Oleh: H.M.S Dt. Tan Kabasaran*
“Surek Ketek Berdampak Besar”
Agak “istimewa” dari yang lain. Pertama kali bertemu, bukan saya yang mendatangi, tapi pak Natsir yang datang ke Bukittinggi di awal Januari 1950. Beliau mengundang saya bertatap-muka.
Saya baru berusia 22 tahun tapi sudah bekeluarga, ketika mengayuh sepeda menginggalkan rumah di Birugo menuju jalan Luruih untuk memenuhi undangan bertemu pak Natsir di Markas Masyumi Sumatera Tengah. Saat itu beliau baru jadi Ketua Partai Masyumi.
Memang, sejak usia mantah (muda) saya sudah berkecimpung di markas GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia). Di sini saya mulai dari tukang sapu, hingga jadi Pengurus Wilayah GPII Sumatera Tengah.
Usia saya saat Ananda (reporter) datang ini, sudah 83 tahun. Peristiwa pertamakali bertemu dengan pak Natsir sudah sangat-sangat lama berlalu. Sehingga saya tak begitu ingat lagi bagaimana kesan pertama bertemu dengan beliau.
Di antara generasi pertama GPII dan Masyumi, saya mungkin satu-satunya yang amat jarang menemui beliau ke Jakarta. Beliaulah yang datang menemui saya.
“Angku Malin, kata pak Natsir (saat itu saya belum bergelar Datuk), jangan jauh-jauh dari ranah Minang. Saya minta Angku Malin tetap saja di kampung (Bukittinggi). Angku Malin harus menjadi tampatan (tujuan pertama) setiap pengurus Masyumi Pusat dan GPII Pusat yang datang ke ranah Minang.”
Amanah itu, sampai di usia laruik sanjo ini, tetap saya pegang. Saya tak penah beranjak dari ranah Minang, kendati yang memberi amanah sudah lama berpulang ke pangkuan Allah Azza Wajalla.
Walau sangat jarang keluar daerah, saya sangat mendalami garis dasar perjuangan Masyumi yaitu mewujudkan Islam sebagai Dasar Negara Indonesia. Mungkin sudah beratus kali saya baca ulang naskah pidato beliau di muka sidang Konstituante yang bertajuk “Islam Sebagai Negara ”. Inilah yang pertama menarik saya terjun ke GPII dan kemudian Masyumi. Maka, sebagai anggota Masyumi dan bagian dari umat Islam, saya harus tutut berjuang bagi terwujudnya cita-cita menjadikan Islam sebagai Dasar Negara dan berjuang mempersiapkan masyarakat dengan berbagai kegiatan. Sebab, andai kata Islam berhasil dijadikan sebagai Dasar Negara, maka masyarakat telah siap melaksanakan Syariat Islam karena memang telah kita siapkan sejak awal. Dengan demikian masyarakat Indonesia tidak akan canggung lagi melaksanakan hukum Islam. Karena tugas menyiapkan mental masyarakat itulah, saya menjadi punya cukup banyak pengalaman dan kenangan bersama pak Natsir.
Salah satu persiapan mental umat melaksanakan Islam sebagai dasar negara yang saya lakukan di Bukittinggi adalah menyiapkan dan melaksanakan Kongres Alim Ulama se-Sumatera selama sepekan di awal tahun 1967. Inilah alek gadang pertama yang berhasil mempertemukan para alim ulama di pulau Sumatera dimana saya diamanahkan menjadi Kepala Sekretariat persiapan dan pelaksananya.
Alhamdulillah, kongres Alim Ulama se-Sumatera selama lima hari itu berakhir dengan sukses. Lebih seratus tokoh Alim Ulama di pulau Sumatera hadir. Kendati tidak seluruh Alim Ulama anggota Masyumi, namun Kongres itu berhasil melahirkan rekomendasi yang intinya adalah juga tuntutan Masyumi.
Di antaranya Kongres Alim Ulama se Sumatera menuntut dibersihkannya pemerintahan dari unsur PKI. Bentuk Pengadilan Agama mulai dari Pusat hingga ke Kabupten/Kota di Indonesia. Tapi yang pokok bana sebagaimana tuntutan Masyumi dan kemudian PRRI, adalah dimana Kongres Alim Ulama dalam rekomendasi yang ditandatangani Buchari Tamam selaku ketua dan Sofyan Hamzah Sekretaris adalah, Pengurus Alim Ulama se Sumatera mempercayakan kepada Presiden membentuk Kabinet yang dipimpin Mohammad Hatta tanpa Dewan Nasional (DN) yang dipenuhi anasir komunis/PKI.
Tauladan di Tengah Hutan
Meski inti dari perjuangan pak Natsir adalah agar Negara yang baru merdeka tidak jatuh ke tangan komunis dan tidak terpecah belah menjadi beberapa Negara boneka bagi Negara Asing, dan meskipun dukungan terhadap perjuangan pak Natsir itu amat besar seperti rekomendasi Alim Ulama se-Sumatera itu, tetapi tidak juga digubris rezim penguasa. Justru, jawaban yang diberikan pada pak Natsir adalah penyerbuan. Beliau akhirnya harus masuk hutan-keluar hutan, bahkan dipenjarakan. Tapi itulah pak Natsir yang saya kenal. Beliau seorang pemimpin yang ikhlas dan istiqamah dimana dan kapan pun, bahkan ditengah hutan sekalipun.
Saya adalah kader dengan status sebagai “pembawa tas” pak Natsir saat harus masuk hutan, keluar hutan. Tapi sampai ke tengah hutan sekalipun saya mendapati beliau yo bana pemimpin. Suatu ketika di dalam hutan, saya menyaksikan beliau didatangi orang kampung yang mengantarkan pucuk ubi, nangka dan segala macam sayuran. Memang orang kampung yang datang itu sudah terseleksi oleh kami. Saya lupa namanya, dia datang dengan pakaian kotor, berkeringat dan rambutnya kusut-masai. Tampaknya, dari ladang dia langsung saja membawa sayuran dengan mengendap-ngendap terus ke tempat persembunyian pak Natsir.
Oleh pak Natsir orang kampung yang datang dengan pakaiannya masih baluluak itu, belum dibolehkan pulang sebelum makan sama-sama dengan beliau. Bahkan sampai ke tempat duduk pun beliau ‘istimewakan’. Orang kampung itu disuruh duduk di sebelah kanan beliau, di sebelah kiri beliau duduk ummi dan anak-anak beliau. Sedangkan saya oleh pak Natsir di suruh duduk di sebelah kiri orang kampung itu.
Berapa kali tampak pak Natsir membasoi orang kampung itu. "Buekan samba, tambuahlah," begitu sapa pak Natsir. Beliau juga tidak buru-buru membasuh tangan begitu nasi di piringnya licin (habis). Beliau menanti orang kampung itu sampai selesai makan, dan barulah sama-sama mencuci tangan.
Kebesaran pak Natsir juga tampak ketika beliau berbincang-bincang dengan orang kampung itu. Memang Rasulullah pernah mengatakan, "Berbicaralah dengan orang, sepanjang pengetahuannya”. Itu dipraktekkan pak Natsir dalam pembicaraan dengan orang kampung itu.
Beliau memang bicarakan juga spirit perjuangan, tapi tidak dengan bahasa 'tinggi'. Jadi, siapapun yang mau datang tidak dibebani rasa takut. Lain dengan pak Syaf (Syafruddin Prawiranegara) atau pak Bur (Burhanuddin Harahap), banyak kawan-kawan takut bila disuruh berbicara empat mata dengan beliau, ‘setelannya’ tinggi.
Pak Natsir kalau berbicara, selalu menyesuaikan dengan audiensnya. Saat berbicara dengan pak Wali Nagari Sungai Batang, dia bicara tidak secadiak Camat. Setiap orang yang pertama bertemu dengan beliau, cepat terpaut hatinya dan merasa seperti sudah kenal lama.
Dari pengalaman selama hampir dua tahun berada dalam rimba bersama pak Natsir, saya sangat merasakan betapa beliau adalah pemimpin sejati yang tidak ada duanya di republik ini. Di masa susah itu, beliau benar sama-sama susah dengan yang dipimpin. Ketika mendaki bukit atau menuruni lembah, beliau sama-sama berjalan kaki dengan kami. Minta dipapah saja beliau tidak pernah, apalagi minta ditandu.
Teladan dari seorang pemimpin yang ikhlas itulah yang menumbuhsuburkan benih kesetiaan di hati para kader hingga tinggal di pelosok kampung dan di pinggir hutan sekali pun. Kesetiaan para kader pak Natsir itu saya saksikan langsung ketika kami baru masuk hutan.
Rimbo (hutan) pertama yang kami huni adalah rimbo Sitalang. Ini merupakan kawasan terujung dari wilayah Lubukbasung Utara berbatasan dengan Palembayan.
Dari kampung Sitalang ke rimbo Sitalang cuma berjarak satu jam berjalan kaki saja. Amat dekat sebenar, bagi kaki tentara terlatih. Pada sebuah dangau di tengah rimba Sitalang itulah pak Natsir diungsikan dari kejaran tentara Soekarno yang sudah sampai di kampung Sitalang. Lebih delapan bulan pak Natsir di sini. Tapi tidak pernah tercium oleh tentara Soekarno yang terpisahkan oleh jarak cuma satu jam jalan kaki saja.
Pemimpim Masyumi Sitalang bersama masyarakat benar-benar berjuang menyelamatkan pak Natsir, sehingga tidak ada orang yang tahu lokasinya. Bila pun ada yang tahu, tapi masyarakat benar-benar bisa menutup mulut. Begitulah kharisma pak Natsir di hati ummat. Andai beliau bukan pemimpin paling dicintai ummat, maka pada hari kedua masuk hutan saja, pak Natsir sudah ditangkap. Ya, berapa jauhlah jarak kami dengan balatentara Sekarno. Hanya sekitar satu jam perjalanan saja, dan bagi tentara terlatih tentu itu sangatlah dekat.
Hanya karena kegelisahan seorang tua yang menjadi penunjuk jalan, akhirnya pak Natsir setuju melanjutkan perjalan dari rimbo Sitalang menembus hutan Palembayan, kemudian turun ke Kayu Pasak, lalu berbelok ke desa Maur. Setelah berdiam beberapa malam, Ketua Masyumi Palembayan memandu kami ke dalam hutan yang jarang dilalui orang.
Saya mengawal pak Natsir menuju tepi Batang Masang. Menjelang malam dari sini pak Natsir diberangkatkan ke seberang Batang Masang dengan menaiki rakit. Di sebarang Batang Masang itulah selama 11 bulan, pak Natsir diselamatkan. Padahal jaraknya tidaklah jauh dari tentara musuh. Dari persembunyian itu masih jelas terdengar deru oto prah (truk) yang hilir-mudik mengangkut tentara Soekarno.
Pak Natsir berada di sana lebih 11 bulan dengan aman. Dan, barulah keluar dari hutan melalui Aia Kijang setelah Ketua Dewan Perjuangan PRRI, Ahmad Husein, mengumumkan dihentikannya perlawanan, pada awal Juni 1961.
Tapi pengumunan penghentian perlawanan oleh PRRI, bukan akhir perjuangan. Sebenarnya, perjuangan dengan cara dan nama lain, sudah diproklamirkan jauh sebelum pengumuman itu. Tepatnya, di awal Januari tahun 1961. Dalam suatu upacara di Bonjol Pasaman, diproklamirkanlah Republik Persatuan Indonesia (RPI) yang diikuti pak Natsir sebagai Menteri PDK dan Agama, sedangkan Presiden RPI adalah pak Syafruddin Prawiranegara.
Setelah memproklamirkan RPI di Bonjol , rombongan kemudian dibagi dua. Rombongan pak Syaf dan Burhanuddin berjalan ke arah Timur, sedangkan rombongan pak Natsir, Dahlan Djambek dan saya berjalan ke arah ke Barat.
Adapun sebab RPI diproklamirkan karena perjuangan PRRI akan segera berakhir dan dibubarkan oleh pemerintahan Soekarno. Sedangkan cita-cita perjuangan PRRI belum tercapai, terutama tentang Pembubaran Dewan Nasional dan pembersihan Kabinet dari unsur PKI.
Karena tidak ada lagi jalan kompromi dengan rezim Soekarno, maka 'dilatuihkan bana' Republik Persatuan Indonesia . Jalannya upacara ya, seperti upacara militer
dilengkapi dengan pasukan militer, di antaranya pasukan Batalyon Kemal Amin.
RPI merupakan gerakan lanjutan PRRI yang dilengkapi dengan naskah Proklamasi dan UUD. Mukaddimah UUD RPI merupakan kutipan langsung dari Pidato Mohammad Natsir dalam suatu pertemuan lengkap Dewan Perjuangan PRRI. Masyarakat akan dapat membaca selengkapnya Mukaddimah UUD RPI di buku Kapita Selecta III yang akan terbit.
Memang, yang diproklamirkan tetap saja bernama Republik Persatuan Indonesia (RPI).Ya, sebenarnya pak Natsir, pak Syaf, pak Bur dan sejumlah tokoh sipil itu sangat cinta Republik Indonesia. Tadinya, sebelum dibentuknya PRRI para tokoh sipil ini sudah membuktikan kecintaannya pada Republik Indonesia. Jadi sebelum meraka datang dan bergabung, para Panglima yang membentuk Dewan-Dewan Daerah sudah sampai pada rencana pemisahan diri dari NKRI. Bahkan rapat di Sungai Dareh arahnya memang sudah ke sana, berjuang melepaskan diri dari Republik Indonesia. Tapi dengan keberadaan pak Natsir, pak Syaf, pak Bur dan Mr. Asaat, cita-cita itu dapat dipadamkan. Orang berempat ini bertahan dengan seruan, "Jangan!” dan makanya yang dibentuk bernama PRRI bukan Republik Sumatera atau bukan seperti yang sudah lebih dulu diproklamirkan yaitu RMS (Republik Maluku Selatan).
Jadi, pak Natsir cs ini bukan pemberontak.Karena yang akhirnya dibentuk hanya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia. Bukan pemerintahan Negara Sumatera misalnya atau seperti RMS itu. Tetapi setelah lebih 2,5 tahun berjalan, tak ada juga titik temu antara PRRI dan pemerintahan Jakarta. Bahkan jaraknya makin lama makin jauh, sementara di Maluku, Sulawesi dan Kalimantan kian tumbuh gerakan separatis yang mengancam keutuhkan Republik Indonesia. Maka, diproklamirkanlah Republik Persatuan Indonesia itu.
Sidang Tengah Malam
Melawan Baptis
Ada kenangan yang membuat saya tak pernah tidur terkait dengan pak Natsir. Saat itu rencana orang Kristen untuk mendirikan Rumah Sakit Baptis hampir saja terwujud. Mereka telah berjuang sejak tahun 1962 dan hampir mendapatkan tanah setahun kemudian.
Awalnya, mereka mencari tanah dekat Ateh Tambuo Bukittinggi, mereka telah melakukan pendekatan dan hampir dapat membeli tanah itu. Tapi Allah SWT berkehendak lain, rencana jangka panjang mereka dengan RS Baptis itu "bocor" keluar. Saya berhasil mendapatkan anggaran dasar mereka melalui seorang kader yang menyamar dan melamar sebagai tukang kayu pada mereka. Kader ini berhasil mendapatkan anggaran dasar mereka. Betapa terkejutnya saya membaca AD RS Baptis itu. Ada satu pasal yang tegas berbunyi “bahwa usaha Rumah Sakit Baptis dan sosial lainnya, adalah dalam rangka Pengabaran Injil ke daerah-daerah.”
Bocoran itu lalu kami sebarkan ke masyarakat sehingga setiap upaya Baptis membeli tanah, berhasil kami gagalkan. Untuk menggalakkan penjualan tanah di Ateh Tambuo itu, kami datangi Ninik Mamak dan penghulu kaum di situ, kami paparkan tujuan RS Baptis itu.
Gagal di Atah Tambuo, pengurus Baptis berpindah ke Panganak di belakang RS Mukhtar sekarang. Mereka melobi lagi pemuka kaum di sana, tapi malamnya saya datang pula menemui penghulu kaumnya, memaparkan tujuan RS Baptis dengan bukit anggaran dasar mereka. Maka, rencana Baptis mendapatkan tanah, gagal lagi.
Tak kehilangan akal, pengurus Baptis lari lagi ke dekat Simpang Mandiangin, ada tanah seluas dua hektar yang diincernya. Kami rangkaki pula ke situ, maka gagal lagi.
Akhirnya, Baptis berhasil mendapatkan sebidang tanah di Luak Anyia, tapi bukan tanah ulayat kaum. Hanya sebidang tanah milik pribadi seorang wanita asal Bayur Maninjau yang bersuamikan seorang cina keturunan Taiwan. Tadinya tanah ini akan dia bangunan perumahan, tapi daerah keburu bergolak. Baptis berhasil mendapatkan tanah tanah milik pribadi itu. Notaris yang mengurus jual-beli itu melaporkan pada saya. “Nyiak, sebagai notaris saya tak bisa mengelak tugas. Namun yang jelas kini saya bocorkan informasi bahwa tanah itu sudah dibeli Baptis. Kini terserah inyiak, mau diapakan fakta ini," kata Notaris itu.
Saya dan teman-teman lalu bermufakat, apa langkah langkah yang harus dilakukan, karena secara fakta tanah itu sudah lepas ke Baptis. Ada teman yang pasrah dengan telah resminya transaksi dihadapan notarius."Sudahlah, lah lapeh kijang karimbo,"ujarnya mengibaratkan.
Kemudian kami "tabik pangana", perjuangan harus diarahkan bukan lagi pada pemilik tanah karena "kijang lah lapeh karimbo", tetapi kepada "pemilik" kota ini yaitu pemerintah. Caranya dengan mendesak DPRD bersidang dan mengeluarkan keputusan agar Walikota tidak memberi izin pembangunan RS Baptis.
Tanpa menunggu besok, di larut malam itu juga kami memburu ketua DPRD Bukit Tinggi. Waktu itu dijabat oleh pak Munir Marzuki Datuk Sutan Maharajo, beliau juga Ketua Masyumi sekaligus Ketua Muhammadiyah Bukittinggi. Kami datang ke rumahnya. Kami paparkan semua kejadian dan bukti bahwa RS Baptis sudah mendapatkan tanah. Lalu beliau bertanya,“Apa rencana tuan-tuan lagi?”
Saya angkat bicara mewakili teman-teman. "Kami minta DPRD melaksanakan rapat pleno darurat dengan keputusan melarang Walikota Bukittinggi memberikan izin bangunan kepada Baptis”.
Bagai "gayung bersambut", ketua DPRD terbakar semangatnya. "Ya, akan saya desak kawan-kawan agar melaksanakan rapat darurat," tegasnya. "Jangan tunggu sehari dua, pak. Sedapatnya DPRD cepat bersidang," desak saya.
Sebagai ketua Masyumi, pak Munir Marzuki tentu sudah sangat sependapat dengan kami. Tapi bagaimana dengan anggota DPRD lainnya?. Rupanya, kader Masyumi yang di parlemen memang teruji kesetiaannya pada perjuangan umat. Besok paginya, pak Munir mendadak mengumpulkan anggota dewan, lalu membicarakan tuntutan kami yang mendesak dilaksanakannya 'sidang istimewa' DPRD Bukittinggi dengan agenda tunggal melahirkan keputusan melarang saudara Walikota mengeluarkan izin bangunan bagi RS Baptis.
Saya maklum, saat itu cukup hangat perdebatan di internal DPRD, tapi saya juga tahu para kader Masyumi di sana tetap setia dengan garis perjuangan Islam sebagai Dasar Negara dan penegakan Syariat Islam di tengah masyarakat. Karena itu saya juga yakin mereka akan turut menggagalkan setiap rencana pemurtadan dan penghancuran aqidah umat, seperti melalui rencana pembangunan RS Baptis itu.
Maka, singkat kata, dalam perdebatan yang cukup hangat di siang itu, akhirnya DPRD sepakat menggelar Sidang Darurat. Bahkan tuntutan kami agar Sidang Darurat dilaksanakan dalam tempo 1x24 jam lagi, ternyata mereka penuhi. Walau saat itu puasa (Ramadhan). Besok malamnya, DPRD Bukittinggi melaksanakan Sidang Darurat di kantornya, di sebelah Masjid Raya sekarang.
Inilah peristiwa pertama DPRD bersidang malam hari, dengan agenda tunggal yang terkait dengan nasib umat. Sidang dilaksanakan setelah shalat tarawih yang dipimpin langsung oleh Ketua DPRD Munir Marzuki. Hebatnya lagi, umat Islam di kota Bukittinggi juga datang berduyun-duyun menyaksikan jalannya sidang karena pak Munir Marzuki tidak saja menyurati semua anggota dewan untuk melaksanakan sidang nanti malam, tetapi beliau juga menembuskan surat undangan itu kepada pengurus Masjid dan Ormas Islam di kota Bukittinggi. Tentu, bergegas kami mengantarkan tembusan surat itu sehingga dapat dibacakan pengurus Masjid dihadapan jamaah tarwih. Dampaknya luar biasa, dari masjid umat berduyun-duyun datang menyaksikan sidang istimewa DPRD. Ratusan kaum ibu bahkan datang sambil tetap mengenakan telekung. Massa membludak hingga menutup jalan raya, pengeras suara terpaksa dipasang di tengah jalan. Kata demi kata yang terucap dalam sidang, jelas terdengar oleh massa. Mereka berulangkali meneriakan takbir "Allahu Akbar!"
Di dalam gedung, saya dan pengurus MUI duduk berhadapan dengan pengurus Baptis yang sengaja dihadirkan agar mendengar langsung apa keputusan DPRD. Semula mereka keberatan hadir, namun setelah dijamin keselamatannya, mereka akhirnya datang juga.
Nyaris tidak ada perdebatan berarti dalam Sidang Darurat DPRD Bukittinggi di tengah malam itu. Menjelang makan sahur Ketua DPRD tampil membacakan hasil Keputusan Sidang Darurat yang isinya adalah DPRD Bukittinggi memutuskan "Melarang saudara Walikota Bukitinggi memberikan Izin Mendirikan Bangunan kepada Yayasan Baptis untuk mendirikan Rumah Sakit Baptis di Luhak Anyir Bukittinggi."
Keputusan DPRD itu disambut pekikan takbir oleh ribuan massa. Sebagian orang tua dan kaum ibu saya lihat melakukan sujud syukur. Dari pelopak mata mereka meneteskan air mata haru di kedinginan udara malam yang membalut kota Bukittinggi.
Saya dan teman-teman beranggapan sejak palu diketuk Ketua DPRD malam itu maka perjuangan telah selesai. Tapi rupanya pihak Baptis tidak kehilangan akal. Melalui orang-orangnya, mereka berhasil mendekati Komandan Korem. Mereka kemudian diberikan tanah tentara yang kini berlokasi di RSU Pusat sekarang. Saya dan teman-kawan terus menggalang aksi penolakan. Sehinggap pada suatu hari saya bersama pengurus Majelis Ulama Bukittinggi dipanggil oleh Komandan Korem ke rumah Dinasnya. Tanpa rasa takut saya memenuhi panggilan itu. Dengan suara tegas Komandan Korem menyatakan "Saya sudah izinkan kepada Baptis mendirikan Rumah Sakit di sana." Tanpa meminta apa pendapat kami, dia langsung mengeluarkan peringatan "Jika masih ada yang banyak bicara, tiga Batalyon di belakang saya,' tegasnya lantang.
Diancam tuan rumah seperti itu, kami diam saja. Tak ada yang berucap sepatah katapun juga. Ada pegangan kami saat itu yaitu pepatah Arab yang artinya, ‘Jika ada orang teler yang bicara padamu, tak usah dijawab. Jawaban yang paling santiang, adalah diam.’
Di awal Juli 1968, datanglah pak Natsir dari Jakarta. Beliau diundang oleh Gubernur Sumbar, ketika itu pak Harun Zain dan Walikota Padang Akhirun Yahya. Ketika itu pak Harun berpikir bagaimana mengembalikan dan membangkitkan harga diri orang Minang yang merasa 'kalah’ pasca PRRI. Rupanya ada yang menyarankan pak Harun, kalau itu tujuannya undanglah pak Natsir agar berkenan datang ke Sumatera Barat. Akhirnya Gubernur dan juga Walikota Padang mengundang pak Natsir. Saya langsung ikut mendamping beliau sejak mendarat di Bandara Tabing Padang hingga berhari-hari kami turun ke daerah-daerah. Bertemulah pak Natsir dengan orang banyak dan kawan-kawan seperjuangan dulu.
Setelah menginap di rumah kontrakan saya di Siteba, esoknya kami memenuhi undangan Gubernur dan Walikota Padang, setelah itu dilanjutkanlah perjalanan ke Batusangkar, 50 Kota hingga sampai ke desa Aia Kijang tempat kami terakhir turun dulu (keluar dari hutan), terus ke ke Bukittinggi, lalu ke Padang Lua. Setiba di Pakan Sinayan kami distop oleh masyarakat.Rupanya mereka rindu melihat wajah pak Natsir. Kami diarak kemudian dibawa singgah ke rumah ibu Asma Malim yang sejak belia sudah menjadi aktivis terkemuka Muslimat Masyumi. Dari Pakan Sinayaan terus ke Embun Pagi dan menurun ke Manjau melalui kelok 44, lalu berbelok ke kiri untuk terus ke Sungai Batang.
Dalam perjalanan ini saya satu mobil dengan beliau. Di sinilah kami berdialog tentang masalah pembangunan RS Baptis. Saya jelaskan kronologis perjuangan yang telah dilalui dalam upaya menggagalkan pembangunan RS yang bermisi pemurtadan dan kristenisasi. Pak Natsir setuju dengan tujuan perjuangan kami, tetapi tidak dengan cara-cara yang kami tempuh.
Pak Natsir berkata, "Kalau begitu caranya Angku-Angku menentang Baptis, maka suatu ketika orang banyak akan menghadap pada Angku-angku. Untuk itu buatlah Rumah Sakit karena dibutuhkan orang banyak. Tentang caranya, nanti kita persamakan. "
Jawab saya, “Kalau itu yang harus saya sampaikan ke orang banyak, lidah saya belum masin lagi, pak.” Setiba di Nagari Sungai Batang, kami berkunjung ke rumah Wali Nagari, kawan seperjuangan juga. Namanya Ismail, tapi kami biasa memanggilnya "Mai". "Angku Mai, pinjam mesin tik, ya," kata pak Natsir setelah kami melepaskan rangkik-rangkik agak sebentar. Pak Wali kaget, tapi langsung bergerak mengambil mesin tik dengan kertasnya sekalian. Seingat saya ketika itu kertasnya hanya jenis kertas koran ukuran setengah folio. Belum ada kertas HVS seperti sekarang.
Saya diperintahkan mengetik apa yang diimlakkan (didiktekan) pak Natsir. Isi surat kecil itu persisnya saya lupa, tapi intinya:”Perlu mengubah cara engku-engku sekalian dalam menghadapi lawan yang semakin hari semakin kuat. Yaitu dengan membuat amal-amal yang bermafaat bagi umat. Umpanya, membuat Rumah Sakit Islam di Bukittingi. Pikirkanlah ini, dan nanti kita persamakan. "
Setelah diketik, surat kecil setengah folio itu beliau baca dengan teliti, lalu beliau tandatangani. Surat itu beliau lipat empat, lalu beliau masukkan ke dalam saku baju saya.
Setelah pak Natsir kembali ke Jakarta, surat kecil pak Natsir saya serahkan ke Buya Datuk Palimokayo. "Buya, ini surat yang diberikan pak Natsir untuk kita bersama. Bacalah," pinta saya. Dengan cekatan Buya Datuk bergegas membacanya. Setelah itu, beliau minta saya segera mengundang beberapa teman untuk rapat. Rapat pertama di rumah Buya Datuk Palimokayo. Ada delapan orang yang hadir, di antaranya saya sendiri dan Buya Datuk, H. Anwar, M. Bakri Datuk Rajo Sampono, Baharudin Kari Basa, Hasan Basri, ibu Naimah Djambek dan Hj. Syarifah.
Rapat pertama itu baru menghasilkan satu keputusan yaitu sepakat membentuk sebuah badan yang diberi nama Lembaga Kesehatan Dakwah. Di hari-hari berikut, tiga kali pengurus Lembaga Kesehatan Dakwah melaksanakan rapat. Pertama di Surau Inyiak Djambek, kali kedua dan ketiga di Jambu Aia di rumah Buya Datuk. Rapat terakhir barulah melahirkan keputusan bahwa perlu dibangun Rumah Sakit Islam di Bukitinggi.
Tapi pertanyaan kemudian muncul, "Bagaimana caranya? " Tak seorang pun diantara kami yang tunjuk tangan. Akhirnya peserta rapat menambah satu lagi keputusan, yaitu menyurati pak Natsir minta beliau mengirimkan seorang tenaga ahli di bidangnya, yaitu bidang pembangunan Rumah Sakit beserta isinya.
Maka ditulislah surat setebal dua halaman yang intinya meminta pak Natsir mengirimkan tenaga ahli. Surat itu ditandatangani oleh H.M D. Palimokayo selaku Ketua Lembaga Kesehatan Dakwah dan saya selaku Sekretaris. Saat itu saya belum bergelar Datuk Tan Kabasaran, tapi Tuanku Sulaiman atau M.S Tk. Sulaiman.
Surat kami cepat direspon pak Natsir. Beliau mengirim seorang tenaga ahli yaitu bapak Mr. Ezeddin dengan tugas penyambung tangan Yayasan Kesehatan Dakwah dalam membangun Rumah Sakit Islam. Cita-cita membangun Rumah Sakit Islam kemudian hari berhasil diwujudkan. Tidak hanya di Bukittinggi, pak Natsir juga memprakarsai pembangunan RS Islam Yarsi di Padang, Padang Panjang, Payakumbuh, Panti dan di Kapar Pasaman.
Dalam perjuangan membangun RSI Ibnu Sina di kelima lokasi itu, pak Natsir adalah pemrakarsanya. Bahkan sejak priode Pengurus Yayasan Rumah Sakit Islam (Yarsi) diketuai Tamrin Manan, SH dan saya Wakil Ketua, sengaja kami cantumkan dalam anggaran dasar Yarsi bahwa pak Natsir baik sebagai peribadi maupun sebagai ketua Dewan Dakwah Islamiyah Pusat, adalah sebagai pemrakarsa berdirinya Rumah Sakit Islam Yarsi itu.
***
Andai Saja Pak Natsir Didengarkan
Satu hal yang tak saya lupakan adalah ketika ikut merintis lahirnya Majelis Ulama Sumatera Barat, pada tahun 1967. Ini merupakan Majelis Ulama pertama di Indonesia, MUI baru terbentuk tahun 1975.
Ditengah gencarnya kami melawan rencana pembangunan RS Baptis, saya dan beberapa kawan menjadi panitia penyelangara Mubes Alim Ulama se Sumatera Barat bertempat di masjid Jamik Birugo Bukittinggi. Mubes itu berhasil membentuk Majlis Ulama Sumatera Barat dengan pengurus terdiri dari Buya Datuk Palimo Kayo, Buya Zas, Iskandar Zulkarnaini dan buya Datuk Nagari Basa. Saya sebagai Wakil Sekretaris.
Majlis Ulama Sumbar berjalan sampai tahun 1975 ketika terbentukMUI di tingkat nasional. Perjuangan Majelis Ulama Sumbar yang berat adalah menghadapi masalah RS Baptis dan genacarnya kristenisasi hingga ke pelosok Pasaman.
Setelah terbentuk MUI di Jakarta, Januari 1975, datanglah Buya Hamka ke Bukitinggi maka MUI Sumbar yang sudah ada --dalam suatu pertemuan yang dipandu Buya Hamka-- langsung dilebur menjadi MUI Sumbar. Dengan penyesuaian struktur kepengurusan menurut format MUI.
Ketika Buya Hamka datang dan terbentuknya MUI itulah, kami timbang-terimakan masalah RS Baptis. Oleh Buya Hamka masalah itu benar-benar ditindak lanjuti dengan berulangkali mendesak pemeritah Pusat. Akhirnya pemeritah pusat turun tangan. Mulanya berupaya membeli dan mengambil alih RS Baptis itu untuk dijadkan RSUD. Tapi pihak Baptis tidak mau menjual. Mereka mau menjual bila pemerintah menyediakan lokasi di daerah lain. Buya Hamka dan MUI terus melobi pemerintah. Akhirnya Baptis mendapatkan tempat di Bandar Lampung. Di sana dibangun RS Imanuel yang cukup megah.
Dalam suatu dialog kami di atas mobil, beliau juga pernah berpesan bahwa kebenaran itu sama dengan harimau. Kalau sudah keluar dari sarangnya, dia harus menangkap mangsanya. Cuma tergantung waktu, cepat atau lambat. Kadang baru keluar dari sarang Harimau sudah menerkam rusa yang melintas. Kadang berhari-hari baru bertemu kijang.
Kebenaran sama dengan itu. “Kebenaran harus kita sampaikan, apapun resikonya,” kata pak Natsir. Hanya saja kebenaran itu ada yang cepat diterima, ada yang lambat, setelah bertahun-tahun kita menyampaikan. Contohnya tentang PKI. Masyumi sejak awal tahun 50-an sudah mengingatkan bahwa PKI itu musuh. PKI jangan dibawa bersama-sama dalam kabinet. Tapi tidak pernah didengar rezim Soekarno, bahkan orang-orang PKI diberi tempat dan jabatan.
Kesadaran akan peringatan Masyumi tentang bahaya PKI, baru tumbuh tahun 1965. “Tapi harus dibayar dengan tujuh jenderal. Kalaulah sejak awal 50-an Pemerintah mendengarkan Masyumi, ‘penebusan’ dengan tujuh jendral itu tidak perlu terjadi. Tapi apa boleh buat, awak yang sejak awal melawan PKI, awak pula yang dimusuhi.
Begitulah kebenaran, cepat atau lambat dia akan diikuti. Yan penting, cepat sampaikan kebenaran itu. Jangan ragu, jangan gentar, dan itu telah dilakukan pak Natsir dengan perbuatan.
Jauh sebelum meletusnya PRRI, pak Natsir sudah menelan pahitnya akibat menyampaikan kebenaran. Bahkan pada suatu malam, rumahnya diteror pemuda rakyat. Allah SWT menakdirkan pak Natsir berhasil meloloskan diri menuju Padang. Jadi, beliau ke Sumbar bukan kesengajaan untuk ikut PRRI, tapi karena merasa sudah terancam nyawanya di Jakata. Namun ada pula hikmahnya ketika pak Natsir dan beberapa tokoh sipil seperti Pak Syaf dan Burhanudin ikut PRRI. Jika tak ada mereka di dalam, PRRI sudah menjadi gerakan separatis pemisahan diri, seperti RMS atau GAM. Peta Indonesia akan berubah, paling hanya tinggal Jawa-Bali saja.
Tapi itulah pak Natsir, dia berani mengatakan ‘Jangan!” dihadapan para pemimpin Dewan Militer ketika PRRI akan mengambil langkah pemisahan diri dalam pertemuan di Sungai Dareh.
***
Tentang Saya:
Saya dilahirkan pada bulan Juli tahun 1927. Tanggalnya tak ada yang tahu pasti. Tapi ibu saya yang meninggal di awal revolusi dimana saya masih bayi, pernah bercerita pada etek saya bahwa ketika terjadi gempa Padang Panjang, saya genap semusim penuh. Artinya, genap dua belas bulan dalam kandungan.
Gempa itu diawal Juni 1926, berarti saya lahir awal Juli 1927.
Kini Usia saya sudah 83 tahun, lah laruik sanjo.
Saya cuma tamatan Tsanawiyah Muhammadiyah Bukittinggi tahun 1940 dalam usia 15 tahun.
Selanjutnya saya mendalami ilmu agama dengan belajar ke rumah ulama setiap malam. Tapi paginya, saya belajar pula di Sekolah Guru Muhammadiyah.
Baru kelas dua, Jepang masuk. Sekolah dibubarkan.
Lama saya berpikir kemanalah akan melanjutkan sekolah. Mau ke Padang atau Padang Panjang tak mungkin, karena orang tua bansaik (miskin).
Akhirnya, karena sejak kecil saya sudah bercita-cita menjadi urang siak, masuklah saya ke sekolah terdekat yaitu ke perguruan Islam Parabek Bukittinggi.
Setelah mengikuti tes masuk, saya diterima di kelas 5 dan akhirnya tamat kelas 7.
Saya tetap bertahan di Parabek kerena ingin pendalaman pengajian.
Barulah saat kemerdekaan diproklamirkan tahun 1945, saya pulang kampung dan membentuk Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) Ranting Birugo.
Tahun 1947 saya masuk Sekretariat GPII Sumatera Tengah di Bukittinggi. “Disini saya membina diri. Mulai dari tukang sapu hingga Kepala Sekretariat.
Karena saya juga sekolah di Muhammadiyah, maka saya menjadi anggota kepanduan HW (Hisbul Wathan). Bahkan pada tahun 1957, saya memimpin kontingen ke Jambore HW se Sumatera Tengah di Pekan Baru. Terakhir, di HW saya sampai pada tingkat Komisaris Penghela HW Sumatera Tengah. (Komandan Pandu Dewasa).
Keterampilan yang saya peroleh di Kepanduan HW itulah sangat bermanfaat saat keluar masuk hutan bersama pak Natsir.
Ketika Pengurus DDII Perwakilan Sumbar periode pertama dikukuhkan pak Natsir, saya sebagai wakil Sekretaris.
Sejak dulu hingga sekarang, saya tetap setia di kampung. Amanah pak Natsir agar saya tetap menjadi tampatan bagi kawan-kawan seperjuangan yang akan ke ranah Minang, tetap saja tunaikan sampai hari ini.
Peribahasa menyatakan,”Siapa yang tak sempat dibesarkan orang tuanya, maka situasi dan kondisilah yang akan membesarkannya. ” Saya, salah satu generasi yang ditempa oleh zaman.*
*Mantan Pengawal Pak Natsir di Hutan Sumatera Barat, Tokoh Masyumi Sumbar dan Senior Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia wilayah Sumatera Barat
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar