Jumat, 21 Februari 2014

Mengapa Perlu Ada Nabi? (1)



Oleh: Nuim Hidayat

Kaum Liberal ekstrim menafikan keberadaan Nabi. Bahkan pada sebuah perkuliahan di Universitas Indonesia tahun 2002, seorang lulusan IAIN Ciputat menyatakan:”Muhammad itu kan mengaku-aku aja sebagai Nabi.” Pernyataan ini seperti pernyataan orientalis yang tidak mengakui Nabi Muhammad saw sebagai nabi terakhir. Bagaimana memahami keimanan Nabi Muhammad ini?

Seorang tokoh Islam besar dari Pakistan menjawabnya. Abul A’la Maududi dalam bukunya ‘Mabaadiul Islam” (Prinsip-Prinsip Islam) mengulas secara logis masalah keimanan kepada Nabi yang mendasar ini. Begitu pentingnya buku ini sehingga International Islamic Federation of Student Organization menerjemahkan dalam bahasa Indonesia dan menyebarkannya secara luas di Asia Tenggara.


Sebelum kita membahas tentang buku itu, mari kita bahas sedikit tentang tokoh yang menulis buku ini.

Abul A’la al Maududi lahir di Hyderabad, India Selatan, 25 September 1903.  Wafat pada 22 September 1979. Ia mendapatkan pendidikan Islam sejak kecil di keluarga dan lingkungannya.  Syekh Maududi adalah tokoh pendiri Jamaat Islami. Ia pemikir besar Islam dan peletak dasar negara Islam Pakistan. 

Maulana Maududi mendapat pendidikan di Madrasah Furqaniyah , sebuah sekolah tinggi terkenal di Hyderabad yang dipanggil "Madrassah", bukan sekolah Islam tradisional . Kemudian melanjutkan pelajaran di Darul Ulum di Hyderabad. Ia mahir berbahasa Arab, Parsi, Inggris, dan Urdu .

Tahun 1918, ketika usia 15 tahun, ia mulai bekerja sebagai wartawan dalam surat kabar berbahasa Urdu. Tahun 1920, menyandang jabatan sebagai editor surat kabar Taj, yang diterbitkan di bandar Jabalpore sekarang bernama Madhya Pradesh, India.

Tahun 1921, Maulana Maududi pindah ke Delhi bekerja sebagai editor surat kabar Muslim (1921-1923), dan kemudian editor al-Jam’iyat (1925-1928), yang diterbitkan oleh Jam’iyat-i ‘Ulama-i Hind, sebuah organisasi politik Deoband. Hasil kepemimpinannya sebagai editor, al-Jam’iyat menjadi surat kabar utama untuk orang Islam di Asia Selatan (India, Pakistan, Bangladesh , Sri Langka dan Maldive). Maulana Maududi juga terlibat membentuk Pergerakan Khilafah dan Tahrik-e Hijrat, yaitu Organisasi Asia Selatan yang menentang penjajahan kolonial Inggris. 

Maulana Maududi aktif menerjemahkan buku-buku berbahasa Arab dan Inggris ke bahasa Urdu. Ia juga menulis buku bertajuk al-Jihad fi al-Islam diterbitkan secara berseri di al-Jam’iyat tahun 1927 dan dibukukan tahun 1930. Tahun 1933, Maulana Maududi menjadi editor majalah bulanan Tarjuman al-Qur'an ("Tafsiran al Qur'an"). Bidang penulisannya ialah tentang Islam, konflik antara Islam dengan imperialisme dan modenisasi. Ia juga menjelaskan jawaban Islam bagi setiap permasalahan masyarakat Islam yang dijajah.

Bersama dengan filosof dan ulama Muhammad Iqbal, Maulana Maududi mendirikan pusat pendidikan Darul-Islam di bandar Pathankot di wilayah Punjab. Tujuan pusat pendidikan ini ialah melahirkan pelajar yang mempunyai falsafah politik Islam. Maulana Maududi mengkritik habis konsep-konsep Barat seperti nasionalisme, pluralisme and feminisme

Tahun 1941, Maulana Maududi mendirikan organisasi Jamaat-e-Islami untuk mengembangkan Islam sebagai satu cara hidup di Asia Selatan. Ia terpilih sebagai pemimpin Jamaat Islami dan memegang jabatan itu sampai 1972. 

Sebelumnya tahun 1953, Maududi pernah membuat tulisan yang mengkritik tajam Ahmadiyah.  Tulisan ini kemudian menimbulkan demo dan rusuh di Pakistan. Mahkamah militer menjatuhi hukuman mati ke Maududi. Tapi kemudian militer membatalkan hukuman mati kepadanya.

Pada 22 September, 1979, Maududi meninggal dunia pada usia 76 tahun di Buffalo, New York.  (Lihat http://en.wikipedia.org/wiki/Sayyid_Abul_Ala_Maududi)

Semasa hidupnya Maududi menulis puluhan buku dan ratusan makalah atau tulisan lepas. Ulama-ulama di dunia Islam, bahkan orientalis pun mengakui kecendekiawanannya.  Ia dan ulama-ulama Pakistan pernah konflik dengan Fazlurrahman dan menjadikan Fazlurrahman tidak betah tinggal di Pakistan dan akhirnya pindah ke Amerika. Puluhan karyanya menjadi rujukan kaum cendekia Islam. Diantaranya adalah: Tafhim al-Qur’an, al Jihad fil Islam, Islamic Law and Constitution, Islamic Way of Life, Economic System of Islam, Social System of Islam, Human Rights in Islam, Qadiani Problem, dll.

Mengapa Perlu Ada Nabi?

Syekh Maududi membahas tentang kenabian ini dengan bagus sekali. Pertama-tama ia membahas tentang karunia Allah kepada manusia. “Allah SWT telah menganugerahkan kepada manusia segala sesuatu yang dibutuhkannya : bakat, kecakapan, dan kekuatan untuk bekerja di dunia. Tiap-tiap individu daripada masyarakat manusia memiliki sedikit atau banyak dari kekuatan jasmani dan akal, kekuatan faham, kecerdasan otak dan kepandaian berbicara. Allah mempunya tujuan-tujuan pada makhluknya yang hanya Ia sendiri yang mengetahuinya, karena Ia tidak menyamaratakan sekalian individu masyarakat manusia dalam pembagian bakat-bakat dan keahlian-keahlian ini diantara mereka. Jika kiranya disamaratakannya mereka dalam pembagiannya diantara mereka, niscaya masing-masing mereka tidak memerlukan yang lain dan tidak memperdulikannya sama sekali.

Oleh karena itu Allah SWT telah menentukan berbagai-bagai bakat dan kecakapan yang diperlukan oleh jenis manusia dalam keseluruhannya. Kemudian dibagikannya diantara berbagai-bagai individu, dimana Ia memberikan bagian yang ini dari salah satu kecakapan apa yang tidak diberikannya kepada yang lain. Dan memberikan bagian yang itu dari suatu kecakapan yang lain yang tidak diberikannya kepada yang ini. Oleh sebab itu anda lihat sebagian manusia melebihi yang lain, dalam kekuatan jasmani, sebagian mereka mempunyai kemahiran dalam salah satu vak atau profesi yang tidak ada pada yang lain. Sebagian mereka memiliki kecerdasan akal dan kekuatan faham yang tidak ada pada yang lain. Sebagian dari mereka condong secara naluri pada ketentaraan, sebagian dari mereka dilahirkan dalam satu kecakapan yang khas dalam bidang pemerintahan  dan kekuasaan. Sebagian dari mereka dilahirkan dalam keahlian yang luar biasa dalam berpidato. Sebagian dari mereka mempunyai kecakapan dalam bidang karang mengarang. Sebagian dari mereka tajam fikirannya, cemerlang otaknya dalam ilmu pasti, hingga ia dapat memecahkan masalah-masalah yang pelik-pelik dengan mudah dan menggemparkan dunia dengan ciptaan-ciptaannya. Sebagian dari mereka cerdas dalam urusan perundang-undangan, hingga dengan cepat pandangannya dapat menyelami kemusykilan-kemusykilan yang tidak dapat diselami oleh pandangan orang yang lain sampai berpuluh-puluh tahun.”

Maulana Maududi melanjutkan: “Semua itu adalah anugerah Allah yang dilimpahkannya kepada hambanya yang dikehendakinya. Seseorang tidak dapat mengadakan kecakapan-kecakapan ini pada dirinya sendiri dan tidak dapat mewujudkannya pada dirinya dengan pengajaran dan pendidikan. Karena ia semata-mata adalah bakat-bakat alamiah yang dikhususkan Allah bagi hambanya yang dikehendakinya menurut kebijaksanaannya.”

Kemudian imam pendiri Jamaat Islami bertanya:”Tetapi apakah  cukup bagi hajat manusia dan kebahagiaannya di dunia dengan adanya orang-orang yang mahir dalam ilmu-ilmu ukur, pasti, kimia, peundang-undangan, politik, ekonomi dan lain-lainnya?

Sekali-kali tidak! Bahkan yang lebih dihajatkannya dari ilmu-ilmu pengetahuan ini semua, ialah adanya orang-orang yang menuntun manusia dan memimpinnya ke jalan Allah yang lurus. Benar bahwa tiap-tiap sarjana ilmu pengetahuan ini memberi petunjuk untuk mengetahui apa yang menjadi haknya di dunia ini dan apakah jalan untuk mempergunakannya. Tapi hajatnya untuk mengetahui siapakah yang menjadi Pemiliknya, siapakah yang mengaruniainya apa yang ada di langit dan di bumi dan apakah keirdhaan itu, lebih besar dan lebih utama.” (bersambung)


Tidak ada komentar: