Ketika sebagian besar ulama dan umat Islam
Jakarta menolak Ahok menjadi gubernur, politisi Abdillah Toha membela penuh
Ahok lewat tulisannya di Kompas (11/10/2014).
Tulisan Abdillah yang provokatif ini berjudul ‘Membela Islam’. Abdillah menulis: “Wakil Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama yang lebih dikenal dengan nama
panggilan Ahok telah dihujat dan diminta mundur bukan karena kinerjanya, tetapi
karena latar belakang keturunan dan agamanya. Ahok sebagai penganut Kristen
yang taat telah dikafirkan dan dianggap tidak memenuhi syarat menjadi pemimpin
di negeri yang berpenduduk mayoritas Muslim.”
Di alinea ini terlihat bahwa Abdillah
tidak mengikuti perkembangan. Para ulama Jakarta dan sekitarnya menolak Ahok
bukan hanya masalah agama, tapi juga tingkah laku Ahok yang tidak berakhlak.
Protes kepada Ahok bukan hanya dilakukan para ulama, juga para ahli
kepemimpinan. Ahok dianggap bukan tipe pemimpin yang baik, karena suka
mengeluarkan kata-kata yang kasar dan tidak beradab. Ahok juga mengajukan
ide-ide yang menohok Islam, seperti : mengusulkan penghapusan kolom agama dalam
KTP, menyetujui pelacuran, dan lain-lain.
Meski demikian, masalah agama Ahok
memang menjadi problem besar di Jakarta. Sebab, Ahok yang beragama Kristen
menjadi kepala daerah di wilayah yang mayoritas penduduknya Islam. Bila Ahok
menjadi kepala daerah di Irian, barangkali tidak ada yang mempermasalahkan.
Tidak cukup sampai di situ. Abdillah
kemudian memberikan dalil-dalil yang membolehkan orang non Islam menjadi
pemimpin bagi umat islam. Kata ‘senior grup Mizan’ ini:
“Dalil ayat Al Quran yang digunakan untuk menolak non-Muslim sebagai
pemimpin adalah surah Ali Imran, ayat 28: "Janganlah orang-orang mukmin
mengambil orang-orang kafir menjadi wali (pemimpin) dengan meninggalkan
orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah dia dari
pertolongan Allah". Banyak yang menafsirkan "kafir" dalam ayat
itu sebagai non-Muslim, tetapi tidak kurang pula yang menyampaikan tafsir yang
berbeda yang lebih bersahabat.
Dalam pengantarnya di sebuah buku baru, Pemimpin (non) Muslim karya Muhsin
Labib, Haidar Bagir antara lain menulis, "Kekafiran, dengan demikian,
adalah pengingkaran dan penyangkalan atas kebenaran yang memang telah dipahami,
diterima, dan diyakini oleh seseorang sebagai sebuah kebenaran. Orang kafir
adalah orang yang, karena berbagai alasan (vested interest), menyangkal atau
bersikap tidak konsisten dalam mengikuti kebenaran yang diyakininya".
Dengan demikian, non-Muslim yang kepadanya tidak sampai dakwah Islam (yang
benar) dan karena itu tidak meyakini "kebenaran" Islam tidak bisa
dikategorikan sebagai kafir. Kafir atau kufr yang berarti pengingkaran itu
justru bisa dikenakan kepada Muslim sendiri yang berperilaku ingkar terhadap kenikmatan
dan anugerah Allah serta bertolak belakang dengan perilaku berakhlak yang
diharapkan dari seorang Muslim.”
Abdillah melanjutkan:
“Begitu pula dalil Al Quran, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai wali(mu)..."
(Al-Maidah 51). Imam Baihaqi, Ibnu Abu Hatim, dan lainnya menjelaskan, sesuai
dengan asbabun nuzulnya, yang dimaksud dengan "wali" di sini bukanlah
pemimpin, tetapi persekutuan dengan non-Muslim yang meninggalkan kelompok
Muslim ketika dalam ancaman.
Keadilan dan kemaslahatan bangsa adalah dua dari beberapa ajaran inti Islam
yang harus dipatuhi oleh penguasa. Khalifah keempat Islam, Ali bin Abi Thalib,
mengatakan, "Sesungguhnya Allah akan melindungi negara yang menegakkan
keadilan walaupun ia non-Muslim, dan tidak akan melindungi negara yang zalim
walaupun dia Muslim." Kata-kata ini diulang oleh Syaikhul Islam Ibn
Taimiyyah dengan mengganti kata "melindungi" dengan
"menegakkan".”
Di sinilah terlihat kengawuran
Abdillah Toha. Ia mencoba mendefinisikan kafir secara bahasa, dengan
meninggalkan definisi kafir secara istilah. Kafir secara bahasa memang berarti
menolak atau ingkar atau menutupi kebenaran. Makanya Al Quran menggunakan
istilah juga dengan kufur nikmat, kufur pemberian dan lain-lain.
Secara istilah, kafir adalah
orang-orang yang tidak memeluk agama Islam. Orang yang tidak meyakini Allah dan
Rasul-Nya (Nabi Muhammad dan para Nabi lainyal, tidak meyakini rukun Islam,
maka ia tergolong kafir. Tidak ada orang non Islam yang tidak kafir. Orang non
Islam pasti kafir. Karena itu Al Quran di seluruh ayatnya, membedakan antara Islam, Nashrani,
Yahudi, dan lain-lain. Begitu pula dalam hadits Rasulullah, dibedakan antara
orang Islam dan non Islam/kafir. Karena itu, ayat Al Quran membedakan pemimpin
Islam dan pemimpin kafir. Allah SWT berfirman: “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan
Nasrani sebagai wali (mu)..." (Al-Maidah 51).
Di sini jelas, Al Quran membedakan Islam dengan Yahudi
dan Nashrani. Dalam berbagai ayatnya Al Quran juga membedakan Islam dan non
Islam. Al Quran menyatakan: “Sungguh
telah kafir orang yang menyatakan sesungguhnya Allah adalah salah satu dari
tiga”, “Sesungguhnya orang-orang kafir yang terdiri dari orang-orang Ahli Kitab
dan orang-orang Musyrik, mereka adalah seburuk-buruk makhluk” dan seterusnya.
Ternyata Abdillah Toha hanya menggunakan dalil atau
tafsir dari sohibnya Haidar Bagir, untuk membelokkan makna kafir. Para ulama
sejak zaman Rasulullah saw, sahabat, hingga kini tidak ada yang berpandangan
seperti Abdillah, dalam memahami makna kafir. Syekh Yusuf Qaradhawi misalnya,
menyatakan bahwa orang-orang Yahudi dan Nashrani tergolong kafir, adalah
merupakan hal prinsip yang diketahui umum oleh umat Islam. Jadi tidak ada
istilah Yahudi Islam atau Nashrani Islam.
Pendapat Abdillah Toha ini sebenarnya mengulangi
kembali pendapat Nurcholish Madjid yang mengambil pendapat dari orientalis
Amerika, Wilfred C Smith. Yang kemudian diikuti pula oleh intelektual Amerika,
William Liddle.
Selain itu, dalil dari Ali bin Abi Thalib atau Ibnu
Taimiyah tentang kepemimpinan yang digunakan oleh Abdillah Toha adalah tidak
pas konteksnya. Pernyataan Sayidina Ali, mesti dimaknai bahwa di wilayah itu
tidak ditemukan lagi satupun pemimpin Islam yang adil, sehingga umat Islam
menerima pemimpin kafir. Bila ada pemimpin islam yang adil, tentu ia harus dipilih
daripada pemimpin kafir yang adil.
Tulisan Abdillah yang menggunakan dalil Al Quran dan
pendapat ulama ini berbahaya, terutama bagi orang awam yang tidak faham Al
Quran dan Sunnah. Karena ia telah membelokkan pemahaman Islam yang mendasar.
Seperti diketahui, bahwa konsep Islam dan kafir adalah konsep yang mendasar
dalam Al Quran dan Sunnah. Rasulullah saw sepanjang hidupnya berjuang untuk
mengislamkan umat manusia. Dimulai dari keluarganya, sahabatnya, negerinya
hingga kemudian ke seluruh dunia. Lihatlah surat-surat Rasulullah saw kepada
para raja saat itu. Dalam suratnya Rasulullah sering mengatakan : “Aslim,
taslam”. Islamlah, maka kamu akan
selamat.
Kalau tidak semua non Islam adalah kafir, sebagaimana pendapat Abdillah Toha dan Haidar
Bagir diikuti, untuk apa Rasulullah saw dan para sahabat berjuang mati-matian
mengajak kaum kafir masuk Islam?
Rasulullah saw menyatakan: “Barangsiapa mengetahui (menyadari) bahwa Allah adalah Tuhannya, dan
bahwa aku adalah Nabi-Nya dengan disertai ketulusan hatinya, maka Allah akan
mengharamkan tubuhnya dari jilatan api neraka.” (HR Thabrani)
Dalam tafsir Al Azhar juz 1, Buya Hamka
menyatakan: “Yang dimaksud dengan
orang-orang yang dimurkai ialah Yahudi dan yang dimaksud orang-orang yang sesat
ialah Nasrani.” Ini adalah tafsir Hamka
surat al Fatihah ayat 7: “Jalan
orang-orang yang Engkau kurniai nikmat atas mereka, bukan (jalan) orang-orang
yang telah dimurkai atas mereka dan bukan jalan orang-orang sesat,”
Juga Rasulullah menyatakan bahwa semua
Nabi adalah beragama Islam. Rasulullah
menyatakan: “Kami semua nabi-nabi, agama kami sama, aku orang yang paling dekat
kepada putera Maryam, karena tidak ada satu pun nabi antara aku dan dia.” (HR
Bukhari-Muslim)
Abdillah juga lupa, bahwa kezaliman bukan hanya
bersikap tidak adil kepada manusia, tapi kezaliman juga bersikap tidak adil
kepada sang Pencipta dan utusan-Nya. Yaitu, menjadikan makhluk sebagai
sesembahan dan tidak mengakui utusannya yang terakhir, Nabi Muhammad saw,
sebagai utusan Allah SWT. Karena itu, Al Quran menyatakan : “Sesungguhnya
syirik (menyekutukan Tuhan) itu adalah kezaliman yang besar.” Wallahu alimun hakim. * Nuim Hidayat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar