Sejak invasi koalisi pasukan Amerika ke Irak 2003, para ahli politik telah menyatakan bahwa Amerika menyerbu Irak untuk minyak. Amerika perlu minyak untuk mengisi bahan bakar puluhan kapal induk, ribuan pesawat terbang dan helicopter, dan industri dalam negeri dan lain-lain. Paus Paulus kini ikut-ikutan menggalang opini melawan ISIS.
Ketika
isu invasi pasukan gabungan Amerika ke Irak untuk minyak muncul di media-media
Barat tahun 2003, beberapa kepala Negara menolaknya. Tony Blair PM Inggris saat itu menyatakan
bahwa itu adalah teori konspirasi. Blair menyatakan : "Let me first deal with
the conspiracy theory that this is somehow to do with oil...The very reason why
we are taking the action that we are
taking is nothing to do with oil or any of the other conspiracy theories put
forward."
Begitu pula John Howard,PM Australia saat itu menyatakan
"We didn't go there because of oil
and we don't remain there because of oil." Pada awal 2003 Howard
menyatakan: "No criticism is more
outrageous than the claim that United States behaviour is driven by a wish to
take control of Iraq's oil reserves." (Tidak ada kritik
yang lebih memalukan daripada pernyataan bahwa perilaku Amerika itu didorong
oleh keinginan untuk mengendalikan minyak).
Invasi Irak, Demi Minyak
Tentu saja pernyataan
kepala-kepala Negara itu dibantah banyak fihak. Dalam sebuah situs tentang
perdebatan masalah perang Irak (lihat http://en.wikipedia.org/wiki/
Rationale_for_the_Iraq_War#Oil_not_a_factor_in_the_Iraq_war) dinyatakan bahwa: Menteri Keuangan era Presiden
Bush, Paul O Neill dalam pertemuan Bush dengan National Security Council,
pernah ada diskusi tentang Invasi ke Irak. Bush saat itu diberi semacam
proposal tentang Plan for post-Saddam
Iraq. Sebuah dokumen Pentagon tanggal 5 Maret 2001
berjudul Foreign Suitors for Iraqi Oilfield contracts (Pelamar asing untuk kontrak ladang
minyak Irak). Dalam dokumen itu juga terlampir peta potensi daerah Irak untuk eksplorasi.
Pada bulan Juli 2003, Menteri Luar Negeri Polandia,
Włodzimierz Cimoszewicz, mengatakan,
"Kami tidak pernah menyembunyikan
keinginan kami untuk perusahaan-perusahaan minyak Polandia akhirnya memiliki akses ke sumber-sumber komoditas." Pernyataan ini muncul
setelah sekelompok perusahaan
Polandia baru saja menandatangani kesepakatan dengan Kellogg,
Brown and Root, anak
perusahaan Halliburton. Cimoszewicz
menyatakan bahwa akses ke ladang minyak Irak "adalah
tujuan utama kami".
Satu laporan dari wartawan
BBC Greg Palast
mengutip "orang dalam pemerintah",
menduga bahwa AS "menyerukan jual seluruh ladang minyak Irak". Hal itu telah
direncanakan pemerintah AS untuk mengkudeta Saddam jauh sebelum 11 September 2001. Palast juga menyatakan
bahwa "rencana baru itu dibuat oleh neo-konservatif
yang berniat menggunakan
minyak Irak untuk menghancurkan kartel OPEC melalui
peningkatan besar dalam produksi di atas kuota OPEC.
Chuck Hagel, Menteri Pertahanan Amerika, ketika berbicara di
Sekolah
Hukum Catholic University of America Columbus, 2008, menyetujui komentar Allan Greenspan (mantan gubenur Bank
Senral AS) yang menyatakan bahwa : “People say we're not fighting
for oil. Of course we are.” Greenspan juga menulis dalam memoarnya, “Saya sedih
bahwa secara politik tidak nyaman untuk mengakui apa yang semua orang telah
ketahui: perang Iraq utamanya adalah karena minyak.”Juga Jenderal John Abizaid, komandan United States Central Command di Irak (2003- 2007), ketika
diskusi di meja bundar di
Stanford University pada tahun 2008
mengatakan : "Of course it's about oil, we can't really deny that” (Tentu saja itu tentang minyak, kita
tidak bisa benar-benar menyangkal
itu).
Banyak pengamat
politik saat itu, menelaah hubungan pejabat-pejabat pemerintah dengan perusahaan sektor energi.
Baik Presiden George W Bush dan Wakil
Presiden Dick Cheney sebelumnya adalah CEO minyak dan
perusahaan terkait minyak seperti Arbusto, Harken Energy, Spectrum
7, dan Halliburton.
Juga termasuk Penasihat Keamanan Nasional
Condoleezza Rice, mantan direktur
Chevron, dan Sekretaris Perdagangan Donald Evans,
mantan kepala perusahaan minyak Tom Brown Inc.
Harian Sunday Herald (UK), menulis
artikel "Official: US Oil at the Heart of Iraq Crisis" (6 October
2002). Harian itu menulis: “Bush decided
to invade Iraq in April 2001, six months before September 11th, and the
official reason was to improve Western access to Iraqi oil.
"President Bush's Cabinet agreed in April 2001 that 'Iraq remains a destabilising influence to the flow of oil to international markets from the Middle East' and because this is an unacceptable risk to the US 'military intervention' is necessary."
"President Bush's Cabinet agreed in April 2001 that 'Iraq remains a destabilising influence to the flow of oil to international markets from the Middle East' and because this is an unacceptable risk to the US 'military intervention' is necessary."
Laman BBC News (UK) menulis artikel
berjudul: "Oil prices lift ExxonMobil" (30 January 2003). BBC
menyatakan: “The decision for military
action had nothing to do with 9/11, the war on terrorism, the UN weapons
inspections, weapons of mass destruction, Iraqi human rights, or any of the
factors that the US government would like you to believe are the true motives
for war.
The only people who will benefit from the war on Iraq are the elite wealthy oil men who finance Bush's election campaigns, and people like Bush who have huge personal investments in the oil industry. Oil company profits have already increased by fifty percent this year because of the war, and the invasion hasn't even started yet!” (lihat www.thedebate.org/thedebate/iraq.asp)
The only people who will benefit from the war on Iraq are the elite wealthy oil men who finance Bush's election campaigns, and people like Bush who have huge personal investments in the oil industry. Oil company profits have already increased by fifty percent this year because of the war, and the invasion hasn't even started yet!” (lihat www.thedebate.org/thedebate/iraq.asp)
Minyak Menggiurkan
Irak memiliki cadangan minyak terbesar kelima di dunia dengan 141 miliar barel (2.24
× 1010 m3). Beberapa sumber menyebutkan cadangan minyak
Irak terbesar kedua di dunia bila dihitung dengan sumber-sumber yang belum
digali. Dengan
meningkatnya eksplorasi diharapkan dapat memperbesar eksplorasi sampai 200
miliar barel (3,2
× 1010 m3).
Sebagai perbandingan, Venezuela - sumber
terbesar minyak di
dunia- memiliki 298 miliar barel (4,74 × 1010 m3), dari cadangan minyak
riil.
Menurut Global Policy Forum, pengaruh
AS selama tahun 2005, membuat
Konstitusi Negara Irak menjamin peran utama bagi perusahaan
asing di sana.
Begitu berjasanya Presiden Bush dalam menguasai minyak Irak, maka
salah satu nama kapal induk nuklir Amerika diberi nama George HW Bush. Lihatlah
berita yang dibuat antaranews.com pada 16 Juni 2014: “Kapal induk nuklir USS George HW Bush (CVN-73) dan pesawat-pesawat
tempurnya, dengan ratusan personel Korps Marinir Amerika Serikat, Senin,
memasuki Teluk. Kehadirannya di Teluk menambah kapal-kapal perang lain
Angkatan Laut Amerika Serikat yang sudah ada --termasuk USS George HW Bush--
dan menyediakan panglima opsi-opsi tambahan melindungi warga negara Amerika dan
kepentingan-kepentingan di Irak, ia harus memilih untuk menggunakan ini,"
kata Laksamana John Kirby.
Melimpahnya cadangan minyak Irak ini juga dikonfirmasi
oleh Dubes RI untuk Irak, Safzen Noerdin.
"Satu ladang dia (Irak) ada 1,8 juta barel per hari. Kita mana
kuat, gede banget. Ada juga di Nurmaila hasilkan produksi minyak 2,3 juta barel
per hari. Gede-gede banget, 1 sumur-sumurnya aja ada yang muncrat minyak 10
ribu barel," ungkap Dubes RI untuk Irak Safzen Noerdin seusai acara Oil
Business Meeting : Minyak untuk Sebuah Persahabatan, di Wisma Elang Laut,
Jakarta (17/10/2013)
Safzen menambahkan, dengan begitu besarnya hasil produksi minyak di Irak, seharusnya dapat dimanfaatkan dengan investasi layaknya Pertamina. "Dapat 10 persen aja udah bagus," katanya. "Makanya Pertamina lakukan kerjasama-kerjasama itu, tidak kerjakan di lapangan hanya siapkan modalnya saja. Karena perusahaan kita untuk membuka ladang minyak di sana kurang kuat," tambah dia. (Lihat http://economy.okezone.com/read/2013/10/18/19/883363/ 1-sumur-minyak-irak-bisa-hasilkan-1-8-juta-barel).
Safzen menambahkan, dengan begitu besarnya hasil produksi minyak di Irak, seharusnya dapat dimanfaatkan dengan investasi layaknya Pertamina. "Dapat 10 persen aja udah bagus," katanya. "Makanya Pertamina lakukan kerjasama-kerjasama itu, tidak kerjakan di lapangan hanya siapkan modalnya saja. Karena perusahaan kita untuk membuka ladang minyak di sana kurang kuat," tambah dia. (Lihat http://economy.okezone.com/read/2013/10/18/19/883363/ 1-sumur-minyak-irak-bisa-hasilkan-1-8-juta-barel).
Invasi Amerika yang menimbulkan
korban lebih dari 500 ribu Muslim Irak itu, akhirnya diketahui para ahli politik dan wartawan
internasional tujuannya adalah untuk menguasai ladang-ladang minyak Irak.
Sebuah media website yang
mencatat cadangan-cadangan minyak di dunia menulis bahwa jumlah ladang-ladang
minyak di Irak menggiurkan. Di Qurna
Barat, Irak, misalya tercatat cadangan minyaknya 21 milyar barrel. Bulan Januari
2010, perusahaan patungan antara ExxonMobil dan Royal Shell Belanda mendapatkan
kontrak (dari pemerintah AS) untuk mengembangkan 9 milyar barel dari ladang
minyak Qurna Barat. Mereka akan meningkatkan produksi minyak dari 300.000 barel
per hari menjadi 2,3 juta barel per hari.
Di wilayah Majnoon, Irak, cadangannya 13 Milyar barrel. Jumlah cadangan ini berada di daerah yang relatif kecil di dekat Sungai Efrat di Irak selatan. Karena berlimpahan begitu banyak sehingga membingungkan para ahli geologi, sehingga dinamakan Majnoon (gila). Ladang minyak di daerah ini berpotensi menghasilkan 1,8 juta barel per hari (bandingkan dengan Indonesia yang produksinya hanya 800 ribu barel/hari).
Di wilayah Majnoon, Irak, cadangannya 13 Milyar barrel. Jumlah cadangan ini berada di daerah yang relatif kecil di dekat Sungai Efrat di Irak selatan. Karena berlimpahan begitu banyak sehingga membingungkan para ahli geologi, sehingga dinamakan Majnoon (gila). Ladang minyak di daerah ini berpotensi menghasilkan 1,8 juta barel per hari (bandingkan dengan Indonesia yang produksinya hanya 800 ribu barel/hari).
Di wilayah Rumaila Irak,
cadangan minyaknya 17 milyar barrel. Rumaila merupakan lapangan yang berada di perbatasan
Irak-Kuwait yang memicu perang. Ladang minyak di sini telah memproduksi 1juta
barel per hari. Dan akan ditingkatkan produksinya menjadi 2,85 juta barel per
hari. (Lihat, http://m.energitoday.com/2014/07/02/ini-negara-dengan-cadangan-minyak-terbesar-di-dunia/).
Sedangkan dalam website detik.com, dinyatakan bahwa
Irak mempunyai cadangan keempat terbesar di dunia. Pertama Arab Saudi, 264,59
milyar barrel. Kedua, Venezuela 137 milyar barel. Ketiga, Iran 137,01 milyar
barel dan keempat, Irak 114 milyar
barel. (Lihat http://finance.detik.com/read/2010/10/04/154655/1455010/4/terbesar-ketiga-di-dunia-cadangan-minyak-irak-capai-143-miliar-barel)
Permainan
Media
Sebelum melakukan penyerbuan sebenarya koalisi Amerika melakukan
ultimatum kepada rakyat Irak (Maret 2003). Pasukan AS saat itu menyebarkan 28
juta selebaran ke rakyat Irak dengan harapan agar mereka melakukan revolusi
kepada presidennya Saddam Hussein. Selebaran-selebaran itu juga berisi daftar
nama dan nomor telepon tentara-tentara elit AS yang dapat dihubungi bila mereka
memerlukan bantuan. Tapi ultimatum AS itu gagal, karena rakyat Irak menolak
menggulingkan Saddam dan memilih melakukan perlawanan terhadap koalisi AS. (Lihat buku Imperialisme Baru, Nuim
Hidayat, GIP, 2009).
Irak akhirnya dihancurkan, lebih dari 500 ribu Muslim Irak meninggal.
Saddam Husein, presiden Irak pun akhirnya tertangkap dan dihukum gantung
koalisi pasukan Amerika. Pemerintah Amerika akhirnya memilih Nur Maliki sebagai
PM Irak hingga kini. Maliki pun menjadi ‘boneka pemerintah AS’ yang harus
tunduk dalam pengambilan kebijakan Washington.
Selain perang fisik secara brutal yang dilakukan AS dan sekutunya ke
umat Islam Irak, AS saat itu juga melakukan perang propaganda lewat media cetak
dan televisi. CNN dan New York Times adalah dua diantara dua media massa yang
melakukan dukungan moral kepada pasukan AS di Irak. Wartawan-wartawan CNN
diberikan kekuasaan penuh oleh tentara-tentara AS meliput langsung kejadian
sedetail-detailnya dengan menaiki kendaraan-kendaraan tank atau pesawat-pesawat
yang dimiliki sekutu.
Di Baghdad saat itu, ketika masih dikuasai Saddam, wartawan-wartawan
AS sangat dibatasi. Pernah dua wartawan CNN diusir dari kota 1001 malam itu.
Pemerintah Saddam saat itu –sebelum jatuh- membuka akses lebar-lebar kepada
wartawan-wartawan dari negara lain, kecuali wartawan dari AS. TV Al Jazeera dan
Al Arabiyya merupakan dua stasiun televisi internasional yang coba mengimbangi
TV-TV Barat.
Ketika Al Jazeera menayangkan tawanan-tawanan AS yang ditahan oleh
pemerintah Irak di televisi, Presiden Bush dan Rumsfeld gusar. Mereka
menyatakan bahwa Pemerintah Irak melanggar Konvensi Jenewa dan bisa dinyatakan
sebagai penjahat perang. Namun ucapan yang keluar dari mulut Bush dan Rumsfeld
itu mendapat cemoohan dari beberapa media massa internasional. Diantaranya dari
The Independent Inggris,”Beberapa kali tawanan di Guantanamo Bay dipamerkan di
depan televisi. Mereka diambil gambarnya dalam kondisi yang sengaja menghinakan
mereka. Dikurung dalam kerangkeng besi, ditelanjangi dan diinterogasi dengan
mata tertutup.” (Lihat buku, Imperialisme
Baru)
Gemilangnya Al Jazeera dalam menyiarkan tragedi Irak (sebelumnya
Afghanistan) ini membuat Bush kalang kabut. Bush pernah secara resmi meminta
Emir Qatar, Syekh Hamad bin Khalifah ath Thani untuk mengekang atau membubarkan
Al Jazeera. Tapi Emir Qatar itu menolak.
Kocar-kacirnya Amerika dalam perang media saat Invasi di Irak (sejak 2003),
menjadikan Amerika mengevaluasi kebijakan medianya. Amerika kini berhasil
secara luas membuat ‘demonisasi’ ISIS di hampir seluruh media. Baik media-media
internasional maupun media di Indonesia.
Republika yang seringkali kritis kepada politik Amerika, dalam masalah
ISIS juga terjebak ikut-ikutan menghabisi ISIS.
Media-media yang lebih adil dalam memandang kasus Amerika vs ISIS ini
diantaranya adalah suara-islam.com, voa-islam.com, panjimas.com dll. (Tentu
saja ISIS mungkin punya kesalahan. Tapi masalah utama di Irak adalah masalah
penjajahan Amerika, terutama penguasaan paksa ladang-ladang minyak Irak oleh AS.
Mengekspos besar-besaran pasukan AS yang dipenggal ISIS dan menutupi korban
ratusan ribu Muslim Irak yang dibantai AS adalah ketidakadilan media).
Grup Kompas lebih kejam lagi dalam memandang ISIS. The Jakarta Post pernah membuat karikatur
yang melukiskan kalimat Laailaahaillallah (lambang ISIS) dengan gambar
tengkorak. Karikatur media grup Kompas itu mendapat protes luas kalangan umat
Islam.
Kompas juga terus menerus
menggalang opini melawan ISIS. Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia
Robert O Blake, menulis di Kompas (27/9/2014), mengajak Indonesia bersama-sama
Amerika untuk melawan NIIS (ISIS). Blake
mengkambinghitamkan NIIS sehingga mereka layak dibunuh dan diberangus pasukan
koalisi Amerika, Blake memulai
tulisannya: “Rakyat Amerika dan Indonesia sama-sama dikejutkan oleh
gambar-gambar mengerikan yang memperlihatkan tindak kekerasan yang tidak
berperikemanusiaan yang dilakukan oleh Negara Islam di Irak dan Suriah atau
NIIS. “
Blake kemudian menyatakan :
“NIIS merupakan ancaman besar bagi semua bangsa dan agama di dunia, mereka
mengganggu keamanan dan mengancam perdamaian di Timur Tengah serta berpotensi
menyebarkan ideologi mereka yang penuh kebencian di negara kita.” Artikel Blake
di Kompas, media cetak terbesar di Indonesia itu diberi judul : Visi Bersama
AS-RI Melawan NIIS.
Blake lupa bahwa suporter gerilyawan Muslim ISIS di Indonesia, tidak
melakukan kegiatan kriminal di Indonesia. ISIS yang didukung banyak ulama Irak
dan rakyatnya, melawan penjajahan Amerika di sana (dan pemerintah Irak Boneka
AS), serta ingin merebut kembali haknya sebagai sebagai warganegara untuk
mengelola ladang-ladang minyaknya sendiri. Kebanyakan kaum Muslim Indonesia
diam-diam tahu bahwa ISIS musuh Amerika bukan Indonesia. Karena ISIS tidak
pernah melakukan aksi kriminalitas di tanah air.
Paus
Paulus vs ISIS
Melihat ISIS telah ‘keok’ dalam pertarungan media internasional, Paus
Paulus pemimpin tertinggi umat Katolik dunia melakukan aksinya. Paus datang ke
Turki untuk melobi Erdogan agar ikut serta dalam koalisi Amerika menyerang
gerilyawan Irak, ISIS. Selama ini
diketahui Pemimpin Turki Thayib Erdogan enggan membantu Amerika menyerang
ISIS. Bahkan saking kukuhnya sikap
Erdogan itu, membuat ia harus menghadapi ‘demo panas’ dari sebagian rakyatnya
yang pro Kurdi (minoritas Irak).
Paus pun secara halus memainkan kata-katanya untuk memukul ISIS dengan
menyatakan bahwa Islam agama perdamaian, anti kekerasan dan seterusnya. Untuk menutupi
aksi politiknya, Paus pun mengunjungi masjid-masjid di Turki.
Bila Paus benar-benar ingin perdamaian dunia, harusnya Paus menyerukan
pemerintah Amerika (Presiden Obama) untuk meninggalkan ladang-ladang minyak
Irak di sana. Menyeru Amerika cs
menghancurkan senjata nuklir, kapal induk, kapal perang, industri senjata dan
lain-lain. Sehingga semua negara kemungkinan
besar akan mengikutinya. Maukah Paus
melakukan hal itu dan mungkinkah Amerika mau? Musuh yang terbesar adalah ada
dalam diri manusia. Kerakusan. Wallahu
azizun hakim. (Nuim Hidayat, Magister Politik dan Hubungan Internasional
Timur Tengah, UI).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar