Kamis, 30 Oktober 2014

Ketika Abdillah Toha Bela Ahok



Ketika sebagian besar ulama dan umat Islam Jakarta menolak Ahok menjadi gubernur, politisi Abdillah Toha membela penuh Ahok lewat tulisannya di Kompas (11/10/2014).

Tulisan Abdillah yang provokatif ini berjudul  ‘Membela Islam’.  Abdillah menulis: “Wakil Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama yang lebih dikenal dengan nama panggilan Ahok telah dihujat dan diminta mundur bukan karena kinerjanya, tetapi karena latar belakang keturunan dan agamanya. Ahok sebagai penganut Kristen yang taat telah dikafirkan dan dianggap tidak memenuhi syarat menjadi pemimpin di negeri yang berpenduduk mayoritas Muslim.”

Di alinea ini terlihat bahwa Abdillah tidak mengikuti perkembangan. Para ulama Jakarta dan sekitarnya menolak Ahok bukan hanya masalah agama, tapi juga tingkah laku Ahok yang tidak berakhlak. Protes kepada Ahok bukan hanya dilakukan para ulama, juga para ahli kepemimpinan. Ahok dianggap bukan tipe pemimpin yang baik, karena suka mengeluarkan kata-kata yang kasar dan tidak beradab. Ahok juga mengajukan ide-ide yang menohok Islam, seperti : mengusulkan penghapusan kolom agama dalam KTP, menyetujui pelacuran, dan lain-lain.

Meski demikian, masalah agama Ahok memang menjadi problem besar di Jakarta. Sebab, Ahok yang beragama Kristen menjadi kepala daerah di wilayah yang mayoritas penduduknya Islam. Bila Ahok menjadi kepala daerah di Irian, barangkali tidak ada yang mempermasalahkan.


Tidak cukup sampai di situ. Abdillah kemudian memberikan dalil-dalil yang membolehkan orang non Islam menjadi pemimpin bagi umat islam. Kata ‘senior grup Mizan’ ini:
“Dalil ayat Al Quran yang digunakan untuk menolak non-Muslim sebagai pemimpin adalah surah Ali Imran, ayat 28: "Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali (pemimpin) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah dia dari pertolongan Allah". Banyak yang menafsirkan "kafir" dalam ayat itu sebagai non-Muslim, tetapi tidak kurang pula yang menyampaikan tafsir yang berbeda yang lebih bersahabat.

Dalam pengantarnya di sebuah buku baru, Pemimpin (non) Muslim karya Muhsin Labib, Haidar Bagir antara lain menulis, "Kekafiran, dengan demikian, adalah pengingkaran dan penyangkalan atas kebenaran yang memang telah dipahami, diterima, dan diyakini oleh seseorang sebagai sebuah kebenaran. Orang kafir adalah orang yang, karena berbagai alasan (vested interest), menyangkal atau bersikap tidak konsisten dalam mengikuti kebenaran yang diyakininya".

Dengan demikian, non-Muslim yang kepadanya tidak sampai dakwah Islam (yang benar) dan karena itu tidak meyakini "kebenaran" Islam tidak bisa dikategorikan sebagai kafir. Kafir atau kufr yang berarti pengingkaran itu justru bisa dikenakan kepada Muslim sendiri yang berperilaku ingkar terhadap kenikmatan dan anugerah Allah serta bertolak belakang dengan perilaku berakhlak yang diharapkan dari seorang Muslim.”

Abdillah melanjutkan:
“Begitu pula dalil Al Quran, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai wali(mu)..." (Al-Maidah 51). Imam Baihaqi, Ibnu Abu Hatim, dan lainnya menjelaskan, sesuai dengan asbabun nuzulnya, yang dimaksud dengan "wali" di sini bukanlah pemimpin, tetapi persekutuan dengan non-Muslim yang meninggalkan kelompok Muslim ketika dalam ancaman.
Keadilan dan kemaslahatan bangsa adalah dua dari beberapa ajaran inti Islam yang harus dipatuhi oleh penguasa. Khalifah keempat Islam, Ali bin Abi Thalib, mengatakan, "Sesungguhnya Allah akan melindungi negara yang menegakkan keadilan walaupun ia non-Muslim, dan tidak akan melindungi negara yang zalim walaupun dia Muslim." Kata-kata ini diulang oleh Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah dengan mengganti kata "melindungi" dengan "menegakkan".”

Di sinilah terlihat kengawuran Abdillah Toha. Ia mencoba mendefinisikan kafir secara bahasa, dengan meninggalkan definisi kafir secara istilah. Kafir secara bahasa memang berarti menolak atau ingkar atau menutupi kebenaran. Makanya Al Quran menggunakan istilah juga dengan kufur nikmat, kufur pemberian dan lain-lain.

Secara istilah, kafir adalah orang-orang yang tidak memeluk agama Islam. Orang yang tidak meyakini Allah dan Rasul-Nya (Nabi Muhammad dan para Nabi lainyal, tidak meyakini rukun Islam, maka ia tergolong kafir. Tidak ada orang non Islam yang tidak kafir. Orang non Islam pasti kafir. Karena itu Al Quran di seluruh  ayatnya, membedakan antara Islam, Nashrani, Yahudi, dan lain-lain. Begitu pula dalam hadits Rasulullah, dibedakan antara orang Islam dan non Islam/kafir. Karena itu, ayat Al Quran membedakan pemimpin Islam dan pemimpin kafir. Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai wali (mu)..." (Al-Maidah 51).

Di sini jelas, Al Quran membedakan Islam dengan Yahudi dan Nashrani. Dalam berbagai ayatnya Al Quran juga membedakan Islam dan non Islam.  Al Quran menyatakan: “Sungguh telah kafir orang yang menyatakan sesungguhnya Allah adalah salah satu dari tiga”, “Sesungguhnya orang-orang kafir yang terdiri dari orang-orang Ahli Kitab dan orang-orang Musyrik, mereka adalah seburuk-buruk makhluk” dan seterusnya.
Ternyata Abdillah Toha hanya menggunakan dalil atau tafsir dari sohibnya Haidar Bagir, untuk membelokkan makna kafir. Para ulama sejak zaman Rasulullah saw, sahabat, hingga kini tidak ada yang berpandangan seperti Abdillah, dalam memahami makna kafir. Syekh Yusuf Qaradhawi misalnya, menyatakan bahwa orang-orang Yahudi dan Nashrani tergolong kafir, adalah merupakan hal prinsip yang diketahui umum oleh umat Islam. Jadi tidak ada istilah Yahudi Islam atau Nashrani Islam.

Pendapat Abdillah Toha ini sebenarnya mengulangi kembali pendapat Nurcholish Madjid yang mengambil pendapat dari orientalis Amerika, Wilfred C Smith. Yang kemudian diikuti pula oleh intelektual Amerika, William Liddle.

Selain itu, dalil dari Ali bin Abi Thalib atau Ibnu Taimiyah tentang kepemimpinan yang digunakan oleh Abdillah Toha adalah tidak pas konteksnya. Pernyataan Sayidina Ali, mesti dimaknai bahwa di wilayah itu tidak ditemukan lagi satupun pemimpin Islam yang adil, sehingga umat Islam menerima pemimpin kafir. Bila ada pemimpin islam yang adil, tentu ia harus dipilih daripada pemimpin kafir yang adil.

Tulisan Abdillah yang menggunakan dalil Al Quran dan pendapat ulama ini berbahaya, terutama bagi orang awam yang tidak faham Al Quran dan Sunnah. Karena ia telah membelokkan pemahaman Islam yang mendasar. Seperti diketahui, bahwa konsep Islam dan kafir adalah konsep yang mendasar dalam Al Quran dan Sunnah. Rasulullah saw sepanjang hidupnya berjuang untuk mengislamkan umat manusia. Dimulai dari keluarganya, sahabatnya, negerinya hingga kemudian ke seluruh dunia. Lihatlah surat-surat Rasulullah saw kepada para raja saat itu. Dalam suratnya Rasulullah sering mengatakan : “Aslim, taslam”.  Islamlah, maka kamu akan selamat.

Kalau tidak semua non Islam adalah kafir,  sebagaimana pendapat Abdillah Toha dan Haidar Bagir diikuti, untuk apa Rasulullah saw dan para sahabat berjuang mati-matian mengajak kaum kafir masuk Islam?
Rasulullah saw menyatakan: “Barangsiapa mengetahui (menyadari) bahwa Allah adalah Tuhannya, dan bahwa aku adalah Nabi-Nya dengan disertai ketulusan hatinya, maka Allah akan mengharamkan tubuhnya dari jilatan api neraka.” (HR Thabrani)

Dalam tafsir Al Azhar juz 1, Buya Hamka menyatakan:  “Yang dimaksud dengan orang-orang yang dimurkai ialah Yahudi dan yang dimaksud orang-orang yang sesat ialah Nasrani.”  Ini adalah tafsir Hamka surat al Fatihah ayat 7:  “Jalan orang-orang yang Engkau kurniai nikmat atas mereka, bukan (jalan) orang-orang yang telah dimurkai atas mereka dan bukan jalan orang-orang sesat,”

Juga Rasulullah menyatakan bahwa semua Nabi adalah beragama Islam.  Rasulullah menyatakan: “Kami semua nabi-nabi, agama kami sama, aku orang yang paling dekat kepada putera Maryam, karena tidak ada satu pun nabi antara aku dan dia.” (HR Bukhari-Muslim)

Abdillah juga lupa, bahwa kezaliman bukan hanya bersikap tidak adil kepada manusia, tapi kezaliman juga bersikap tidak adil kepada sang Pencipta dan utusan-Nya. Yaitu, menjadikan makhluk sebagai sesembahan dan tidak mengakui utusannya yang terakhir, Nabi Muhammad saw, sebagai utusan Allah SWT. Karena itu, Al Quran menyatakan : “Sesungguhnya syirik (menyekutukan Tuhan) itu adalah kezaliman yang besar.” Wallahu alimun hakim. * Nuim Hidayat

Tidak ada komentar: