Jumat, 10 April 2009

Demokrasi vs Teodemokrasi

Demokrasi vs Teodemokrasi
Catatan untuk Syafii Maarif dan Azyumardi Azra
Oleh: Nuim Hidayat (Dosen STID M Natsir)

Azyumardi Azra dalam Resonansinya di Republika 25 September 2008, meski mengritik demokrasi, Azra nampak tetap mengagungkan demokrasi. Hal itu terlihat dari rasa gembiranya ikut serta dalam Hari Demokrasi Internasional. Ia menyatakan: “Saya beruntung ikut terlibat dalam sebuah 'percakapan meja bundar' menyambut Hari Demokrasi Internasional itu di New York pada 12 September 2008. Percakapan ini diselenggarakan International IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance), UNDP, dan UN DPA dengan menghadirkan sejumlah pembicara dan pembahas yang merupakan pemikir dan aktivis demokrasi terkemuka di berbagai penjuru dunia.

'Percakapan meja bundar' ini bertitik tolak dari kepedulian tentang kaitan antara demokrasi dan pembangunan, sebaliknya antara pembangunan dan demokrasi. Memang, dalam beberapa kasus, pertumbuhan demokrasi tidak selalu berjalan seiring dengan pembangunan ekonomi dan sosial. Bahkan, terlihat demokrasi yang memunculkan berbagai konsekuensi yang tidak terduga (unintended consequences) dan ekses-ekses telah menghambat pembangunan. Kasus ini terlihat jelas, misalnya, dalam pengalaman Indonesia di masa sepuluh tahun penerapan demokrasi multipartai yang mengakibatkan terjadinya 'pelambatan'' dalam pembangunan ekonomi dan sosial.”

Hal yang sama juga nampak pula dalam diri Syafii Maarif. Dalam artikel Resonansi Republika 12 Agustus 2008, Syafii Maarif nampak pula memuji habis demokrasi. Menurutnya belum ada satupun sistem di dunia ini dalam era sekarang, yang menandingi demokrasi. Ia menyatakan: “Kesulitan kita dengan era modern adalah kenyataan peradaban umat manusia sampai detik ini belum menemukan sistem yang lebih baik dan lebih unggul dari demokrasi.”

Selain itu Maarif juga menguraikan tentang cacat demokrasi di negara kita. Khususnya perilaku elite politik yang jor-joran meraup kekayaan negara dan sistem pemilihan langsung yang nilainya mengerikan, yaitu sampai 400 trilyun. Kemudian dia bertanya sendiri, apakah mungkin sistem demokrasi ini diganti? Jawab Maarif: “Demokrasi harus bertahan karena itu pilihan kita sejak awal. Yang harus digugat secara keras adalah pelaku demokrasi yang semakin teler, menjadi penikmat demokrasi, sebuah pengkhianatan politik yang harus segera demokrasi.”

Kita tentu saja setuju dengan gagasan Azra dan Maarif untuk menghilangkan borok-borok demokrasi negara kita. Tapi pertanyaannya apakah sistem demokrasi kita saat ini bisa menghilangkan perilaku korup, biaya hura-hura pemilu dan biaya iklan pemilu saat ini? (Seorang calon presiden saja saat ini menyewa konsultan dan mengontrak iklan di TV untuk mem-push dirinya ditulis media massa kontraknya sampai 300 milyar!) Terus terang saya sangat meragukan. Karena demokrasi punya cacat bawaan sejak lahir. Dalam perjalanan sejarah demokrasi hanya menguntungkan segelintir elit tertentu atau paling jauh negara-negara tertentu.

Sistem politik yang ideal adalah sistem teodemokrasi bukan sistem demokrasi. Teodemokrasi adalah gagasan yang diluncurkan oleh tokoh-tokoh Islam, antara lain Abul A’la al Maududi, Mohammad Natsir dan Yusuf Qaradhawi. Ketiga tokoh ini setuju konsep teodemokrasi dan menolak konsep Teokrasi, sebuah konsep bentuk negara yang lahir dari sejarah kekuasaan gereja. Maududi, Natsir dan Qaradhawi mengajukan konsep Teodemokrasi (Natsir menyebutnya demokrasi Islam), karena melihat ada keliaran dan cacat bawaan sistem demokrasi, seperti yang kita rasakan sekarang. Meski seolah-olah mirip antara demokrasi dan teodemokrasi, tapi ibaratnya bagai ibarat api dan air.

Konsep demokrasi dan teodemokrasi ini, mirip perbedaannya dengan konsep jual beli dan riba. Zina dan nikah. Jual beli ada keridhaan antara penjual dan pembeli, sedangkan riba ada kezaliman yang terjadi antara ‘periba’ dan yang ‘diribai’. Riba menjadikan masyarakat dipenuhi kezaliman, sedangkan perdagangan menjadikan masyarakat kreatif dan berkeadilan. Begitupula zina, meski keduanya ada kesamaan hubungan biologis di sana, tapi ada perbedaan mendasar. Zina tidak ada syarat-syarat lafadz ijab kabul, saksi dan wali, sedangkan nikah mesti ada syarat-syarat itu. Zina hanya berkeinginan nikmat sesaat belaka. Sedangkan nikah selain ada kenikmatan juga ada tujuan melahirkan dan mendidik anak-anak saleh. Zina mengakibatkan masyarakat hedonis dan hura-hura dan meruntuhkan keluarga, sedangkan pernikahan membawa dampak ketenangan keluarga dan masyarakat.

Maka, demokrasi bukanlah sistem final bagi umat manusia. Para ulama telah mengajukan konsep teodemokrasi. Dimana seolah-olah konsep ini mirip demokrasi, tapi sebenarnya jauh panggang dari api. Di dalam teodemokrasi, kebenaran dari wahyu adalah utama. Sedangkan dalam demokrasi, kebenaran bersumber dari akal semata. Dalam demokrasi rakyat yang berdaulat, dalam teodemokrasi Tuhan yang berdaulat. Dalam teodemokrasi rakyat berkuasa, tapi kedaulatan di ‘tangan Tuhan’. Sebab secara kenyataannya rakyat atau manusia tidak punya kedaulatan meski terhadap dirinya sendiri. Manusia tidak bisa menciptakan mata, otak, syaraf telinga, jantung, dan lain-lain. Bagaimana dikatakan dia berdaulat, sementara kepada dirinya sendiri ia tidak berdaulat?

Di dalam teodemokrasi musyawarah diutamakan sebagaimana demokrasi di negara kita. Tapi tentu saja dalam teodemokrasi musyawarah tidak boleh terhadap hal-hal yang melawan wahyu Allah. Seperti bermusyawarahnya para wakil rakyat (seperti di sebagian di negara Barat), membolehkan minum minuman keras asal di rumah, tidak di tempat-tempat publik atau di jalanan, karena dikhawatirkan menganggu masyarakat. Peraturan seperti ini kan aneh, dibiarkan orang merusak dirinya sendiri. Yang tidak boleh hanya merusak orang lain.

Dalam teodemokrasi maka sistem politik dibangun secara jujur untuk kemuliaan manusia. Tidak ada kemunafikan disana. Misalnya minuman yang telah terbukti membahayakan, maka kepada individu maupun masyarakat dilarang untuk mengkonsumsinya. Begitu pula perzinahan. Dimana telah nyata-nyata menghancurkan akhlak individu dan meruntuhkan moral masyarakat, maka jelas harus dilarang negara. Begitu pula untuk hal-hal lainnya. Begitupula masalah pencurian uang rakyat, penghambur-hamburan uang rakyat, tidak mungkin disahkan dalam sistem teodemokrasi.

Jadi bila dalam demokrasi, akal bisa mengalahkan wahyu, maka dalam teodemokrasi akal mesti tunduk kepada wahyu. Karena logikanya, pembuat wahyu adalah pembuat akal manusia. Jadi wahyu bila diterapkan maka akan menerangi akal, tidak mungkin menggelapkan akal. Dalam demokrasi, karena sangat mengagungkan akal, maka yang terjadi akhirnya akal-akalan. Korupsi diakali bagaimana agar tidak ketahuan, tidak ada bukti dan tidak melanggar hukum. Penimbunan suara rakyat diakali dengan pemberian bantuan tunai, kredit partai dan lain-lain.

Dalam demokrasi, yang terjadi adalah ‘one man one vote’. Kasarnya meskipun makhluk itu setengah manusia, tapi bila dipilih mayoritas maka ia pun terpilih. Karena itu, modal kapital, siasat yang seringkali licik, iklan yang kerap menipu dan ‘pemolesan lipstik’ kandidat menjadi senjata utama. Seorang calon meskipun ia hebat, akhlaknya bagus, manajerialnya hebat dan pemikirannya cemerlang, ia tidak akan jadi pemimpin formal bila ia tidak bermodal atau ada partai yang memodali. Maka jangan heran, bila di Amerika Presiden George W Bush yang jelas-jelas bobrok pribadi dan timnya terpilih dua kali di sana. Di Indonesia, demokrasi, terutama pemilihan Kepala Daerah, menjadikan masyarakat kelas bawah dan bahkan para kiyai berantem. Di Jakarta, pemilihan Gubernur beberapa waktu lalu menjadikan beberapa kiyai dan mubalig saling menfitnah kepada kelompok pendukung atau kandidat yang bukan pilihannya.
Dalam Teodemokrasi, meski tidak menafikan pemilu, tapi musyawarah antar tokoh masyarakat atau ulama menjadi utama. Bila ada pemilihan kandidat bupati, gubernur atau presiden, mestinya tokoh-tokoh itu berembug siapa yang paling cakap untuk memimpin masyarakat. Kepentingan individu dalam hal ini mesti dikesampingkan. Karena para pemimpin negara itu diangkat untuk mengurus masyarakat bukan mengurus orang per orang atau partai per partai. Rasulullah saw menyatakan : Imam Al-Hakim meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda,”Barangsiapa memilih seorang pemimpin untuk suatu kelompok, yang di kelompok itu ada orang yang lebih diridlo’i Allah dari pada orang tersebut, maka ia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman.”
Rasulullah saw., bersabda,”Tiga golongan yang pada hari kiamat kelak tidak akan diajak bicara oleh Allah, tidak akan disucikan (dihapus dosa-dosanya), dan bagi mereka siksaan yang pedih. Golongan pertama adalah seseorang yang memiliki kelebihan air di jalanan (berumah di pinggir jalan), tapi menolak memberikannya kepada ibnu sabil (musafir yang sedang lewat). Golongan kedua adalah seseorang yang memilih pemimpin karena si calon memiliki harta. Jika si calon memberi apa yang ia inginkan, ia akan memilihnya; jika si calon tidak memberinya sesuatu yang berupa materi, si calon tidak dipilihnya. Adapun golongan ketiga adalah, seseorang yang menawarkan barang dagangan kepada orang lain di waktu sore hari, ia bersumpah atas nama Allah bahwa barangnya telah ditawar sekian, sehingga calon pembeli membelinya dengan harga tersebut, padahal tidak pernah ada sebelumnya orang yang menawar seperti itu.” (HR Bukhari)


Memang selain ada cacat bawaan, tidak bisa dipungkiri demokrasi juga membuat masyarakat Barat lebih maju. Keterbukaan informasi, transparansi, semangat bersaing, dan semangat pengembangan teknologi menjadi berkembang pesat. Dalam Teodemokrasi hal-hal yang merupakan fitrah manusia ini, tentu tidak akan dinafikan. Bahkan semangat untuk pengembangan ilmu, transparansi dan persaingan itu diberikan nilai, sehingga memberikan manfaat kepada manusia sebear-besarnya. Maka jangan heran di kala peradaban Islam mempengaruhi dunia (abad ke-7 sampai abad ke-19), ilmu pengetahuan berkembang pesat. Tidak heran, bila budaya tulis, budaya kertas, budaya sastra dan budaya ilmu, dicatat oleh sejarah bahwa peradaban Islam lah yang merintisnya.

Kemunafikan demokrasi Barat, juga terlihat, bagaimana dunia Barat memperlakukan demokrasi sesuai dengan keuntungan dirinya. Untuk negara-negara Timur Tengah, dimana Barat telah menaklukkan penguasanya, maka demokrasi tidak diekspor. Karena bila ia ekspor, maka akan memukul dirinya. Barat membiarkan hal-hal yang tidak demokratis berlangsung disana. Maka kita ingat bagaimana Barat mendukung kelompok militer di Aljazair untuk menghancurkan Partai Islam FIS yang jelas-jelas menang pemilu secara demokratis tahun 1991. Juga bagaimana Barat menjegal dan memblokade Hamas yang menang Pemilu di Palestina secara demokratis tahun 2006. Barat juga sedikit kepeduliannya terhadap nasib-nasib negara miskin. Padahal negaranya ekonominya berkelihan.

Walhasil, di dunia Islam, yang cocok adalah teodemokrasi bukan demokrasi. Dan bukan mustahil sistem ini akan terwujud di negeri-negeri Islam. Banyak hal-hal yang tak terduga di masa depan. Wallahu aliimun hakiim.*

Selasa, 07 April 2009

Pemilu 2009: Memilih atau Tidak Memilih

Pemilu 2009: Memilih atau Tidak Memilih
Oleh : Nuim Hidayat*

“Leiden is lijden “ (Kasman Singodimedjo)

Pemilu 2009 ini mungkin dilema bagi orang-orang muslim yang terpelajar, kritis dan bukan caleg. Memillih atau tidak memilih. Diskusi ramai baik di kantor-kantor, masjid atau internet tentang pemilu ini. Suara mengajak golput pun mengemuka baik oleh beberapa aktivis gerakan Islam, seperti HTI, Anshorut Tauhid maupun beberapa kelompok sekuler yang frustasi terhadap sistem demokrasi di Indonesia .

Pemilu yang ketiga paska tumbangnya Orde Baru ini, memang menjadikan banyak orang semakin kritis. Rakyat melihat bagaimana sehari-hari polah tingkah wakil yang dipilihnya selama lima tahun atau sepuluh tahun itu. Bagaimana kepedulian wakil rakyat partai-partai Islam itu kepada orang-orang miskin, kepada kader-kader dakwah yang melarat, gagasan-gagasan pembangunan yang Islami dan keseriusan perjuangan mereka dalam menegakkan nilai-nilai Islam di daerah dan nasional dalam Undang-undang dan lain-lain.

Kita memahami adanya sekelompok orang yang menginginkan golput dalam pemilu ini. ”Pemilu ini seperti judi,”kata Ridwan Saidi. Maksudnya banyaknya caleg yang mengeluarkan uang milyaran dan berharap uang akan balik modal ketika ia menjabat, memang sekilas seperti judi. Tapi, mungkin orang lain bisa berpendapat seperti investasi dalam dagang.

Meutya Hafidz caleg dari Partai Golkar, dalam sebuah dialog di Metro TV sekitar sebulan lalu, menyatakan bahwa ia telah mengeluarkan uang 300 juta dalam kampanyenya di Sumatra Utara. ”Mungkin nanti akan menghabiskan sampai 500 jutaan” tuturnya. Mantan wartawan yang pernah disandera mujahidin Irak ini menyatakan bahwa itu adalah biaya untuk spanduk, pamflet, jamuan makan untuk konstituen, tim yang membantunya dalam kampanye dan lain-lain. Ia menyatakan biaya yang ia keluarkan seharusnya sampai 1 milyar sampai kampanye selesai nanti.

Memang biaya pemilu nasional tahun ini luar biasa. Yaitu menurut KPU sebesar Rp. 47.941.202.175.793, hampir 48 trilyun. Dengan jumlah pemilih (DPT) sekitar 174 juta orang. Bila dijumlahkan antara pengeluaran yang dibelanjakan oleh para caleg dan anggaran dari KPU mungkin jumlahnya lebih dari 60 trilyun.

Sistem Pemilu

Memang kalau kita amati, sistem pemilu ini luar biasa borosnya. Bagi orang-orang yang telah mengikuti beberapa pemilu, kemungkinan besar akan jengkel dengan banyaknya spanduk, pamflet, billboard, bendera yang dipajang hampir di tiap gang, atau jalan-jalan di kota. Bila kita melihat ’model demokrasi’ yang diterapkan di Malaysia atau di negara-negara maju, nampaknya tidak norak seperti yang terjadi di Indonesia.

Pemborosan ini, makin bertambah bila model pemilihan bupati/walikota atau gubernur tidak diubah. Kabarnya di pemerintahan atau DPR sendiri kini sedang diupayakan untuk penghapusan pemilihan langsung kepala daerah itu.

Terhadap pemborosan negara ini, kita teringat nasehat Sultan Muhammad al Fatih, pembebas Konstantinopel Turki kepada anaknya (dan juga kepada para pemimpin-pemimpin negara) : ” Janganlah kamu menghambur-hamburkan harta negara dalam foya-foya dan senang-senang atau kamu pergunakan lebih dari yang sewajarnya. Sebab itu semua merupakan penyebab utama kehancuran.”

Memang bila para calon anggota DPR mengeluarkan ratusan juta atau milyaran dalam kampanye, mungkin kita akan sulit mengharapkan anggota DPR itu tidak memboroskan uang negara. Perhitungan modal atau investasi 1 milyar misalnya, maka anggota DPR mungkin akan berhitung bila gaji mereka di senayan 50 juta sebulan ditambah uang sidang dan lain-lain 60 juta misalnya (bulan-bulan tertentu bisa 75-100 juta), maka dalam waktu tidak lebih dari 17 bulan uang akan balik modal. Maka 43 bulan berikutnya adalah tinggal memanen untung. (Tentu ada pengecualian bagi calon wakil-wakil rakyat yang melarat atau yang mengeluarkan dana hanya puluhan juta).

Padahal, harusnya partai-partai Islam, PKS, PBB, PPP dan lain-lain bila ingin mengadakan perubahan secara fundamental di negeri ini, maka caleg-caleg itu harusnya minta penurunan gaji, bukan kenaikan gaji. Gaji 25 juta dengan ritme kerja DPR Pusat yang kerjanya rombongan itu (lain dengan menteri yang pekerjaannya individual), tentu sudah cukup memadai. Seorang wakil rakyat, apalagi dari partai Islam, harusnya memberikan teladan tidak memboroskan uang negara. Tapi sulit kita mengharap mereka akan minta dan berjuang untuk penurunan gaji, karena perhitungan modal kampanye yang telah mereka keluarkan. Apalagi bila caleg itu tidak bisa mengekang nafsu memmiliki harta itu yang memang tidak ada habisnya. Orang yang kaya biasanya ingin terus bertambah-tambah kekayaannya.

Kenapa gaji DPR perlu diturunkan? Karena DPR adalah wakil rakyat yakni yang mewakili suara rakyat. Ketika gaji DPR besar, maka Gaji Menteri, Presiden atau Pejabat Negara lain ingin lebih besar pula. Karena yang membuat UU untuk penggajian adalah DPR, maka merekalah yang harusnya memberi teladan terlebih dahulu. Mereka seharusnya mikir bahwa di tengah-tengah mereka rakyat miskin masih berjumlah hampir 40 juta orang dengan penghasilan di bawah 200 ribu per bulan. Maka kadangkala timbul pertanyaan di benak gaji wakil rakyat 50 juta sebulan itu halal, haram atau syubhat? (Ingat harta itu adalah harta rakyat. Ibaratnya DPR atau pegawai pemerintah itu seperti amil yang harus mengalokasikan gaji untuk harta yang dkumpulkan amil itu sekedarnya. Bukan menjadi amil kemudian menumpuk-numpuk kekayaan dari harta rakyat itu. Barangkali perkecualian bagi anggota-anggota DPR yang bersedekah separo gajinya atau lebih).

Tidak Memilih?

Melihat gaji, kinerja dan gaya hidup sebagian besar anggota DPR, kita mungkin muak. Mengaku wakil rakyat, tapi seringkali ia hanya mewakili dirinya sendiri atau partainya dan dalam kerja sehari-harinya tidak serius memikirkan rakyat. Bila dalam masa kampanye menyerukan agar berbondong-bondong masyarakat miskin atau kader-kader hadir atau mendukungnya, seringkali setelah terpilih, dan rakyat miskin itu butuh bantuan, kebanyakan penyakit ”pelit bin medit” menghinggapi (cerita banyaknya kader-kader yang miskin butuh bantuan tidak dipedulikan anggota DPR itu sangat banyak). Lupa otaknya terhadap kader-kader yang naik motor berpanas-panasan, bensin beli sendiri, bahkan kadang-kadang harus merelakan cuti kantor atau tidak mendapatkan uang hari itu karena mendukung caleg atau partai itu.

Akhirnya dengan model gaya hidup anggota DPR itu, banyak orang berfikir nggak ada gunanya untuk milih. Kelakuan partai sekuler dan partai Islam ternyata sama saja.

Kita memahami cara berfikir orang-orang golput ini. Tapi pertanyaannya ’dengan tidak memilih itu’ apakah pemilu gagal? Apakah keadaan akan berubah lebih baik? Pertanyaan itu yang harus kita jawab.

Bila kita berpikir cermat, maka memilih ternyata lebih baik. Meski kebanyakan wakil rakyat adalah ’brengsek’, tapi masih ada beberapa orang yang baik. Mereka yang muslimnya bagusnya, hidupnya sederhana, peduli kepada masyarakat miskin, suka bekerja keras dan lain-lain. ”Bila kita tidak memilih maka suara kita yang mestinya masuk ke orang-orang yang mungkin baik itu (caleg-caleg partai Islam), jadi hilang,”kata politisi Islam, Hartono Mardjono dan Hussein Umar almarhum. Suara partai sekuler/kristen jadi tambah, karena mereka tidak menganjurkan golput. Bila kita memilih ada kemungkinan orang yang baik terpilih. Bila tidak, maka kemungkinan orang baik terpilih itu jadi hilang. Apalagi ketika gereja-gereja menyuruh warganya memilih. Arti memilih itu lebih penting lagi, ketika masyarakat Islam menjadi minoritas atau seimbang komposisinya di sebuah daerah pemilihan dengan orang non Muslim.

Maka penulis ingat ketika Pak Natsir dan tokoh-tokoh Masyumi tidak menganjurkan golput di tahun 70, 80 atau 90 an, meski saat itu yang naik ke panggung politik adalah para politisi Islam kelas dua. Pak Natsir, Pak Roem, Pak Syafruddin politisi Islam kelas satu, dilarang berpolitik saat itu dan akhirnya membentuk Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia. Para tokoh itu melihat perubahan masyarakat, bukanlah berpangkal dari politik, perubahan masyarakat dari pendidikan dan dakwah. Politik hanyalah membantu perubahan itu dan ia bukan titik sebab atau sentral perubahan.

Begitulah, keadaan ini kita jalani. Karena kita memang ditakdirkan hidup di Indonesia yang lagi euforia terhadap kebebasan. Kita tidak hidup di Arab Saudi yang tidak ada pemilu. Kita ingin memperbaiki negeri Indonesia ini agar lebih baik dan lebih Islami. Dan dalam sunnatullah perubahan sosial, perubahan masyarakat itu terjadi bertahap. Tidak ada perubahan di dunia ini, perubahan sosial yang tiba-tiba meskipun dengan revolusi.

Apalagi dan alhamdulillah kita di Indonesia ini, para tokoh-tokoh Islam pendahulu kita telah memperjuangkan Piagam Jakarta menjadi landasan negara. Meski kemudian yang disahkan adalah UUD 45 setelah proklamasi 1945, tapi dalam Dekrit 5 Juli 1959 dinyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 45. Menurut tokoh Masyumi Mohammad Roem, Piagam Jakarta itu lebih tinggi dari UUD 45. Karena jiwa lebih tinggi dari fisik. Artinya perjuangan penegakan syariat Islam di negeri ini, mempunyai landasan yang kuat di negeri ini. Tergantung saat ini bagaimana para ahli hukum Islam dan kita semua masyarakat Islam, baik yang berjuang dalam sistem maupun luar sistem bersama-sama mengaplikasikan syariat Islam ini menjadi Undang-undang yang ’applicable’.

Dan sunnatullah perjuangan adalah dimulai dari pemimpin. Baik pemimpin formal (anggota DPR, menteri, bupati/gubernur dll) maupun pemimpin informal (pemegang media massa, kiyai, ustadz, dosen, guru, aktivis gerakan dan lain-lain).

Bila pemimpin tidak memberikan teladan, maka rusaklah pengikut-pengikutnya. Biasanya kerusakan sebuah gerakan, partai atau organisasi, bahkan negara dimulai dari kerusakan pemimpin-pemimpinnya. Pepatah yang terkenal ”Ikan busuk dari kepalanya”. Dan kesederhanaan, tidak bermewah-mewah adalah ciri utama dari seorang pemimpin Islam.

Maka suatu hari di tahun 1925, Mohammad Roem diajak ngaji oleh Kasman Singodimedjo dan Soeparno ke rumah Haji Agus Salim. Jalan ke rumah Agus Salim itu becek bila kena hujan dan saat Kasman datang, Agus Salim Salim berkomentar: ”Hari ini anda datang secara biasa. Kemarin peranan manusia dan sepeda terbalik.” Kasman menjelaskan ke Roem bahwa kemarin ia ditunggangi sepeda bukan ia menunggangi sepeda. Maka Kasman menjawab ke Agus Salim : ”Een leidersweg is een lijdensweg, Leiden is lijden.”

Maknanya : ”Jalan pemimpin bukan jalan yang mudah, Memimpin adalah menderita.” ***

*Sekjen Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Kota Depok