Ada kesamaan pemikiran empat tokoh di atas, Natsir, Hassan al Banna, Maududi dan Nabhani sama-sama menginginkan terbentuknya negeri Islami atau masyarakat Islam. Mereka sama-sama menekankan pentingnya pembentukan pribadi Muslim, Keluarga Muslim, Masyarakat Muslim dan Negeri Islam. Mereka juga sama-sama menginginkan jalan damai bagi pembentukan negeri Islam.
Perbedaannya adalah pada cara pembentukan negera Islam itu, struktur negara Islam dan nama negara Islam itu. Dalam pandangan Mohammad Natsir, Islam tidak mengatur nama dan struktur negara Islam. Natsir menyatakan bahwa negara harus berlandaskan Islam dan pemimpin dalam negara itu harus bertekad melaksanakan hukum Islam dalam masalah individu, keluarga, masyarakat maupun negara. Natsir menyetujui istilah demokrasi Islam dan Natsir menerima negera Indonesia sebagai sebagai negeri Islam yang berdasarkan Pancasila (bagian dari UUD 45 yang dijiwai oleh Piagam Jakarta sesuai dengan Dekrit Presiden RI 5 Juli 1959). Pancasila dianggap Natsir sebagai sebagian dari prinsip-prinsip yang diajarkan oleh Islam dan ia juga menerima demokrasi parlementer dan sistem pemerintahan presidensial. Meski demikian, dalam sidang-sidang Dewan Konstituante tahun 50-an Natsir dengan partai Masyumi-nya berjuang keras agar landasan negara Indonesia adalah Islam.
Hampir sama dengan Natsir, Hasan al Banna dan Abul A’la al Maududi juga demikian. Meski al Banna dan Maududi menolak demokrasi Barat, mereka masih menerima sistem parlemen. Maududi mengajukan istilah Theodemokrasi, demokrasi berketuhanan atau demokrasi Islam. Begitu juga Hasan al Banna. Pendiri Ikhwanul Muslimin ini, memang semasa hidupnya pernah mengecam habis partai-partai yang berlomba mengejar jabatan dan materi belaka di Mesir. Menurut al Banna, partai atau organisasi-organisasi politik itu dibentuk untuk dakwah Islam dan memberikan pelayanan kepada masyarakat bukan hanya untuk kekuasaan belaka. Karena itu, Ikhwanul Muslimin dulu dan kini di berbagai negara, masuk terlibat dalam kekuasaan pemerintahan yang berdasar demokrasi parlementer.
Maududi bahkan memperinci struktur negara dalam Islam, dengan menerima konsep demokrasi modern, legislatif, yudikatif dan eksekutif. Cuma ia mencatat bahwa ketiga lembaga ini mesti memegang teguh Islam, Al Qur’an dan Sunnah, dalam menjalankan tugas-tugasnya. Maududi yang berjasa besar dalam meletakkan dasar Islam bagi negara Pakistan ini, dengan Jamaat Islami-nya juga masuk dalam ‘politik parlementer’.
Taqiyuddin an Nabhani menjelaskan bahwa nama dan struktur negara Islam sudah merupakan hal yang baku dalam Islam. Titel kepala negara bernama khalifah dan negara Islam yang bernama khilafah Islamiyah adalah suatu hal yang qath’i bagi Hizbut Tahrir. Bahkan an Nabhani juga mengharuskan nama-nama khusus untuk pejabat dalam struktur pemerintahan khilafah Islamiyah, seperti khalifah, naibul kahlifah, muawwin, muawwin tafwizh dan lain-lain.
Selain itu an Nabhani juga menolak keras istilah demokrasi, bahkan demokrasi Islam sekalipun. Menurutnya demokrasi adalah istilah dari Barat dan harus ditolak oleh kaum Muslimin. Pendiri Hizbut Tahrir ini juga mengajukan konsep revolusi (inqilabiyah) dalam penerapan Islam oleh negara. Dengan catatan bahwa perjuangan pembentukan Daulah Islamiyah ini, harus diperjuangkan dengan cara-cara damai. Sedangkan Natsir, Maududi, dan Al Banna lebih sepakat dengan konsep perubahan islahiyah secara bertahap, secara evolusi (islahiyah) bukan revolusi (inqilabiyah).
Begitu juga istilah nasionalisme, Nabhani menolak keras konsep ini. Hal ini berbeda dengan Natsir, Maududi dan al Banna. Ketiga tokoh ini menempatkan nasionalisme dalam bingkai Islam. Menurut ketiganya, Islam memang tidak memandang ras, wilayah geografis dan lain-lain, tapi bila seorang Muslim mencintai negaranya, sebagai bumi Allah dan berjuang agar ditegakkan hukum-hukum Allah, maka itu adalah sebuah kewajiban. Ketiganya juga memandang persatuan dunia Islam (khilafah Islamiyah) bisa diraih, dengan lebih dahulu membentuk negeri-negeri Islam di wilayah masing-masing. Mohammad Natsir juga aktif memperjuangkan terbentuknya persatuan dunia Islam ini dengan banyak berdiskusi dan dialog dengan tokoh-tokoh Islam di negeri-negeri lain. Natsir juga mempunyai kepedulian tinggi dengan kondisi Palestina dan negeri-negeri Islam yang dijajah kaum imperialis, sehingga ia dan sahabat-sahabatnya kemudian membentuk KISDI (Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam). Wallahu aliimun hakiim.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar