Jumat, 10 April 2009

Demokrasi vs Teodemokrasi

Demokrasi vs Teodemokrasi
Catatan untuk Syafii Maarif dan Azyumardi Azra
Oleh: Nuim Hidayat (Dosen STID M Natsir)

Azyumardi Azra dalam Resonansinya di Republika 25 September 2008, meski mengritik demokrasi, Azra nampak tetap mengagungkan demokrasi. Hal itu terlihat dari rasa gembiranya ikut serta dalam Hari Demokrasi Internasional. Ia menyatakan: “Saya beruntung ikut terlibat dalam sebuah 'percakapan meja bundar' menyambut Hari Demokrasi Internasional itu di New York pada 12 September 2008. Percakapan ini diselenggarakan International IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance), UNDP, dan UN DPA dengan menghadirkan sejumlah pembicara dan pembahas yang merupakan pemikir dan aktivis demokrasi terkemuka di berbagai penjuru dunia.

'Percakapan meja bundar' ini bertitik tolak dari kepedulian tentang kaitan antara demokrasi dan pembangunan, sebaliknya antara pembangunan dan demokrasi. Memang, dalam beberapa kasus, pertumbuhan demokrasi tidak selalu berjalan seiring dengan pembangunan ekonomi dan sosial. Bahkan, terlihat demokrasi yang memunculkan berbagai konsekuensi yang tidak terduga (unintended consequences) dan ekses-ekses telah menghambat pembangunan. Kasus ini terlihat jelas, misalnya, dalam pengalaman Indonesia di masa sepuluh tahun penerapan demokrasi multipartai yang mengakibatkan terjadinya 'pelambatan'' dalam pembangunan ekonomi dan sosial.”

Hal yang sama juga nampak pula dalam diri Syafii Maarif. Dalam artikel Resonansi Republika 12 Agustus 2008, Syafii Maarif nampak pula memuji habis demokrasi. Menurutnya belum ada satupun sistem di dunia ini dalam era sekarang, yang menandingi demokrasi. Ia menyatakan: “Kesulitan kita dengan era modern adalah kenyataan peradaban umat manusia sampai detik ini belum menemukan sistem yang lebih baik dan lebih unggul dari demokrasi.”

Selain itu Maarif juga menguraikan tentang cacat demokrasi di negara kita. Khususnya perilaku elite politik yang jor-joran meraup kekayaan negara dan sistem pemilihan langsung yang nilainya mengerikan, yaitu sampai 400 trilyun. Kemudian dia bertanya sendiri, apakah mungkin sistem demokrasi ini diganti? Jawab Maarif: “Demokrasi harus bertahan karena itu pilihan kita sejak awal. Yang harus digugat secara keras adalah pelaku demokrasi yang semakin teler, menjadi penikmat demokrasi, sebuah pengkhianatan politik yang harus segera demokrasi.”

Kita tentu saja setuju dengan gagasan Azra dan Maarif untuk menghilangkan borok-borok demokrasi negara kita. Tapi pertanyaannya apakah sistem demokrasi kita saat ini bisa menghilangkan perilaku korup, biaya hura-hura pemilu dan biaya iklan pemilu saat ini? (Seorang calon presiden saja saat ini menyewa konsultan dan mengontrak iklan di TV untuk mem-push dirinya ditulis media massa kontraknya sampai 300 milyar!) Terus terang saya sangat meragukan. Karena demokrasi punya cacat bawaan sejak lahir. Dalam perjalanan sejarah demokrasi hanya menguntungkan segelintir elit tertentu atau paling jauh negara-negara tertentu.

Sistem politik yang ideal adalah sistem teodemokrasi bukan sistem demokrasi. Teodemokrasi adalah gagasan yang diluncurkan oleh tokoh-tokoh Islam, antara lain Abul A’la al Maududi, Mohammad Natsir dan Yusuf Qaradhawi. Ketiga tokoh ini setuju konsep teodemokrasi dan menolak konsep Teokrasi, sebuah konsep bentuk negara yang lahir dari sejarah kekuasaan gereja. Maududi, Natsir dan Qaradhawi mengajukan konsep Teodemokrasi (Natsir menyebutnya demokrasi Islam), karena melihat ada keliaran dan cacat bawaan sistem demokrasi, seperti yang kita rasakan sekarang. Meski seolah-olah mirip antara demokrasi dan teodemokrasi, tapi ibaratnya bagai ibarat api dan air.

Konsep demokrasi dan teodemokrasi ini, mirip perbedaannya dengan konsep jual beli dan riba. Zina dan nikah. Jual beli ada keridhaan antara penjual dan pembeli, sedangkan riba ada kezaliman yang terjadi antara ‘periba’ dan yang ‘diribai’. Riba menjadikan masyarakat dipenuhi kezaliman, sedangkan perdagangan menjadikan masyarakat kreatif dan berkeadilan. Begitupula zina, meski keduanya ada kesamaan hubungan biologis di sana, tapi ada perbedaan mendasar. Zina tidak ada syarat-syarat lafadz ijab kabul, saksi dan wali, sedangkan nikah mesti ada syarat-syarat itu. Zina hanya berkeinginan nikmat sesaat belaka. Sedangkan nikah selain ada kenikmatan juga ada tujuan melahirkan dan mendidik anak-anak saleh. Zina mengakibatkan masyarakat hedonis dan hura-hura dan meruntuhkan keluarga, sedangkan pernikahan membawa dampak ketenangan keluarga dan masyarakat.

Maka, demokrasi bukanlah sistem final bagi umat manusia. Para ulama telah mengajukan konsep teodemokrasi. Dimana seolah-olah konsep ini mirip demokrasi, tapi sebenarnya jauh panggang dari api. Di dalam teodemokrasi, kebenaran dari wahyu adalah utama. Sedangkan dalam demokrasi, kebenaran bersumber dari akal semata. Dalam demokrasi rakyat yang berdaulat, dalam teodemokrasi Tuhan yang berdaulat. Dalam teodemokrasi rakyat berkuasa, tapi kedaulatan di ‘tangan Tuhan’. Sebab secara kenyataannya rakyat atau manusia tidak punya kedaulatan meski terhadap dirinya sendiri. Manusia tidak bisa menciptakan mata, otak, syaraf telinga, jantung, dan lain-lain. Bagaimana dikatakan dia berdaulat, sementara kepada dirinya sendiri ia tidak berdaulat?

Di dalam teodemokrasi musyawarah diutamakan sebagaimana demokrasi di negara kita. Tapi tentu saja dalam teodemokrasi musyawarah tidak boleh terhadap hal-hal yang melawan wahyu Allah. Seperti bermusyawarahnya para wakil rakyat (seperti di sebagian di negara Barat), membolehkan minum minuman keras asal di rumah, tidak di tempat-tempat publik atau di jalanan, karena dikhawatirkan menganggu masyarakat. Peraturan seperti ini kan aneh, dibiarkan orang merusak dirinya sendiri. Yang tidak boleh hanya merusak orang lain.

Dalam teodemokrasi maka sistem politik dibangun secara jujur untuk kemuliaan manusia. Tidak ada kemunafikan disana. Misalnya minuman yang telah terbukti membahayakan, maka kepada individu maupun masyarakat dilarang untuk mengkonsumsinya. Begitu pula perzinahan. Dimana telah nyata-nyata menghancurkan akhlak individu dan meruntuhkan moral masyarakat, maka jelas harus dilarang negara. Begitu pula untuk hal-hal lainnya. Begitupula masalah pencurian uang rakyat, penghambur-hamburan uang rakyat, tidak mungkin disahkan dalam sistem teodemokrasi.

Jadi bila dalam demokrasi, akal bisa mengalahkan wahyu, maka dalam teodemokrasi akal mesti tunduk kepada wahyu. Karena logikanya, pembuat wahyu adalah pembuat akal manusia. Jadi wahyu bila diterapkan maka akan menerangi akal, tidak mungkin menggelapkan akal. Dalam demokrasi, karena sangat mengagungkan akal, maka yang terjadi akhirnya akal-akalan. Korupsi diakali bagaimana agar tidak ketahuan, tidak ada bukti dan tidak melanggar hukum. Penimbunan suara rakyat diakali dengan pemberian bantuan tunai, kredit partai dan lain-lain.

Dalam demokrasi, yang terjadi adalah ‘one man one vote’. Kasarnya meskipun makhluk itu setengah manusia, tapi bila dipilih mayoritas maka ia pun terpilih. Karena itu, modal kapital, siasat yang seringkali licik, iklan yang kerap menipu dan ‘pemolesan lipstik’ kandidat menjadi senjata utama. Seorang calon meskipun ia hebat, akhlaknya bagus, manajerialnya hebat dan pemikirannya cemerlang, ia tidak akan jadi pemimpin formal bila ia tidak bermodal atau ada partai yang memodali. Maka jangan heran, bila di Amerika Presiden George W Bush yang jelas-jelas bobrok pribadi dan timnya terpilih dua kali di sana. Di Indonesia, demokrasi, terutama pemilihan Kepala Daerah, menjadikan masyarakat kelas bawah dan bahkan para kiyai berantem. Di Jakarta, pemilihan Gubernur beberapa waktu lalu menjadikan beberapa kiyai dan mubalig saling menfitnah kepada kelompok pendukung atau kandidat yang bukan pilihannya.
Dalam Teodemokrasi, meski tidak menafikan pemilu, tapi musyawarah antar tokoh masyarakat atau ulama menjadi utama. Bila ada pemilihan kandidat bupati, gubernur atau presiden, mestinya tokoh-tokoh itu berembug siapa yang paling cakap untuk memimpin masyarakat. Kepentingan individu dalam hal ini mesti dikesampingkan. Karena para pemimpin negara itu diangkat untuk mengurus masyarakat bukan mengurus orang per orang atau partai per partai. Rasulullah saw menyatakan : Imam Al-Hakim meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda,”Barangsiapa memilih seorang pemimpin untuk suatu kelompok, yang di kelompok itu ada orang yang lebih diridlo’i Allah dari pada orang tersebut, maka ia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman.”
Rasulullah saw., bersabda,”Tiga golongan yang pada hari kiamat kelak tidak akan diajak bicara oleh Allah, tidak akan disucikan (dihapus dosa-dosanya), dan bagi mereka siksaan yang pedih. Golongan pertama adalah seseorang yang memiliki kelebihan air di jalanan (berumah di pinggir jalan), tapi menolak memberikannya kepada ibnu sabil (musafir yang sedang lewat). Golongan kedua adalah seseorang yang memilih pemimpin karena si calon memiliki harta. Jika si calon memberi apa yang ia inginkan, ia akan memilihnya; jika si calon tidak memberinya sesuatu yang berupa materi, si calon tidak dipilihnya. Adapun golongan ketiga adalah, seseorang yang menawarkan barang dagangan kepada orang lain di waktu sore hari, ia bersumpah atas nama Allah bahwa barangnya telah ditawar sekian, sehingga calon pembeli membelinya dengan harga tersebut, padahal tidak pernah ada sebelumnya orang yang menawar seperti itu.” (HR Bukhari)


Memang selain ada cacat bawaan, tidak bisa dipungkiri demokrasi juga membuat masyarakat Barat lebih maju. Keterbukaan informasi, transparansi, semangat bersaing, dan semangat pengembangan teknologi menjadi berkembang pesat. Dalam Teodemokrasi hal-hal yang merupakan fitrah manusia ini, tentu tidak akan dinafikan. Bahkan semangat untuk pengembangan ilmu, transparansi dan persaingan itu diberikan nilai, sehingga memberikan manfaat kepada manusia sebear-besarnya. Maka jangan heran di kala peradaban Islam mempengaruhi dunia (abad ke-7 sampai abad ke-19), ilmu pengetahuan berkembang pesat. Tidak heran, bila budaya tulis, budaya kertas, budaya sastra dan budaya ilmu, dicatat oleh sejarah bahwa peradaban Islam lah yang merintisnya.

Kemunafikan demokrasi Barat, juga terlihat, bagaimana dunia Barat memperlakukan demokrasi sesuai dengan keuntungan dirinya. Untuk negara-negara Timur Tengah, dimana Barat telah menaklukkan penguasanya, maka demokrasi tidak diekspor. Karena bila ia ekspor, maka akan memukul dirinya. Barat membiarkan hal-hal yang tidak demokratis berlangsung disana. Maka kita ingat bagaimana Barat mendukung kelompok militer di Aljazair untuk menghancurkan Partai Islam FIS yang jelas-jelas menang pemilu secara demokratis tahun 1991. Juga bagaimana Barat menjegal dan memblokade Hamas yang menang Pemilu di Palestina secara demokratis tahun 2006. Barat juga sedikit kepeduliannya terhadap nasib-nasib negara miskin. Padahal negaranya ekonominya berkelihan.

Walhasil, di dunia Islam, yang cocok adalah teodemokrasi bukan demokrasi. Dan bukan mustahil sistem ini akan terwujud di negeri-negeri Islam. Banyak hal-hal yang tak terduga di masa depan. Wallahu aliimun hakiim.*

1 komentar:

jeprie mengatakan...

Definisi teodemokrasi apa? Kenapa tidak khilafah sekalian? Itu kan jelas dikenal dalam keilmuan Islam sejak lama.