Selasa, 23 November 2010

Terjebak Gelar


Terjebak Gelar

Oleh: Nuim Hidayat

“Niat adalah tujuan seseorang dengan hatinya terhadap sesuatu yang dia kehendaki untuk dikerjakannya” (Sulaiman al Asyqar mengutip al Qurafi)

Untuk menjayakan sebuah bangsa, maka para ahli sepakat bahwa lewat pendidikan lah jalan utamanya. Bukan lewat ekonomi, politik, budaya dan lain-lain. Karena bangsa terdiri dari masyarakat, sedangkan mayarakat terdiri dari individu-individu, maka perubahan bangsa dimulai dengan mengubah individu itu. Perubahan individu adalah dimulai dengan mengubah akal dan jiwanya. Perubahan akal dan jiwa, tidak lain tidak bukan mesti lewat pendidikan.

Semakin maju dan benar pendidikan sebuah bangsa, maka bangsa itu akan mengalami kejayaan. Semakin terpuruk dan salah dalam arah pendidikan bangsa, maka bangsa itu akan terus mengalami terpurukan. Mengalami lingkaran setan masalah yang membelit, mulai dari kerakusan ekonomi, kerakusan jabatan, kerakusan politik dan berbagai kerakusan-kerakusan duniawi lainnya.


Bangsa kita, karena kini terjebak dalam demokrasi liberal –dalam pemilihan presiden gubernur, bupati dll—kita lihat kerakusan atau perebutan harta, politik dan jabatan menyatu seperti ‘permainan setan’. Sebagian besar mereka yang memperebutkan jabatan itu, bukan bertujuan untuk memakmurkan rakyat, tapi hanya untuk sekedar rebutan untuk memakmurkan diri dan partainya. Rakyat menjadi sisa perhatian setelah kesejahteraan diri, keluarga dan partainya tercapai dalam tingkat yang maksimum. Rakyat hampir-hampir tidak mendapat keteladanan dalam ‘pendidikan politik’ saat ini.

Di bidang pendidikan, tidak kalah gawatnya. Para pejabat yang mengurusi pendidikan pun tidak menunjukkan teladannya. Bantuan-bantuan dari pemerintah, apakah lewat BOS, BOM atau bantuan Sertifikasi Guru/Dosen sampai dengan sekarang, masih menjadi lahan empuk bagi para pejabat untuk minta komisi. Baik dengan lafal terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Baik dengan paksaan maupun sekarela.

Bagaimana dengan guru atau dosen? Mayoritas setali dua uang. Jarang guru yang memperhatikan betul-betul tingkah laku murid-muridnya. Dosen kebanyakan hanya mengajar mata kuliahnya, semata, setelah itu pulang. Mahasiswa atau murid-muridnya bergaul seks bebas, malas dalam belajar, bodoh, tidak menjadi perhatian. Mayoritas yang diukur adalah keberhasilan murid dalam menjawab soal belaka. Otak diisi –entah isinya benar atau tidak—tapi jiwanya dibiarkan merana. Mahasiswa atau murid yang harus mencari sendiri pergaulan, mencari teman, berlatih organisasi dan lain-lain. Sangat jarang guru yang perhatian dalam hal ini. Padahal aktivitas-ativitas itulah nanti yang banyak menentukan masa depannya.

Karena pendidikan kita, masih didominasi dengan transfer pengetahuan semata, maka kebanyakan intansi pendidikan gagal mencetak murid atau mahasiswa sebagaimana yang diharapkan. Mereka-mereka yang berhasil mayoritas didapat dari pendidikan keluarga atau di luar instansi pendidikan resmi. Mereka berhasil karena mendapatkan pendidikan-pendidikan non formal.

Ukuran transfer pengetahuan semata inilah yang menyebabkan gelar disematkan. Gelar sarjana, master, doktor atau profesor. Dan ketika orang sudah bergelar doktor atau profesor, biasanya, dia merasa sudah ahli segalanya. Seolah-olah tidak ada yang lebih tinggi dari dia dalam ilmunya itu. Dia kemudian melihat bahwa orang yang bergelar lebih rendah dari dirinya atau yang tidak punya gelar, seolah-olah derajatnya lebih rendah dari dirinya.

Kini pemerintah lewat Mendikas menargetkan dapat melahirkan 5.000 doktor per tahun sehingga pada 2014 diharapkan memiliki sedikitnya 50.000 doktor. Dirjen Pendidikan Tinggi, Kementrian Pendidikan Nasional, Prof Djoko Santoso, Jumat (27/8) di Bogor mengatakan, berdasarkan data yang dimiliki Kemdiknas, Indonesia baru mampu melahirkan sebanyak 3.500 doktor per tahun. Rinciannya sebanyak 2.500 doktor merupakan lulusan kampus-kampus di Tanah Air, sedangkan 1.000 doktor lainnya lulusan berbagai perguruan tinggi di mancanegara. "Ke depan, kami menargetkan mampu melahirkan 5.000 doktor per tahun," ujar Prof Dr Djoko Santoso. (Lihat www.republika.co.id, 27 Agustus 2010)

Seolah-olah bila negeri ini banyak doktor, maka masalah di negeri ini akan selesai. Kwik Kian Gie pernah menulis sebuah artikel, kenapa begitu banyak masalah ekonomi di negeri ini, padahal ribuan orang yang bergelar doktor di negeri ini? “Masalahnya adalah tidak adanya moral/akhlak,”kata Kwik.

Gelar Perlu atau Tidak?

Bila kita amati dengan serius siapa yang membuat perubahan besar di masyarakat Indonesia atau dunia, ternyata banyak juga yang tidak bergelar. Atau jumlahnya seimbang. Tokoh-tokoh pendiri gerakan Islam seperti Abul Ala al Maududi, Hasan al Banna, Taqiyuddin an Nabhani, Cokroaminoto, Natsir, A Hassan, Hamka, Wachid Hasyim, Ahmad Dahlan tidak bergelar formal. Penemu Microsoft dan Google tidak bergelar formal dan lain-lain. Kita bisa mendata lebih lanjut para pengusaha-pengusaha yang besar, seperti Ciputra, Jakob Oetama tidak bergelar. Mubaligh-mubaligh yang terkenal di Indonesia, Arifin Ilham, AA Gym, Yusuf Mansur dll tidak bergelar formal.

Jadi sebenarnya kualitas manusia (guru) janganlah diukur dari gelar formal seperti saat ini yang menggejala dalam dunia pendidikan kita. Faktor gelar S1, S2 atau S3 yang saat ini menjadi ukuran pendidikan kita, menyebabkan banyak orang yang pandai, hanya karena tidak mempunyai gelar, ia tidak bisa mengajar di instansi-instansi formal kita. Ada beberapa perguruan tinggi yang membolehkan mereka mengajar, tapi itupun sifatnya suplemen belaka. Mereka meskipun mempunyai keahlian yang tinggi dalam manajemen, gara-gara tidak bergelar, maka ia tidak diperkenankan memegang manejemen pendidikan.

Dan inilah salah satu ‘lingkaran setan’ itu, karena gelar formal menjadi ukuran segalanya. Misalnya –dan saat ini menggejala—adalah banyaknya para guru atau pegawai-pegawai pemerintah yang sekolah kembali hanya untuk meraih gelar. Karena dengan gelar yang lebih tinggi, gaji mereka naik lebih tinggi. Mereka-mereka yang mau pensiun pun berlomba untuk kuliah lagi agar uang pensiunnya naik.Yang penting gelar, ilmu soal kedua. Karena sistem pendidikan kita, telah meniru mentah-mentah sistem pendidikan Barat (meski Barat kini juga mencoba merevisinya).

Bila kita kembali ke sistem pendidikan Islam, maka gelar bukan tujuan pendidikan. Karena itu, Imam Ghazali mengingatkan dengan keras, siapa yang mencari ilmu dengan tujuan untuk ‘keduniaan’, maka ia dilaknat oleh Allah. Bila ilmu diletakkan dibawah dunia/harta, maka ilmu nilainya lebih rendah dari harta. Dan disinilah mulai kerusakan ilmu dan juga kerusakan dunia itu. Pesan penting Sayyidina Ali bahwa ilmu lebih tinggi dari harta mesti terus kita camkan dalam hati.

Maka dahulu ulama-ulama kita tidak memberi gelar pada murid atau santrinya bila mereka telah selesai tingkat pendidikannya. Tapi mereka diberikan ijazah bahwa mereka telah menguasai (dan mengamalkan) ilmu itu. Guru atau ulama tidak sembarangan memberikan ijazah kepada muridnya. Mereka-mereka yang akhlaknya rusak, atau tidak menguasai ilmu itu, tidak diberikan ijazah itu. Bahkan para ulama (cendekiawan Islam)
dulu karena kerendahan hatinya, mereka sering menyebut dirinya ‘al faqir’. Letak kualitas manusia bukan pada gelar. Tapi pada diri keseluruhan pribadi orang itu, pada namanya bukan pada gelarnya.*

Tidak ada komentar: