Ia lahir di Hyderabad, India Selatan, 25 September 1903. Wafat pada 22 September 1979. Ia mendapatkan pendidikan Islam sejak kecil di keluarga dan lingkungannya. Syekh Maududi adalah tokoh pendiri Jamaat Islami. Ia pemikir besar Islam dan peletak dasar negara Islam Pakistan.
Maulana Maududi mendapat pendidikan di Madrasah Furqaniyah , sebuah sekolah tinggi terkenal di Hyderabad yang dipanggil "Madrassah", bukan sekolah Islam tradisional . Kemudian melanjutkan pelajaran di Darul Ulum di Hyderabad. Ia mahir berbahasa Arab, Parsi, Inggris, dan Urdu .
Tahun 1918, ketika usia 15 tahun, ia mulai bekerja sebagai wartawan dalam surat kabar berbahasa Urdu. Tahun 1920, menyandang jabatan sebagai editor surat kabar Taj, yang diterbitkan di bandar Jabalpore sekarang bernama Madhya Pradesh, India.
Tahun 1921, Maulana Maududi pindah ke Delhi bekerja sebagai editor surat kabar Muslim (1921-1923), dan kemudian editor al-Jam’iyat (1925-1928), yang diterbitkan oleh Jam’iyat-i ‘Ulama-i Hind, sebuah organisasi politik Deoband. Hasil kepemimpinannya sebagai editor, al-Jam’iyat menjadi surat kabar utama untuk orang Islam di Asia Selatan (India, Pakistan, Bangladesh , Sri Langka dan Maldive).
Maulana Maududi juga terlibat membentuk Pergerakan Khilafah dan Tahrik-e Hijrat, yaitu Organisasi Asia Selatan yang menentang penjajahan kolonial Inggris.
Maulana Maududi aktif menerjemahkan buku-buku berbahasa Arab dan Inggris ke bahasa Urdu. Ia juga menulis buku bertajuk al-Jihad fi al-Islam diterbitkan secara berseri di al-Jam’iyat tahun 1927 dan dibukukan tahun 1930. Tahun 1933, Maulana Maududi menjadi editor majalah bulanan Tarjuman al-Qur'an ("Tafsiran al Qur'an"). Bidang penulisannya ialah tentang Islam, konflik antara Islam dengan imperialisme dan modenisasi. Ia juga menjelaskan jawaban Islam bagi setiap permasalahan masyarakat Islam yang dijajah.
Bersama dengan filosof dan ulama Muhammad Iqbal, Maulana Maududi mendirikan pusat pendidikan Darul-Islam di bandar Pathankot di wilayah Punjab. Tujuan pusat pendidikan ini ialah melahirkan pelajar yang mempunyai falsafah politik Islam. Maulana Maududi mengkritik habis konsep-konsep Barat seperti nasionalisme, pluralisme and feminisme.
Tahun 1941, Maulana Maududi mendirikan organisasi Jamaat-e-Islami untuk mengembangkan Islam sebagai satu cara hidup di Asia Selatan. Ia terpilih sebagai pemimpin Jamaat Islami dan memegang jabatan itu sampai 1972.
Sebelumnya tahun 1953, Maududi pernah membuat tulisan yang mengkritik tajam Ahmadiyah. Tulisan ini kemudian menimbulkan demo dan rusuh di Pakistan. Mahkamah militer menjatuhi hukuman mati ke Maududi. Tapi kemudian militer membatalkan hukuman mati kepadanya.
Pada 22 September, 1979, Maududi meninggal dunia pada usia 76 tahun di Buffalo, New York. (Lihat http://en.wikipedia.org/wiki/Sayyid_Abul_Ala_Maududi)
Semasa hidupnya Maududi menulis puluhan buku dan ratusan makalah atau tulisan lepas. Ulama-ulama di dunia Islam, bahkan orientalis pun mengakui kecendekiawanannya. Ia dan ulama-ulama Pakistan pernah konflik dengan Fazlurrahman dan menjadikan Fazlurrahman tidak betah tinggal di Pakistan dan akhirnya pindah ke Amerika. Puluhan karyanya menjadi rujukan kaum cendekia Islam. Diantaranya adalah: Tafhim al-Qur’an, al Jihad fil Islam, Islamic Law and Constitution, Islamic Way of Life, Economic System of Islam, Social System of Islam, Human Rights in Islam, Qadiani Problem, dll.
Cita-cita Negara Islam
Dalam masalah cita-cita Negara yang Islami, Abul A’la al Maududi menyatakan:
“Negara ini berdasar atas dasar ideologi semata-mata dan tidak atas dasar ikatan-ikatan warna, ras, bahasa atau batas-batas geografis. Setiap manusia dimanapun mereka berada di muka bumi ini, dapat menerima prinsip-prinsipnya apabila ia ingindan menggabungkan diri ke dalam sistemnya dan memperoleh hak-haknya sama persis tanpa perbedaan, kefanatikan dan kekhususan. Dan setiap negara, di seluruh dunia, yang ditegakkan atas dasar prinsip-prinsip ni adalah “negara Islam”, baik ia berdiri di Afrika, di Amerika, di Eropa, atau di Asia; dijalankan dan dilaksanakan urusan-urusannya oleh orang-orang yang berkulit merah, hitam ataupun kuning. Tidak ada suatu hambatan apapun yang menghalanginya untuk menjadi sebuah negara dengan kekhususan ideologi ini, menjadi seuah negara sesuai dengan hukum-hukum internasioal. Dan apabila di berbagai tempat di atas bumi ini terdapat beberapa negara seperti ini, maka semuanya adalah “negara Islam” yang dapat tolong menolong dan bantu membentu di antara mereka, sebagaimana layaknya antara sanak saudara yang saling mengasihi, tidak bertarung atas dasar nasionalisme ataupun ikatan-ikatan kebangsaan yang beraneka ragam. Dan apabila mereka sama-sama mencapai persetujuan, merekapun dapat membentuk perdamaian internasional dan kesatuan pendapat umum yang bersifat internasional.i
“Tiada pembahasan tentang tuntutan agar dibentuk negara Pakistan, dan tiada keterangan tentang kebangkitan kembali Islam mutakhir akan menjadi lengkap, tanpa membahas peranan yang dimainkan Abul A’la al Maududi dalam gerakan tersebut. Faktor-faktor yang terkuat dan berdaya guna , yang mendorong pembentukan sebuah negara Islam dalam tahun-tahun pertama segera sesudah pembagian anak benua India dan pembentukan Pakistan, adalah Maududi, serta gerakan yang didirikan dan dipimpinnya Jamaat islami.”ii
“Negara ini berdasar atas dasar ideologi semata-mata dan tidak atas dasar ikatan-ikatan warna, ras, bahasa atau batas-batas geografis. Setiap manusia dimanapun mereka berada di muka bumi ini, dapat menerima prinsip-prinsipnya apabila ia ingindan menggabungkan diri ke dalam sistemnya dan memperoleh hak-haknya sama persis tanpa perbedaan, kefanatikan dan kekhususan. Dan setiap negara, di seluruh dunia, yang ditegakkan atas dasar prinsip-prinsip ni adalah “negara Islam”, baik ia berdiri di Afrika, di Amerika, di Eropa, atau di Asia; dijalankan dan dilaksanakan urusan-urusannya oleh orang-orang yang berkulit merah, hitam ataupun kuning. Tidak ada suatu hambatan apapun yang menghalanginya untuk menjadi sebuah negara dengan kekhususan ideologi ini, menjadi seuah negara sesuai dengan hukum-hukum internasional.
Dan apabila di berbagai tempat di atas bumi ini terdapat beberapa negara seperti ini, maka semuanya adalah “negara Islam” yang dapat tolong menolong dan bantu membentu di antara mereka, sebagaimana layaknya antara sanak saudara yang saling mengasihi, tidak bertarung atas dasar nasionalisme ataupun ikatan-ikatan kebangsaan yang beraneka ragam. Dan apabila mereka sama-sama mencapai persetujuan, merekapun dapat membentuk perdamaian internasional dan kesatuan pendapat umum yang bersifat internasional.iii
Kedaulatan dalam Islam
“...Maka kapan saja para ahli ilmu politik, yang terbius oleh pengertian ideologis dari kedaulatan, berusaha untuk menempatkan pemilik kedaulatan semacam ini dalam masyarakat manusia, maka mereka pasti akan gagal. Karena mereka tidak akan menemukan seorang pun di kalangan manusia yang ukuran tubuhnya pas dengan toga kedaulatan ini. Bahkan di semua jenis makhluk, tak satupun makhluk yang dibenarkan menggugat diri sebagai memiliki semua atribut kedaulatan. Al-Qur’an menekankan kebenaran mendasar ini ketika secara berulang-ulang menyatakan bahwa kedaulatan milik Allah dan hanya milik Allah saja (lihat QS 11/107, 21/23, 23/83, 59/23-24). iv “Dan Allah telah menjanjikan kepada orang-orang beriman dan yang mengerjakan amal saleh, bahwa Allah akan memberi kekhalifahan kepada mereka di muka bumi.” (QS 24/55)
Teodemokrasi
Konsep kehidupan seperti ini menjadikan khilafah Islam sebagai suatu demokrasi, yang pada inti dan dasarnya merupakan antitesis bentuk pemerintahan teokratis, monarkhis, dan kepausan. Karena menurut konsep-konsep Barat modern, demokrasi merupakan filsafat organisasi politik yang di dalamnya ada anggapan bahwa rakyat memiliki kedaulatan mutlak. Di lain pihak apa yang kita sebut demokrasi yang dianut oleh kaum Muslim adalah suatu sistem yang di dalamnya rakyat hanya menikmati hak Kekhalifahan Tuhan Yang Sendirian memegang kedaulatan.
Di dalam demokrasi sekular Barat, pemerintahan dibentuk dan diubah dengan pelaksanaan pemilihan umum. Demokrasi kita juga memiliki wawasan yang mirip, tetapi perbedaannya terletak pada kenyataan bahwa kalau di dalam sistem Barat suatu negara demokrasi menikmati hak kedaulatan mutlak, maka dalam demokrasi kita, kekhalifahan ditetapkan untuk dibatasi oleh batas-batas yang digariskan oleh Hukum Ilahi.v
Legislatif merupakan lembaga yang berdasarkan teminologi fiqh disebut sebagai “lembaga penengah dan pemberi fatwa” (ahlul halli wal aqdi). Cukup jelas bahwa suatu negara yang didirikan dengan dasar kedaulatan de jure Tuhan tidak dapat melakukan legislasi yang bertolak belakang dengan al-Qur’an dan as Sunnah, sekalipun konsensus rakyat menuntutnya.”vi
Dalam suatu Negara Islam, tujuan sebenarnya dari lembaga eksekutif adalah untuk menegakkan pedoman-pedoman Tuhan yang disampaikan melalui al-Qur’an dan Sunnah serta untuk menyiapkan masyarakat agar mengakui dan menganut pedoman-pedoman ini untuk dijalankan dalam kehidupan mereka sehari-hari...Kata ulil amri dan umara digunakan masing-masing dalam Al-Qur’an dan Hadits untuk menyatakan lembaga eksekutif.”vii
Ruang lingkup lembaga yudikatif (yang dalam terminologi hukum Islam dikenal sebagai qadha) juga disiratkan maknanya oleh pengakuan atas kedaulatan de jure dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Ketika Islam menegakkan negaranya sesuai dengan prinsip-prinsip abadinya, Rasulullah saw sendirilah yang menjadi hakim pertama negara tersebut, dan beliau melaksanakan fungsi ini dengan sangat selaras dengan hukum Tuhan. Orang-orang yang melanjutkannya tidak memiliki alternatif lain kecuali mendasarkan keputusan mereka pada hukum Tuhan sebagaimana yang telah disampaikan kepada mereka oleh Rasulullah saw.viii
“Oleh karena itu adililah mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu turuti hawa nafsu mereka yang akan membelokkan mereka dari kebenaran yang telah datang kepadamu.” (QS 5/48)
“Setelah ini harus ditekankan bahwa pengadilan-pengadilan hukum dalam suatu negara Islam ditegakkan untuk menegakkan hukum Ilahi dan bukan untuk melanggarnya sebagaimana yang dilakukan dewasa ini di hampir semua negara Muslim.”ix
Evolusi atau Revolusi
Maududi lebih memilih reformasi atau evolusi (islahiyah) daripada revolusi (inqilabiyah). Berikut kata Maududi dalam bukunya Nahnu wal Hadharatul Gharbiyah (Penjajahan Peradaban, terj.) :
"Reformasi dan revolusi dua-duanya memiliki tujuan yang sama: memperbaiki kondisi ke arah yang lebih baik. Kendati demikian, ada perbedaan yang amat mendasar dalam kedua jenis gerakan dan metode yang mmpergunakannya. Reformasi berangkat dari penalaran dan pemikiran, dimana seseorang mengkaji terlebih dahulu obyektif yang ada dengan kepala dingin dan penelaahan yang mendalam, menemukan sebab-sebab kerusakan, mengevaluasi kemampuan dan merencanakan solusi. Dan begitu faktor-faktornya sudah ia temukan, maka ia tidak melakukan gerakan penumbangan, kecuali pada batas-batas minimal yang tidak bisa tidak mesti dilakukan. Berbeda dengan itu, maka revolusi berangkat dari kebencian, keberingasan dan pendobrakan terhadap penindasan dan kekejaman. Gerakan ini mnentang kekerasan dengan kekeraan pula, ekstrimitas dengan ekstrimitas serupa, dan mencapai tujuan baik melalui kekerasan dan radikalisme.
Dan tidak diragukan sedikitpun bahwa seorang ''pembaharu" seringkali terpaksa harus mempergunakan cara revolusioner serupa ini. Kedua cara perbaikan ini membutuhkan sedikit pengetahuan tentang kondisi-kondisi yang ada yang berkenaan dengan kerusakan
yang harus diperbaiki. Hanya saja perbedaannya terletak pada bahwa reformasi bertolak dari pemikiran tentang apa dan sejauh mana kerusakan itu telah menjadi. Lalu mengerahkan upaya sesuai dengan kerusakan yang ada dan menyediakan terapi yang manjur guna mengobati luka tersebut agar bisa secepatnya sembuh. Berbeda dengan itu maka revolusi mengatasi semuanya itu dengan tindakan drastis tanpa disertai rencana-rencana jelas : ia menetak (mendepak) apa saja yang ada di depannya tanpa peduli apakah hal itu masih berguna ataukah tidak. Gerakan ini tidak memiliki obat yang disiapkan sejak semula, dan kalaupun itu terpikirkan, biasanya muncul sesudah semuanya berjalan dan setelah munculnya dampak yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.
Lazimnya revolusi itu terjadi ketika kerusakan-kerusakan sudah merajalela dan tujuan telah menyimpang jauh dari apa yang digariskan semula, dimana massa sudah tidak sabar lagi menanggung derita yang muncul dari kerusakan itu dan tidak bisa brpikir dengan kepala dingin, lalu mereka bergerak secara serempak untuk melakukan perbaikan. Dalam kondisi-kondisi serupa itu, muncullah gerakan massal yang berifat revolusioner sebagai upaya perbaikan itu, lalu pecahlah pertarungan antara dua kekuatan radikal yang selanjutnya menyulut semak-semak dendam. Akhirnya kedua belah pihak terlibat dalam pertarungan yang memuncak, dimana masing-masing pihak meneriakkan kebenaran dirinya. Di samping mereka masing-masing mempergunakan kekerasan untuk melindungi kebatilan, maka pada sisi lain mereka membelah massa menjadi "kelompok kita"dan "kelompok mereka" tanpa membedakan benar atau salah. Dan bila kemenangan telah sepenuhnya berada di tangan kaum revolusioner, maka mereka pun merampas segala sesuatu yang ada di tangan lawannya, baik secara hak maupun batil, entah benar entah salah. Revolusi pun terus menggelinding bagaikan gelombang pasang yang menyapa apa saja yang merintangi jalannya tanpa ampun. Dan sesudah muncul berbagai kerusakan dan kekacauan, dan di saat itu otak sudah kembali berfungsi, maka muncullah kesadaran tentang perlunya penanganan yang baik..."x*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar