Senin, 17 Februari 2014

Ulama dan Kekuasaan: Sejarah Melayu



Oleh: Nuim Hidayat (Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Kota Depok)

Kerajaan Islam Aceh sejak awal punya hubungan erat dengan Timur Tengah. Hubungan dengan Timur menjadi lebih kuat di Kerajaan Aceh pada abad ke 17. Hubungan ini dibuktikan dengan jaringan ulama Makkah-Aceh. Ulama-ulama terkenal pada periode tersebut, Nurudin ar Raniri (wafat 1608), Abdurrauf as Sinkili (1615-1693) dan Yusuf al Maqassari (1627-1699) belajar di Makkah. Mereka membentuk ‘lingkaran komunitas Jawi’ (ashab al jawiyin) dengan ulama Makkah yang mengajar mereka. Mereka juga menjadikan kerajaan sebagai tempat untuk menyebarkan Islam di masyarakat. Ar Raniri dan as Sinkilin  berkarir di Kerajaan Aceh, sementara al Maqassari yang lahir di Sulawesi, membangun karirnya di kerajaan Banten, Jawa Barat.

Ar Raniri adalah ulama pertama dalam jaringan dengan Timur Tengah abad ke 17. Ia lahir di Ranir, sebuah kota pelabuhan tua di pantai Gujarat. Ibunya adalah orang Melayu. Setelah menggali ilmu di tempat kelahiranya ia melanjutkannya ke Mekkah dan Hadramaut. Setelah belajar lama dan menjadi ulama, ar Raniri pulang ke Aceh dan diangkat menjadi Syaikhul Islam di Kerajaan Aceh tahun 1637. Ia diangkat Raja Iskandar Tsani (1637-1641). Selama menjabat sebagai Syaikhul Islam ini ulama ini menulis lebih dari 29 karya (lihat Ulama dan Kekuasaan, Jajat Burhanudin, Mizan 2012).

Ar Raniri bersikap keras terhadap pemikiran sufi wahdatul wujud. Ia menggantinya dengan sufi yang berorientasi syariat. Sikapnya yang keras ini membawanya membakar buku-buku yang beraliran wahdatul wujud ini. Hingga akhirnya menimbulkan konflik di kerajaan. Sementara saat itu kerajaan Aceh kedatangan ulama Minangkabau Saiful Rijal yang menganut faham wahdatul wujud. Karena sikapnya yang dapat mengambil hati raja, maka akhirnya ar Raniri diusir meninggalkan Aceh. Saat itu Raja Aceh yang baru naik, Tajul Alam Safiatuddin Syah (1641-1675) cenderung mendukung Saiful Rijal.

Di tempat pengasingannya, Ranir, ulama ini tetap berkarya dengan menulis. Di tangan muridnya Abduurauf as Sinkili (1615-1693), pemikiran ar Raniri dihidupkan kembali. As Sinkili bersikap lebih kompromis terhadap faham wujudiyah.  Karena itu tahun 1661, setelah ia kembali dari Hijaz, raja Tajul Alam mengangkatnya sebagai hakim agung kerajaan, Kadi Malikul Adil. Ia menulis buku lebih dari 22 buah.

Sedangkan Yusuf al Maqassari diangkat sebagai dewan penasihat Sultan. Ia memiliki hubungan yang dekat dengan Raja Banten, Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683). Ia akhirnya menikah dengan anak perempuan Sultan. Bersama Sultan Ageng ia melakukan perlawanan keras kepada VOC Belanda. Karena Belanda melakukan tindakan semena-mena terhadap rakyat Nusantara.

Kembali ke Aceh. Aceh saat itu memang menerapkan syariat Islam. Kerajaan dengan tegas melarang minuman beralhokohol, zina (hubungan di luar nikah), pencurian dan uang haram. Kerajaan juga melarang berlakunya riba dalam masyarakat. Karena itu, bila Aceh saat ini kembali mempraktekkan hukum Islam, maka Aceh kembali pada fitrahnya dan menuju kegemilangan Islam.

Di dalam kitab Tajus Salatin, karya ulama Aceh Bukhari al Jauhari (1603), perihal pentingnya kekuasaan politik. Menurutnya, kekuasaan politik, yakni pengaturan masyarakat, sejajar dengan tugas-tugas kenabian, yakni membimbing manusia ke jalan yang benar. Kedua tugas itu harus ada dalam wewenang politik raja. Keduanya digambarkan ‘dua pertama dalam satu cincin’.

Menurut Tajus Salatin Tuhan adalah sumber otoritas politik bagi raja dan kedaulatan tertinggi kerajaan. Nabi Adam digambarkan sebagai Nabi pertama yang diangkat Allah menjadi khalifah atau raja pertama di bumi. Adam mengatur masyarakat berdasarkan perintah Tuhan atau secara Islam. Kitab itu juga menggambarkan raja yang baik yaitu Nabi Musa melawan raja tiran yang jahat Firaun. Karena kejahatannya, akhirnya Firaun dihukum oleh Allah dengan ditenggelamkannya di Laut Merah.

Tajus Salatin memasukkan kriteria Islam bagi para raja. Para raja bisa bergelar khalifah atau zill Allah fil alam dengan syarat mereka menjalankan kekuasaan menurut prinsip-prinsip Islam. Semetara itu para penguasa tiran (zalim), yang menjerumuskan kerajaan ke jalan yang sesat adalah bayangan Iblis atau khalifah setan.
Kitab itu juga menjelaskan sifat ihsan dan adil yang harus dimiliki para raja. Raja adil adalah raja yang selalu ingin menuntut ilmu pada ulama, memperhatikan kondisi social rakyatnya, menganjurkan kebajikan dan melarang keburukan, melindungi rakyat dari kejahatan, serta menjadi mirip wali atau Nabi dalam menjalankan tugas-tugasnya.

Selain, Bukhari al Jauhari, Nuruddin ar Raniri juga menulis kitab penting tentang politik dengan judul Bustanus Salatin (1630). Buku ini menjadi pedoman Raja Iskandar Tsani. Kitab ini terdiri dari tujuh buku. Buku pertama tentang penciptaan dunia, kemudian sejarah para Nabi dan para raja dari masa pra Islam. Buku kedua tentang sejarah Islam di Asia Tenggara, berpusat pada Kerajaan Malaka, Pahang dan Aceh. Buku ketiga sampai keenam, tentang panduan politik dan nasihat bagi para raja, didasarkan pada kisah-kisah yang berkaitan dengan khalifah atau raja dulu. Buku ketujuh tentang prestasi Ilmiah kaum Muslim dalam bidang firasat, anatomi dan kedokteran.

Sebagaimana Raja di Aceh yang menerapkan Islam dalam kekuasaannya, raja di Jawa pun demikian. Sultan Agung raja Mataram menerapkan syariat Islam di wilayah Jawa. Dia bahkan mengubah sistem Kalender Jawa dari kalender Matahari Saka Hindu ke kalender campuran bulan Islam Islam-Jawa (Ricklefs dalam Jajat Burhanudin, Ulama dan Kekuasaan).

Raja-raja Mataram setelah Sultan Agung, seperti Pakubuwana II juga konsen terhadap perkembangan Islam. Ia bekerjasama dengan para kiyai mendirikan pesantren-pesantren di daerah-daerah Jawa. Diantara pesantren yang terkenal adalah Pesantren Tegalsari. Bila di Jawa tumbuh pesantren, di Minangkabau tumbuh surau dan di Aceh tumbuh dayah.

Pesantren biasanya terdiri dari masjid, rumah pimpinan pesantren dan asrama santri. Di pesantren ini para santri mengaji kitab secara langsung kepada kiyai. Dan biasanya selain mengajarkan hal-hal keagamaan, para santri juga dibekali dengan pengetahuan-pengetahuan tentang bekal-bekal hidup di dunia. Seperti hal-hal yang berkaitan dengan tata cara bertani. Karena itu biasanya pesantren punya tanah yang cukup luas.
Selain pesantren, hal yang membantu dalam penyebaran Islam adalah perjalanan ibadah haji. Pemerintah Inggris dan kolonial Belanda sangat khawatir dengan orang-orang yang telah berhaji ke Mekah ini. Thomas Stamford Raffles (1811-1816) sangat mengkhawatirkan keberadaan para haji ini yang mengancam kekuasaan colonial.

Pada tahun 1664, VOC pernah melarang tiga orang Bugis yang baru pulang dari Mekkah untuk mendarat di Nusantara. Alasan VOC “kedatangan mereka ke tengah-tengah bangsa Muhammad yang percaya takhayul di daerah ini memiliki konsekwensi yang sangat serius.” Pada tahun 1716, VOC membolehkan sepuluh orang yang telah berhaji untuk tinggal dengan pengawasan yang ketat. Sementara Raffles dalam sebuah laporannya 10 Juni 1811 menulis,”dengan dalih mengajar orang-orang Melayu tentang prinsip-prinsip agama Muhammad, menanamkan kefanatikan yang sangat intoleran dan membuat mereka tidak mampu menerima suatu jenis pengetahuan yang berguna.”*

Tidak ada komentar: