Kamis, 29 Januari 2009

Kehebatan Nabhani

Taqiyudin an Nabhani dilahirkan di daerah Ijzim pada tahun 1909. Ia mendapat didikan ilmu dan agama di rumah dari ayahnya sendiri, seorang syaikh yang faqih fid din. Ayahnya seorang pengajar ilmu-ilmu syari’ah di Kementerian Pendidikan Palestina. Ibunya juga menguasai beberapa cabang ilmu syari’ah, yang diperolehnya dari ayahnya, Syaikh Yusuf bin Ismail bin Yusuf An Nabhani. Beliau ini adalah seorang qadly (hakim), penyair, sastrawan, dan salah seorang ulama terkemuka dalam Daulah Utsmaniyah.

Syaikh Taqiyyuddin kemudian meneruskan pendidikannya di Tsanawiyah Al Azhar pada tahun 1928 dan pada tahun yang sama ia meraih ijazah dengan predikat sangat memuaskan. Lalu ia melanjutkan studinya di Kulliyah Darul Ulum yang saat itu merupakan cabang Al Azhar. Taqiyyuddin An Nabhani menamatkan kuliahnya di Darul Ulum pada tahun 1932. Pada tahun yang sama beliau menamatkan pula kuliahnya di Al Azhar Asy Syarif menurut sistem lama, di mana para mahasiswanya dapat memilih beberapa syaikh Al Azhar dan menghadiri halaqah-halaqah mereka mengenai bahasa Arab, dan ilmu-ilmu syari’ah seperti fiqih, ushul fiqih, hadits, tafsir, tauhid (ilmu kalam), dan yang sejenisnya.

Setelah menyelesaikan pendidikannya, Taqiyuddin kembali ke Palestina untuk kemudian bekerja di Kementerian Pendidikan Palestina sebagai seorang guru di sebuah sekolah menengah atas negeri di Haifa. Di samping itu beliau juga mengajar di sebuah Madrasah Islamiyah di Haifa.

Pada tahun 1948, sahabatnya Al Ustadz Anwar Al Khatib mengirim surat kepadanya, yang isinya memintanya agar kembali ke Palestina untuk diangkat sebagai qadly di Mahkamah Syar’iyah Al Quds. Syaikh Taqiyyuddin mengabulkan permintaan itu dan kemudian ia diangkat sebagai qadly di Mahkamah Syar’iyah Al Quds pada tahun 1948. Kemudian, oleh Kepala Mahkamah Syar’iyah dan Kepala Mahkamah Isti’naf saat itu –yakni Al Ustadz Abdul Hamid As Sa’ih– ia lalu diangkat sebagai anggota Mahkamah Isti’naf, dan ia tetap memegang kedudukan itu sampai tahun 1950.

Pada tahun 1950 inilah, ia lalu mengajukan permohonan mengundurkan diri, karena Taqiyudin mencalonkan diri untuk menjadi anggota Majelis Niyabi (Majelis Perwakilan).
Pada tahun 1951, Syaikh An Nabhani mendatangi kota Amman untuk menyampaikan ceramah-ceramahnya kepada para pelajar Madrasah Tsanawiyah di Kulliyah Ilmiyah Islamiyah. Hal ini terus berlangsung sampai awal tahun 1953, ketika ia mulai sibuk dalam Hizbut Tahrir, yang telah ia rintis antara tahun 1949 hingga 1953.

Publikasi pembentukan partai ini secara resmi tersiar tahun 1953, pada saat Taqiyyuddin An Nabhani mengajukan permohonan resmi kepada Departemen Dalam Negeri Yordania sesuai Undang-Undang Organisasi yang diterapkan saat itu. Dalam surat itu terdapat permohonan izin agar Hizbut Tahrir dibolehkan melakukan aktivitas politiknya. Dalam surat itu terdapat pula struktur kepengurusan Hizbut Tahrir dengan susunan sebagai berikut :
1.Taqiyyuddin An Nabhani, sebagai pemimpin Hizbut Tahrir.
2.Dawud Hamdan, sebagai wakil pemimpin merangkap sekretaris.
3.Ghanim Abduh, sebagai bendahara.
4.Dr. Adil An Nablusi, sebagai anggota.
5.Munir Syaqir, sebagai anggota.

Oleh karena itu, Syaikh Taqiyyuddin kemudian menjalankan aktivitas secara rahasia dan segera membentuk Dewan Pimpinan (Qiyadah) yang baru bagi Hizb, di mana ia sendiri yang menjadi pucuk pimpinannya. Dewan Pimpinan ini dikenal dengan sebutan Lajnah Qiyadah. Beliau terus memegang kepemimpinan Dewan Pimpinan Hizb ini sampai wafatnya beliau pada tanggal 25 Rajab 1398 H, bertepatan dengan tanggal 20 Juni 1977 M.

Di bawah kepemimpinannya, Hizbut Tahrir telah melancarkan beberapa upaya pengambil-alihan kekuasaan di banyak negeri-negeri Arab, seperti di Yordania pada tahun 1969, di Mesir tahun 1973, dan di Iraq tahun 1972. Juga di Tunisia, Aljazair, dan Sudan. Sebagian upaya kudeta ini diumumkan secara resmi oleh media massa, sedang sebagian lainnya memang sengaja tidak diumumkan.

Al Ustadz Dawud Hamdan menjelaskan karakter kitab-kitab Syaikh Taqiyyuddin –yang termasuk kitab-kitab yang disebarluaskan oleh Hizbut Tahrir–dengan pernyataannya :
“Sesungguhnya kitab ini –yakni kitab Ad Daulah Al Islamiyyah– bukanlah sebuah kitab untuk sekedar dipelajari, akan tetapi kitab ini dan kitab lainnya yang telah disebarluaskan oleh Hizbut Tahrir –seperti kitab Usus An Nahdlah, Nizhamul Islam, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, An Nizham Al Iqthishady fi Al Islam, Nizham Al Hukm, Asy Syakhshiyah Al Islamiyah, At Takattul Al Hizbi, Mafahim Hizhut Tahrir, Mafahim Siyasiyah li Hizbit Tahrir– menurut saya adalah kitab yang dimaksudkan untuk membangkitkan kaum muslimin dengan jalan melanjutkan kehidupan Islam dan mengemban dakwah Islamiyah.”

Karena beraneka ragamnya bidang kajian dalam kitab-kitab yang ditulis oleh Syaikh Taqiyyuddin, maka tak aneh bila karya-karya beliau mencapai lebih dari 30 kitab. Ini belum termasuk memorandum-memorandum politik yang beliau tuliuntuk memecahkan problematika-problematika politik. Belum lagi banyak selebaran-selebaran dan penjelasan-penjelasan mengenai masalah-masalah pemikiran dan politik yang penting.

1.Nizhamul Islam.
2.At Takattul Al Hizbi.
3.Mahafim Hizbut Tahrir
4.An Nizhamul Iqthishadi fil Islam.
5.An Nizhamul Ijtima’i fil Islam.
6.Nizhamul Hukm fil Islam.
7.Ad Dustur.
8.Muqaddimah Dustur.
9.Ad Daulatul Islamiyah.
10.Asy Syakhshiyah Al Islamiyah (3 jilid).
11.Mafahim Siyasiyah li Hizbit Tahrir.
12.Nazharat Siyasiyah li Hizbit Tahrir.
13.Nida’ Haar.
14.Al Khilafah.
15.At Tafkir.
16.Ad Dusiyah.
17.Sur’atul Badihah.
18.Nuqthatul Inthilaq.
19.Dukhulul Mujtama’.
20.Inqadzu Filisthin.
21.Risalatul Arab.
22.Tasalluh Mishr.
23.Al Ittifaqiyyah Ats Tsana’iyyah Al Mishriyyah As Suriyyah wal Yamaniyyah
24.Hallu Qadliyah Filisthin ala Ath Thariqah Al Amrikiyyah wal Inkiliziyyah. Nazhariyatul Firagh As Siyasi Haula Masyru’ Aizanhawar

Semua ini belum termasuk ribuan selebaran-selebaran (nasyrah) mengenai pemikiran, politik, dan ekonomi, serta beberapa kitab yang dikeluarkan atas nama anggota Hizbut Tahrir –dengan maksud agar kitab-kitabnya mudah ia sebarluaskan– setelah adanya undang-undang yang melarang peredaran kitab-kitab karya Syaikh Taqiyyuddin. Di antara kitab itu adalah :
1.As Siyasah Al Iqthishadiyah Al Mutsla.
2.Naqdlul Isytirakiyah Al Marksiyah.
3.Kaifa Hudimat Al Khilafah.
4.Ahkamul Bayyinat.
5.Nizhamul Uqubat.
6.Ahkamush Shalat.
7.Al Fikru Al Islami.
(lihat situs resmi Hizbut Tahrir Indonesia, http://hizbut-tahrir.or.id/2007/05/20/syaikh-taqiyyuddin-an-nabhani-pendiri-hizbut-tahrir/. Ini dikutip situs Hizbut Tahrir dari terjemahan kitab Mafhum Al Adalah al Ijtima’iyah fi Al Fikri Al Islami Al Mu’ashir, karya Ihsan Samarah, Dar An Nahdlah Al Islamiyah, Beirut, cetakan II, 1991).

Saat ini pemimpin pusat Hizbut Tahrir, adalah Ata Abu Rushta. Ia juga telah menulis sejumlah buku politik dan hukum Islam dan sebelumnya pernah menjadi juru bicara resmi partai. Abu Rushta adalah pemimpin pusat ketiga Hizbut Tahrir, setelah Abdul Qadim Zallum dan Taqiyuddin an Nabhani.

Hizbut Tahrir adalah organisasi politik Islam global yang didirikan pada 1953 di bawah pimpinan pendirinya - seorang ulama, pemikir, politisi ulung, dan hakim Pengadilan Banding di al-Quds (Yerusalem), Taqiuddin an-Nabhani. Hizbut Tahrir beraktivitas di seluruh lapisan masyarakat di Dunia Islam mengajak kaum Muslim untuk melanjutkan kehidupan Islam di bawah naungan Negara Khilafah. (lihat situs resmi Hizbut Tahrir http://hizbut-tahrir.or.id/faq/)

Khilafah

Hizbut Tahrir beraktivitas di seluruh dunia Islam untuk memperkuat komunitas Muslim yang hidup secara islami dalam pikiran dan perbuatannya, dengan terikat pada hukum-hukum Islam dan menciptakan identitas Islam yang kuat. Hizbut Tahrir juga beraktivitas bersama-sama komunitas Muslim di Barat untuk mengingatkan mereka agar menyambut seruan perjuangan mengembalikan Khilafah dan menyatukan kembali umat Islam secara global. Hizbut Tahrir juga berupaya menjelaskan citra Islam yang positif kepada masyarakat Barat dan terlibat dalam dialog dengan para pemikir, pembuat kebijakan dan akademisi Barat.

Yang menarik tentang khilafah ini, Taqiyudin an-Nabhani menyatakan:
“...mengadakan banyak seminar tentang Khilafah, bukanlah jalan yang mengantarkan pada pembentukan Negara Islam. Upaya menyatukan negara-negara yang memerintah negeri-negeri Islam bukanlah sarana yang bisa membangun Negara Islam. Piagam atau deklarasi yang dikeluarkan berbagai muktamar bangsa-bangsa Islam, bukanlah bentuk perwujudan yang mampu menciptakan kehidupan yang Islami. Semua itu dan yang sejenisnya bukanlah jalan (thariqah). Itu adalah hiburan sesaat yang sedikit menyegarkan jiwa kaum Muslimin. Kemudian semangat muktamar itu lambat laun menjadi padam. Setelah itu duduk-duduk santai tanpa melakukan aktivitas yang nyata. Lebih dari itu semuanya adalah jalan yang bertentangan dengan thariqah Islam. Metode satu-satunya untuk mendirikan negara Islam hanya dengan mengemban dakwah Islam dan berbuat nyata dalam mewujudkan kehidupan yang Islami. Hal ini menuntut menuntut satu kesatuan yang utuh. Karena umat Islam adalah satu. Mereka adalah kumpulan manusia yang dikumpulkan oleh aqidah yang satu. Dari situ sistem negara Islam memancar.”1

Metode satu-satunya untuk mendirikan negara Islam hanya dengan mengemban dakwah Islam dan berbuat nyata dalam mewujudkan kehidupan yang Islami. Hal ini menuntut menuntut satu kesatuan yang utuh. Karena umat Islam adalah satu. Mereka adalah kumpulan manusia yang dikumpulkan oleh aqidah yang satu. Dari situ sistem negara Islam memancar.”2

Dengan konsep khilafahnya, Taqiyuddin menentang habis nasionalisme:

“Ikatan kebangsaan (nasionalisme) tumbuh di tengah-tengah masyarakat, tatkala pola pikir manusia mulai merosot. Ikatan ini terjadi ketika manusia mulai hidup bersama dalam satu wilayah dan tidak beranjak dari situ...” 3

“Ikatan nasionalisme (rabithah wathaniyah) ikatan yang rusak karena 3 hal: pertama, ikatan yang rendah karena tidak mampu mengikat satu manusia dengan yang lain menuju jalan kebangkitan. Kedua, ikatan reaksioner, yang selalu didsarkan pada perasaan yang muncul secara spontan dari naluri mempertahankan diri. Juga ikatan ini sangat berpeluang berubah-ubah sehingga tidak bisa dijadikan ikatan yang langgeng antara manusia satu dengan yang lain. Ketiga, ikatan temporal, muncul saat membela diri karena datangnya ancaman. Dalam keadaan stabil, ikatan ini tidak muncul. Karena itu, ia tidak bisa dijadikan pengikat antara sesama manusia.” 4*

Kejeniusan Al Banna

Hasan al Banna lahir di desa Mahmudiyah, Mesir 1906. Umur 14 tahun hafal al-Qur’an dan sejak kecil sampai dengan remaja, ia dididik dengan pendidikan Islam yang benar. Ia wafat syahid diberondong senapan, di mobilnya, oleh tentara Raja Fuad (penguasa Mesir), pada 12 Februari 1949. Ia adalah tokoh pendiri gerakan Ikhwanul Muslimin. Karya-karyanya, meskipun sedikit, karena ia wafat ketika muda, menjadi referensi kader-kader ikhwan sampai kini. Ia adalah seorang ulama besar, mujtahid dan mujahid. Ceramah-ceramahnya yang menyentuh dan menarik tiap Selasa di Mesir, diikuti ribuan ulama dan kaum awam. Karya-karyanya antara lain: Mudzakkirat ad Da’wah wad Daiyyah, Majmuah Rasail, dll.

Al-Banna dan Ikhwanul Muslimin

Pendiri Ikhwan adalah Hasan al-Banna (1906-1949), seorang Ulama, kelahiran Buhairah, Mesir. Al-Banna dengan pemikiran-pemikiran besarnya, telah mampu merumuskan Islam, sehingga secara dapat dipahami mulai dari Muslim intelektual sampai Muslim yang awam.

Gerakan Ikhwanul Muslimin (al-Ikhwan al-Muslimun) dimulai dari kota Ismailiyah Mesir. Yaitu ketika enam orang tokoh Ismailiyah datang ke al-Banna—setelah banyak mendengar ketokohan dan ceramah-ceramah al-Banna yang menarik dan mendalam—mengusulkan pembentukan sebuah organisasi Islam. Keenam tokoh itu adalah : Hafidh Abdul Hamid, Ahmad a-Kushari, Fuad Ibrahim, Abdur Rahman Hasbullah, Ismail Izz, dan Zaki al-Maghribi). Di antara tokoh yang datang itu bertanya ke al-Banna, “Nama apa yang cocok untuk jamaah kita Tuan? Apakah kita membentuk yayasan, perkumpulan, aliran tarekat atau satu persatuan agar gerakan kita menjadi satu badan resmi?” Al-Banna menjawab, “Kita tidak akan membentuk ini dan itu, dan kita tidak terlalu berkepentingan dengan persoalan resmi atau tidak. Kita adalah bersaudara dalam mengabdi kepada Islam. Oleh karena itu, saya namakan perkumpulan kita ini Persaudaraan Islam atau Ikhwanul Muslimin.” Kejadian itu berlangsung sekitar Maret 1928.1

Empat tahun kemudian, sekitar Oktober 1932, al-Banna dipindahtugaskan sebagai guru ke sekolah Abbas pertama di Kairo, tepatnya di kawasan Sabtiah. Perpindahan itu menyebabkan pengikut dan aktivitas Ikhwan justru makin cepat berkembang. Di Kairo ia tinggal di sebuah gedung kampung Nafi’ no. 24, Srujiah. Gedung tersebut sekaligus digunakan untuk markas umum Ikhwanul Muslimin dan al-Banna tinggal di tingkat atas gedung tersebut.

Ceramah-ceramah dan kegesitan al-Banna dan kawan-kawannya dalam menyebarkan dakwah, menjadikan dakwah Ikhwan dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru Kairo. Saat itu Ikhwan telah membuka cabang lebih dari 50 di kota besar dan kecil serta pedesaan di Mesir. Al-Banna sendiri, tiap hari tidak kenal lelah menggiatkan dan memonitor kegiatan Ikhwan. Tokoh Ikhwan, Abdul Halim Mahmud menceritakan,
“Anda akan melihat ia senantiasa mengunjungi kantor pusat gerakan yang dipimpinnya dini hari untuk meninggalkan beberapa catatan yang berhubungan dengan pelaksanaan berbagai kegiatan sebelum pergi ke tempat kerjanya. Kemudian sebelum pulang ke rumahnya setelah kerja, ia kembali mengunjungi kantor pusat. Kemudian di malam hari, ia kembali lagi memberikan ceramah dan pelajaran kepada para pengunjung dan anggota jamaah.”

Yang menjadikan Ikhwan banyak mendapatkan simpati antara lain karena kepribadian dan kepandaian al-Banna dalam melakukan pendekatan dakwah dan "kebernasan" isi dakwah-dakwahnya. Tokoh Ikhwan, Isa Asyur menceritakan tentang perhatian masyarakat terhadap ceramah al-Banna tiap Selasa di Kairo,
“Hari Selasa ini adalah hari-hari yang tersaksikan. Ribuan orang berkumpul dari berbagai penjuru Kairo, Iskandaria, sampai Aswan, bahkan dari luar Mesir. Mereka semua ingin mendengar Hasan al- Banna. Kemudian ia naik ke mimbar dengan jubah dan sorban putihnya, lalu sejenak memandangi segenap hadirin, sebelum kemudian suara itu mengaung dengan kekuatan jiwa yang penuh dan kalimat-kalimat memukau yang segera merasuk ke dalam hati para pendengar. Suara itu tidak bertumpu pada retorika, juga tidak membakar emosi dengan teriakan. Suara itu sepenuhnya bertumpu pada kebenaran, membangun semangat dengan meyakinkan akal, menggelorakan jiwa dengan makna bukan dengan sekadar kata-kata, dengan ketenangan bukan dengan provokasi dan dengan hujjah bukan dengan hasutan. Sehingga setiap orang yang pernah mendengarnya sekali, pasti akan terus mengikuti ceramah-ceramah itu secara rutin betapapun kesibukan dan hambatannya.”2

Masa hidup al-Banna tidak lama, yaitu hanya 43 tahun. Ia dibunuh pada 12 Februari 1949 oleh polisi Mesir, atas perintah Raja Farouk I. Kejadiannya, ketika ia berada di dalam mobil untuk suatu keperluan (dakwah), beserta sahabatnya, Dr. Abdul Karim Manshur. Kemudian tiba-tiba datang beberapa polisi rahasia–beberapa waktu kemudian pengadilan mengganjar para polisi itu dengan hukuman 25 tahun dan 15 tahun penjara—memberondong mobilnya dengan peluru, setelah mematikan lampu di sekitar kota itu. Al-Banna saat itu masih sempat hidup dan kemudian wafat di Rumah Sakit al-Qashr al Aini.3

Umurnya yang pendek itu menjadikan Al-Banna tidak sempat merumuskan secara rinci landasan-landasan pergerakan atau buku-buku pegangan Ikhwan. Meski demikian beberapa kumpulan tulisannya, sampai kini menjadi rujukan yang penting dan utama pergerakan Ikhwanul Muslimin.

Al-Banna memang berhasil menuangkan pemikiran-pemikiran Ikhwan secara mudah, misalnya ketika ia merumuskan tentang rukun baiat Ikhwanul Muslimin, al-Banna memaparkan secara ringkas sepuluh perkara, yaitu: faham, ikhlash, amal, jihad, berkorban, tetap pada pendirian, tulus, ukhuwah, dan percaya diri. Kemudian al-Banna mengatakan, ”Wahai saudaraku yang sejati! Ini merupakan garis besar dakwah Anda. Anda dapat menyimpulkan prinsip-prinsip tersebut menjadi lima kalimat, Allah Tujuan Kami, Rasulullah saw. teladan kami, Al-Qur`an Dustur (Undang-undang Dasar) Kami, Jihad Jalan Kami dan Mati Syahid Cita-cita Kami yang Tertinggi.”
Lambang Ikhwanul Muslimin adalah dua belah pedang menyilang melingkari Al-Qur`an, ayat Al-Qur`an (wa’aiddu) dan tiga kata: haq (kebenaran), quwwah (kekuatan) dan hurriyah (kemerdekaan).4

Ikhwan telah mengadopsi dakwah salafiyah menjadi gerakan dakwahnya. Ia menekankan kepada pentingnya pendalaman dan pembahasan terhadap dalil serta pentingnya kembali kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah dan membersihkan dari segala bentuk kemusyrikan untuk mencapai kesempurnaan tauhid. Dakwah Ikhwan banyak dipengaruhi gerakan dakwah Syekh Abdul Wahab, Sanusiyah, dan Rasyid Ridha. Pada umumnya dakwah tersebut merupakan kelanjutan dari Madrasah Ibnu Taimiyyah, yang juga merupakan kelanjutan Madrasah Imam Ahmad bin Hambal.5

Strategi Pembentukan Negeri Islam

Imam Hasan al-Banna menyatakan:
“Sistem bekerja Ikhwamul Muslimin mempunyai tingkatan tertentu dan program yang jelas. Kami tahu apa yang kami inginkan dan cara apa yang harus ditempuh dalam mewujudkan cita-cita itu. Program-program itu ialah:
1.Kami mendidik muslim paripurna, baik pemikiran dan aqidahnya, maupun akhlak dan amalnya. Inilah cara pembentukan pribadi Ikhwanul Muslimin.
2.Kami mengharapkan terbinanya sebuah rumah tangga muslim, baik dalam pemikiran, aqidah, akhlak, perasaan dan tingkah laku. Oleh karena itu Ikhwanul Muslimin sangat memperhatikan kaum wanita sebagaimana kaum pria. Ikhwanul Muslimin sangat memperhatikan kaum wanita sebagaimana kaum pria. Ikhwanul Muslimin sangat memperhatikan perkembangan anak-anak sebagaimana terhadap pemuda. Inilah cara pembinaan keluarga Ikhwanul Muslimin.
3.Kemudian kami mengharapkan terbinanya suatu masyarakat muslimin dalam segala aspek kehidupan. Maka Ikhwanul Muslimin berusaha agar dakwahnya dapat dilancarkan ke semua rumah, dan dapat di dengar di semua tempat. Ikhwanul Muslimin berusaha agar gagasannya mudah berkembang sampai ke desa-desa dan kota-kota, dengan mempersiapkan tenaga dan sarananya.
4.Seterusnya kami bercita-cita membangun suatu pemerintahan muslimin yang membina masyarakatnya ke masjid, yang sesuai dengan petunjuk Islam, sebagaimana yang telah dilaksanakan oleh para sahabat Rasulullah saw. Abu Bakar Shiddik dan Umar bin Khattab ra. Kami tidak membenarkan setiap sistem pemerintahan yang tidak berdasarkan prinsip Islam. Ikhwanul Muslimin tidak membenarkan sistem partai politik dan segala bentuk tradisional yang dipaksakan. Ikhwanul Muslimin akan berusaha menghidupkan sistem pemerintahan Islam dengan segala aspeknya. Dan akan membentuk pemerintahan Islam atas dasar sistem itu....”6

Nasionalisme

Jika nasionalisme yang mereka maksud adalah keharusan bekerja serius untuk membebaskan tanah air dari penjajah, mengupayakan kemerdekannya, serta menanamkan makna kehormatan dan kebebasan dalam jiwa putra-putranya, maka kami bersama mereka dalam hal itu.7

Jika nasionalisme yang mereka maksud adalah memperkuat ikatan antar anggota masyarakat di satu wilayah dan membimbing mereka menemukan cara pemanfaatan kokhnya ikatan untuk kepentingan bersama, maka kami juga sepakat dengan mereka. Karena Islam menganggap itu sebagai kewajiban yang tidak dapat ditawar. Nabi saw bersabda: “Dan jadilah kamu hamba-hamba Allah yang bersaudara....”

“Sesungguhnya Islam tegas-tegas mewajibkan, hingga tidak ada jalan untuk menghindar, bahwa setiap orang harus bekerja untuk kebaikan negaranya, memberi pelayanan maksimal untuknya, mempersembahkan kebaikan yang mampu dilakukan untuk umatnya dan melakukan semua itu dengan cara melakukan semua itu dengan cara mendahulukan yang terdekat, kemudian yang dekat, baik famili maupun tetangga. Sampai-sampai Islam tidak membolehkan memindah pembagian zakat kepada orang yang jaraknya melebihi jarak dibolehkannya mengqasar shalat kecuali dalam keadaan darurat. Hal ini untuk lebih mengutamakan kerabat dekat dalam berbuat kebaikan.”8

Ikhwan berkeyakinan bahwa khilafah adalah lambang kesatuan Islam dan bukti adanya keterikatan bangsa Muslim. Ia merupakan identitas Islam yang wajib dipikirkan dan diperhatikan oleh kaum Muslimin. Khalifah adalah tempat rujukan bagi pemberlakuan sebagian besar hukum dalam agama Allah. Oleh karena itu, para sahabat lebih mendahulukan penanganannya daripada mengurus dan memakamkan jenazah Nabi saw sampai mereka benar-benar menyelesaikan tugas tersebut (memilih khalifah).

Hadits yang menyebutkan kewajiban mengangkat imam, penjelasan tentang hukum-hukum kepemimpinan, dan perincian segala sesuatu yang terkait dengannya menegaskan bahwa diantara kewajiban kaum muslimin ialah serius memikirkan masalah khilafah, sejak ia diubah manhajnya sampai kemudian dihapuskan sama sekali hingga sekarang.

Langkah untuk mengembalikan eksistensi khilafah harus didahului oleh langkah-langkah berikut:
1. Harus ada kerjasama yang sempurna antara bangsa-bangsa muslim menyangkut masalah wawasan, sosial, dan ekonomi
2. Setelah itu membentuk persekutuan dan koalisi, serta menyelenggarakan berbagai pertemuan dan muktamar diantara negara-negara tersebut. Sungguh muktamar parlemen Islam untuk membahas masalah Palestina di London yang mengundang kerajaan-kerajaan Islam untuk menyerukan pengembalian hak-hak bangsa Arab di bumi Palestina yang diberkahi adalah pertanda baik dan langkah maju dalam hal ini.
3. Setelah itu membentuk Persekutuan Bangsa-bangsa Muslim. Jika hal itu bisa diwujudkan dengan sempurna, akan dihasilkan sebuah kesepakatan untuk mengangkat imam yang satu, dimana ia merupakan penengah, pemersatu, penentram hati, dan naungan Allah di muka bumi.9

Rabu, 28 Januari 2009

Mohammad Natsir : Teladan dan Pemikiran Politiknya

Natsir berhasil menjelmakan dalam hidupnya sebagai seorang pemimpin Islam, dai dan politisi Islam sebenarnya. Ia bukan hanya pintar berdakwah, berorasi dan berstrategi, tapi yang jauh lebih penting keteladanan hidup dan perjuangan Islamnya. Keteladanannya menyamai tokoh-tokoh gerakan di negeri-negeri Islam lainnya. Ini semua menjadikan kata-katanya bersinar hingga kini.

000

Mohammad Natsir lahir di Minangkabau, Sumatera Barat, 17 Juli 1908. Ia wafat di Jakarta 6 Februari 1993. Pendidikan Islam sejak kecil dengan orang tua dan lingkungannya. Pendidikan formal di HIS Solok, MULO (1923-1927), AMS di Bandung (1930). Ketika di Bandung itulah ia berkenalan dan menjadi murid sekaligus sahabat dari ulama pergerakan Islam, A Hassan.

Natsir pernah menjadi Menteri Penerangan Kabinet Sjahrir I (3 Januari 1946 - 12 Maret 1946), Menteri Penerangan Kabinet (12 Maret 1946 - 2 Oktober 1946), Menteri Penerangan Kabinet (2 Oktober 1946 – 27 Juni 1947), Menteri Penerangan Kabinet Hatta I (29 Januari 1948 - 4 Agustus 1949), dan Perdana Menteri ’Kabinet Natsir’ (6 September 1950 – 26 April 1951).

Natsir memegang sebagai Ketua Pimpinan Pusat Masyumi pada 1949, 1951, 1952, 1954 dan 1956. Setelah Masyumi dibubarkan, Buya Natsir dengan kawan-kawannya –tokoh-tokoh Islam Masyumi—mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia pada 1967. Ketika berkiprah di Dewan Dakwah, Natsir melakukan pendidikan dai secara nasional dan sistematis, mendirikan perguruan tinggi-perguruan tinggi Islam di luar IAIN, memelopori pendirian pesantren-pesantren di sekitar kampus-kampus umum, mengirimkan dai-dai sekolah ke Timur Tengah dan lain-lain.

Ketokohan Natsir bukan hanya pada tulisan-tulisannya, tapi juga sejarah hidup dan perjuangan dakwahnya. Mulai remaja, dewasa sampai dengan tuanya, kehidupan Natsir penuh dengan keteladanan.

Saat-saat remajanya, digambarkan bagus oleh penulis Ajip Rosidi, bahwa setelah lulus AMS (Algemene Middelbare School/setingkar SMA), Natsir telah hidup mandiri. Ia tidak mau bekerja di pemerintahan. Padahal bila bekerja di pemerintahan, ia bisa dapat gaji cukup besar saat itu (paling kecil F. 130; harga beras saat itu tidak sampai F. 0,05/lima sen satu kilogram). Natsir juga tidak merasa sreg untuk melanjutkan ke Fakultas Hukum (RH) di Jakarta atau Fakultas Ekonomi di Belanda, meskipun kesempatan beasiswa terbuka lebar.

”Aneh!” kata Natsir hampir tiga puluh tahun kemudian (1958) dalam suratnya kepada istri dan anak-anaknya tatkala mengenangkan lagi saat ia berhasil mencapai cita-cita yang sudah lama diidamkannya sendiri, dan yang juga diharap-harapkan oleh ayahbundanya selama ini, yaitu mendapat beasiswa untuk melanjutkan pelajaran setelah tamat AMS sehingga jalan untuk menyandang gelar ”Mr” terbuka. ”Aneh! Semua itu tidak menerbitkan selera Aba sama sekali. Aba merasa ada satu lapangan yang paling penting daripada itu semua. Aba ingin mencoba menempuh jalan lain. Aba ingin berkhitmad kepada Islam dengan langsung. Belum terang benar Aba pada permulaannya, apa yang harus dikerjakan sesungguhnya. Tapi dengan tidak banyak pikir-pikir Aba putuskanlah bahwa tidak akan melanjutkan pelajaran ke Fakultas manapun juga. Aba hendak memperdalam pengetahuan tentang Islam lebih dahulu. Sudah itu bagaimana nanti.”

Dalam biografinya ”M Natsir Sebuah Biografi”, Ajip Rosidi melanjutkan: ”Lalu, dimulainyalah hidup sebagai seorang bebas yang bermaksud membaktikan dirinya buat Islam. Setiap hari dia pergi ke rumah Tuan Hassandi Gang Belakang Pakgade dengan sepeda untuk mengurus penerbitan majalah Pembela Islam dan pada malam hari ditelaahnya Tafsir Al Qur’an dan kitab-kitab lainnya yang dianggap perlu, termasuk yang ditulis dalam bahasa Inggris atau bahasa Eropa lainnya. Dibacanya majalah-majalah tentang Islam dalam berbagai bahasa, seperti Islamic Review dalam bahasa Inggris, Moslemische Revue dalam bahasa Jerman, dan juga majalah al Manar dalam bahasa Arab yang terbit di Kairo. Penguasaannya atas bahasa Arab sebenarnya belum sebaik terhadap bahasa Inggris, Perancis atau Jerman-jangan dikata lagi bahasa Belanda- tetapi Tuan Hassan selalu mendesaknya agar dia membaca kitab-kitab atau majalah-majalah dalam bahasa Arab.

