Minggu, 16 Juni 2013

Mengembalikan Indonesia dalam Pangkuan Islam



“Selama ratusan tahun sebelum Indonesia merdeka, nilai-nilai dan hukum Islam berlaku di tanah air. Bila kini banyak yang menuntut mengembalikan Indonesia sebagai negeri yang diwarnai Islam, maka itu adalah hal yang wajar. Karena negeri ini didirikan lewat darah dan keringat mayoritas ulama dan umat Islam,”kata Nuim Hidayat, peneliti Insists dalam Training Dai dan Guru di Depok, Sabtu (25/5).

Nuim menjelaskan bahwa ketika proklamasi kemerdekaan, justru Presiden Soekarno menerapkan sekulerisme. “Seharusnya yang dibacakan ketika proklamasi 17 Agustus 1945 adalah Piagam Jakarta, tapi digantikan dengan coretan-coretan yang dibuat Soekarno di rumah panglima Jepang Laksamana Maeda. Apakah ada di dunia ini proklamasi kemerdekaan dirumuskan dengan coret-coretan?,”tanyanya. Piagam Jakarta adalah pembukaan UUD 45, termasuk teks Pancasila, kecuali sila pertama yang telah disepakati sebelumnya berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.


Ketua Dewan Da’wah Islamiyah Depok ini juga memaparkan bahwa pagi hari 17 Agustus 1945, sebelum Subuh, Soekarno mengajak Hatta ke rumah Laksamana Maeda merumuskan proklamasi yang akan dibacakan sebelum jam 10.00 pagi. “Ini bisa dibaca dalam buku Piagam Jakarta, 22 Juni 1945 karya tesis tokoh Masyumi Endang Saefuddin Anshari,”terangnya.

Esoknya 18 Agustus 1945 siang hari, diadakan rapat kilat yang menghapus ‘kata-kata Islam’ di UUD 45. Soekarno mengundang rapat siang hari, tanpa melibatkan satu pun empat tokoh Islam yang terlibat dalam Tim Sembilan yang disusun untuk membentuk UUD sebelum merdeka. Yaitu Agus Salim, Prof Kahar Muzakkar, Wachid Hasyim dan Abikusno Tjokrosuyoso. Yang hadir dalam rapat kilat itu mayoritas adalah tokoh-tokoh nasionalis sekuler dan non Islam.  Tokoh Islam yang hadir adalah Ki Bagus Hadikusumo dan Kasman Singodimedjo yang sebelumnya telah dilobi Mohammad Hatta agar menerima perubahan sila pertama Pancasila itu. Hatta menyatakan pada keduanya bahwa makna sila pertama peggantinya yaitu, Ketuhanan Yang Maha Esa bermakna Tauhid. Dan Hatta mengaku mendapat ancaman dari ‘kalangan Indonesia Timur’ mereka akan memisahkan diri bila sila Pertama berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

Dalam rapat kilat tidak sampai tiga jam itu, Soekarno juga menjanjikan dalam situasi damai akan disusun Undang-Undang Dasar yang lebih komperehensif. Maka dalam rapat itu diputuskan tiga hal penting. Pertama, kata Mukaddimah diganti dengan Pembukaan. Kedua, sila “Pertama Ketuhanan dengan Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ketiga, pasal 6 ayat 1 yang berbunyi “Presiden adalah orang Indonesia asli dan Islam” diganti dengan 
“Presiden adalah orang Indonesia asli”.

Ketika peristiwa itu terjadi, tokoh-tokoh Islam baik dari kalangan Masyumi, NU dan lain-lain mempertanyakannya. KH Saifuddin Zuhri tokoh NU dan Prawoto Mangkusasmito tokoh Masyumi mempertanyakan kenapa hal-hal yang sudah disepakati lewat rapat berhari-hari dengan tiba-tiba dibatalkan oleh presiden Soekarno.

“Alhamdulillah akhirnya ada Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959. Setelah 1956-1959 terjadi deadlock penentuan dasar negara di Majelis Konstituante, apakah Islam (Piagam Jakarta) atau Pancasila yang menjadi Dasar Negara, akhirnya lewat lobi-lobi tokoh Islam, akhirnya Presiden mengeluarkan Dekrit yang salah satu klausulnya menyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan satu rangkaian kesatuan yang tidak terpisahkan. Dengan dekrit ini maka Piagam Jakarta dan Pancasila adalah satu kesatuan. Karena itu tidak boleh lahir Undang-Undang di negeri ini yang bertentangan dengan Islam,”tegas Nuim alumni pasca sarjana Universitas Indonesia. Maka menjadi tugas para eksekutif, yudikatif dan legislatif Muslim untuk berani merumuskan undang-undang yang senantiasa bernafaskan Islam. “Piagam Jakarta ini seringkali dipropagandakan oleh kalangan politisi non Muslim untuk menakut-nakuti umat Islam. Padahal Piagam Jakarta adalah dokumen (dokumen politik dan hukum) resmi negara yang sah yang disepakati oleh Tim Kecil perumus UUD yang terdiri dari empat tokoh nasionalis sekuler, empat tokoh nasionalis Islam dan satu tokoh Kristen.”

Sementara itu Dr Adian Husaini dalam ceramahnya menjelaskan tentang pembenahan kurikulum sejarah di tanah air. “Sejarah sangat penting untuk membentuk kepribadian atau karakter murid,”tegasnya. Ia menghimbau kalangan guru untuk mempelajari sejarah Indonesia dengan benar, sehingga tidak ‘anut grubyuk’ dengan banyak buku sejarah yang ditulis sekarang. “Bagaimana Hari Pendidikan Nasional diperingati bersamaan dengan hari lahir Ki Hadjar Dewantoro 2 Mei? Apa hebatnya Ki Hadjar?”tanya Ketua Program Pendidikan Pasca Sarjana UIKA Bogor ini.  Agar guru lebih memahami tentang pendidikan Islam dan sejarah Indonesia ini panitia membagikan kepada para guru, dai dan aktivis buku Dr Adian yang berjudul “Pendidikan Islam Membentuk Manusia yang Adil dan Beradab.”

Dr Adian juga menjelaskan tentang pentingnya para guru mengkaitkan pelajaran sains dan Islam. “Dalam Al Qur’an ketika manusia disuruh untuk mengamati alam semesta ini, pasti ujungnya adalah untuk mengenal atau mentauhidkan Allah,”terangnya. Maka sains ada yang universal ada yang tidak. Tetang penciptaan manusia misalnya, pelajaran sains kita sampai kini menginduk pada pendapat intelektual Barat yang menjelaskan asal-usul manusia dari dengan mengumpulkan jejak-jejak tulang (Antropologi). “Karena mereka tidak percaya kepada wahyu -trauma Barat terhadap gereja/agama yang mendominasi Eropa abad pertengahan-, maka mereka menyusun teori dengan sesuatu yang bisa diindera saja. Seperti ketika menyusun teori asal usul manusia dengan mengumpulkan tulang-tulang, sehingga ada manusia purba dan seterusnya. Padahal asal usul manusia itu jelas dalam Al Qur’an berasal dari nabi Adam. Seharusnya dalam pelajaran sains itu diajarkan demikian. Dan yang terpenting alat untuk mencapai kebenaran itu, selain alat indera adalah akal dan khabar shadiq (khabar yang terpercaya/wahyu),”tegas Wakil Ketua MIUMI ini.

Sementara itu, Fahmi Salim dalam acara itu menjelaskan tentang pentingnya semangat dakwah para guru. “Dakwah ini tujuannya untuk membina kepribadian murid dan masyarakat yang sholeh dan melindungi mereka dari pemikiran-pemikiran yang merusak,”tegas wakil Sekjen MIUMI ini. Alumni Pascasarjana Universitas Al Azhar Kairo ini menganjurkan agar para guru juga mempelajari pemikiran-pemikiran yang merusak Islam, seperti liberalisme, pluralisme dan lain-lain. “Bahaya bila murid-murid terserang faham pluralisme, karena mereka bisa menghalalkan pernikahan beda agama,”jelasnya.

Tiar Anwar Bachtiar yang berbicara pada sesi terakhir menjelaskan tentang pembelokan sejarah Indonesia oleh kalangan intelektual-intelektual Barat. “Intelektual Barat (orientalis) yang pertama menggali Candi Borobudur adalah Raffles. Ia menyatakan dalam bukunya History of Java, bahwa ajaran Islam itu tidak berakar dalam hati orang Jawa (Indonesia/Asia Tenggara). Bagaimana ia bisa mengukur hati orang Jawa? Padahal banyak di Jawa banyak didirikan pesantren dan banyak ulama. Rupanya ia ingin membuat opini dan kesimpulan bahwa yang berakar di Indonesia ini adalah Hindu/Budha. Sehingga ia menggali Candi yang sudah terkubur ratusan tahun itu,”terang peneliti Insists dalam acara yang dilaksanakan oleh Dewan Da’wah Islamiyah Depok, Lazis DDII dan At Taqwa Qur’anic School.

Tiar menjelaskan bahwa dengan telah terkuburnya candi-candi itu ratusan tahun, berarti tempat itu sudah tidak dipakai lagi untuk ibadah.  Candi Borobudur yang ada sekarang ini telah melewati pemugaran dan perbaikan yang terus menerus. “Apakah ada masjid di Indonesia yang terkubur ratusan tahun kemudian digali, dipugar dan diperindah seperti Borobudur? ”tanya Tiar yang juga Ketua Umum Pemuda Persis. Orientalis-orientalis Barat, termasuk orientalis Belanda memang tidak ingin melihat Islam ini mengakar baik dalam sejarah Indonesia di masa lalu, maupun di masa depan. Tokoh politik Indonesia yang mengikuti jejak orientalis ini adalah Mohammad Yamin.* (izzadina)

Tidak ada komentar: