Kamis, 12 Desember 2013

Pertarungan Jilbab di Polri



Pertarungan boleh tidaknya jilbab di Polri sudah lama. Wakapolri sebelumnya, Nanan Sukarna bahkan pernah melarang.

"Aturan di kepolisian tidak boleh," kata Wakapolri Komjen Nanan Sukarna, di Mabes Polri, Jl Trunojoyo, beberapa waktu lalu.Aturan tersebut, ujar Nanan, diserukan sesuai kesepakatan bersama internal kepolisian, tidak tertulis. Aturan dirancang dengan alasan agar pelayanan Polri terhadap masyarakat tidak memihak atau imparsial.
 
"Jangan sampai pelayanan kepolisian terkendala, sehingga tidak imparsial," ujarnya.
Nanan bahkan menegaskan, "Tidak boleh melanggar aturan pakaian.  (lihat http://news.detik.com/read/ 2013/06/14/114520/2273371/10/korps-polri-larang-polwan-mengenakan-jilbab?n992204fksberita).

Sikap Nanan, nampak dilanjutkan Wakapolri saat ini, Oegreseno. Bahkan Oegreseno ‘berani’ membuat telegram rahasia yang membatalkan kebolehan jilbab yang telah diutarakan Kapolri Sutarman.  Menurut Oegroseno, pernyataan Sutarman terkait penggunaan jilbab jangan diartikan secara gamblang. Pasalnya, belum ada regulasi yang mengatur penggunaan jilbab itu.

Jumat, 29 November 2013

Surat Cinta untuk Politisi Muslim

Oleh: Nuim Hidayat

Bismillahirrahmanirrahim,
Surat cinta ini  saya tulis karena terpicu dengan pernyataan salah satu tokoh politisi Muslim yang bangga ketika ada non Muslim menjadi salah satu pengurus partainya.  Mungkin ia dan sahabat-sahabatnya punya dalil atau hujjah untuk pendapatnya itu. Tapi saya yakin hujjah itu tidak diuji ke publik, terutama ke para ulama dan cendekiawan yang shaleh, yang faham tentang Islam dan sejarah bangsa ini.

Sekitar tahun 2006, saya pernah menulis di Majalah Hidayatullah tentang pentingnya kesatuan aqidah dalam sebuah organisasi termasuk partai politik. Kita bisa bayangkan, bila NU dan Muhammadiyah tidak dirintis oleh orang-orang yang sama dalam tujuan aqidah dan dakwah. Apakah mungkin sebesar sekarang? Inilah ringkasan dari artikel yang saya beri judul Bersama-sama Kaum Muslim Kita Berjuang.

Hitam Putih Presiden Soekarno


Oleh : Nuim Hidayat

“Media Seringkali Membuat Banyak Orang Salah Idola” (anonim)

Soekarno, laki-laki proklamator RI ini kini menjadi banyak idola kawula muda. Buku-buku banyak ditulis memuji-muji kehebatan dia. Mulai dari masa kecilnya, remaja dan dewasanya. Dibukukan tulisan-tulisannya dan divideokan pidato-pidatonya. Film-film pun dibuat untuk mempropagandakan kepribadian dan kehebatannya. Benarkah Soekarno manusia yang hebat tidak ada cacat atau justru banyak cacatnya? Tulisan ringkas ini akan mencoba menelaahnya.

Amien Rais dan Jokowi


Nuim Hidayat (mantan wartawan Media Dakwah) 
 
Amien Rais adalah tokoh intelektual Islam yang ‘digadang-gadang’ umat Indonesia menjadi presiden Indonesia setelah Soeharto turun 1998.  Amien dijegal oleh ‘kelompok non Islam’.  Kini Jokowi dielu-elukan Kompas untuk menjadi presiden. Akankah berhasil?

Bermula tahun 90-an sepulang Amien dari Doktornya di Chicago University, Amien, doktor ilmu politik, senantiasa meluncurkan pemikiran-pemikiran segar. Baik di kalangan intelektual maupun media massa seperti di Panji Masyarakat, Republika dan jurnal-jurnal ilmiah. Amien saat itu adalah pengritik terdepan kekuasaan Soeharto yang begitu menggurita. Soeharto menguasai militer, politik, ekonomi dan lain-lainnya.

22 juni 1945 dan 5 Juli 1959


Oleh: Nuim Hidayat

22 Juni merupakan peristiwa penting bagi bangsa Indonesia. Tanggal ini adalah disyahkannya Piagam Jakarta, pembukaan UUD 1945 (22 Juni 1945). Selain itu ia adalah hari lahir kota Jakarta, 22 Juni 1527. Hari dimana pahlawan Fatahillah berhasil mengusir Portugis dari Pelabuhan Sunda Kelapa. Sedangkan 5 Juli 1959 adalah Dekrit Presiden Soekarno yang mengatakan kembalinya berlaku UUD 1945 dan pernyataannya bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

 Dekrit Presiden Soekarno ini merupakan hal yang fundamental, karena hampir tiga tahun (1956-1959) Majelis Konstituante bersidang untuk merumuskan UUD, saat itu tidak mencapai kata sepakat atau korum dalam pengambilan keputusan tentang dasar negara.

Minggu, 25 Agustus 2013

Masa Depan Mesir : Sosialisme vs Islam


Oleh: Nuim Hidayat 
 
Mesir kini digoncang kembali krisis akut. Kembali ke awal, seperti ketika rezim Mubarak berkuasa. Dimana saat itu Mubarak bersama militer bersikap keras terhadap rakyatnya yang beroposisi, khususnya Ikhwanul Muslimin. Di eranya banyak tokoh-tokoh Ikhwan yang dibunuh, ditangkap atau dipenjara. Ia melanjutkan tradisi kekuasaan militer dari Gamal Abdul Nasser dan Anwar Sadat.

Jendral Al Sisi setali tiga uang dengan Mubarak. Siapa yang menentang kekuasaannya layak untuk dibunuh. Ia tidak tahan terhadap demonstrasi dari oposisi. Beda dengan Presiden Mursi yang sabar dan tdak menggunakan senjata menghadapi para demonstran. Kini Al Sisi dkk melangkah ‘maju’ dengan rencana melarang kelompok Ikhwanul Muslimin. Bila ini dilakukan, kekeruhan politik di Mesir bisa jadi panjang dan akut.

Minggu, 16 Juni 2013

Mengembalikan Indonesia dalam Pangkuan Islam



“Selama ratusan tahun sebelum Indonesia merdeka, nilai-nilai dan hukum Islam berlaku di tanah air. Bila kini banyak yang menuntut mengembalikan Indonesia sebagai negeri yang diwarnai Islam, maka itu adalah hal yang wajar. Karena negeri ini didirikan lewat darah dan keringat mayoritas ulama dan umat Islam,”kata Nuim Hidayat, peneliti Insists dalam Training Dai dan Guru di Depok, Sabtu (25/5).

Nuim menjelaskan bahwa ketika proklamasi kemerdekaan, justru Presiden Soekarno menerapkan sekulerisme. “Seharusnya yang dibacakan ketika proklamasi 17 Agustus 1945 adalah Piagam Jakarta, tapi digantikan dengan coretan-coretan yang dibuat Soekarno di rumah panglima Jepang Laksamana Maeda. Apakah ada di dunia ini proklamasi kemerdekaan dirumuskan dengan coret-coretan?,”tanyanya. Piagam Jakarta adalah pembukaan UUD 45, termasuk teks Pancasila, kecuali sila pertama yang telah disepakati sebelumnya berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Minggu, 12 Mei 2013

Wahid Hasyim vs The Wahid Institute


Oleh: Nuim Hidayat (Ketua Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Kota Depok)

Entah apa yang dikatakan Wahid Hasyim bila tahu nama Wahid sekarang digunakan cucunya untuk melawan syariat Islam. Bila Wahid Hasyim dulu sangat bersemangat Islam ditulis dalam undang-undang, maka The Wahid Institute (TWI) sangat benci bila Islam diundangkan.  Yenny Wahid Direktur TWI, misalnya menyatakan bahwa Perda Syariah adalah perda bermasalah.  Begitu pula Ulil Abshar, pendiri JIL kolega Yenny, menyatakan bahwa biarlah Islam menjadi kesadaran, karena bisa jadi hipokrit kalau dibuat undang-undang.

Entah apa yang dibenak Ulil dan Yenny. Mereka tentu tidak mau kalau dibuat Undang-Undang di Indonesia bahwa orang Indonesia yang mati, harus dilemparkan ke laut (untuk menghemat penggunaan tanah di Indonesia). Dan orang Islam yang normal, tentu akan bergembira bila ada undang-undang tertulis sesuai dengan keyakinannya.

Bila Yenny Wahid gigih dalam menentang Perda Syariah, bagaimana dengan kakeknya KH Wahid Hasyim? Seperti diketahui, Wahid Hasyim adalah anak kelima dari KH Hasyim Asyari pendiri Nahdhatul Ulama. Ia lahir di desa Tebu Ireng Jombang, 1 Juni 1914 (5 Rabiul Awwal 1333H). Nama aslinya adalah Abdul Wahid. Sejak kecil ayahnya mendidiknya dengan pendidikan yang Islami. Dari pesantren ke pesantren sampai pernah belajar beberapa saat di  Mekah. Ia pernah menjabat menteri agama RI dan meninggal di usia muda, 39 tahun, tepatnya 19 April 1953.

Senin, 28 Januari 2013

 Bagi yang berminat karya saya, buku Imperialisme Baru (291 hlm) berhadiah buku Sayyid Quthb, hanya Rp 50.000,-. Insya Allah banyak manfaatnya. Bagi yang mau pesan bisa hubungi Ibu Eni, Komp Timah CCII/18, Kelapa Dua, Depok. Hp 082110500570 dan 081808220970. Terima kasih.

Daftar Isi (Imperialisme Baru):
Liberalisme Islam, Orientalisme dan Imperiaslime
Orientalis-Orientalis Klasik yang Memutar Balikkan Islam
Islam Liberal: Suara Kristen atau Sekuler?