Kamis, 09 September 2010

Dari Kompas untuk Nurcholish Madjid


Dari Kompas untuk Nurcholish Madjid
Oleh: Nuim Hidayat*

Sore hari di Ramadhan ke-26 ini saya berkunjung ke toko Gramedia Depok. Memang sudah menjadi kebiasaan saya, bila ada waktu kosong, saya sering ke toko Gramedia atau TM Book Store Depok. Untuk membeli buku atau sekedar mengamati perkembangan buku atau untuk menikmati bacaan-bacaan gratis di sana.

Di Ramadhan terakhir ini saya kaget menemukan 5 buku yang nampaknya sengaja diterbitkan untuk menghidupkan kembali pemikiran Nurcholish Madjid dan menghantam fatwa MUI tentang Sepilis. Empat buku ditulis oleh pengikut setia Nurcholish, yaitu Budhy Munawar Rachman (penulis Ensiklopedi Nurcholosh Madjid), satu buku ditulis Ahmad Gaus AF. Buku Budhy berjudul : Argumen Islam untuk Pluralisme, Argumen Islam untuk Liberalisme, Argumen Islam untuk Sekulerisme dan Sekulerisme, Liberalisme dan Pluralisme. Sedangkan buku Ahmad Gaus AF berjudul Api Islam Nurcholish Madjid.

Empat buku Budhy diterbitkan Grasindo (kelompok penerbit Kompas) dan buku Ahmad Gaus diterbitkan penerbit Kompas. Buku Budhy diberi kata pengantar Dawam Raharjo, buku Ahmad Gaus oleh Yudi Latif.

Buku Api Islam Nurcholish Madjid telah dibedah pada 2 September 2010 lalu di Universitas Paramadina, dengan nara sumber (tertera dalam undangan) : Prof. Dr. Komaruddin Hidayat (Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta), Prof. Didik J. Rachbini (Ketua Yayasan Paramadina), Dr. Budhy Munawar-Rachman (Penyunting “Ensiklopedi Nurcholish Madjid”) dan Dr. Abd. Moqsith Ghazali (Peneliti The Wahid Institute).

Melihat buku-buku yang memuji-memuji Nurcholish yang saat ini nampaknya sengaja diproduksi besar-besaran terus terang saya tidak tertarik untuk membacanya. Karena lebih dari 17 tahun lalu saya sudah mengenal karya-karya Nurcholish. Ketika menjadi mahasiswa S1 di Institut Pertanian Bogor, saya sudah membaca beberapa buku Nurcholish. Sempat saya saat itu sedikit kagum terhadap tulisan Nurcholish bila bicara tentang ilmu, peradaban, sejarah, politik Indonesia dan lain-lain. Tapi bila ia bicara tentang hal-hal mendasar seperti masalah tauhid, Kristen, Yahudi dan lain-lain, Nurcholish kelihatan otaknya ‘tumpul’ terhadap keagungan aqidah Islam. Tidak banyak beda bila kita baca buku-buku Orientalis, kadang-kadang juga ada informasi-informasi yang menarik tentang ilmu pengetahuan, peradaban dan lain-lain.

Ketika saya masih mahasiswa IPB, saya beberapa kali mengikuti acara seminar besar di Universitas Indonesia. Salah satunya adalah seminar yang dinamakan ‘PEDATI’ (Percakapan Cendekiawan Tentang Islam). Saat itu kebetulan dalam sebuah sesi yang bicara adalah Nurcholish dan beberapa pembicara lain. Yang saya kaget, ketika selesai Nurcholish bicara, ia langsung ngeloyor pergi. Sehingga seorang wartawan senior berujar: “Tuh kan, dia pergi nggak mau dengar pembicara lain.”

Ternyata, hal yang sama saya saksikan terjadi berulang kali. Salah satunya adalah sebuah seminar di Universitas Paramadina. Kejadiannya hampir mirip, ia bicara ungkapkan pikirannya kemudian pergi. Ia akan bersemangat bicara dalam sebuah forum, bila ia sendiri yang bicara. Seperti saya saksikan (saat menjadi wartawan lapangan) ketika Jacob Oetama memberikan forum di Hotel Santika, menghadirkan Nurcholish sebagai pembicara tunggal.

Dari beberapa kali mengikuti langsung acara-acara Nurcholish, saya melihat nampaknya ada kesombongan dalam diri Nurcholish. Ia seperti tidak mau mendengar bila cendekiawan Islam Indonesia yang bicara. Mungkin ia anggap ilmunya masih kalah dengan para orientalis. Maka tak heran bila ia ceramah ia seringkali mengungkap pernyataan dan hipotesa-hipotesa orientalis. Meskipun dengan pintarnya seringkali hipotesa dari orientalis itu tidak kutip namanya. Hal itu terjadi misalnya bila ia bicara tentang fundamentalisme, fanatisme dan lain-lain (bila ia menulis kadang-kadang pendapat orientalis ia cantumkan namanya)..

Sehingga kemudian saya menjadi tidak tertarik sama sekali buku Nurcholish. Lebih baik saya banyak baca Syekh Yusuf Qaradhawi, Abul Ala al Maududi, Said Hawwa dan lain-lain yang banyak memberikan penguatan iman, ilmu dan semangat dakwah. Untuk masalah sejarah Indonesia, lebih baik membaca buku Mohammad Natsir, Hamka, Roem, Kasman, Saifuddin Zuhri, Endang Saefuddin Anshori dan tokoh-tokoh Islam yang sholeh lainnya.

Intelektual-intelektual pengagum Nurcholish baik yang bergelar profesor, doktor, master, sarjana muda atau yang tidak bergelar sebenarnya telah melupakan hal yang mendasar dalam membaca pemikiran Nurcholish. Ibaratnya mereka memelihara dan membangga-banggakan pohon besar yang sudah tercerabut akarnya. Untuk membaguskan pohon besar itu maka batang dan daun-daunnya agar tidak layu dicat ulang dengan warna-warni yang menarik.

Orang yang memahami ilmu tumbuhan tentu tahu, mana pohon, batang dan daun-daun yang benar dan mana pohon yang palsu. Itulah aqidah. Para ulama mengatakan bahwa aqidah ibarat akar. Sesuatu yang tidak nampak tapi ia menentukan hidup matinya sebuah pohon.

Para ulama ahlus sunnah wal jamaah, berdasarkan Al Quran dan Sunnah, telah sepakat bahwa selain agama Islam, tidak dirihai Allah dan tidak dapat masuk surga di kehidupan setelah mati nanti. Jadi kalau Nurcholish dan pengikutnya ngotak-ngatik akalnya mengatakan bahwa selain Islam diridhai Allah dan dapat masuk surga, jelas dalilnya tidak ada dalam Al Quran dan Sunnah. Dan tidak ada satupun ulama besar yang sholeh, dari dulu sampai dengan sekarang mendukung pendapat Nurcholish itu.

Yang mesti diingat bahwa selain Allah punya sifat Rahman dan Rahim, Allah juga tidak segan-segan mengazab makhluk dengan azab yang keras.Di dunia ini aja kita lihat manusia ada yang buta seumur hidup, ada yang meninggal kena tsunami, puluhan tahun kena penyakit kanker, penyakit ganti hati dan lain-lain. Apakah dengan fenomena seperti ini kita berani mengatakan Tuhan tidak adil dan tidak sayang kepada makhluk-Nya? Itu semua adalah rahasia Allah.

Maka, permasalahannya sekarang kita percaya Al Qur’an atau nggak. Bila percaya Al Qur’an yang dibawa Nabi Muhammad saw maka kita masuk golongan Islam. Bila tidak percaya, kita masuk golongan kafir. Dalam Al Qur’an, Allah sudah berjanji hanya menyayangi orang-orang yang benar mengabdi kepada-Nya, yaitu orang-orang Islam (sifat rahim Allah) di akherat nanti. Kita tahu, para Nabi semuanya Muslim. Tidak ada seorang pun Nabi yang membawa agama selain Islam.

Pengikut-pengikut Nurcholish telah melupakan bahwa misi Rasulullah Muhammad saw adalah menyebarkan Islam di muka bumi ini. Untuk menyebarkan Islam itu kadang Rasulullah berdebat dengan orang kafir, para pendeta, berdakwah, berjihad terus menerus dan lain-lain. Dan Rasulullah saw telah menyatakan bahwa :

“Demi Dzat yang menguasai jiwa Muhammad, tidak ada seorang pun baik Yahudi maupun Nashrani yang mendengar tentang diriku dari umat Islam ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran yang aku bawa, kecuali ia akan menjadi penghuni neraka.” (HR Muslim)

Anehnya, para pemuja Nurcholish tidak mengambil pelajaran dari kisah pernikahan anak perempuan Nurcholish dengan laki-laki Yahudi di New York, bahkan terus mengembangkan ide pernikahan beda agama dan sepilis. Tapi wajarlah Budhy Munawar Rachman, penulis empat buku itu memang saat ini sebagai Program Officer Islam and Develompment, Asia Foundation (AS). Dan anehnya Ahmad Gaus juga ikut-ikutan Budhy mempromosikan Nurcholish. Judul buku Gaus ‘Api Islam Nurcholish Madjid’ aja bisa dipersoalkan. Orang bisa bertanya: Bagaimana mungkin ada apinya (semangat) sementara aqidah Islamnya Nurcholish sudah rusak? Walhasil dibalik itu semua, memang ada raksasa rupa-rupanya di balik penerbitan buku-buku liberal ini.

* Dosen

Tidak ada komentar: