Senin, 08 Juni 2009

Ketika Adab Berpolitik Hilang

Ketika Adab Berpolitik Hilang
Oleh : Nuim Hidayat*

“Jikalau beberapapun bangsa (keturunan) jika tiada ilmu, akal dan adab, ke bawah juga jatuhnya, yakni kehinaan juga diperolehnya” (Raja Ali Haji dalam Bustan al Katibin)

Menyaksikan atraksi elit-elit partai politik menjelang koalisi memilih pasangan presiden beberapa waktu lalu, banyak orang mengelus dada. Beberapa elit partai ngomongnya plintat plintut, omongan hari kemarin bisa berbeda dengan esok hari. Seolah-olah dalam berpolitik boleh tidak konsisten, tanpa adab, seolah-olah kehidupan politik boleh bohong, dan boleh tidak berakhlak. Politik dan aktor-aktornya seolah-olah berada di ruang vakum yang berbeda dengan ruang kehidupan masyarakat lainnya, ruang pendidikan, ruang akhlak, ruang sosial dan terutama ruang agama.

Mereka lupa adanya kata berhikmah “politik hari ini adalah sejarah esok hari”. Masyarakat, terutama kaum terpelajarnya, akan mencatat dengan teliti perkataan para politikus yang kurang beradab. Akan dicatat pula oleh sejarah adanya pemimpin yang suka meninggalkan musyawarah. Pemimpin yang mengikuti hawa nafsunya mengikuti kehendaknya sendiri, meski beberapa sahabat koalisinya mengusulkan sesuatu yang lain yang lebih baik.

Begitulah kalau politik meninggalkan adab. Politik meninggalkan kaidah-kaidah agama. Boleh jadi yang meninggalkan adab dalam berpolitik ini adalah partai-partai Islam sendiri. Sehingga kenapa perolehan suara partai-partai Islam menurun atau stagnan dalam pemilu kali ini, seharusnya elit-elit partai politik Islam mengevaluasi dirinya sendiri. Apakah elit politik partai Islam saat ini hidupnya bermewah-mewah seperti partai sekuler lain? Apakah elit politik partai Islam saat ini mau mengorbankan gajinya karena penduduk Indonesia yang miskin minimal masih 40 juta? Apakah elit politik masih berprinsip yang penting berkuasa meski proses yang ditempuh tidak Islami? Apakah elit politik Islam masih tergoda ketamakan terhadap tahta, wanita, harta? Apakah elit politik Islam masih memikirkan dakwah dan keteladanan dalam sikap politiknya?

Itu diantara pertanyaan-pertanyaan yang mengemuka sekarang. Sulit rasanya kalau aktor-aktor politik Islam meninggalkan adab dalam berpolitik, meninggalkan kaidah-kaidah agama dalam politik, mereka akan mendapat simpati dari mayoritas umat Islam. Terutama simpati tokoh-tokoh umat yang alim dan terpelajar. Banyaknya umat Islam yang golput dan apatis terhadap partai politik, adalah karena ulah elit politik Islam sendiri. Perlu dicatat, bahwa semakin hari, semakin tahun, umat Islam Indonesia –sebagaimana juga tren manusia di dunia-- makin terpelajar, makin kritis dan makin tidak mudah lupa terhadap terhadap sejarah aktor-aktor politik di negeri ini.

Sebagai insan politik, yang sejatinya manusia juga, maka elit politik tidak lepas dari nafsu-nafsu yang menggoda manusia. Apakah nafsu rakus harta, nafsu rakus jabatan, nafsu rakus pemujaan dan juga nafsu rakus seks kepada lain jenis. Para ulama telah bersepakat, bahwa yang dapat mengerem atau mengendalikan nafsu hanyalah agama atau keimanan kepada Allah SWT. Bila iman hilang, maka nafsu itulah yang mengemuka. Imam Ghazali mengibaratkan bahwa dengan akal yang disinari wahyu, maka seorang kusir bisa mengendalikan kudanya (nafsu). Bila tidak maka kudanya akan menjadi liar.

Tercatat dalam sejarah, bagaimana presiden Soekarno tidak bisa mengerem nafsunya kepada wanita. Presiden Soeharto terjajah nafsunya oleh harta. Presiden-presiden berikutnya kita bisa menilai sendiri, nafsu apakah yang mengendalikan mereka. Mungkin nafsu rakus jabatan, nafsu rakus pemujaan atau nafsu-nafsu yang merusak lainnya. Bila nafsu yang lebih berkuasa daripada akal (yang disinari iman), maka menjadilah orang lupa kepada diri sejatinya. Lupa kepada dirinya sebagai manusia biasa yang akan diminta pertanggungan jawab, bukan hanya oleh rakyat tapi yang terutama oleh Yang Maha Pencipta, setelah kematiannya nanti.

Melihat ke negeri tetangga, kondisi elit politik di Malaysia ternyata juga tak jauh beda dengan negeri kita. Ini dicatat oleh Guru Besar UKM, Prof. Mohd Nor Wan Daud : ”Gejala penyalahgunaan kuasa, penipuan, pelbagai jenis rasuah, politik uang, pemubaziran, kehilangan keberanian dan keadilan, sikap malas dan ’sambil lewa’, kegagalan pemimpin rumah tangga dan sebagainya mencerminkan masalah pokok ini.”

Sikap boros dalam menggunakan kekayaan negara adalah sifat yang buruk bagi pemimpin. Dalam teks hikayat Aceh menurut Wan Daud (2007), terdapat dua kasus dimana Sultan Seri Alam yang sangat boros dan Sultan Zainal Abidin yang zalim dimakzulkan dari kursi pemerintahan.

Sifat hasad dengki juga adalah nafsu yang mesti dihindari. Contoh dalam sejarah Melayu yang terkenal adalah rasa iri hati semua para pembesar Malaka –kecuali Bendahara dan Temenggong—di zaman Sultan Mansur Shah terhadap Laksamana Hang Tuah sehingga sanggup menyebarkan fitnah dengan mencipta ”fakta yang palsu” terhadap Hang Tuah. Tindakan sultan yang terburu-buru akibat dan sifat amarah yang tak terkawal telah membuahkan banyak tindakan yang banyak merugikan bangsa (Kassim Ahmad dalam Wan Daud 2007).

Sifat hasad dengki ini juga masyhur dalam kisah pemuda bijak ikhlas dalam sebuah cerita Singapura ’dilanggar’ Todak. Dalam cerita ini tertayang Sultan adalah seorang yang pendek akal dan dikelilingi oleh para pembesar yang kurang berwibawa sehingga sanggup membiarkan banyak orang mati membentengi serangan Todak. Potensi masa depan pemuda yang didengki para pembesar itu dikuatiri oleh Sultan: ”Tuanku, budak (pemuda) itu jikalau sudahabesar, besarlah akalnya. Baiklah ia kita bunuh.”

Karena itu banyak pemikir Islam, yang menulis nasihat-nasihat untuk para pemimpin. Imam Ghazali menulis ’Nasihat al Muluk’ (Nasihat untuk Raja). Imam as Suyuthi menuliskan keteladanan pemimpin-pemimpin Islam dalam ”Tarikhul Khulafa” (Sejarah Para Khalifah). Juga dokumentasi surat-surat nasehat khalifah keempat Ali bin Abi Thalib kepada Gubernur Mesir Malik bin Harits Al Asytar. Menurut Profesor A Korkut Özal dari Turki, pada perkembangan selanjutnya ternyata surat ini memberi banyak inspirasi bahkan menjadi bahan acuan bagi banyak pemimpin, melintasi ruang dan waktu. Tercatat ia mampu melintasi Eropa di masa Renaissance bahkan Edward Powcock (1604-1691), profesor di Universitas Oxford, menerjemahkan surat ini ke dalam bahasa Inggris untuk pertama kalinya dan pada 1639 disebarkan melalui serial kuliahnya yang disebut Rhetoric.

Sifat berani menegakkan yang benar, adalah sifat yang mulia. Imam as Suyuthi mengutip al Bazaar dalam Musnadnya berkisah tentang keberanian Abu Bakar yang diceritakan oleh Ali bin Abi Thalib. Kata Ali : ”Sesungguhnya tatkala peristiwa Badar, kami membuat bangsal berteduh untuk Rasulullah. Kami kemudian berkata: Siapakah yang akan tinggal bersama Rasulullah agar tidak ada seorang pun yang mendekatinya? Maka demi Allah, saat itu tidak ada seorang pun yang mendekat dari kami kecuali Abu Bakar...”

Urwah bin Zubair berkata: ”Saya bertanya Abdullah bin Amr bin Ash tentang kejahatan terbesar yang dilakukan kaum Musyrikin kepada Rasulullah. Abdullah menyatakan: Saya melihat Uqbah bin Muith mendatangi Rasulullah saat shalat. Ia mengikatkan selendangnya di leher Rasulullah dan mencekiknya dengan cekikan yang sangat keras. Kemudian datang Abu Bakar melepaskan selendang itu dari leher Rasulullah. Abu Bakar berkata: Apakah kalian akan membunuh seorang laki-laki yang mengatakan Tuhanku Allah, sedangkan dia datang dengan tanda-tanda kebesaran Tuhannya kepada kalian?

Diantara nasehat khalifah Ali kepada gubernur Malik adalah agar elit politik senantiasa waspada bahwa rakyat selalu mengawasinya. Kata Ali: "Sesungguhnya orang-orang akan melihat segala urusanmu, sebagaimana engkau dahulu melihat urusan para pemimpin sebelummu. Rakyat akan mengawasimu dengan matanya yang tajam, sebagaimana kamu menyoroti pemerintahan sebelumnya juga dengan pandangan yang tajam."

Perlu juga dibaca oleh para pemimpin Islam, buku yang ditulis oleh Dr. Ali Muhammad as Shalabi tentang Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah. As Shalabi diantaranya menulis di buku itu tentang sifat-sifat mulia Sultan Muhammad al Fatih sehingga menjadi pemimpin besar dalam sejarah Islam. Al Fatih menurut para ulama dan sejarawan adalah tokoh yang disebut Rasulullah sebagai penakluk Konstatinopel. "Konstatinopel akan bisa ditaklukkan di tangan seorang laki-laki . Maka orang yang memerintah di sana adalah sebaik-baik penguasa dan tentaranya adalah sebaik-baik tentara." (HR Ahmad)

Sifat-sifat itu adalah: perhatian yang tinggi terhadap universitas dan sekolah, kepeduliannya yang besar terhadap para ulama, perhatiannya terhadap penyair dan sastrawan, kepeduliannya terhadap penerjemahan buku-buku, perhatiannya terhadap pembangunan dan rumah sakit, kepeduliannya terhadap perdagangan dan industri, perhatiannya terhadap masalah administrasi, kepeduliannya terhadap tentara dan armada laut dan komitmennya pada keadilan.

Diantara nasehat Sultan Muhammad al Fatih kepada anaknya, juga kepada para pemimpin negara adalah: "Tak lama lagi aku akan menghadap Allah SWT. Namun aku sama sekali tidak merasa menyesal, sebab aku meninggalkan pengganti seperti kamu. Maka jadilah engkau seorang yang adil, saleh dan pengasih. Rentangkan perlindunganmu terhadap seluruh rakyatmu tanpa perbedaan. Bekerjalah kamu untuk menyebarkan agama Islam sebab ini merupakan kewajiban raja-raja di bumi. Kedepankan kepentingan agama atas kepentingan lain apapun. Janganlah kamu lemah dan lengah dalam menegakkan agama. Janganlah kamu sekali-kali memakai orang-orang yang tidak peduli agama menjadi pembantumu. Jangan pula kamu mengangkat orang-orang yang tidak menjauhi dosa-dosa besar dan larut dalam kekejian.” *