Selasa, 01 September 2009

Ilmu, Adab dan Kejayaan Bangsa


“Berjuanglah untuk memperoleh pelbagai ilmu dan peliharakan. Wahai pemuda jika kamu dapat menyebarkan ilmu niscaya kamu yang sempurna keperwiraannya. Himpunlah pelbagai kitab yang diciptakan. Allah berfirman kepada Nabi Yahya, peganglah kitab yang diwahyukan serta dengan kesungguhan.” (Syekh Ahmad al Fattani)


Tahun 1850 Masehi, di Melayu muncullah kitab yang monumental yang ditulis Raja Ali Haji yang ditulis dalam bahasa Arab Melayu yang berjudul Bustan al Katibin. Menurut Prof. Hashim bin Musa dari Universiti Malaya, kitab ini merupakan tulisan paling awal tentang bahasa Melayu yang disusun oleh orang Melayu. Delapan tahun kemudian (1858 M), Raja Ali Haji juga menulis tentang bahasa Melayu, yaitu Pengetahuan Bahasa: Kamus Loghat Melayu Johor, Pahang, Riau dan Lingga. “Sesungguhnya karya-karya tentang bahasa Melayu oleh Raja Ali Haji ini merupakan warisan yang amat berharga yang menjadi penyambung kepada tradisi pengajian bahasa dalam Islam yang bermula sejak zaman awal Islam lagi,”terang Prof Hashim yang memberi pengantar dan memperkenalkan kitab ini. (Bustan al Katibin, Raja Ali Haji, 2005:xiii).



Dalam Islam, memang ada keterkaitan yang dalam antara pemahaman bahasa atau ilmu dengan pentauhidan kepada Allah. “Dalam Islam, pengajian bahasa khususnya bahasa Arab dan bahasa penganut Islam yang lain, merupakan ilmu alat untuk mencapai makrifat yaitu mengenali Allah dan seluruh kewujudan, memperteguh keimanan dan ketakwaan, dan menyemai adab kesopanan yang mulia, yang mengandungi antara lain ilmu-imu nahwu (sintaksis), sharaf (morfologi), qawaid (bahasa), mantiq (logika), balaghah (retorik), istidlal (pendalilan), kalam (penghujahan) dan sebagainya,”ungkap Prof. Hashim.



Dalam kitabnya Bustanul Katibin ini, Raja Ali Haji memulai dengan Muqaddimah dengan judul Fi Fadhilati al ilmu wal aqlu (Kelebihan Ilmu dan Akal). Pertamanya. ia mengutip hadits Rasulullah yang terkenal: “Barangsiapa dikehendaki Allah kebaikan, maka ia diberi pemahaman kepada ilmu agama (ad diin).” Kemudian Ali Haji menyatakan: “Adapun kelebihan akal itu seperti kata hukama husnu haliah, artinya akal itu sebaik-baik perhiasan. Dan lagi kata hukama al fadhlu bil aqli wal adabu la bil ahli wan nasabi, artinya kelebihan itu (pada) akal dan adab dan tiada (bukan) sebab bangsa dan asal.” Maka, terangnya, “Jikalau beberapa pun bangsa jika tiada ilmu dan akal dan adab, ke bawah juga jatuhnya, yakni kehinaan juga diperolehnya.”



Di sini, Ali Haji mengaitkan hubungan yang erat antara ilmu, akal dan adab. Artinya agar akal dan adab seseorang, masyarakat atau bangsa menjadi baik (menjadi unggul), maka mesti diberi ilmu yang benar. Lebih tegas lagi, Ali Haji menyatakan : “Man sa’a adabahu dha’an nasbahu, artinya barangsiapa jahat adabnya sia-sialah bangsanya.”





Selain itu, ulama, penasihat raja dan sastrawan dari Riau ini juga menjelaskan tentang tanda-tanda orang berakal. Ia mengungkapkan : ”Dan lagi kata Hukama, bermula itu akal basra’atul fahm, artinya, tanda berakal segera faham dan tahratul aqlu husnul ikhtiar wa dalil li tahu sahbatul ikhtiara, artinya buah akal itu membaikkan ikhtiar, dan tandanya bersahabat dengan orang yang pilihan daripada orang yang baik-baik.”



Kemudian, Ali Haji menunjukkan hubungan ilmu dengan kalam (kalimat/bahasa). ”Adapun kelebihan ilmu wal kalam amat besar sehingganya mengata setengah hukama, segala pekerjaan pedang boleh diperbuat dengan qalam. Adapun pekerjaan-pekerjaan qalam tiada boleh diperbuat dengan pedang, maka ini ibarat yang terlebih sangat nyatanya. Dan beberapa ribu dan laksa pedang yang sudah terhunus, dengan seguris qalam jadi tersarung, terkadang jadi tertangkap dan terikat dengan pedang sekali.”



Ali Haji menerangkan, apabila seseorang sudah mengetahui kelebihan ilmu, maka ia harus memelihara adab dan syaratnya. ”Adapun syaratnya itu, yaitu antara nafsumu dengan dirimu sendiri. Adapun adabnya itu antaramu dan gurumu.” Lebih lanjut ia menjelaskan lima syarat keberhasilan menuntut ilmu: ”Pertama, al himmat, artinya bersungguh-sungguh hal yang kuat pada hati pada berkehendak mendapat akan ilmu itu. Kedua, al mudarasah, artinya kuat mendaras (mengulang), meskipun sudah dapat akan mafhumnya, hendaklah didaras juga mana-mana ilmu yang sudah dibaca itu. Ketiga, muzakarah, artinya menyebut-nyebut ilmu itu pada yang bersama-sama menuntut mengaji sertanya, barangkali taulan kita itu lupa atau kita sendiri pun lupa juga. Maka tatkala dibawa beringat-ingatan itu menjadi menjadi bertambah-tambah ingatnya. Kelima, mutala’ah, artinya menilik pada ilmu yang sudah kita kaji itu serta memikirkan maknanya dan memikirkan mafhumnya, maka jika dapat maka yaitu yang dituntut. Dan lagi tersangkut pada fikiran kita itu sama ada pada maknanya atau mafhumnya ingatkanlah baik-baik pada tentang yang kita tersangkut itu. Apabila berjumpa dengan taulan kita yang sama pengajian dengan kita itu, maka kita tanyalah kepadanya. Maka jika taulan kita tiada juga boleh menguraikan barang yang kita tersangkut, maka kembalilah pada guru kita bertanyakan yang kita musykilkan itu, insya Allah Taala hasillah maksud kita adanya.”



Menurut Prof. Syed Mohammad Naquib al Attas yang juga diamati oleh Prof. Braginsky (1989,1993), pekerjaan kalam –istilah yang merujuk pada kegiatan penulisan—adalah tonggak kebudayaan Melayu, yang mengakar umbi selepas kedatangan Islam ke rantau ini. Menurut beliau, di bawah pengaruh Islam, orang Melayu mula sadar tentang kewujudan sastera sebagai satu entiti yang utuh, yang menjadi sebahagian integral hidup mereka (lihat Prof. Ungku Maemunah Mohd Tohir, Kritikan Sastera Melayu, Antara Cerita dan Ilmu, 2007).



Ulama terkemuka Melayu lainnya, Syekh Ahmad al Fathani (1856-1908 dari Pattani) juga pernah mengirim surat kepada Sultan Zainal Abidin, Sultan Trengganu, agar sultan-sultan berperan aktif dalam menyebarkan ilmu di masyarakat. Ia menulis: ”Aku berharap semoga bangsa Melayu dapat maju dengan pimpinannya dan dapat mencapai kemuncak peradaban kesejahteraan. Aku berharap semoga baginda berkenan menyebarkan ilmu, makrifat dan petunjuk. Lalu baginda menjadi kegembiraan dan rakyat mendapat kejayaan. Agar mereka dapat membukukan bahasa Melayu. Karena aku bimbang ia akan hilang atau dirusak oleh perubahan yang berlaku dari masa ke masa. Begitu pula hendaklah mereka mengarang sejarah Melayu yang meliputi segala perihal orang Melayu. Kalau tidak, mereka nanti akan hilang dalam lipatan sejarah. Wahai para cerdik pandai. Hidupkanlah sejarah bangsamu. Dengan itu kamu akan disebut dalam sejarah dan namamu akan harum sepanjang masa. (lihat plakat Khazanah Fathaniyah oleh Wan Mohd. Shaghir Abdullah).



Dalam bukunya Hadiqatul Azhar war Rayan, Asas Teori Takmilah Sastera Melayu Islam (terjemah Wan Mohd Shaghir Abdullah, 1998:80) Syekh Ahmad al Fathani menguraikan bab khusus tentang keutamaan ilmu, ahlinya, mengajar dan belajar. Dalam pendahuluan, ia mengutip al Qur’an surat Ali Imran ayat 18 : ”Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. para malaikat dan orang-orang yang berilmu[(juga menyatakan yang demikian itu). Tidak ada Tuhan melainkan dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”



Syekh al Fathani mengomentari ayat ini : ”Maka tilik olehmu, betapa memulai Allah SWT dengan dirinya, dan menduakan dengan Malaikat dan ’menigakan’ dengan ahli ilmu. Maka memadailah akan dikau dengan demikian itu, kelebihan, dan kemuliaan ilmu dan ahlinya.”



Ia juga mengutip pendapat Imam Syafii: ”Bermula menuntut ilmu itu terlebih utama daripada sembahyang sunat. Dan daripadanya juga Imam Syafii berpendapat: ”Barangsiapa tiada kasih (cinta) akan ilmu, tiada kebajikan padanya. Maka janganlah ada antara engkau dan antaranya berkenal-kenalan dan bertolan (bersahabat). Maka bahawasanya, yakni ilmu itu, kehidupan bagi segala hati, dan pelita bagi bashiran, yakni mata hati.”



Ia juga menyatakan : ”Ketahuilah olehmu bahawasanya ahli negeri yang besar-besar yang lain daripada bangsa kita sangat mengamat-amati (berusaha dengan sungguh-sungguh), mereka itu dengan syaan ilmu. Dan bersungguh-sungguh mereka itu mengajarkan dia akan anak-anak mereka itu hingga yang perempuan mereka itu sekalipun. Dan usaha mereka itu sehabis-habis usaha pada memudahkan menuntuti ilmu bagi segala orang yang gemar padanya dengan sekalian jalan...dan membina mereka itu akan beberapa banyak madrasah, iaitu rumah tempat mengajar, dan mengaji segala ilmu dan berbagai-bagai hikmah dan kepandaian yang bergantung dengan dunia dan akhirat mereka itu.”



Sultan Ahmad al Fathani juga menulis dalam bukunya itu harapan kepada kepada raja-raja Melayu yang besar diantaranya, Sutan Pattani, Sultan Kelantan, Sultan Trengganu, Sultan Kedah, Sultan Johor dan Sultan Deli, agar : ”Membesarkan segala himmah mereka itu, dan menghadapkan segala inayah mereka itu dan menyungguh-nyungguhkan usaha mereka itu pada bahawa dijadikan segala negeri mereka itu: bendaharaan ilmu, dan perladungan kepandaian, dan membukakan segala mata anak jenis mereka itu: kepada memandang cemerlang kebijakan dan handalan. Supaya ada kemegahan bangsa Melayu antara segala alam dan tertinggi nama mereka itu antara Bani Adam dan bertambah-tambah kelebihan ulama mereka itu atas segala ulama dan bertambah nyata agama mereka itu atas segala agama.”



Walhasil kita tutup kajian ringkas tentang ulama Melayu ini dengan Gurindam Dua Belas, Raja Ali Haji :



Jika hendak mengenal orang berbangsa

Lihat kepada budi dan bahasa



Jika hendak mengenal orang yang berbahagia

Sangat memeliharakan (diri dari) yang sia-sia



Jika hendak mengenal orang mulia

Lihatlah kepada kelakuan dia



Jika hendak mengenal orang yang berilmu

Bertanya dan belajar tiada jemu



Jika hendak mengenal orang yang berakal

Di dalam dunia mengambil bekal



Jika hendak mengenal orang yang baik perangai

Lihat pada ketika bercampur dengan orang ramai* (nh)