Minggu, 29 Agustus 2010

Perang atau Diplomasi? Tanggapan untuk David Miliband, Menlu Inggris


Perang atau Diplomasi?
Tanggapan untuk David Miliband, Menlu Inggris

Oleh: Nuim Hidayat

“Setelah melalui peninjauan yang mendalam, Presiden Obama telah memutuskan bahwa diperlukan penempatan 30.000 pasukan tambahan untuk mengatasi kebuntuan di Afghanistan. Walau dengan risiko yang harus dihadapi, dengan tegas ia mengatakan bahwa perang ini adalah sebuah perang yang diperlukan karena di daerah perbatasan yang bergunung-gunung antara Afghanistan dan Pakistan merupakan pusat pelatihan ekstrimis al Qaidah, tulis David Miliband di Republika 11 Desember 2009.

Di artikel itu David mengakhiri dukungannya ke Obama dengan kalimat: “Tantangan-tantangan di Afghanistan adalah sesuatu yang kompleks dan memakan waktu untuk diselesaikan. Namun, yang menjadi taruhan bukan hanya kredibilitas NATO atau stabilitas Asia Selatan, tapi juga keselamatan penduduk kita di sini, baik di Eropa, Amerika, maupun dimana saja. Komitmen dan kebulatan tekad Amerika Serikat sudah jelas. Yang diperlukan sekarang adalah kewajiban kita semua untuk mempertimbangkan sumberdaya dan kekuatan kita sendiri. Lalu, bertanya pada diri sendiri, apalagi yang bisa kita lakukan. Meski demikian, tidak hanya lebih banyak tentara yang diperlukan, tapi juga para polisi, hakim-hakim, administrative, bantuan pembangunan, pendanaan integrasi, atau para ahli pertanian.”

Lebih kurang setelah tujuh tahun AS melakukan invasi ke Aghanistan, nampak AS kini kedodoran. Menurut laporan beberapa media, mayoritas wilayah bukan dikuasai AS dan sekutunya, tapi malah lebih banyak dikuasai mujahidin Afghan. Meski AS/NATO didukung persenjataan yang canggih dan lengkap, sampai saat ini tentara-tentara AS dan ‘pemerintahan boneka-nya’ di Afghan tidak bisa mengendalikan Afghan.

Perang Mujahidin Afghan dengan Rusia, dimana Rusia tidak bisa menaklukkan Afghan tidak diambil pelajaran oleh Obama. Begitu juga perang Vietnam yang membuat Amerika malu, mestinya menjadi pelajaran besar bagi seorang pemimpin Negara besar seperti Obama. Sudah merupakan sunnatullah atau hukum alam, bahwa semangat jiwa tidak akan bisa dikalahkan oleh materi. Yakni semangat perjuangan kaum Muslimin Afghanistan untuk membebaskan tanahnya dari invasi AS dan sekutunya tidak akan dikalahkan oleh pasukan NATO.

Secara psikologis, tentu semangat para pejuang Afghan, jauh lebih tinggi daripada semangat tentara-tentara yang dikirimkan oleh AS. Tentu jauh beda, semangat seorang yang membebaskan negara dari penjajah versus semangat tentara yang ingin menguasai Afghan. Semangat pejuang Afghan (mujahidin Taliban cs) yang dilandasi keimanan untuk melawan kezaliman itu dimiliki oleh masing-masing individu pejuang. Sedangkan semangat tentara AS cs mungkin hanya dimiliki oleh segelintir pemimpin pasukan AS di sana. Sementara individu-individu pasukan itu semangatnya setengah-setengah, bahkan banyak tentara AS yang tidak ingin dikirim ke Afghan atau Irak. Gerilyawan-gerilyawan Afghan sanggup tidak makan dua-tiga hari dan berjalan puluhan dan ratusan kilometer menembus salju. Tentara AS tentu tidak mampu. Jadi meski dikirim puluhan ribu lagi tentara AS ke sana, kemungkinan besar akan sia-sia. Hanya menambah korban saja, baik di pihak pejuang Afghan atau NATO.

Perang Fisik atau Perang Pemikiran?

Di abad informasi ini, sebenarnya perang fisik sudah bukan zamannya. Tidak ada jalan buntu, bila para pemimpin lebih mendulukan otak daripada otot. Lebih mengutamakan akal dari pada ‘okol’. Memang peranan akal akan hilang, bila yang muncul adalah nafsu ketamakan. Ketamakan menguasai harta, jabatan, sumberdaya dan lain-lain.

Bila masalah Afghan mau selesai, maka saatnyalah tentara-tentara NATO mengundurkan diri dari tanah para mujahidin itu. Relakanlah Afghanistan diatur oleh kaum Muslimin Afghan untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri. Para ulama internasional bisa dilibatkan untuk membantu pemulihan Afghan di masa depan (hal yang sama sebenarnya bisa dilakukan di Irak atau Israel). Hanya para ulama-ulama ienternasional lah yang bisa bermusyawarah untuk menyelesaikan afghan. Mereka yang mengerti pemikiran perasaan muslimin Afghan. Bukan tentara-tentara NATO yang pemikiran dan perasaanya jauh beda dengan muslimin di Afghan..

Ingat, manusia kini telah memasuki zaman baru. Google telah membuat perpustakaan raksasa, ‘menscan’ hampir semua buku penerbit-penerbit terkenal di dunia. Dengan ragam bahasa, mulai bahasa Indonesia, Cina, Arab, Perancis, Inggris dan lain-lain. Kini seringkali untuk mengkaji sejarah pemikiran dan peradaban sebuah bangsa, kita cukup duduk manis di depan komputer, tidak perlu repor-repot pergi jauh ke Leiden, Oxford, Mekkah dan lain-lain.

Langkah Google, yang dipelopori dua anak muda Amerika itu, harusnya menginspirasi pemimpin-pemimpin Amerika-Inggris. Untuk mencari pemikiran-pemikiran terbaik manusia, bukan dengan jalan perang fisik. Tapi jalannya musyawarah, adu pendapat atau adu pemikiran.

Taliban: Ancaman atau Tantangan?

Taliban, Al Qaida sebenarnya hampir sama dengan kelompok Muslim lainnya. Serangan mereka ke WTC atau kejadian-kejadian lain, hanyalah letupan kecil atau balasan kepada kezaliman yang dilakukan AS sendiri di belahan negeri Muslim lainnya. Di Bosnia, Israel dan lain-lain. Jadi kalau tragediWTC dibalas dengan penjajahan di Afghan atau Irak, ibaratnya, pencurian kecil-kecilan dibalas dengan perampokan balas-balasan. Granat dibalas dengan bom atom. Amerika cs telah bertindak melewati batas membalas Al Qaida dengan memerangi, merampok dan merusak masa depan negeri Islam, Irak dan Afghan, maka AS dan sekutunya bertindak seperti Israel menjajah Palestina.

Karena itu, tidak heran bila para intelektual ternama Barat seperti John L Esposito atau Noam Chomsky menganjurkan AS agar ‘berkaca’. Mengevaluasi kebijakan-kebijakan luar negeri mereka sendiri yang lebih banyak menyengsarakan dunia Islam daripada memakmurkan. Dan ingat berapa juta penduduk Barat sendiri yang berdemonstrasi agar Amerika, Inggris (NATO) menarik diri dari Afghan dan Irak.

Tentang Al Qaida atau Taliban mengancam Eropa, Amerika atau negara-negara lainnya. Sebenarnya hanyalah mitos belaka. Bila Amerika cs berlaku sebagai polisi yang adil di dunia ini, maka tidak akan terjadi ancaman atau ‘balasan serangan’. Tergantung pada Amerika sendiri mau menjadi penguasa yang ‘congkak’di dunia ini atau mau rendah hati, bersama-sama para ulama dunia Islam menuju perdamaian dunia.

Memang tidak mudah menuju perdamaian dunia bila masih banyak kezaliman di sana. Ibaratnya sulit menghindari adanya pencurian, apabila orang-orang kaya di sebuah masyarakat tidak mau berbagi dengan yang lain. Begitu juga sukar menghindari adanya peperangan fisik bila sebagian masyarakat masih mengobarkan peperangan fisik dengan yang lain. Dan manusia yang tergoda syetan senantiasa akan menurutinya. Syetan tidak suka kepada perdamaian sejati (Islam).

Menurut Sayid Qutb, perdamaian dunia dimulai dengan perdamaian individu. Yakni mereka yang menginginkan perdamaian di muka bumi ini, maka dari jiwa individulah dimulai. Terutama dari jiwa pemimpin-pemimpin dunia. Bila sang pemimpin tidak ada kedamaian jiwanya, maka nafsu berperanglah yang akan menguasainya. Individu yang resah jiwanya, cenderung akan menularkan keresahan itu kepada yang lain. Sebuah komunitas masyarakat yang individu-individunya banyak yang resah, tentu akan membesar, menjadi keresahan masyarakat dan akhirnya menjadi keresahan negara dan dunia. Begitu juga bila individu itu tenteram jiwanya, maka akan menular kepada keluarganya. Dari keluarga ke masyarakat dan seterusnya ke negara dan dunia.

Walhasil, seharusnya Inggris tidak perlu terus membebek kepada kebijakan politik Amerika. Sejarah Inggris sebagai sebuah ‘imperium besar’ mestinya bisa mandiri tidak selalu mengikut pada kata Presiden AS. Obama meski telah dianugerahi Nobel, bukanlah seorang yang suci dan pemimpin sejati. Obama tidak pernah menderita dalam sejarah hidupnya. Padahal pemimpin sejati dalam sejarah manusia, ia ‘selalu menderita’ memikirkan rakyatnya. ‘Leiden is lijden’, pemimpin itu menderita, kata tokoh Masyumi Kasman Singodimedjo.

Walhasil, cuplikan puisi penyair besar Mohammad Iqbal ini patut kita renungkan:

“Malanglah umat yang terperangkap tipu muslihat golongan lain
Yang menghancurkan diri sendiri dan membangun untuk kepentingan umat lain
Mereka memperoleh kecakapan ilmiah dan ketrampilan seni
Namun tak menyadari kepribadiannya sendiri
Mereka menghapuskan ayat Tuhan dari cincinnya
Cita-cita di hatinya bangkit cuma untuk tenggelam
Mereka tak diberkati keturunan yang diresapi rasa hormat
Jiwa dalam tubuh anak-anak mereka seperti bangkai dalam kuburan”* (artikel yang lebih ringkas telah dimuat di majalah Hidayatullah).

Tidak ada komentar: