Jumat, 21 September 2012

Jalaluddin Rakhmat Ternyata Pembela Pluralisme

Oleh: Nuim Hidayat (Penulis Buku Imperialisme Baru)

Insiden Sampang mencuatkan Jalaluddin Rakhmat sebagai Ketua Ijabi (Ikatan Jamaah Ahlu Bait). Pendapat-pendapatnya banyak dikutip media massa. Ternyata selain tokoh Syiah, ia adalah pembela gigih pluralisme.

Jalaluddin memang seorang tokoh yang luar biasa. Semenjak saya kuliah di IPB akhir 80’an, buku-bukunya telah menjadi kegemaran saya dan best seller di Indonesia. Saat itu tiap bukunya terbit, hampir selalu saya membelinya. Meski saya bukan penganut Syiah, tapi karena saya haus buku saat itu, saya suka membaca karyanya. Karyanya enak dibaca, bahasanya lugas dan logikanya ‘cerdas”.


Buku yang pertama saya baca adalah bukunya yang berjudul Islam Aktual, kemudian saya baca bukunya Islam Alternatif dan seterusnya. Hingga Psikologi Komunikasi , Tafsir bil Ma’tsurnya, dan The Road to Muhammad.

Saat itu saya tahu ia Syiah. Cuma karena isinya banyak berisi wawasan Keislaman –terutama analisa-analisa dan kritik sosialnya—saya sangat tertarik membacanya. Dan apalagi ia dimana-mana mengaku dirinya Susi, Sunni Si’i.

Ada kritikan tajam saat itu oleh tokoh Islam Dewan Da’wah, Nabhan Hussein dan saya sempat hadir dalam kajiannya tentang Syiah di Universitas Indonesia. Tapi karena uraian dan tulisannya tidak semenarik Jalal, saya tetap membaca bukunya. Cuma saya mulai ragu dan tanda tanya siapa Jalaluddin Rakhmat ini sebenarnya kok banyak mengecam hadist shahih? Kedoknya sebagai tokoh Syiah ini terbuka lebar ketika ia dengan terang-terangan meluncurkan Ijabi, Ikatan Jamaah Ahlu Bait, Juli 2000 di Kuningan, Jakarta.

Ketika Nurcholish Madjid mengaktifkan Paramadina, saya lihat Jalal juga aktif di sana. Ia sering diundang Nurcholish menyampaikan pemikiran dan makalahnya. Meskipun saat itu ia belum terlihat sebagai pembela gigih Nurcholish, seperti Budhy Munawar Rahman, Ulil Abshar Abdalla atau lainnya.

Jawaban terhadap pertanyaan intelektual Bandung itu terkuak, ketika ia dengan bangganya meluncurkan buku Islam dan Pluralisme yang diterbitkan Serambi  (2006) di Universitas Paramadina. Saat itu ia membedah bukunya di ‘Universitas Nurcholish’ itu dan berdebat keras bahkan panas dengan Dr Adian Husaini. Saat itu terlihat emosi Jalal, ketika pemikirannya dikritik keras Adian.
Merasa bahwa bukunya tentang Pluralisme mengandung kebenaran, Jalal pun terus mempublikasikan bukunya.  Bukan hanya kelompok Pluralis, kelompok non Islam, khususnya kalangan Kristiani juga menyambut hangat terbitnya buku Jalal itu. Sehingga di tahun 2006 itu, setelah dibedah di Universitas Paramadina, maka buku itu kemudian dibedah di Gereja Kristen Jawa, Rawamangun Jakarta Timur 26 November 2006. Dan sampai sekarang buku itu pun menjadi karya Jalal yang tidak pernah ditariknya.

Apa yang terpenting dari isi buku itu? Buku ini sebenarnya intinya hanya merujuk kepada Jamal al Banna (penganut liberal di Mesir, saudara kandung Hasan Al Banna) dan tokoh Syiah Syekh Husseyn Fadhlullah. Jalaluddin juga menggunakan rujukan tafsir al Manar, Rasyid Ridha, sayangnya dia memutarbalikkan pendapat ulama besar ini.

Di halaman 20, Jalal menyatakan: “Bertentangan dengan kaum eksklusivis adalah kaum pluralis. Mereka berkeyakinan bahwa semua pemeluk agama mempunyai peluang yang sama untuk memperoleh keselamatan dan masuk sorga. Semua agama benar berdasarkan kriteria masing-masing. Each one is valid within its particular culture. Mereka percaya rahmat Allah itu luas…”
Kemudian Jalal menyandarkan pendapatnya ini pada  surah al Baqarah 62 dan al Maidah 69 (juga al Hajj 17). Inti dari ayat ini hampir sama yaitu menurut Jalal : “Ayat-ayat ini sangat jelas mendukung pluralisme. Ayat-ayat itu tidak menyatakan semua kelompok agama benar atau semua kelompok agama sama. Tidak! Ayat-ayat ini menegaskan bahwa semua golongan agama akan selamat selama mereka beriman kepada Allah, hari akhir dan beramal saleh…” (hal. 23)

Surah al Baqarah ayat 62 ini menyatakan :
إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آَمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabi’I, siapa saja diantara mereka yang beriman kepada Allah, hari akhir dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.”

Setelah menguraikan pendapat Rasyid Ridha dalam Tafsir al Manarnya jilid I, Jalal kemudian menarik kesimpulan: “Walhasil menurut Ridha orang yang merasa pasti selamat hanya karena Islam, Nasrani atau Yahudi adalah orang yang terbuai atau tertipu (mughtarrin) dengan nama. Keselamatan, untuk mengulangi lagi yang sudah terlalu jelas, bergantung pada tiga syarat, keimanan kepada Allah, keimanan pada hari pembalasan dan amal saleh.” (hal 29).

Jalal nampaknya ingin mengelirukan pembaca dengan hanya merujuk pada Tafsir al Manar jilid I. Hampir sama yang dilakukan Syafii Maarif ketika ia mendukung pluralisme dengan mengambil sebagian pendapat Hamka dan tidak peduli dengan pendapat Hamka lainnya. Ia tidak merujuk pada Tafsir al Manar jilid lainnya. Dalam Tafsir al Manar jilid IV yang membahas tentang keselamatan Ahlul Kitab, disebutkan bahwa QS 2:62 dan 5:69 adalah membicarakan keselamatan Ahlul Kitab yang kepada mereka dakwah Nabi (Islam) tidak sampai menurut yang sebenarnya dan kebenaran agama tidak tampak bagi mereka. Karena itu mereka diperlakukan seperti Ahlul Kitab yang hidup sebelum kedatangan Nabi. (Lihat buku Dr Hamid Ilyas “Dan Ahli Kitap pun Masuk Surga: Pandangan Muslim Modernis Terhadap Keselamatan Non Muslim” dan Dr Adian Husaini “Pluralisme Agama Parasit bagi Agama-Agama”).

Sedangkan bagi Ahli Kitab yang dakwah Islam sampai kepada mereka (sesuai rincian QS 3:199), Mohammad Abduh dan Rasyid Ridha menetapkan lima syarat keselamatan, yaitu:
  1. Beriman kepada Allah dengan iman yang benar, tidak bercampur dengan kemusyrikan dan disertai dengan ketundukan yang mendorong untuk melakukan kebaikan
  2. Beriman kepada Al Qur’an yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad. Mereka mengatakan bahwa syarat ini disebutkan lebih dahulu daripada tiga syarat yang lainnya, karena Al Qur’an merupakan landasan untuk berbuat dan menjadi pemberi koreksi serta kata putus ketika terjadi perbedaan. Hal ini lantaran kitab itu terjamin keutuhannya, tidak ada yang hilang dan tidak mengalami pengubahan
  3. Beriman kepada kitab-kitab yang diwahyukan bagi mereka
  4. Rendah hati (khuyu’) yang merupakan buah dari iman yang benar dan membantu untuk melakukan perbuatan yang dituntut oleh iman
  5. Tidak menjual ayat-ayat Allah dengan apapun dari kesenangan dunia.
Hal yang hampir sama dikatakan Sayid Qutb dalam tafsir fi Zhilalil Qur’an: “Ayat ini menegaskan bahwa orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir serta beramal shalih di kalangan mereka semua, akan mendapat pahala dari sisi Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Jadi penilaian itu berdasarkan hakikat aqidah bukan berdasarkan rasa tau kebangsaan. Ini tentu berlaku sebelum pengutusan Nabi Muhammad saw. Sedangkan sesudah pengutusan Nabi saw, telah ditetapkan bentuk keimanan yang terakhir.”

Selain itu patut juga ditanyakan, bukankah kita mengimani Allah dan kemudian kita beramal saleh dengan shalat, zakat dan lain-lain karena iman kita kepada Nabi Muhammad saw? Bagaimana kaum selain Islam dikatakan iman kepada Allah dan beramal saleh sedangkan Tuhan mereka saja berbeda dengan Tuhan orang Islam. Amal saleh, tolok ukur kebajikan (termasuk di dalamnya ibadah-ibadahnya) pun beda bahkan kadang bertentangan. Maka jangan heran karena banyaknya kebingungan tentang keimanan ini, orang-orang non Muslim yang pintar-pintar di Negara-negara maju banyak yang menjadi ateis.

Pendapat-pendapat Jalal dalam buku ini memang peru dikaji secara mendalam. Orang awam yang membacanya bisa terkena virus pluralismenya.  Karena bahasanya lancar dan logikanya mudah untuk mereka.

Tapi bagi yang memahami keilmuan Islam, akan mempertanyakan serius pendapat kacau Jalal ini. Dr Anis Malik Thoha, misalnya telah menulis disertasi yang serius tentang pluralisme ini. Bukunya yang berjudul Tren Pluralisme Agama, Tinjauan Kritis (terjemahan dari buku aslinya Ittijahat al Taaddudiyah al Diniyah al Mawqif al Islami minha), mendapat sambutan hangat di tanah air dan merupakan salah satu buku ilmiah yang komprehensif membahas pluralisme agama. Buku ini mendapat pujian sebagai buku terbaik di Islamic Book Fair Jakarta. Sedang karya aslinya mendapat penghargaan Ismail Faruqi Award dari Universitas Islam Internasional (IIUM) di Malaysia. Buku yang diterbitkan Gema Insani 2005 ini, jauh lebih iimiah dari buku Jalaluddin yang ‘hanya’ berisi pemikiran-pemikiran ‘sambil lalu’.

Pada intinya dalam bukunya ini, Dosen Perbandingan Agama ini menyatakan bahwa semua Nabi agamanya adalah sama, yaitu Islam. Tidak ada satu Nabi pun yang beragama Kristen, Yahudi atau lainnya.  Semua Nabi yang mengajak pengikutnya ke surga ini hanya menyerukan tauhid kepada Allah.  Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub, Nabi Isa dan terakhir Nabi Muhammad semuanya Muslim. Banyak ayat al Qur’an yang menyebutkan hal itu. Diantaranya : QS Yunus 71-72, QS Al Baqarah 128, QS al Baqarah 131-133 dan seterusnya.

Dalam surat Ali Imran 67 misalnya, jelas dikatakan bahwa agama Nabi Ibrahim adalah Islam, bukan Yahudi atau Nasrani. “Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan pula seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus dan Muslim dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik.”

Rasulullah saw menyatakan: “Kami semua nabi-nabi, agama kami sama, aku orang yang paling dekat kepada putera Maryam, karena tidak ada satu pun Nabi antara aku dan dia.” (HR Bukhari dan Muslim).

“Nabi-nabi adalah bersaudara, agama mereka satu meskipun ibu-ibu mereka berlainan.” (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Ahmad).

“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (Islam), orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR Bukhari dan Muslim).

“Demi Dzat yang jiwa menguasai jiwa Muhammad Muhammad, tidak ada seorang pun baik Yahudi maupun Nashrani yang mendengar tentang diriku dari Umat Islam ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran yang aku bawa kecuali ia akan menjadi penghuni neraka.” (HR Muslim)
Walhasil, yang paling fatal dalam buku ini Jalal tidak membahas ayat-ayat Al Qur’an tentang kekafiran Nasrani, Yahudi atau agama-agama lainnya. Kekafiran mereka yang menuhankan Isa, kekafiran mereka yang menyembah matahari, kekafiran mereka yang menolak Al Qur’an dan lain-lain. Di dalam Al Qur’an jelas ada surat al Kaafirun. Juga Rasulullah saw selama hidupnya senantiasa mengajak kaum Musyrikin untuk masuk Islam. Dengan terus menerus menyampaikan dakwah, kebaikan dan kebenaran Islam serta kadang-kadang berdebat dengan para pendeta. Seperti yang pernah dilakukan Rasulullah saw ketika berdebat dengan pendeta Najran. Bahkan dalam surat-suratnya ke beberapa kepala Negara, Rasulullah saw menyatakan : Aslim Taslam. Islamlah, kamu akan selamat.

Karena itu orang yang masuk Islam, diwajibkan melafadzkan ‘Aku bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad saw adalah Utusan Allah’. Karena inti letak perbedaan Islam dengan yang lainnya adalah pada keimanan pada Nabi Muhammad saw sebagai Nabi yang terakhir. Dari Rasulullah saw kita mengimani Tuhan yang benar  Allah SWT, Al Qur’an, hari akhir, beramal saleh dan seterusnya.

Maka bila Jalal menyatakan (tersirat) bahwa di zaman kini tanpa iman kepada Nabi  Muhammad saw orang bisa selamat alias masuk surga, untuk apa Jalal selama ini menulis buku-buku Islam dan membentuk Ijabi, Ikatan Jamaah Ahlu Bait? Bukankah itu untuk mengajak cinta kepada Ahlu Bait Nabi Muhammad saw? Jadi apa yang dimaui Jalal sebenarnya?

Harga Iman-Islam ini sangat mahal. Al Qur’an menyatakan harganya lebih dari emas sepenuh bumi. Perhatikanlah firman Allah SWT:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَمَاتُوا وَهُمْ كُفَّارٌ فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْ أَحَدِهِمْ مِلْءُ الْأَرْضِ ذَهَبًا وَلَوِ افْتَدَى بِهِ أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ وَمَا لَهُمْ مِنْ نَاصِرِينَ

“Sungguh orang-orang yang kafir dan mati dalam kekafiran, tidak akan diterima (tebusan) dari seseorang diantara mereka sekalipun (berupa) emas sepenuh bumi, sekiranya dia hendak menebus diri dengannya. Mereka itulah orang-orang yang mendapat azab yang pedih dan tidak memperoleh penolong.” (QS Ali Imran 91)

Allah SWT Maha Pengasih, tapi juga siksa Allah SWT sangat keras. Hidup ini adalah ujian. Di dunia saja bisa kita melihat hikmah-hikmah yang diberikan Allah ini. Logika kita tidak bisa menjawab dengan terang bila kita bertanya kenapa di dunia ini selain banyak yang baik juga banyak orang jahat? Kenapa Allah ciptakan juga Syetan dan Iblis selain Malaikat? Kenapa banyak agama di dunia ini kok tidak hanya satu saja? Itu semua adalah rahasia Allah sang Pencipta alam semesta. Maka keadilan Allah di akhirat nanti akan terbukti. Selain menciptakan Iblis, Syetan dan Malaikat, Allah SWT memberikan  kasih sayangnya kepada kita dengan menurunkan para utusannya dan yang terakhir adalah Nabi Muhammad saw, untuk kita teladani agar kita selamat di dunia dan akhirat.
Meski Jalal banyak menulis tentang kekacauan logika orang, ternyata dia sendiri logikanya kacau. Dan nampaknya Jalal tidak mendalami kekacauan-kekacauan agama selain Islam.  Sehingga ia terperosok jauh ke lubang pluralisme. Agama baru di abad modern ini.  

Walhasil, lebih baik kang Jalal mumpung ada umur, tariklah buku pluralisme dan tulisan-tulisan yang 'mengecam' sahabat Rasulullah saw. Tirulah diantaranya Ali Syariati, yang kukuh dengan Islam --tidak menganut pluralisme- hormat terhadap para sahabat dan ulama-ulama Sunni yang shaleh dan akhirnya meninggal 'syahid' dibunuh kelompok pro zionis di Eropa. Wallaahu a’lam bishawab. Wallaahu aliimun hakiim*

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Masya Allah tulisan anda ini sangat bagus bang, saya juga termasuk yang antipati terhadap pemikiran pak JR itu, memprihatinkan, orang yang pintar kok cara berpikirnya tidak sesuai dengan disiplin ilmu dalam islam, melainkan mendasarkan pandangannya terhadap feeling/perasaan dirinya semata alias bisa dikatakan "seenak jidat" hehehe begitu kan bang?.
Terlepas dari apa anutan mazhab pak JR itu, karena saya perhatikan ia lentur dalam kemazhaban, yang dengan Sunni oke dan dengan Shia oke, tapi saya yakin pak JR itu tidak representatif dari kedua mazhab besar ini. Karena saya kenal beberapa kawan Shia yg menentang pemikiran pak JR itu, bahkan disebutkan ada ulama Shia yang menyatakan islam menolak pluralism.
Begitulah kerancuan pemikiran pak JR ini bang, logikanya memang kacau seperti anda bilang, lha wong ngomong cenderung pake feeling semata bukan logika sehat.