Minggu, 15 Februari 2009

Untuk Para Pemimpin Politik

"Sesungguhnya orang-orang akan melihat segala urusanmu, sebagaimana engkau dahulu melihat urusan para pemimpin sebelummu. Rakyat akan mengawasimu dengan matanya yang tajam, sebagaimana kamu menyoroti pemerintahan sebelumnya juga dengan pandangan yang tajam." (Surat Khalifah Ali r.a. kepada Gubernur Mesir)

Jabatan politik saat ini menjadi tren dan rebutan jutaan orang dan partai politik. Kampanye lewat spanduk, brosur, kartu nama, facebook, email bertebaran di dunia nyata maupun dunia maya. Salah satu sisi, hal itu menambah ketidaksedapan keindahan tata kota, tapi di sisi lain hal itu tidak bisa dihindari, karena peraturan negara lewat KPU sendiri dibuat untuk memubahkan hal-hal seperti itu.

Tentu ketika mencalonkan menjadi caleg, capub, cagub atau capres, mereka mempunyai mimpi-mimpi indah untuk diri mereka. Kita tidak tahu apakah mereka mempunyai mimpi indah juga untuk konstituen atau masyarakatnya. Misalnya bila dihadapkan pada kondisi krisis, siapa yang dikorbankan dirinya atau rakyatnya, kita tidak tahu apa yang ada dalam benak mereka.

Para ulama dan pemimpin-pemimpin Islam dalam sejarah, telah memberikan nasehat yang berharga tentang masalah ini. Diantaranya adalah nasihat khalifah keempat yang mulia Ali bin Abi Thalib kepada gubernur Mesir Malik bin Harits al Asytar, pada tahun 655M. Nasihat ini berisi prinsip-prinsip dasar tentang pengelolaan atau manajemen sebuah pemerintahan, organisasi dan lain-lain.


Menurut Profesor A Korkut Özal dari Turki, pada perkembangan selanjutnya ternyata surat ini memberi banyak inspirasi bahkan menjadi bahan acuan bagi banyak pemimpin, melintasi ruang dan waktu. Tercatat ia mampu melintasi Eropa di masa Renaissance bahkan Edward Powcock (1604-1691), profesor di Universitas Oxford, menerjemahkan surat ini ke dalam bahasa Inggris untuk pertama kalinya dan pada 1639 disebarkan melalui serial kuliahnya yang disebut Rhetoric.


Berikut cuplikan nasehat-nasehat Sayyidina Ali r.a. yang sangat berharga itu:


"Ketahuilah wahai Malik bahwa aku telah mengangkatmu menjadi seorang Gubernur dari sebuah negeri yang dalam sejarahnya berpengalaman dengan pemerintahan-pemerintahan yang benar maupun tidak benar. Sesungguhnya orang-orang akan melihat segala urusanmu, sebagaimana engkau dahulu melihat urusan para pemimpin sebelummu. Rakyat akan mengawasimu dengan matanya yang tajam, sebagaimana kamu menyoroti pemerintahan sebelumnya juga dengan pandangan yang tajam.


Mereka akan bicara tentangmu, sebagaimana kau bicara tentang mereka. Sesungguhnya rakyat akan berkata yang baik-baik tentang mereka yang berbuat baik pada mereka. Mereka akan 'menggelapkan' semua bukti dari tindakan baikmu. Karenanya, harta karun terbesar akan kau peroleh jika kau dapat menghimpun harta karun dari perbuatan-perbuatan baikmu. Jagalah keinginan-keinginanmu agar selalu di bawah kendali dan jauhkan dirimu dari hal-hal yang terlarang. Dengan sikap yang waspada itu, kau akan mampu membuat keputusan di antara sesuatu yang baik atau yang tidak baik untuk rakyatmu.


Kembangkanlah sifat kasih dan cintailah rakyatmu dengan lemah lembut. Jadikanlah itu sebagai sumber kebijakan dan berkah bagi mereka. Jangan bersikap kasar dan jangan memiliki sesuatu yang menjadi milik dan hak mereka. Sesungguhnya manusia itu ada dua jenis, yakni orang-orang yang merupakan saudara seagama denganmu dan orang-orang sepertimu.


Mereka adalah makhluk-makhluk yang lemah, bahkan sering melakukan kesalahan. Bagaimanapun berikanlah ampun dan maafmu sebagaimana engkau menginginkan ampunan dan maaf dari-Nya. Sesungguhnya engkau berada di atas mereka dan urusan mereka ada di pundakmu. Sedangkan Allah berada di atas orang yang mengangkatmu. Allah telah menyerahkan urusan mereka kepadamu dan menguji dirimu dengan urusan mereka.


Janganlah engkau persiapkan dirimu untuk memerangi Allah, karena engkau tidak mungkin mampu menolak azab-Nya dan tidak mungkin dirimu akan meninggalkan ampunan dan rahmat-Nya.


Janganlah pernah menyesal atas ampunan yang kau berikan. Begitupun janganlah bergembira dengan sebuah hukuman. Jangan pula tergsa-gesa memutuskan atau melakukan semata karena emosi, sementara engkau sebenarnya dapat memperoleh jalan keluar.


Jangan katakan:"Aku ini telah diangkat menjadi pemimpin, maka aku bisa memerintahkan dan harus ditaati", karena hal itu akan merusak hatimu sendiri, melemahkan keyakinanmu pada agama dan menciptakan kekacauan dalam negerimu. Bila kau merasa bahagia dengan kekuasaan atau malah merasakan semacam gejala rasa bangga dan ketakaburan, maka pandanglah kekuasaan dan keagungan pemerintahan Allah atas semesta, yang kamu sama sekali tak mampu kuasai. Hal itu akan meredakan ambisimu, mengekang kesewenang-wenangan dan mengembalikan pemikiranmu yang terlalu jauh.


Jangan sampai engkau melawan Allah dalam keagungan-Nya dan menyerupai-Nya dalam keperkasaan-Nya. Sesungguhnya Allah akan merendahkan setiap orang yang angkuh dan menghinakan setiap orang yang sombong.


Senantiasa belajarlah segala sesuatu hal pada mereka yang memiliki pengalaman yang matang dan penuh kebijakan. Seringlah bertanya pada mereka tentang hal-hal kenegaraan sehingga engkau dapat mempertahankan kebaikan dan perdamaian yang oleh para pendahulumu sudah pernah ditegakkan.


Tajamkanlah matamu pada orang-orang yang sejak dulu atau sekonyong dekat denganmu, akan cenderung menggunakan posisinya untuk mengambil atau mengorupsi milik dan hak orang lain dan siap berlaku tidak adil. Tekanlah sedalamnya kecenderungan seperti itu.


Buatlah peraturan-peraturan di bawah kendalimu yang tidak memberi kesempatan sekecil pada kerabatmu. Hal itu akan mencegah mereka melakukan kekerasan pada hak orang lain dan menghindarkanmu dari kehinaan di depan Allah dan manusia umumnya."


Menarik juga membaca surat wasiat Sultan Muhammad al Fatih (831 H) kepada anaknya. Al Fatih oleh para ulama dan sejarawan Islam disebut sebagai penakluk Konstatinopel. Ia adalah laki-laki yang disebut Rasulullah saw sebagai : "Konstatinopel akan bisa ditaklukkan di tangan seorang laki-laki . Maka orang yang memerintah di sana adalah sebaik-baik penguasa dan tentaranya adalah sebaik-baik tentara." (HR Ahmad)


Dr. Ali Muhammad as Shalabi mengemukakan sifat-sifat mulia Muhammad al Fatih ini sehingga menjadi pemimpin besar dalam sejarah Islam. Sifat-sifat itu adalah: perhatian yang tinggi terhadap universitas dan sekolah, kepeduliannya yang besar terhadap para ulama, perhatiannya terhadap penyair dan sastrawan, kepeduliannya terhadap penerjemahan buku-buku, perhatiannya terhadap pembangunan dan rumah sakit, kepeduliannya terhadap perdagangan dan industri, perhatiannya terhadap masalah administrasi, kepeduliannya terhadap tentara dan armada laut dan komitmennya pada keadilan.


Berikut cuplikan nasehat sang penakluk Konstatinopel (Turki) itu:

"Tak lama lagi aku akan menghadap Allah SWT. Namun aku sama sekali tidak merasa menyesal, sebab aku meninggalkan pengganti seperti kamu. Maka jadilah engkau seorang yang adil, saleh dan pengasih. Rentangkan perlindunganmu terhadap seluruh rakyatmu tanpa perbedaan. Bekerjalah kamu untuk menyebarkan agama Islam sebab ini merupakan kewajiban raja-raja di bumi. Kedepankan kepentingan agama atas kepentingan lain apapun. Janganlah kamu lemah dan lengah dalam menegakkan agama. Janganlah kamu sekali-kali memakai orang-orang yang tidak peduli agama menjadi pembantumu. Jangan pula kamu mengangkat orang-orang yang tidak menjauhi dosa-dosa besar dan larut dalam kekejian. Hindari bid'ah-bid'ah yang merusak. Jauhi orang-orang yang menyuruhmu melakukan itu. Lakukan perluasan negeri ini melalui jihad. Jagalah harta baitul mal jangan sampai dihambur-hamburkan. Jangan sekali-kali engkau mengulurkan tanganmu pada harta rakyatmu kecuali itu sesuai dengan aturan Islam. Himpunlah kekuatan orang-orang yang lemah dan fakir, dan berikan penghormatanmu kepada orang-orang yang berhak.


Oleh sebab ulama itu laksana kekuatan yang harus ada di dalam raga negeri, maka hormatilah mereka. Jika kamu mendengar ada seorang ulama di negeri lain, ajaklah dia agar datang ke negeri ini dan berilah dia harta kekayaan. Hati-hatilah jangan sampai kamu tertipu dengan harta benda dan jangan pula dengan banyaknya tentara. Jangan sekali-kali kamu mengusir ulama dari pintu-pintu istanamu. Janganlah kamu sekali-kali melakukan satu hal yang bertentangan dengan hukum Islam. Sebab agama merupakan tujuan kita, hidayah Allah adalah manhaj (pedoman) hidup kita dan dengan agama kita menang.


Ambillah pelajaran ini dariku. Aku datang ke negeri ini laksana semut kecil, lalu Allah karuniakan kepadaku nikmat yang demikian besar ini. Maka berjalanlah seperti apa yang aku lakukan. Bekerjalah kamu untuk meninggikan agama Allah dan hormatilah ahlinya. Janganlah kamu menghambur-hamburkan harta negara dalam foya-foya dan senang-senang atau kamu pergunakan lebih dari yang sewajarnya. Sebab itu semua merupakan penyebab utama kehancuran." Wallahu aziizun hakiim.*

Senin, 09 Februari 2009

Bersama Pak Natsir di Hutan

Oleh: H.M.S Dt. Tan Kabasaran*

“Surek Ketek Berdampak Besar”

Agak “istimewa” dari yang lain. Pertama kali bertemu, bukan saya yang mendatangi, tapi pak Natsir yang datang ke Bukittinggi di awal Januari 1950. Beliau mengundang saya bertatap-muka.

Saya baru berusia 22 tahun tapi sudah bekeluarga, ketika mengayuh sepeda menginggalkan rumah di Birugo menuju jalan Luruih untuk memenuhi undangan bertemu pak Natsir di Markas Masyumi Sumatera Tengah. Saat itu beliau baru jadi Ketua Partai Masyumi.

Memang, sejak usia mantah (muda) saya sudah berkecimpung di markas GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia). Di sini saya mulai dari tukang sapu, hingga jadi Pengurus Wilayah GPII Sumatera Tengah.

Usia saya saat Ananda (reporter) datang ini, sudah 83 tahun. Peristiwa pertamakali bertemu dengan pak Natsir sudah sangat-sangat lama berlalu. Sehingga saya tak begitu ingat lagi bagaimana kesan pertama bertemu dengan beliau.

Di antara generasi pertama GPII dan Masyumi, saya mungkin satu-satunya yang amat jarang menemui beliau ke Jakarta. Beliaulah yang datang menemui saya.
“Angku Malin, kata pak Natsir (saat itu saya belum bergelar Datuk), jangan jauh-jauh dari ranah Minang. Saya minta Angku Malin tetap saja di kampung (Bukittinggi). Angku Malin harus menjadi tampatan (tujuan pertama) setiap pengurus Masyumi Pusat dan GPII Pusat yang datang ke ranah Minang.”

Amanah itu, sampai di usia laruik sanjo ini, tetap saya pegang. Saya tak penah beranjak dari ranah Minang, kendati yang memberi amanah sudah lama berpulang ke pangkuan Allah Azza Wajalla.

Walau sangat jarang keluar daerah, saya sangat mendalami garis dasar perjuangan Masyumi yaitu mewujudkan Islam sebagai Dasar Negara Indonesia. Mungkin sudah beratus kali saya baca ulang naskah pidato beliau di muka sidang Konstituante yang bertajuk “Islam Sebagai Negara ”. Inilah yang pertama menarik saya terjun ke GPII dan kemudian Masyumi. Maka, sebagai anggota Masyumi dan bagian dari umat Islam, saya harus tutut berjuang bagi terwujudnya cita-cita menjadikan Islam sebagai Dasar Negara dan berjuang mempersiapkan masyarakat dengan berbagai kegiatan. Sebab, andai kata Islam berhasil dijadikan sebagai Dasar Negara, maka masyarakat telah siap melaksanakan Syariat Islam karena memang telah kita siapkan sejak awal. Dengan demikian masyarakat Indonesia tidak akan canggung lagi melaksanakan hukum Islam. Karena tugas menyiapkan mental masyarakat itulah, saya menjadi punya cukup banyak pengalaman dan kenangan bersama pak Natsir.

Salah satu persiapan mental umat melaksanakan Islam sebagai dasar negara yang saya lakukan di Bukittinggi adalah menyiapkan dan melaksanakan Kongres Alim Ulama se-Sumatera selama sepekan di awal tahun 1967. Inilah alek gadang pertama yang berhasil mempertemukan para alim ulama di pulau Sumatera dimana saya diamanahkan menjadi Kepala Sekretariat persiapan dan pelaksananya.

Alhamdulillah, kongres Alim Ulama se-Sumatera selama lima hari itu berakhir dengan sukses. Lebih seratus tokoh Alim Ulama di pulau Sumatera hadir. Kendati tidak seluruh Alim Ulama anggota Masyumi, namun Kongres itu berhasil melahirkan rekomendasi yang intinya adalah juga tuntutan Masyumi.

Di antaranya Kongres Alim Ulama se Sumatera menuntut dibersihkannya pemerintahan dari unsur PKI. Bentuk Pengadilan Agama mulai dari Pusat hingga ke Kabupten/Kota di Indonesia. Tapi yang pokok bana sebagaimana tuntutan Masyumi dan kemudian PRRI, adalah dimana Kongres Alim Ulama dalam rekomendasi yang ditandatangani Buchari Tamam selaku ketua dan Sofyan Hamzah Sekretaris adalah, Pengurus Alim Ulama se Sumatera mempercayakan kepada Presiden membentuk Kabinet yang dipimpin Mohammad Hatta tanpa Dewan Nasional (DN) yang dipenuhi anasir komunis/PKI.

Tauladan di Tengah Hutan

Meski inti dari perjuangan pak Natsir adalah agar Negara yang baru merdeka tidak jatuh ke tangan komunis dan tidak terpecah belah menjadi beberapa Negara boneka bagi Negara Asing, dan meskipun dukungan terhadap perjuangan pak Natsir itu amat besar seperti rekomendasi Alim Ulama se-Sumatera itu, tetapi tidak juga digubris rezim penguasa. Justru, jawaban yang diberikan pada pak Natsir adalah penyerbuan. Beliau akhirnya harus masuk hutan-keluar hutan, bahkan dipenjarakan. Tapi itulah pak Natsir yang saya kenal. Beliau seorang pemimpin yang ikhlas dan istiqamah dimana dan kapan pun, bahkan ditengah hutan sekalipun.

Saya adalah kader dengan status sebagai “pembawa tas” pak Natsir saat harus masuk hutan, keluar hutan. Tapi sampai ke tengah hutan sekalipun saya mendapati beliau yo bana pemimpin. Suatu ketika di dalam hutan, saya menyaksikan beliau didatangi orang kampung yang mengantarkan pucuk ubi, nangka dan segala macam sayuran. Memang orang kampung yang datang itu sudah terseleksi oleh kami. Saya lupa namanya, dia datang dengan pakaian kotor, berkeringat dan rambutnya kusut-masai. Tampaknya, dari ladang dia langsung saja membawa sayuran dengan mengendap-ngendap terus ke tempat persembunyian pak Natsir.

Oleh pak Natsir orang kampung yang datang dengan pakaiannya masih baluluak itu, belum dibolehkan pulang sebelum makan sama-sama dengan beliau. Bahkan sampai ke tempat duduk pun beliau ‘istimewakan’. Orang kampung itu disuruh duduk di sebelah kanan beliau, di sebelah kiri beliau duduk ummi dan anak-anak beliau. Sedangkan saya oleh pak Natsir di suruh duduk di sebelah kiri orang kampung itu.

Berapa kali tampak pak Natsir membasoi orang kampung itu. "Buekan samba, tambuahlah," begitu sapa pak Natsir. Beliau juga tidak buru-buru membasuh tangan begitu nasi di piringnya licin (habis). Beliau menanti orang kampung itu sampai selesai makan, dan barulah sama-sama mencuci tangan.

Kebesaran pak Natsir juga tampak ketika beliau berbincang-bincang dengan orang kampung itu. Memang Rasulullah pernah mengatakan, "Berbicaralah dengan orang, sepanjang pengetahuannya”. Itu dipraktekkan pak Natsir dalam pembicaraan dengan orang kampung itu.

Beliau memang bicarakan juga spirit perjuangan, tapi tidak dengan bahasa 'tinggi'. Jadi, siapapun yang mau datang tidak dibebani rasa takut. Lain dengan pak Syaf (Syafruddin Prawiranegara) atau pak Bur (Burhanuddin Harahap), banyak kawan-kawan takut bila disuruh berbicara empat mata dengan beliau, ‘setelannya’ tinggi.
Pak Natsir kalau berbicara, selalu menyesuaikan dengan audiensnya. Saat berbicara dengan pak Wali Nagari Sungai Batang, dia bicara tidak secadiak Camat. Setiap orang yang pertama bertemu dengan beliau, cepat terpaut hatinya dan merasa seperti sudah kenal lama.

Dari pengalaman selama hampir dua tahun berada dalam rimba bersama pak Natsir, saya sangat merasakan betapa beliau adalah pemimpin sejati yang tidak ada duanya di republik ini. Di masa susah itu, beliau benar sama-sama susah dengan yang dipimpin. Ketika mendaki bukit atau menuruni lembah, beliau sama-sama berjalan kaki dengan kami. Minta dipapah saja beliau tidak pernah, apalagi minta ditandu.
Teladan dari seorang pemimpin yang ikhlas itulah yang menumbuhsuburkan benih kesetiaan di hati para kader hingga tinggal di pelosok kampung dan di pinggir hutan sekali pun. Kesetiaan para kader pak Natsir itu saya saksikan langsung ketika kami baru masuk hutan.

Rimbo (hutan) pertama yang kami huni adalah rimbo Sitalang. Ini merupakan kawasan terujung dari wilayah Lubukbasung Utara berbatasan dengan Palembayan.
Dari kampung Sitalang ke rimbo Sitalang cuma berjarak satu jam berjalan kaki saja. Amat dekat sebenar, bagi kaki tentara terlatih. Pada sebuah dangau di tengah rimba Sitalang itulah pak Natsir diungsikan dari kejaran tentara Soekarno yang sudah sampai di kampung Sitalang. Lebih delapan bulan pak Natsir di sini. Tapi tidak pernah tercium oleh tentara Soekarno yang terpisahkan oleh jarak cuma satu jam jalan kaki saja.

Pemimpim Masyumi Sitalang bersama masyarakat benar-benar berjuang menyelamatkan pak Natsir, sehingga tidak ada orang yang tahu lokasinya. Bila pun ada yang tahu, tapi masyarakat benar-benar bisa menutup mulut. Begitulah kharisma pak Natsir di hati ummat. Andai beliau bukan pemimpin paling dicintai ummat, maka pada hari kedua masuk hutan saja, pak Natsir sudah ditangkap. Ya, berapa jauhlah jarak kami dengan balatentara Sekarno. Hanya sekitar satu jam perjalanan saja, dan bagi tentara terlatih tentu itu sangatlah dekat.

Hanya karena kegelisahan seorang tua yang menjadi penunjuk jalan, akhirnya pak Natsir setuju melanjutkan perjalan dari rimbo Sitalang menembus hutan Palembayan, kemudian turun ke Kayu Pasak, lalu berbelok ke desa Maur. Setelah berdiam beberapa malam, Ketua Masyumi Palembayan memandu kami ke dalam hutan yang jarang dilalui orang.

Saya mengawal pak Natsir menuju tepi Batang Masang. Menjelang malam dari sini pak Natsir diberangkatkan ke seberang Batang Masang dengan menaiki rakit. Di sebarang Batang Masang itulah selama 11 bulan, pak Natsir diselamatkan. Padahal jaraknya tidaklah jauh dari tentara musuh. Dari persembunyian itu masih jelas terdengar deru oto prah (truk) yang hilir-mudik mengangkut tentara Soekarno.
Pak Natsir berada di sana lebih 11 bulan dengan aman. Dan, barulah keluar dari hutan melalui Aia Kijang setelah Ketua Dewan Perjuangan PRRI, Ahmad Husein, mengumumkan dihentikannya perlawanan, pada awal Juni 1961.

Tapi pengumunan penghentian perlawanan oleh PRRI, bukan akhir perjuangan. Sebenarnya, perjuangan dengan cara dan nama lain, sudah diproklamirkan jauh sebelum pengumuman itu. Tepatnya, di awal Januari tahun 1961. Dalam suatu upacara di Bonjol Pasaman, diproklamirkanlah Republik Persatuan Indonesia (RPI) yang diikuti pak Natsir sebagai Menteri PDK dan Agama, sedangkan Presiden RPI adalah pak Syafruddin Prawiranegara.

Setelah memproklamirkan RPI di Bonjol , rombongan kemudian dibagi dua. Rombongan pak Syaf dan Burhanuddin berjalan ke arah Timur, sedangkan rombongan pak Natsir, Dahlan Djambek dan saya berjalan ke arah ke Barat.
Adapun sebab RPI diproklamirkan karena perjuangan PRRI akan segera berakhir dan dibubarkan oleh pemerintahan Soekarno. Sedangkan cita-cita perjuangan PRRI belum tercapai, terutama tentang Pembubaran Dewan Nasional dan pembersihan Kabinet dari unsur PKI.

Karena tidak ada lagi jalan kompromi dengan rezim Soekarno, maka 'dilatuihkan bana' Republik Persatuan Indonesia . Jalannya upacara ya, seperti upacara militer
dilengkapi dengan pasukan militer, di antaranya pasukan Batalyon Kemal Amin.
RPI merupakan gerakan lanjutan PRRI yang dilengkapi dengan naskah Proklamasi dan UUD. Mukaddimah UUD RPI merupakan kutipan langsung dari Pidato Mohammad Natsir dalam suatu pertemuan lengkap Dewan Perjuangan PRRI. Masyarakat akan dapat membaca selengkapnya Mukaddimah UUD RPI di buku Kapita Selecta III yang akan terbit.

Memang, yang diproklamirkan tetap saja bernama Republik Persatuan Indonesia (RPI).Ya, sebenarnya pak Natsir, pak Syaf, pak Bur dan sejumlah tokoh sipil itu sangat cinta Republik Indonesia. Tadinya, sebelum dibentuknya PRRI para tokoh sipil ini sudah membuktikan kecintaannya pada Republik Indonesia. Jadi sebelum meraka datang dan bergabung, para Panglima yang membentuk Dewan-Dewan Daerah sudah sampai pada rencana pemisahan diri dari NKRI. Bahkan rapat di Sungai Dareh arahnya memang sudah ke sana, berjuang melepaskan diri dari Republik Indonesia. Tapi dengan keberadaan pak Natsir, pak Syaf, pak Bur dan Mr. Asaat, cita-cita itu dapat dipadamkan. Orang berempat ini bertahan dengan seruan, "Jangan!” dan makanya yang dibentuk bernama PRRI bukan Republik Sumatera atau bukan seperti yang sudah lebih dulu diproklamirkan yaitu RMS (Republik Maluku Selatan).

Jadi, pak Natsir cs ini bukan pemberontak.Karena yang akhirnya dibentuk hanya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia. Bukan pemerintahan Negara Sumatera misalnya atau seperti RMS itu. Tetapi setelah lebih 2,5 tahun berjalan, tak ada juga titik temu antara PRRI dan pemerintahan Jakarta. Bahkan jaraknya makin lama makin jauh, sementara di Maluku, Sulawesi dan Kalimantan kian tumbuh gerakan separatis yang mengancam keutuhkan Republik Indonesia. Maka, diproklamirkanlah Republik Persatuan Indonesia itu.


Sidang Tengah Malam
Melawan Baptis

Ada kenangan yang membuat saya tak pernah tidur terkait dengan pak Natsir. Saat itu rencana orang Kristen untuk mendirikan Rumah Sakit Baptis hampir saja terwujud. Mereka telah berjuang sejak tahun 1962 dan hampir mendapatkan tanah setahun kemudian.

Awalnya, mereka mencari tanah dekat Ateh Tambuo Bukittinggi, mereka telah melakukan pendekatan dan hampir dapat membeli tanah itu. Tapi Allah SWT berkehendak lain, rencana jangka panjang mereka dengan RS Baptis itu "bocor" keluar. Saya berhasil mendapatkan anggaran dasar mereka melalui seorang kader yang menyamar dan melamar sebagai tukang kayu pada mereka. Kader ini berhasil mendapatkan anggaran dasar mereka. Betapa terkejutnya saya membaca AD RS Baptis itu. Ada satu pasal yang tegas berbunyi “bahwa usaha Rumah Sakit Baptis dan sosial lainnya, adalah dalam rangka Pengabaran Injil ke daerah-daerah.”

Bocoran itu lalu kami sebarkan ke masyarakat sehingga setiap upaya Baptis membeli tanah, berhasil kami gagalkan. Untuk menggalakkan penjualan tanah di Ateh Tambuo itu, kami datangi Ninik Mamak dan penghulu kaum di situ, kami paparkan tujuan RS Baptis itu.

Gagal di Atah Tambuo, pengurus Baptis berpindah ke Panganak di belakang RS Mukhtar sekarang. Mereka melobi lagi pemuka kaum di sana, tapi malamnya saya datang pula menemui penghulu kaumnya, memaparkan tujuan RS Baptis dengan bukit anggaran dasar mereka. Maka, rencana Baptis mendapatkan tanah, gagal lagi.
Tak kehilangan akal, pengurus Baptis lari lagi ke dekat Simpang Mandiangin, ada tanah seluas dua hektar yang diincernya. Kami rangkaki pula ke situ, maka gagal lagi.

Akhirnya, Baptis berhasil mendapatkan sebidang tanah di Luak Anyia, tapi bukan tanah ulayat kaum. Hanya sebidang tanah milik pribadi seorang wanita asal Bayur Maninjau yang bersuamikan seorang cina keturunan Taiwan. Tadinya tanah ini akan dia bangunan perumahan, tapi daerah keburu bergolak. Baptis berhasil mendapatkan tanah tanah milik pribadi itu. Notaris yang mengurus jual-beli itu melaporkan pada saya. “Nyiak, sebagai notaris saya tak bisa mengelak tugas. Namun yang jelas kini saya bocorkan informasi bahwa tanah itu sudah dibeli Baptis. Kini terserah inyiak, mau diapakan fakta ini," kata Notaris itu.

Saya dan teman-teman lalu bermufakat, apa langkah langkah yang harus dilakukan, karena secara fakta tanah itu sudah lepas ke Baptis. Ada teman yang pasrah dengan telah resminya transaksi dihadapan notarius."Sudahlah, lah lapeh kijang karimbo,"ujarnya mengibaratkan.

Kemudian kami "tabik pangana", perjuangan harus diarahkan bukan lagi pada pemilik tanah karena "kijang lah lapeh karimbo", tetapi kepada "pemilik" kota ini yaitu pemerintah. Caranya dengan mendesak DPRD bersidang dan mengeluarkan keputusan agar Walikota tidak memberi izin pembangunan RS Baptis.

Tanpa menunggu besok, di larut malam itu juga kami memburu ketua DPRD Bukit Tinggi. Waktu itu dijabat oleh pak Munir Marzuki Datuk Sutan Maharajo, beliau juga Ketua Masyumi sekaligus Ketua Muhammadiyah Bukittinggi. Kami datang ke rumahnya. Kami paparkan semua kejadian dan bukti bahwa RS Baptis sudah mendapatkan tanah. Lalu beliau bertanya,“Apa rencana tuan-tuan lagi?”
Saya angkat bicara mewakili teman-teman. "Kami minta DPRD melaksanakan rapat pleno darurat dengan keputusan melarang Walikota Bukittinggi memberikan izin bangunan kepada Baptis”.

Bagai "gayung bersambut", ketua DPRD terbakar semangatnya. "Ya, akan saya desak kawan-kawan agar melaksanakan rapat darurat," tegasnya. "Jangan tunggu sehari dua, pak. Sedapatnya DPRD cepat bersidang," desak saya.

Sebagai ketua Masyumi, pak Munir Marzuki tentu sudah sangat sependapat dengan kami. Tapi bagaimana dengan anggota DPRD lainnya?. Rupanya, kader Masyumi yang di parlemen memang teruji kesetiaannya pada perjuangan umat. Besok paginya, pak Munir mendadak mengumpulkan anggota dewan, lalu membicarakan tuntutan kami yang mendesak dilaksanakannya 'sidang istimewa' DPRD Bukittinggi dengan agenda tunggal melahirkan keputusan melarang saudara Walikota mengeluarkan izin bangunan bagi RS Baptis.

Saya maklum, saat itu cukup hangat perdebatan di internal DPRD, tapi saya juga tahu para kader Masyumi di sana tetap setia dengan garis perjuangan Islam sebagai Dasar Negara dan penegakan Syariat Islam di tengah masyarakat. Karena itu saya juga yakin mereka akan turut menggagalkan setiap rencana pemurtadan dan penghancuran aqidah umat, seperti melalui rencana pembangunan RS Baptis itu.

Maka, singkat kata, dalam perdebatan yang cukup hangat di siang itu, akhirnya DPRD sepakat menggelar Sidang Darurat. Bahkan tuntutan kami agar Sidang Darurat dilaksanakan dalam tempo 1x24 jam lagi, ternyata mereka penuhi. Walau saat itu puasa (Ramadhan). Besok malamnya, DPRD Bukittinggi melaksanakan Sidang Darurat di kantornya, di sebelah Masjid Raya sekarang.

Inilah peristiwa pertama DPRD bersidang malam hari, dengan agenda tunggal yang terkait dengan nasib umat. Sidang dilaksanakan setelah shalat tarawih yang dipimpin langsung oleh Ketua DPRD Munir Marzuki. Hebatnya lagi, umat Islam di kota Bukittinggi juga datang berduyun-duyun menyaksikan jalannya sidang karena pak Munir Marzuki tidak saja menyurati semua anggota dewan untuk melaksanakan sidang nanti malam, tetapi beliau juga menembuskan surat undangan itu kepada pengurus Masjid dan Ormas Islam di kota Bukittinggi. Tentu, bergegas kami mengantarkan tembusan surat itu sehingga dapat dibacakan pengurus Masjid dihadapan jamaah tarwih. Dampaknya luar biasa, dari masjid umat berduyun-duyun datang menyaksikan sidang istimewa DPRD. Ratusan kaum ibu bahkan datang sambil tetap mengenakan telekung. Massa membludak hingga menutup jalan raya, pengeras suara terpaksa dipasang di tengah jalan. Kata demi kata yang terucap dalam sidang, jelas terdengar oleh massa. Mereka berulangkali meneriakan takbir "Allahu Akbar!"

Di dalam gedung, saya dan pengurus MUI duduk berhadapan dengan pengurus Baptis yang sengaja dihadirkan agar mendengar langsung apa keputusan DPRD. Semula mereka keberatan hadir, namun setelah dijamin keselamatannya, mereka akhirnya datang juga.

Nyaris tidak ada perdebatan berarti dalam Sidang Darurat DPRD Bukittinggi di tengah malam itu. Menjelang makan sahur Ketua DPRD tampil membacakan hasil Keputusan Sidang Darurat yang isinya adalah DPRD Bukittinggi memutuskan "Melarang saudara Walikota Bukitinggi memberikan Izin Mendirikan Bangunan kepada Yayasan Baptis untuk mendirikan Rumah Sakit Baptis di Luhak Anyir Bukittinggi."

Keputusan DPRD itu disambut pekikan takbir oleh ribuan massa. Sebagian orang tua dan kaum ibu saya lihat melakukan sujud syukur. Dari pelopak mata mereka meneteskan air mata haru di kedinginan udara malam yang membalut kota Bukittinggi.

Saya dan teman-teman beranggapan sejak palu diketuk Ketua DPRD malam itu maka perjuangan telah selesai. Tapi rupanya pihak Baptis tidak kehilangan akal. Melalui orang-orangnya, mereka berhasil mendekati Komandan Korem. Mereka kemudian diberikan tanah tentara yang kini berlokasi di RSU Pusat sekarang. Saya dan teman-kawan terus menggalang aksi penolakan. Sehinggap pada suatu hari saya bersama pengurus Majelis Ulama Bukittinggi dipanggil oleh Komandan Korem ke rumah Dinasnya. Tanpa rasa takut saya memenuhi panggilan itu. Dengan suara tegas Komandan Korem menyatakan "Saya sudah izinkan kepada Baptis mendirikan Rumah Sakit di sana." Tanpa meminta apa pendapat kami, dia langsung mengeluarkan peringatan "Jika masih ada yang banyak bicara, tiga Batalyon di belakang saya,' tegasnya lantang.

Diancam tuan rumah seperti itu, kami diam saja. Tak ada yang berucap sepatah katapun juga. Ada pegangan kami saat itu yaitu pepatah Arab yang artinya, ‘Jika ada orang teler yang bicara padamu, tak usah dijawab. Jawaban yang paling santiang, adalah diam.’

Di awal Juli 1968, datanglah pak Natsir dari Jakarta. Beliau diundang oleh Gubernur Sumbar, ketika itu pak Harun Zain dan Walikota Padang Akhirun Yahya. Ketika itu pak Harun berpikir bagaimana mengembalikan dan membangkitkan harga diri orang Minang yang merasa 'kalah’ pasca PRRI. Rupanya ada yang menyarankan pak Harun, kalau itu tujuannya undanglah pak Natsir agar berkenan datang ke Sumatera Barat. Akhirnya Gubernur dan juga Walikota Padang mengundang pak Natsir. Saya langsung ikut mendamping beliau sejak mendarat di Bandara Tabing Padang hingga berhari-hari kami turun ke daerah-daerah. Bertemulah pak Natsir dengan orang banyak dan kawan-kawan seperjuangan dulu.

Setelah menginap di rumah kontrakan saya di Siteba, esoknya kami memenuhi undangan Gubernur dan Walikota Padang, setelah itu dilanjutkanlah perjalanan ke Batusangkar, 50 Kota hingga sampai ke desa Aia Kijang tempat kami terakhir turun dulu (keluar dari hutan), terus ke ke Bukittinggi, lalu ke Padang Lua. Setiba di Pakan Sinayan kami distop oleh masyarakat.Rupanya mereka rindu melihat wajah pak Natsir. Kami diarak kemudian dibawa singgah ke rumah ibu Asma Malim yang sejak belia sudah menjadi aktivis terkemuka Muslimat Masyumi. Dari Pakan Sinayaan terus ke Embun Pagi dan menurun ke Manjau melalui kelok 44, lalu berbelok ke kiri untuk terus ke Sungai Batang.

Dalam perjalanan ini saya satu mobil dengan beliau. Di sinilah kami berdialog tentang masalah pembangunan RS Baptis. Saya jelaskan kronologis perjuangan yang telah dilalui dalam upaya menggagalkan pembangunan RS yang bermisi pemurtadan dan kristenisasi. Pak Natsir setuju dengan tujuan perjuangan kami, tetapi tidak dengan cara-cara yang kami tempuh.

Pak Natsir berkata, "Kalau begitu caranya Angku-Angku menentang Baptis, maka suatu ketika orang banyak akan menghadap pada Angku-angku. Untuk itu buatlah Rumah Sakit karena dibutuhkan orang banyak. Tentang caranya, nanti kita persamakan. "

Jawab saya, “Kalau itu yang harus saya sampaikan ke orang banyak, lidah saya belum masin lagi, pak.” Setiba di Nagari Sungai Batang, kami berkunjung ke rumah Wali Nagari, kawan seperjuangan juga. Namanya Ismail, tapi kami biasa memanggilnya "Mai". "Angku Mai, pinjam mesin tik, ya," kata pak Natsir setelah kami melepaskan rangkik-rangkik agak sebentar. Pak Wali kaget, tapi langsung bergerak mengambil mesin tik dengan kertasnya sekalian. Seingat saya ketika itu kertasnya hanya jenis kertas koran ukuran setengah folio. Belum ada kertas HVS seperti sekarang.

Saya diperintahkan mengetik apa yang diimlakkan (didiktekan) pak Natsir. Isi surat kecil itu persisnya saya lupa, tapi intinya:”Perlu mengubah cara engku-engku sekalian dalam menghadapi lawan yang semakin hari semakin kuat. Yaitu dengan membuat amal-amal yang bermafaat bagi umat. Umpanya, membuat Rumah Sakit Islam di Bukittingi. Pikirkanlah ini, dan nanti kita persamakan. "

Setelah diketik, surat kecil setengah folio itu beliau baca dengan teliti, lalu beliau tandatangani. Surat itu beliau lipat empat, lalu beliau masukkan ke dalam saku baju saya.

Setelah pak Natsir kembali ke Jakarta, surat kecil pak Natsir saya serahkan ke Buya Datuk Palimokayo. "Buya, ini surat yang diberikan pak Natsir untuk kita bersama. Bacalah," pinta saya. Dengan cekatan Buya Datuk bergegas membacanya. Setelah itu, beliau minta saya segera mengundang beberapa teman untuk rapat. Rapat pertama di rumah Buya Datuk Palimokayo. Ada delapan orang yang hadir, di antaranya saya sendiri dan Buya Datuk, H. Anwar, M. Bakri Datuk Rajo Sampono, Baharudin Kari Basa, Hasan Basri, ibu Naimah Djambek dan Hj. Syarifah.

Rapat pertama itu baru menghasilkan satu keputusan yaitu sepakat membentuk sebuah badan yang diberi nama Lembaga Kesehatan Dakwah. Di hari-hari berikut, tiga kali pengurus Lembaga Kesehatan Dakwah melaksanakan rapat. Pertama di Surau Inyiak Djambek, kali kedua dan ketiga di Jambu Aia di rumah Buya Datuk. Rapat terakhir barulah melahirkan keputusan bahwa perlu dibangun Rumah Sakit Islam di Bukitinggi.

Tapi pertanyaan kemudian muncul, "Bagaimana caranya? " Tak seorang pun diantara kami yang tunjuk tangan. Akhirnya peserta rapat menambah satu lagi keputusan, yaitu menyurati pak Natsir minta beliau mengirimkan seorang tenaga ahli di bidangnya, yaitu bidang pembangunan Rumah Sakit beserta isinya.

Maka ditulislah surat setebal dua halaman yang intinya meminta pak Natsir mengirimkan tenaga ahli. Surat itu ditandatangani oleh H.M D. Palimokayo selaku Ketua Lembaga Kesehatan Dakwah dan saya selaku Sekretaris. Saat itu saya belum bergelar Datuk Tan Kabasaran, tapi Tuanku Sulaiman atau M.S Tk. Sulaiman.
Surat kami cepat direspon pak Natsir. Beliau mengirim seorang tenaga ahli yaitu bapak Mr. Ezeddin dengan tugas penyambung tangan Yayasan Kesehatan Dakwah dalam membangun Rumah Sakit Islam. Cita-cita membangun Rumah Sakit Islam kemudian hari berhasil diwujudkan. Tidak hanya di Bukittinggi, pak Natsir juga memprakarsai pembangunan RS Islam Yarsi di Padang, Padang Panjang, Payakumbuh, Panti dan di Kapar Pasaman.

Dalam perjuangan membangun RSI Ibnu Sina di kelima lokasi itu, pak Natsir adalah pemrakarsanya. Bahkan sejak priode Pengurus Yayasan Rumah Sakit Islam (Yarsi) diketuai Tamrin Manan, SH dan saya Wakil Ketua, sengaja kami cantumkan dalam anggaran dasar Yarsi bahwa pak Natsir baik sebagai peribadi maupun sebagai ketua Dewan Dakwah Islamiyah Pusat, adalah sebagai pemrakarsa berdirinya Rumah Sakit Islam Yarsi itu.
***


Andai Saja Pak Natsir Didengarkan

Satu hal yang tak saya lupakan adalah ketika ikut merintis lahirnya Majelis Ulama Sumatera Barat, pada tahun 1967. Ini merupakan Majelis Ulama pertama di Indonesia, MUI baru terbentuk tahun 1975.

Ditengah gencarnya kami melawan rencana pembangunan RS Baptis, saya dan beberapa kawan menjadi panitia penyelangara Mubes Alim Ulama se Sumatera Barat bertempat di masjid Jamik Birugo Bukittinggi. Mubes itu berhasil membentuk Majlis Ulama Sumatera Barat dengan pengurus terdiri dari Buya Datuk Palimo Kayo, Buya Zas, Iskandar Zulkarnaini dan buya Datuk Nagari Basa. Saya sebagai Wakil Sekretaris.

Majlis Ulama Sumbar berjalan sampai tahun 1975 ketika terbentukMUI di tingkat nasional. Perjuangan Majelis Ulama Sumbar yang berat adalah menghadapi masalah RS Baptis dan genacarnya kristenisasi hingga ke pelosok Pasaman.

Setelah terbentuk MUI di Jakarta, Januari 1975, datanglah Buya Hamka ke Bukitinggi maka MUI Sumbar yang sudah ada --dalam suatu pertemuan yang dipandu Buya Hamka-- langsung dilebur menjadi MUI Sumbar. Dengan penyesuaian struktur kepengurusan menurut format MUI.

Ketika Buya Hamka datang dan terbentuknya MUI itulah, kami timbang-terimakan masalah RS Baptis. Oleh Buya Hamka masalah itu benar-benar ditindak lanjuti dengan berulangkali mendesak pemeritah Pusat. Akhirnya pemeritah pusat turun tangan. Mulanya berupaya membeli dan mengambil alih RS Baptis itu untuk dijadkan RSUD. Tapi pihak Baptis tidak mau menjual. Mereka mau menjual bila pemerintah menyediakan lokasi di daerah lain. Buya Hamka dan MUI terus melobi pemerintah. Akhirnya Baptis mendapatkan tempat di Bandar Lampung. Di sana dibangun RS Imanuel yang cukup megah.

Dalam suatu dialog kami di atas mobil, beliau juga pernah berpesan bahwa kebenaran itu sama dengan harimau. Kalau sudah keluar dari sarangnya, dia harus menangkap mangsanya. Cuma tergantung waktu, cepat atau lambat. Kadang baru keluar dari sarang Harimau sudah menerkam rusa yang melintas. Kadang berhari-hari baru bertemu kijang.

Kebenaran sama dengan itu. “Kebenaran harus kita sampaikan, apapun resikonya,” kata pak Natsir. Hanya saja kebenaran itu ada yang cepat diterima, ada yang lambat, setelah bertahun-tahun kita menyampaikan. Contohnya tentang PKI. Masyumi sejak awal tahun 50-an sudah mengingatkan bahwa PKI itu musuh. PKI jangan dibawa bersama-sama dalam kabinet. Tapi tidak pernah didengar rezim Soekarno, bahkan orang-orang PKI diberi tempat dan jabatan.

Kesadaran akan peringatan Masyumi tentang bahaya PKI, baru tumbuh tahun 1965. “Tapi harus dibayar dengan tujuh jenderal. Kalaulah sejak awal 50-an Pemerintah mendengarkan Masyumi, ‘penebusan’ dengan tujuh jendral itu tidak perlu terjadi. Tapi apa boleh buat, awak yang sejak awal melawan PKI, awak pula yang dimusuhi.
Begitulah kebenaran, cepat atau lambat dia akan diikuti. Yan penting, cepat sampaikan kebenaran itu. Jangan ragu, jangan gentar, dan itu telah dilakukan pak Natsir dengan perbuatan.

Jauh sebelum meletusnya PRRI, pak Natsir sudah menelan pahitnya akibat menyampaikan kebenaran. Bahkan pada suatu malam, rumahnya diteror pemuda rakyat. Allah SWT menakdirkan pak Natsir berhasil meloloskan diri menuju Padang. Jadi, beliau ke Sumbar bukan kesengajaan untuk ikut PRRI, tapi karena merasa sudah terancam nyawanya di Jakata. Namun ada pula hikmahnya ketika pak Natsir dan beberapa tokoh sipil seperti Pak Syaf dan Burhanudin ikut PRRI. Jika tak ada mereka di dalam, PRRI sudah menjadi gerakan separatis pemisahan diri, seperti RMS atau GAM. Peta Indonesia akan berubah, paling hanya tinggal Jawa-Bali saja.
Tapi itulah pak Natsir, dia berani mengatakan ‘Jangan!” dihadapan para pemimpin Dewan Militer ketika PRRI akan mengambil langkah pemisahan diri dalam pertemuan di Sungai Dareh.
***




Tentang Saya:
Saya dilahirkan pada bulan Juli tahun 1927. Tanggalnya tak ada yang tahu pasti. Tapi ibu saya yang meninggal di awal revolusi dimana saya masih bayi, pernah bercerita pada etek saya bahwa ketika terjadi gempa Padang Panjang, saya genap semusim penuh. Artinya, genap dua belas bulan dalam kandungan.
Gempa itu diawal Juni 1926, berarti saya lahir awal Juli 1927.
Kini Usia saya sudah 83 tahun, lah laruik sanjo.
Saya cuma tamatan Tsanawiyah Muhammadiyah Bukittinggi tahun 1940 dalam usia 15 tahun.

Selanjutnya saya mendalami ilmu agama dengan belajar ke rumah ulama setiap malam. Tapi paginya, saya belajar pula di Sekolah Guru Muhammadiyah.
Baru kelas dua, Jepang masuk. Sekolah dibubarkan.
Lama saya berpikir kemanalah akan melanjutkan sekolah. Mau ke Padang atau Padang Panjang tak mungkin, karena orang tua bansaik (miskin).
Akhirnya, karena sejak kecil saya sudah bercita-cita menjadi urang siak, masuklah saya ke sekolah terdekat yaitu ke perguruan Islam Parabek Bukittinggi.
Setelah mengikuti tes masuk, saya diterima di kelas 5 dan akhirnya tamat kelas 7.
Saya tetap bertahan di Parabek kerena ingin pendalaman pengajian.
Barulah saat kemerdekaan diproklamirkan tahun 1945, saya pulang kampung dan membentuk Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) Ranting Birugo.
Tahun 1947 saya masuk Sekretariat GPII Sumatera Tengah di Bukittinggi. “Disini saya membina diri. Mulai dari tukang sapu hingga Kepala Sekretariat.
Karena saya juga sekolah di Muhammadiyah, maka saya menjadi anggota kepanduan HW (Hisbul Wathan). Bahkan pada tahun 1957, saya memimpin kontingen ke Jambore HW se Sumatera Tengah di Pekan Baru. Terakhir, di HW saya sampai pada tingkat Komisaris Penghela HW Sumatera Tengah. (Komandan Pandu Dewasa).
Keterampilan yang saya peroleh di Kepanduan HW itulah sangat bermanfaat saat keluar masuk hutan bersama pak Natsir.

Ketika Pengurus DDII Perwakilan Sumbar periode pertama dikukuhkan pak Natsir, saya sebagai wakil Sekretaris.

Sejak dulu hingga sekarang, saya tetap setia di kampung. Amanah pak Natsir agar saya tetap menjadi tampatan bagi kawan-kawan seperjuangan yang akan ke ranah Minang, tetap saja tunaikan sampai hari ini.

Peribahasa menyatakan,”Siapa yang tak sempat dibesarkan orang tuanya, maka situasi dan kondisilah yang akan membesarkannya. ” Saya, salah satu generasi yang ditempa oleh zaman.*

*Mantan Pengawal Pak Natsir di Hutan Sumatera Barat, Tokoh Masyumi Sumbar dan Senior Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia wilayah Sumatera Barat
.

Kamis, 05 Februari 2009

Hikmah Fir'aun

HIKMAH FIR’AUN
Mohammad Iqbal


Kearifan umat beriman telah kulepaskan
Kini kupelajari kearifan umat yang murtad
Kearifan umat yang murtad adalah kebohongan dan tipu muslihat
Apakah kebohongan dan tipu muslihat? Perusak jiwa dan penegak tubuh

Inilah kearifan yang membebaskan diri dari tali iman
Dan tersesat jauh dari rumah Cinta
Orang-orang yang mengikuti jalan Fir’aun ini
Berpikir seperti budak mengikuti majikannya
Dengan cara yang memikat, pendeta dan ulamanya
Menafsirkan agama menurut kemauan kaisarnya
Kesatuan umat dipecah belah dengan program pembeoannya
Tak ada yang berani menentang kecuali Musa dan Tongkatnya

Malanglah umat yang terperangkap tipu muslihat golongan lain
Yang menghancurkan diri sendiri dan membangun untuk kepentingan umat lain
Mereka memperoleh kecakapan imiah dan keterampilan seni
Namun tak menyadari kepribadiannya sendiri
Mereka menghapuskan ayat Tuhan dari cincinnya
Cita-cita di hatinya bangkit cuma untuk tenggelam
Mereka tak diberkati keturunan yang diresapi rasa hormat
Jiwa dalam tubuh anak-anak mereka seperti bangkai dalam kuburan

Generasi tuanya congkak luar biasa
Yang muda sibuk berias seperti wanita kampungan
Kemauan yang muncul dari hati mereka tak pernah mantap
Mereka dilahirkan mati dari rahim-rahim mereka
Gadis-gadisnya terjerat oleh mode pakaian
Dan bermacam-macam alat kecantikan
Mereka senang berpakaian mewah
Alis matanya dirias seperti sepasang pedang
Perhiasannya gemerincing menyilaukan mata
Buah dadanya dipamerkan seperti ikan di kolam

Itulah bangsa yang abunya tak mengandung bara lagi
Dan pagi harinya lebih gelap dari malam
Yang diburu hanya kekayaan dunia
Hidupnya diliputi kecemasan dan ngeri menghadapi kematian
Kekayaannya membuatnya kikir dan cinta kesenangan dunia
Yang diburu adalah kulit kerang, lupa akan mutiara terpendam

Kekayaan rajanya adalah tujuan pemujaan
Sebagai ganti dari hilangnya iman kepada Tuhan
Pandangannya tak mampu menembus tembok masa kini
Dan karenanya tak pernah mampu menciptakan masa depan
Sejarah anak cucunya di dalam genggaman tangannya
Tapi sayang apa yang diucapkan tak diamalkan dalam perbuatan

Syahadatnya adalah mengabdi pada kekuatan asing
Dan candi dibangun dengan batu bata rerontok masjid
Sungguh malang bangsa yang menjauhkan diri dari Tuhan dan wahyu-Nya
Ia adalah bangsa yang mati, namun tak sadar bahwa ia mati.1

Senin, 02 Februari 2009

Cita-cita Negeri Islami

Ada kesamaan pemikiran empat tokoh di atas, Natsir, Hassan al Banna, Maududi dan Nabhani sama-sama menginginkan terbentuknya negeri Islami atau masyarakat Islam. Mereka sama-sama menekankan pentingnya pembentukan pribadi Muslim, Keluarga Muslim, Masyarakat Muslim dan Negeri Islam. Mereka juga sama-sama menginginkan jalan damai bagi pembentukan negeri Islam.

Perbedaannya adalah pada cara pembentukan negera Islam itu, struktur negara Islam dan nama negara Islam itu. Dalam pandangan Mohammad Natsir, Islam tidak mengatur nama dan struktur negara Islam. Natsir menyatakan bahwa negara harus berlandaskan Islam dan pemimpin dalam negara itu harus bertekad melaksanakan hukum Islam dalam masalah individu, keluarga, masyarakat maupun negara. Natsir menyetujui istilah demokrasi Islam dan Natsir menerima negera Indonesia sebagai sebagai negeri Islam yang berdasarkan Pancasila (bagian dari UUD 45 yang dijiwai oleh Piagam Jakarta sesuai dengan Dekrit Presiden RI 5 Juli 1959). Pancasila dianggap Natsir sebagai sebagian dari prinsip-prinsip yang diajarkan oleh Islam dan ia juga menerima demokrasi parlementer dan sistem pemerintahan presidensial. Meski demikian, dalam sidang-sidang Dewan Konstituante tahun 50-an Natsir dengan partai Masyumi-nya berjuang keras agar landasan negara Indonesia adalah Islam.

Hampir sama dengan Natsir, Hasan al Banna dan Abul A’la al Maududi juga demikian. Meski al Banna dan Maududi menolak demokrasi Barat, mereka masih menerima sistem parlemen. Maududi mengajukan istilah Theodemokrasi, demokrasi berketuhanan atau demokrasi Islam. Begitu juga Hasan al Banna. Pendiri Ikhwanul Muslimin ini, memang semasa hidupnya pernah mengecam habis partai-partai yang berlomba mengejar jabatan dan materi belaka di Mesir. Menurut al Banna, partai atau organisasi-organisasi politik itu dibentuk untuk dakwah Islam dan memberikan pelayanan kepada masyarakat bukan hanya untuk kekuasaan belaka. Karena itu, Ikhwanul Muslimin dulu dan kini di berbagai negara, masuk terlibat dalam kekuasaan pemerintahan yang berdasar demokrasi parlementer.

Maududi bahkan memperinci struktur negara dalam Islam, dengan menerima konsep demokrasi modern, legislatif, yudikatif dan eksekutif. Cuma ia mencatat bahwa ketiga lembaga ini mesti memegang teguh Islam, Al Qur’an dan Sunnah, dalam menjalankan tugas-tugasnya. Maududi yang berjasa besar dalam meletakkan dasar Islam bagi negara Pakistan ini, dengan Jamaat Islami-nya juga masuk dalam ‘politik parlementer’.

Taqiyuddin an Nabhani menjelaskan bahwa nama dan struktur negara Islam sudah merupakan hal yang baku dalam Islam. Titel kepala negara bernama khalifah dan negara Islam yang bernama khilafah Islamiyah adalah suatu hal yang qath’i bagi Hizbut Tahrir. Bahkan an Nabhani juga mengharuskan nama-nama khusus untuk pejabat dalam struktur pemerintahan khilafah Islamiyah, seperti khalifah, naibul kahlifah, muawwin, muawwin tafwizh dan lain-lain.

Selain itu an Nabhani juga menolak keras istilah demokrasi, bahkan demokrasi Islam sekalipun. Menurutnya demokrasi adalah istilah dari Barat dan harus ditolak oleh kaum Muslimin. Pendiri Hizbut Tahrir ini juga mengajukan konsep revolusi (inqilabiyah) dalam penerapan Islam oleh negara. Dengan catatan bahwa perjuangan pembentukan Daulah Islamiyah ini, harus diperjuangkan dengan cara-cara damai. Sedangkan Natsir, Maududi, dan Al Banna lebih sepakat dengan konsep perubahan islahiyah secara bertahap, secara evolusi (islahiyah) bukan revolusi (inqilabiyah).

Begitu juga istilah nasionalisme, Nabhani menolak keras konsep ini. Hal ini berbeda dengan Natsir, Maududi dan al Banna. Ketiga tokoh ini menempatkan nasionalisme dalam bingkai Islam. Menurut ketiganya, Islam memang tidak memandang ras, wilayah geografis dan lain-lain, tapi bila seorang Muslim mencintai negaranya, sebagai bumi Allah dan berjuang agar ditegakkan hukum-hukum Allah, maka itu adalah sebuah kewajiban. Ketiganya juga memandang persatuan dunia Islam (khilafah Islamiyah) bisa diraih, dengan lebih dahulu membentuk negeri-negeri Islam di wilayah masing-masing. Mohammad Natsir juga aktif memperjuangkan terbentuknya persatuan dunia Islam ini dengan banyak berdiskusi dan dialog dengan tokoh-tokoh Islam di negeri-negeri lain. Natsir juga mempunyai kepedulian tinggi dengan kondisi Palestina dan negeri-negeri Islam yang dijajah kaum imperialis, sehingga ia dan sahabat-sahabatnya kemudian membentuk KISDI (Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam). Wallahu aliimun hakiim.*

Minggu, 01 Februari 2009

Kefaqihan Maududi

Ia lahir di Hyderabad, India Selatan, 25 September 1903. Wafat pada 22 September 1979. Ia mendapatkan pendidikan Islam sejak kecil di keluarga dan lingkungannya. Syekh Maududi adalah tokoh pendiri Jamaat Islami. Ia pemikir besar Islam dan peletak dasar negara Islam Pakistan.

Maulana Maududi mendapat pendidikan di Madrasah Furqaniyah , sebuah sekolah tinggi terkenal di Hyderabad yang dipanggil "Madrassah", bukan sekolah Islam tradisional . Kemudian melanjutkan pelajaran di Darul Ulum di Hyderabad. Ia mahir berbahasa Arab, Parsi, Inggris, dan Urdu .

Tahun 1918, ketika usia 15 tahun, ia mulai bekerja sebagai wartawan dalam surat kabar berbahasa Urdu. Tahun 1920, menyandang jabatan sebagai editor surat kabar Taj, yang diterbitkan di bandar Jabalpore sekarang bernama Madhya Pradesh, India.
Tahun 1921, Maulana Maududi pindah ke Delhi bekerja sebagai editor surat kabar Muslim (1921-1923), dan kemudian editor al-Jam’iyat (1925-1928), yang diterbitkan oleh Jam’iyat-i ‘Ulama-i Hind, sebuah organisasi politik Deoband. Hasil kepemimpinannya sebagai editor, al-Jam’iyat menjadi surat kabar utama untuk orang Islam di Asia Selatan (India, Pakistan, Bangladesh , Sri Langka dan Maldive).

Maulana Maududi juga terlibat membentuk Pergerakan Khilafah dan Tahrik-e Hijrat, yaitu Organisasi Asia Selatan yang menentang penjajahan kolonial Inggris.
Maulana Maududi aktif menerjemahkan buku-buku berbahasa Arab dan Inggris ke bahasa Urdu. Ia juga menulis buku bertajuk al-Jihad fi al-Islam diterbitkan secara berseri di al-Jam’iyat tahun 1927 dan dibukukan tahun 1930. Tahun 1933, Maulana Maududi menjadi editor majalah bulanan Tarjuman al-Qur'an ("Tafsiran al Qur'an"). Bidang penulisannya ialah tentang Islam, konflik antara Islam dengan imperialisme dan modenisasi. Ia juga menjelaskan jawaban Islam bagi setiap permasalahan masyarakat Islam yang dijajah.

Bersama dengan filosof dan ulama Muhammad Iqbal, Maulana Maududi mendirikan pusat pendidikan Darul-Islam di bandar Pathankot di wilayah Punjab. Tujuan pusat pendidikan ini ialah melahirkan pelajar yang mempunyai falsafah politik Islam. Maulana Maududi mengkritik habis konsep-konsep Barat seperti nasionalisme, pluralisme and feminisme.

Tahun 1941, Maulana Maududi mendirikan organisasi Jamaat-e-Islami untuk mengembangkan Islam sebagai satu cara hidup di Asia Selatan. Ia terpilih sebagai pemimpin Jamaat Islami dan memegang jabatan itu sampai 1972.
Sebelumnya tahun 1953, Maududi pernah membuat tulisan yang mengkritik tajam Ahmadiyah. Tulisan ini kemudian menimbulkan demo dan rusuh di Pakistan. Mahkamah militer menjatuhi hukuman mati ke Maududi. Tapi kemudian militer membatalkan hukuman mati kepadanya.
Pada 22 September, 1979, Maududi meninggal dunia pada usia 76 tahun di Buffalo, New York. (Lihat http://en.wikipedia.org/wiki/Sayyid_Abul_Ala_Maududi)

Semasa hidupnya Maududi menulis puluhan buku dan ratusan makalah atau tulisan lepas. Ulama-ulama di dunia Islam, bahkan orientalis pun mengakui kecendekiawanannya. Ia dan ulama-ulama Pakistan pernah konflik dengan Fazlurrahman dan menjadikan Fazlurrahman tidak betah tinggal di Pakistan dan akhirnya pindah ke Amerika. Puluhan karyanya menjadi rujukan kaum cendekia Islam. Diantaranya adalah: Tafhim al-Qur’an, al Jihad fil Islam, Islamic Law and Constitution, Islamic Way of Life, Economic System of Islam, Social System of Islam, Human Rights in Islam, Qadiani Problem, dll.

Cita-cita Negara Islam

Dalam masalah cita-cita Negara yang Islami, Abul A’la al Maududi menyatakan:
“Negara ini berdasar atas dasar ideologi semata-mata dan tidak atas dasar ikatan-ikatan warna, ras, bahasa atau batas-batas geografis. Setiap manusia dimanapun mereka berada di muka bumi ini, dapat menerima prinsip-prinsipnya apabila ia ingindan menggabungkan diri ke dalam sistemnya dan memperoleh hak-haknya sama persis tanpa perbedaan, kefanatikan dan kekhususan. Dan setiap negara, di seluruh dunia, yang ditegakkan atas dasar prinsip-prinsip ni adalah “negara Islam”, baik ia berdiri di Afrika, di Amerika, di Eropa, atau di Asia; dijalankan dan dilaksanakan urusan-urusannya oleh orang-orang yang berkulit merah, hitam ataupun kuning. Tidak ada suatu hambatan apapun yang menghalanginya untuk menjadi sebuah negara dengan kekhususan ideologi ini, menjadi seuah negara sesuai dengan hukum-hukum internasioal. Dan apabila di berbagai tempat di atas bumi ini terdapat beberapa negara seperti ini, maka semuanya adalah “negara Islam” yang dapat tolong menolong dan bantu membentu di antara mereka, sebagaimana layaknya antara sanak saudara yang saling mengasihi, tidak bertarung atas dasar nasionalisme ataupun ikatan-ikatan kebangsaan yang beraneka ragam. Dan apabila mereka sama-sama mencapai persetujuan, merekapun dapat membentuk perdamaian internasional dan kesatuan pendapat umum yang bersifat internasional.i

“Tiada pembahasan tentang tuntutan agar dibentuk negara Pakistan, dan tiada keterangan tentang kebangkitan kembali Islam mutakhir akan menjadi lengkap, tanpa membahas peranan yang dimainkan Abul A’la al Maududi dalam gerakan tersebut. Faktor-faktor yang terkuat dan berdaya guna , yang mendorong pembentukan sebuah negara Islam dalam tahun-tahun pertama segera sesudah pembagian anak benua India dan pembentukan Pakistan, adalah Maududi, serta gerakan yang didirikan dan dipimpinnya Jamaat islami.”ii

“Negara ini berdasar atas dasar ideologi semata-mata dan tidak atas dasar ikatan-ikatan warna, ras, bahasa atau batas-batas geografis. Setiap manusia dimanapun mereka berada di muka bumi ini, dapat menerima prinsip-prinsipnya apabila ia ingindan menggabungkan diri ke dalam sistemnya dan memperoleh hak-haknya sama persis tanpa perbedaan, kefanatikan dan kekhususan. Dan setiap negara, di seluruh dunia, yang ditegakkan atas dasar prinsip-prinsip ni adalah “negara Islam”, baik ia berdiri di Afrika, di Amerika, di Eropa, atau di Asia; dijalankan dan dilaksanakan urusan-urusannya oleh orang-orang yang berkulit merah, hitam ataupun kuning. Tidak ada suatu hambatan apapun yang menghalanginya untuk menjadi sebuah negara dengan kekhususan ideologi ini, menjadi seuah negara sesuai dengan hukum-hukum internasional.

Dan apabila di berbagai tempat di atas bumi ini terdapat beberapa negara seperti ini, maka semuanya adalah “negara Islam” yang dapat tolong menolong dan bantu membentu di antara mereka, sebagaimana layaknya antara sanak saudara yang saling mengasihi, tidak bertarung atas dasar nasionalisme ataupun ikatan-ikatan kebangsaan yang beraneka ragam. Dan apabila mereka sama-sama mencapai persetujuan, merekapun dapat membentuk perdamaian internasional dan kesatuan pendapat umum yang bersifat internasional.iii

Kedaulatan dalam Islam

“...Maka kapan saja para ahli ilmu politik, yang terbius oleh pengertian ideologis dari kedaulatan, berusaha untuk menempatkan pemilik kedaulatan semacam ini dalam masyarakat manusia, maka mereka pasti akan gagal. Karena mereka tidak akan menemukan seorang pun di kalangan manusia yang ukuran tubuhnya pas dengan toga kedaulatan ini. Bahkan di semua jenis makhluk, tak satupun makhluk yang dibenarkan menggugat diri sebagai memiliki semua atribut kedaulatan. Al-Qur’an menekankan kebenaran mendasar ini ketika secara berulang-ulang menyatakan bahwa kedaulatan milik Allah dan hanya milik Allah saja (lihat QS 11/107, 21/23, 23/83, 59/23-24). iv “Dan Allah telah menjanjikan kepada orang-orang beriman dan yang mengerjakan amal saleh, bahwa Allah akan memberi kekhalifahan kepada mereka di muka bumi.” (QS 24/55)

Teodemokrasi

Konsep kehidupan seperti ini menjadikan khilafah Islam sebagai suatu demokrasi, yang pada inti dan dasarnya merupakan antitesis bentuk pemerintahan teokratis, monarkhis, dan kepausan. Karena menurut konsep-konsep Barat modern, demokrasi merupakan filsafat organisasi politik yang di dalamnya ada anggapan bahwa rakyat memiliki kedaulatan mutlak. Di lain pihak apa yang kita sebut demokrasi yang dianut oleh kaum Muslim adalah suatu sistem yang di dalamnya rakyat hanya menikmati hak Kekhalifahan Tuhan Yang Sendirian memegang kedaulatan.

Di dalam demokrasi sekular Barat, pemerintahan dibentuk dan diubah dengan pelaksanaan pemilihan umum. Demokrasi kita juga memiliki wawasan yang mirip, tetapi perbedaannya terletak pada kenyataan bahwa kalau di dalam sistem Barat suatu negara demokrasi menikmati hak kedaulatan mutlak, maka dalam demokrasi kita, kekhalifahan ditetapkan untuk dibatasi oleh batas-batas yang digariskan oleh Hukum Ilahi.v

Legislatif merupakan lembaga yang berdasarkan teminologi fiqh disebut sebagai “lembaga penengah dan pemberi fatwa” (ahlul halli wal aqdi). Cukup jelas bahwa suatu negara yang didirikan dengan dasar kedaulatan de jure Tuhan tidak dapat melakukan legislasi yang bertolak belakang dengan al-Qur’an dan as Sunnah, sekalipun konsensus rakyat menuntutnya.”vi

Dalam suatu Negara Islam, tujuan sebenarnya dari lembaga eksekutif adalah untuk menegakkan pedoman-pedoman Tuhan yang disampaikan melalui al-Qur’an dan Sunnah serta untuk menyiapkan masyarakat agar mengakui dan menganut pedoman-pedoman ini untuk dijalankan dalam kehidupan mereka sehari-hari...Kata ulil amri dan umara digunakan masing-masing dalam Al-Qur’an dan Hadits untuk menyatakan lembaga eksekutif.”vii

Ruang lingkup lembaga yudikatif (yang dalam terminologi hukum Islam dikenal sebagai qadha) juga disiratkan maknanya oleh pengakuan atas kedaulatan de jure dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Ketika Islam menegakkan negaranya sesuai dengan prinsip-prinsip abadinya, Rasulullah saw sendirilah yang menjadi hakim pertama negara tersebut, dan beliau melaksanakan fungsi ini dengan sangat selaras dengan hukum Tuhan. Orang-orang yang melanjutkannya tidak memiliki alternatif lain kecuali mendasarkan keputusan mereka pada hukum Tuhan sebagaimana yang telah disampaikan kepada mereka oleh Rasulullah saw.viii

“Oleh karena itu adililah mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu turuti hawa nafsu mereka yang akan membelokkan mereka dari kebenaran yang telah datang kepadamu.” (QS 5/48)

“Setelah ini harus ditekankan bahwa pengadilan-pengadilan hukum dalam suatu negara Islam ditegakkan untuk menegakkan hukum Ilahi dan bukan untuk melanggarnya sebagaimana yang dilakukan dewasa ini di hampir semua negara Muslim.”ix
Evolusi atau Revolusi

Maududi lebih memilih reformasi atau evolusi (islahiyah) daripada revolusi (inqilabiyah). Berikut kata Maududi dalam bukunya Nahnu wal Hadharatul Gharbiyah (Penjajahan Peradaban, terj.) :

"Reformasi dan revolusi dua-duanya memiliki tujuan yang sama: memperbaiki kondisi ke arah yang lebih baik. Kendati demikian, ada perbedaan yang amat mendasar dalam kedua jenis gerakan dan metode yang mmpergunakannya. Reformasi berangkat dari penalaran dan pemikiran, dimana seseorang mengkaji terlebih dahulu obyektif yang ada dengan kepala dingin dan penelaahan yang mendalam, menemukan sebab-sebab kerusakan, mengevaluasi kemampuan dan merencanakan solusi. Dan begitu faktor-faktornya sudah ia temukan, maka ia tidak melakukan gerakan penumbangan, kecuali pada batas-batas minimal yang tidak bisa tidak mesti dilakukan. Berbeda dengan itu, maka revolusi berangkat dari kebencian, keberingasan dan pendobrakan terhadap penindasan dan kekejaman. Gerakan ini mnentang kekerasan dengan kekeraan pula, ekstrimitas dengan ekstrimitas serupa, dan mencapai tujuan baik melalui kekerasan dan radikalisme.

Dan tidak diragukan sedikitpun bahwa seorang ''pembaharu" seringkali terpaksa harus mempergunakan cara revolusioner serupa ini. Kedua cara perbaikan ini membutuhkan sedikit pengetahuan tentang kondisi-kondisi yang ada yang berkenaan dengan kerusakan
yang harus diperbaiki. Hanya saja perbedaannya terletak pada bahwa reformasi bertolak dari pemikiran tentang apa dan sejauh mana kerusakan itu telah menjadi. Lalu mengerahkan upaya sesuai dengan kerusakan yang ada dan menyediakan terapi yang manjur guna mengobati luka tersebut agar bisa secepatnya sembuh. Berbeda dengan itu maka revolusi mengatasi semuanya itu dengan tindakan drastis tanpa disertai rencana-rencana jelas : ia menetak (mendepak) apa saja yang ada di depannya tanpa peduli apakah hal itu masih berguna ataukah tidak. Gerakan ini tidak memiliki obat yang disiapkan sejak semula, dan kalaupun itu terpikirkan, biasanya muncul sesudah semuanya berjalan dan setelah munculnya dampak yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.

Lazimnya revolusi itu terjadi ketika kerusakan-kerusakan sudah merajalela dan tujuan telah menyimpang jauh dari apa yang digariskan semula, dimana massa sudah tidak sabar lagi menanggung derita yang muncul dari kerusakan itu dan tidak bisa brpikir dengan kepala dingin, lalu mereka bergerak secara serempak untuk melakukan perbaikan. Dalam kondisi-kondisi serupa itu, muncullah gerakan massal yang berifat revolusioner sebagai upaya perbaikan itu, lalu pecahlah pertarungan antara dua kekuatan radikal yang selanjutnya menyulut semak-semak dendam. Akhirnya kedua belah pihak terlibat dalam pertarungan yang memuncak, dimana masing-masing pihak meneriakkan kebenaran dirinya. Di samping mereka masing-masing mempergunakan kekerasan untuk melindungi kebatilan, maka pada sisi lain mereka membelah massa menjadi "kelompok kita"dan "kelompok mereka" tanpa membedakan benar atau salah. Dan bila kemenangan telah sepenuhnya berada di tangan kaum revolusioner, maka mereka pun merampas segala sesuatu yang ada di tangan lawannya, baik secara hak maupun batil, entah benar entah salah. Revolusi pun terus menggelinding bagaikan gelombang pasang yang menyapa apa saja yang merintangi jalannya tanpa ampun. Dan sesudah muncul berbagai kerusakan dan kekacauan, dan di saat itu otak sudah kembali berfungsi, maka muncullah kesadaran tentang perlunya penanganan yang baik..."x*