman hilang, maka nafsu itulah yang mengemuka. Imam Ghazali mengibaratkan bahwa dengan akal yang disinari wahyu, maka seorang kusir bisa mengendalikan kudanya (nafsu). Bila tidak maka kudanya akan menjadi liar.

Tercatat dalam sejarah, bagaimana presiden Soekarno tidak bisa mengerem nafsunya kepada wanita. Presiden Soeharto terjajah nafsunya oleh harta. Presiden-presiden berikutnya kita bisa menilai sendiri, nafsu apakah yang mengendalikan mereka. Mungkin nafsu rakus jabatan, nafsu rakus pemujaan atau nafsu-nafsu yang merusak lainnya. Bila nafsu yang lebih berkuasa daripada akal (yang disinari iman), maka menjadilah orang lupa kepada diri sejatinya. Lupa kepada dirinya sebagai manusia biasa yang akan diminta pertanggungan jawab, bukan hanya oleh rakyat tapi yang terutama oleh Yang Maha Pencipta, setelah kematiannya nanti.

Melihat ke negeri tetangga, kondisi elit politik di Malaysia ternyata juga tak jauh beda dengan negeri kita. Ini dicatat oleh Guru Besar UKM, Prof. Mohd Nor Wan Daud : ”Gejala penyalahgunaan kuasa, penipuan, pelbagai jenis rasuah, politik uang, pemubaziran, kehilangan keberanian dan keadilan, sikap malas dan ’sambil lewa’, kegagalan pemimpin rumah tangga dan sebagainya mencerminkan masalah pokok ini.”

Sikap boros dalam menggunakan kekayaan negara adalah sifat yang buruk bagi pemimpin. Dalam teks hikayat Aceh menurut Wan Daud (2007), terdapat dua kasus dimana Sultan Seri Alam yang sangat boros dan Sultan Zainal Abidin yang zalim dimakzulkan dari kursi pemerintahan.

Sifat hasad dengki juga adalah nafsu yang mesti dihindari. Contoh dalam sejarah Melayu yang terkenal adalah rasa iri hati semua para pembesar Malaka –kecuali Bendahara dan Temenggong—di zaman Sultan Mansur Shah terhadap Laksamana Hang Tuah sehingga sanggup menyebarkan fitnah dengan mencipta ”fakta yang palsu” terhadap Hang Tuah. Tindakan sultan yang terburu-buru akibat dan sifat amarah yang tak terkawal telah membuahkan banyak tindakan yang banyak merugikan bangsa (Kassim Ahmad dalam Wan Daud 2007).

Sifat hasad dengki ini juga masyhur dalam kisah pemuda bijak ikhlas dalam sebuah cerita Singapura ’dilanggar’ Todak. Dalam cerita ini tertayang Sultan adalah seorang yang pendek akal dan dikelilingi oleh para pembesar yang kurang berwibawa sehingga sanggup membiarkan banyak orang mati membentengi serangan Todak. Potensi masa depan pemuda yang didengki para pembesar itu dikuatiri oleh Sultan: ”Tuanku, budak (pemuda) itu jikalau sudahabesar, besarlah akalnya. Baiklah ia kita bunuh.”

Karena itu banyak pemikir Islam, yang menulis nasihat-nasihat untuk para pemimpin. Imam Ghazali menulis ’Nasihat al Muluk’ (Nasihat untuk Raja). Imam as Suyuthi menuliskan keteladanan pemimpin-pemimpin Islam dalam ”Tarikhul Khulafa” (Sejarah Para Khalifah). Juga dokumentasi surat-surat nasehat khalifah keempat Ali bin Abi Thalib kepada Gubernur Mesir Malik bin Harits Al Asytar. Menurut Profesor A Korkut Özal dari Turki, pada perkembangan selanjutnya ternyata surat ini memberi banyak inspirasi bahkan menjadi bahan acuan bagi banyak pemimpin, melintasi ruang dan waktu. Tercatat ia mampu melintasi Eropa di masa Renaissance bahkan Edward Powcock (1604-1691), profesor di Universitas Oxford, menerjemahkan surat ini ke dalam bahasa Inggris untuk pertama kalinya dan pada 1639 disebarkan melalui serial kuliahnya yang disebut Rhetoric.

Sifat berani menegakkan yang benar, adalah sifat yang mulia. Imam as Suyuthi mengutip al Bazaar dalam Musnadnya berkisah tentang keberanian Abu Bakar yang diceritakan oleh Ali bin Abi Thalib. Kata Ali : ”Sesungguhnya tatkala peristiwa Badar, kami membuat bangsal berteduh untuk Rasulullah. Kami kemudian berkata: Siapakah yang akan tinggal bersama Rasulullah agar tidak ada seorang pun yang mendekatinya? Maka demi Allah, saat itu tidak ada seorang pun yang mendekat dari kami kecuali Abu Bakar...”

Urwah bin Zubair berkata: ”Saya bertanya Abdullah bin Amr bin Ash tentang kejahatan terbesar yang dilakukan kaum Musyrikin kepada Rasulullah. Abdullah menyatakan: Saya melihat Uqbah bin Muith mendatangi Rasulullah saat shalat. Ia mengikatkan selendangnya di leher Rasulullah dan mencekiknya dengan cekikan yang sangat keras. Kemudian datang Abu Bakar melepaskan selendang itu dari leher Rasulullah. Abu Bakar berkata: Apakah kalian akan membunuh seorang laki-laki yang mengatakan Tuhanku Allah, sedangkan dia datang dengan tanda-tanda kebesaran Tuhannya kepada kalian?

Diantara nasehat khalifah Ali kepada gubernur Malik adalah agar elit politik senantiasa waspada bahwa rakyat selalu mengawasinya. Kata Ali: "Sesungguhnya orang-orang akan melihat segala urusanmu, sebagaimana engkau dahulu melihat urusan para pemimpin sebelummu. Rakyat akan mengawasimu dengan matanya yang tajam, sebagaimana kamu menyoroti pemerintahan sebelumnya juga dengan pandangan yang tajam."

Perlu juga dibaca oleh para pemimpin Islam, buku yang ditulis oleh Dr. Ali Muhammad as Shalabi tentang Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah. As Shalabi diantaranya menulis di buku itu tentang sifat-sifat mulia Sultan Muhammad al Fatih sehingga menjadi pemimpin besar dalam sejarah Islam. Al Fatih menurut para ulama dan sejarawan adalah tokoh yang disebut Rasulullah sebagai penakluk Konstatinopel. "Konstatinopel akan bisa ditaklukkan di tangan seorang laki-laki . Maka orang yang memerintah di sana adalah sebaik-baik penguasa dan tentaranya adalah sebaik-baik tentara." (HR Ahmad)

Sifat-sifat itu adalah: perhatian yang tinggi terhadap universitas dan sekolah, kepeduliannya yang besar terhadap para ulama, perhatiannya terhadap penyair dan sastrawan, kepeduliannya terhadap penerjemahan buku-buku, perhatiannya terhadap pembangunan dan rumah sakit, kepeduliannya terhadap perdagangan dan industri, perhatiannya terhadap masalah administrasi, kepeduliannya terhadap tentara dan armada laut dan komitmennya pada keadilan.

Diantara nasehat Sultan Muhammad al Fatih kepada anaknya, juga kepada para pemimpin negara adalah: "Tak lama lagi aku akan menghadap Allah SWT. Namun aku sama sekali tidak merasa menyesal, sebab aku meninggalkan pengganti seperti kamu. Maka jadilah engkau seorang yang adil, saleh dan pengasih. Rentangkan perlindunganmu terhadap seluruh rakyatmu tanpa perbedaan. Bekerjalah kamu untuk menyebarkan agama Islam sebab ini merupakan kewajiban raja-raja di bumi. Kedepankan kepentingan agama atas kepentingan lain apapun. Janganlah kamu lemah dan lengah dalam menegakkan agama. Janganlah kamu sekali-kali memakai orang-orang yang tidak peduli agama menjadi pembantumu. Jangan pula kamu mengangkat orang-orang yang tidak menjauhi dosa-dosa besar dan larut dalam kekejian.” *

Jumat, 10 April 2009

Demokrasi vs Teodemokrasi

Demokrasi vs Teodemokrasi
Catatan untuk Syafii Maarif dan Azyumardi Azra
Oleh: Nuim Hidayat (Dosen STID M Natsir)

Azyumardi Azra dalam Resonansinya di Republika 25 September 2008, meski mengritik demokrasi, Azra nampak tetap mengagungkan demokrasi. Hal itu terlihat dari rasa gembiranya ikut serta dalam Hari Demokrasi Internasional. Ia menyatakan: “Saya beruntung ikut terlibat dalam sebuah 'percakapan meja bundar' menyambut Hari Demokrasi Internasional itu di New York pada 12 September 2008. Percakapan ini diselenggarakan International IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance), UNDP, dan UN DPA dengan menghadirkan sejumlah pembicara dan pembahas yang merupakan pemikir dan aktivis demokrasi terkemuka di berbagai penjuru dunia.

'Percakapan meja bundar' ini bertitik tolak dari kepedulian tentang kaitan antara demokrasi dan pembangunan, sebaliknya antara pembangunan dan demokrasi. Memang, dalam beberapa kasus, pertumbuhan demokrasi tidak selalu berjalan seiring dengan pembangunan ekonomi dan sosial. Bahkan, terlihat demokrasi yang memunculkan berbagai konsekuensi yang tidak terduga (unintended consequences) dan ekses-ekses telah menghambat pembangunan. Kasus ini terlihat jelas, misalnya, dalam pengalaman Indonesia di masa sepuluh tahun penerapan demokrasi multipartai yang mengakibatkan terjadinya 'pelambatan'' dalam pembangunan ekonomi dan sosial.”

Hal yang sama juga nampak pula dalam diri Syafii Maarif. Dalam artikel Resonansi Republika 12 Agustus 2008, Syafii Maarif nampak pula memuji habis demokrasi. Menurutnya belum ada satupun sistem di dunia ini dalam era sekarang, yang menandingi demokrasi. Ia menyatakan: “Kesulitan kita dengan era modern adalah kenyataan peradaban umat manusia sampai detik ini belum menemukan sistem yang lebih baik dan lebih unggul dari demokrasi.”

Selain itu Maarif juga menguraikan tentang cacat demokrasi di negara kita. Khususnya perilaku elite politik yang jor-joran meraup kekayaan negara dan sistem pemilihan langsung yang nilainya mengerikan, yaitu sampai 400 trilyun. Kemudian dia bertanya sendiri, apakah mungkin sistem demokrasi ini diganti? Jawab Maarif: “Demokrasi harus bertahan karena itu pilihan kita sejak awal. Yang harus digugat secara keras adalah pelaku demokrasi yang semakin teler, menjadi penikmat demokrasi, sebuah pengkhianatan politik yang harus segera demokrasi.”

Kita tentu saja setuju dengan gagasan Azra dan Maarif untuk menghilangkan borok-borok demokrasi negara kita. Tapi pertanyaannya apakah sistem demokrasi kita saat ini bisa menghilangkan perilaku korup, biaya hura-hura pemilu dan biaya iklan pemilu saat ini? (Seorang calon presiden saja saat ini menyewa konsultan dan mengontrak iklan di TV untuk mem-push dirinya ditulis media massa kontraknya sampai 300 milyar!) Terus terang saya sangat meragukan. Karena demokrasi punya cacat bawaan sejak lahir. Dalam perjalanan sejarah demokrasi hanya menguntungkan segelintir elit tertentu atau paling jauh negara-negara tertentu.

Sistem politik yang ideal adalah sistem teodemokrasi bukan sistem demokrasi. Teodemokrasi adalah gagasan yang diluncurkan oleh tokoh-tokoh Islam, antara lain Abul A’la al Maududi, Mohammad Natsir dan Yusuf Qaradhawi. Ketiga tokoh ini setuju konsep teodemokrasi dan menolak konsep Teokrasi, sebuah konsep bentuk negara yang lahir dari sejarah kekuasaan gereja. Maududi, Natsir dan Qaradhawi mengajukan konsep Teodemokrasi (Natsir menyebutnya demokrasi Islam), karena melihat ada keliaran dan cacat bawaan sistem demokrasi, seperti yang kita rasakan sekarang. Meski seolah-olah mirip antara demokrasi dan teodemokrasi, tapi ibaratnya bagai ibarat api dan air.

Konsep demokrasi dan teodemokrasi ini, mirip perbedaannya dengan konsep jual beli dan riba. Zina dan nikah. Jual beli ada keridhaan antara penjual dan pembeli, sedangkan riba ada kezaliman yang terjadi antara ‘periba’ dan yang ‘diribai’. Riba menjadikan masyarakat dipenuhi kezaliman, sedangkan perdagangan menjadikan masyarakat kreatif dan berkeadilan. Begitupula zina, meski keduanya ada kesamaan hubungan biologis di sana, tapi ada perbedaan mendasar. Zina tidak ada syarat-syarat lafadz ijab kabul, saksi dan wali, sedangkan nikah mesti ada syarat-syarat itu. Zina hanya berkeinginan nikmat sesaat belaka. Sedangkan nikah selain ada kenikmatan juga ada tujuan melahirkan dan mendidik anak-anak saleh. Zina mengakibatkan masyarakat hedonis dan hura-hura dan meruntuhkan keluarga, sedangkan pernikahan membawa dampak ketenangan keluarga dan masyarakat.

Maka, demokrasi bukanlah sistem final bagi umat manusia. Para ulama telah mengajukan konsep teodemokrasi. Dimana seolah-olah konsep ini mirip demokrasi, tapi sebenarnya jauh panggang dari api. Di dalam teodemokrasi, kebenaran dari wahyu adalah utama. Sedangkan dalam demokrasi, kebenaran bersumber dari akal semata. Dalam demokrasi rakyat yang berdaulat, dalam teodemokrasi Tuhan yang berdaulat. Dalam teodemokrasi rakyat berkuasa, tapi kedaulatan di ‘tangan Tuhan’. Sebab secara kenyataannya rakyat atau manusia tidak punya kedaulatan meski terhadap dirinya sendiri. Manusia tidak bisa menciptakan mata, otak, syaraf telinga, jantung, dan lain-lain. Bagaimana dikatakan dia berdaulat, sementara kepada dirinya sendiri ia tidak berdaulat?

Di dalam teodemokrasi musyawarah diutamakan sebagaimana demokrasi di negara kita. Tapi tentu saja dalam teodemokrasi musyawarah tidak boleh terhadap hal-hal yang melawan wahyu Allah. Seperti bermusyawarahnya para wakil rakyat (seperti di sebagian di negara Barat), membolehkan minum minuman keras asal di rumah, tidak di tempat-tempat publik atau di jalanan, karena dikhawatirkan menganggu masyarakat. Peraturan seperti ini kan aneh, dibiarkan orang merusak dirinya sendiri. Yang tidak boleh hanya merusak orang lain.

Dalam teodemokrasi maka sistem politik dibangun secara jujur untuk kemuliaan manusia. Tidak ada kemunafikan disana. Misalnya minuman yang telah terbukti membahayakan, maka kepada individu maupun masyarakat dilarang untuk mengkonsumsinya. Begitu pula perzinahan. Dimana telah nyata-nyata menghancurkan akhlak individu dan meruntuhkan moral masyarakat, maka jelas harus dilarang negara. Begitu pula untuk hal-hal lainnya. Begitupula masalah pencurian uang rakyat, penghambur-hamburan uang rakyat, tidak mungkin disahkan dalam sistem teodemokrasi.

Jadi bila dalam demokrasi, akal bisa mengalahkan wahyu, maka dalam teodemokrasi akal mesti tunduk kepada wahyu. Karena logikanya, pembuat wahyu adalah pembuat akal manusia. Jadi wahyu bila diterapkan maka akan menerangi akal, tidak mungkin menggelapkan akal. Dalam demokrasi, karena sangat mengagungkan akal, maka yang terjadi akhirnya akal-akalan. Korupsi diakali bagaimana agar tidak ketahuan, tidak ada bukti dan tidak melanggar hukum. Penimbunan suara rakyat diakali dengan pemberian bantuan tunai, kredit partai dan lain-lain.

Dalam demokrasi, yang terjadi adalah ‘one man one vote’. Kasarnya meskipun makhluk itu setengah manusia, tapi bila dipilih mayoritas maka ia pun terpilih. Karena itu, modal kapital, siasat yang seringkali licik, iklan yang kerap menipu dan ‘pemolesan lipstik’ kandidat menjadi senjata utama. Seorang calon meskipun ia hebat, akhlaknya bagus, manajerialnya hebat dan pemikirannya cemerlang, ia tidak akan jadi pemimpin formal bila ia tidak bermodal atau ada partai yang memodali. Maka jangan heran, bila di Amerika Presiden George W Bush yang jelas-jelas bobrok pribadi dan timnya terpilih dua kali di sana. Di Indonesia, demokrasi, terutama pemilihan Kepala Daerah, menjadikan masyarakat kelas bawah dan bahkan para kiyai berantem. Di Jakarta, pemilihan Gubernur beberapa waktu lalu menjadikan beberapa kiyai dan mubalig saling menfitnah kepada kelompok pendukung atau kandidat yang bukan pilihannya.
Dalam Teodemokrasi, meski tidak menafikan pemilu, tapi musyawarah antar tokoh masyarakat atau ulama menjadi utama. Bila ada pemilihan kandidat bupati, gubernur atau presiden, mestinya tokoh-tokoh itu berembug siapa yang paling cakap untuk memimpin masyarakat. Kepentingan individu dalam hal ini mesti dikesampingkan. Karena para pemimpin negara itu diangkat untuk mengurus masyarakat bukan mengurus orang per orang atau partai per partai. Rasulullah saw menyatakan : Imam Al-Hakim meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda,”Barangsiapa memilih seorang pemimpin untuk suatu kelompok, yang di kelompok itu ada orang yang lebih diridlo’i Allah dari pada orang tersebut, maka ia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman.”
Rasulullah saw., bersabda,”Tiga golongan yang pada hari kiamat kelak tidak akan diajak bicara oleh Allah, tidak akan disucikan (dihapus dosa-dosanya), dan bagi mereka siksaan yang pedih. Golongan pertama adalah seseorang yang memiliki kelebihan air di jalanan (berumah di pinggir jalan), tapi menolak memberikannya kepada ibnu sabil (musafir yang sedang lewat). Golongan kedua adalah seseorang yang memilih pemimpin karena si calon memiliki harta. Jika si calon memberi apa yang ia inginkan, ia akan memilihnya; jika si calon tidak memberinya sesuatu yang berupa materi, si calon tidak dipilihnya. Adapun golongan ketiga adalah, seseorang yang menawarkan barang dagangan kepada orang lain di waktu sore hari, ia bersumpah atas nama Allah bahwa barangnya telah ditawar sekian, sehingga calon pembeli membelinya dengan harga tersebut, padahal tidak pernah ada sebelumnya orang yang menawar seperti itu.” (HR Bukhari)


Memang selain ada cacat bawaan, tidak bisa dipungkiri demokrasi juga membuat masyarakat Barat lebih maju. Keterbukaan informasi, transparansi, semangat bersaing, dan semangat pengembangan teknologi menjadi berkembang pesat. Dalam Teodemokrasi hal-hal yang merupakan fitrah manusia ini, tentu tidak akan dinafikan. Bahkan semangat untuk pengembangan ilmu, transparansi dan persaingan itu diberikan nilai, sehingga memberikan manfaat kepada manusia sebear-besarnya. Maka jangan heran di kala peradaban Islam mempengaruhi dunia (abad ke-7 sampai abad ke-19), ilmu pengetahuan berkembang pesat. Tidak heran, bila budaya tulis, budaya kertas, budaya sastra dan budaya ilmu, dicatat oleh sejarah bahwa peradaban Islam lah yang merintisnya.

Kemunafikan demokrasi Barat, juga terlihat, bagaimana dunia Barat memperlakukan demokrasi sesuai dengan keuntungan dirinya. Untuk negara-negara Timur Tengah, dimana Barat telah menaklukkan penguasanya, maka demokrasi tidak diekspor. Karena bila ia ekspor, maka akan memukul dirinya. Barat membiarkan hal-hal yang tidak demokratis berlangsung disana. Maka kita ingat bagaimana Barat mendukung kelompok militer di Aljazair untuk menghancurkan Partai Islam FIS yang jelas-jelas menang pemilu secara demokratis tahun 1991. Juga bagaimana Barat menjegal dan memblokade Hamas yang menang Pemilu di Palestina secara demokratis tahun 2006. Barat juga sedikit kepeduliannya terhadap nasib-nasib negara miskin. Padahal negaranya ekonominya berkelihan.

Walhasil, di dunia Islam, yang cocok adalah teodemokrasi bukan demokrasi. Dan bukan mustahil sistem ini akan terwujud di negeri-negeri Islam. Banyak hal-hal yang tak terduga di masa depan. Wallahu aliimun hakiim.*