Hal-hal yang menarik hati dari majalah yang dibacanya itu, disarikannya untuk dimuat dalam Pembela Islam, dengan demikian dibukanya semacam jendela sehingga para pembacanya dapat mengetahui juga keadaan dan pendapat sesama Muslim di bagian dunia yang lain. Pikiran-pikiran Amir Syakieb Arsalan misalnya mendapat tempat yang luas dalam halaman-halaman Pembela Islam, karyanya yang terkenal menelaah mengapa umat Islam mundur, dimuat bersambung di dalamnya.”

Ketika menjadi menteri penerangan, Natsir juga menunjukkan keteladanannya. Ia tidak aji mumpung memanfaatkan jabatannya untuk menumpuk kekayaan dan bahkan ia tidak memerdulikan pakaiannya baru atau usang. “Saat pertama kali berjumpa dengannya di tahun 1948, pada waktu itu ia Menteri Penerangan RI, saya menjumpai sosok orang yang berpakaian paling camping (mended) di antara semua pejabat di Yogyakarta. Itulah satu-satunya pakaian yang dimilikinya, dan beberapa minggu kemudian staf yang bekerja di kantornya berpatungan membelikannya sehelai baju yang lebih pantas, mereka katakan pada saya, bahwa pemimpin mereka itu akan kelihatan seperti ‘menteri betulan’,” kata George McT Kahin, Guru Besar Cornell University.

Ketika bergerak di Masyumi, Natsir dan kawan-kawan konsisten dan terus menerus memperjuangkan tegaknya syariat Islam di Indonesia. Natsir tidak segan-segan mengusulkan Islam sebagai dasar negara, diantaranya dengan Piagam Jakarta. Argumen-argumen Natsir dan tokoh-tokoh Masyumi sangat kuat. Ditambah kecakapan ilmiah, baik tertulis maupun orasi, kejujuran dan kesederhanaannya, maka Natsir sangat dihormati bahwa oleh kawan maupun lawan.

Dalam pidatonya di Dewan Konstituante, 12 November 1957, Natsir mengatakan bahwa faham sekulerisme mengandung bahaya-bahaya. Sekulerisme adalah suatu pandangan hidup, opini-opini, tujuan-tujuan dan sifat-sifat yang dibatasi oleh batas-batas keberadaan duniawi. Kata Natsir: “Meskipun mungkin pada suatu saat kaum sekuleris itu mengakui keberadaan Tuhan, di dalam kehidupan kesehariannya sebagai pribadi-pribadi sekuleris, tidak mengakui kebutuhan terhadap suatu hubungan itu dalam kehidupan sehari-hari dinyatakan dalam sikap-sikap, tingkah laku dan tindakan-tindakan atau dalam doa dan ibadah.”

Natsir melanjutkan: “Juga kaum sekuleris memandang konsep-konsep mengenai Tuhan dan agama hanya sebagai hasil ciptaan manusia, yang ditentukan oleh kondsi-kondisi sosial, bukan ditentukan oleh kebenaran wahyu. Bagi kaum sekuleris doktrin agama dan Tuhan relatif dan tergantung pada penemuan-penemuan umat manusia. Dan tolok ukur kebenaran dan kebahagiaan atau ukuran keberhasilan manusia semata-mata ditentukan oleh materi (benda), Di negara sekuler, masalah-masalah ekonomi, hukum, pendidikan, sosial dan lain-lainnya semata-mata ditentukan oleh kepentingan material, bukan oleh nilai-nilai spiritual.”

Natsir juga tak segan-segan berterus terang tentang perlunya Islam dan negara bersatu: “Kalau kita terangkan bahwa agama dan negara harus bersatu, maka terbayang sudah dimata seorang bahlul (bloody fool) duduk di atas singgasana, dikelilingi oleh haremnya menonton tari dayang-dayang. Terbayang olehnya yang duduk mengepalai kementrian kerajaan, beberapa orang tua bangka memegang hoga. Sebab memang beginilah gambaran pemerintahan Islam yang digambarkan dalam kitab-kitab Eropah yang mereka baca dan diterangkan oleh guru-guru bangsa Barat selama ini. Sebab umumnya (kecuali amat sedikit) bagi orang Eropa: Chalifah=Harem, Islam=Poligami).”

Natsir melanjutkan : “Suatu negeri yang pemerintahannya tidak memperdulikan keperluan rakyat, membiarkan rakyat bodoh dan dungu, tidak mencukupkan sarana yang perlu untuk kemajuan agar jangan tercecer dari negeri-negeri lain, dan yang kepala-kepalanya menindas rakyat dengan memakai “Islam” sebagai kedok atau memakai ibadah-ibadah sebagai kedok; sedangkan kepala-kepala pemerintahan itu sendiri penuh dengan segala macam maksiyat dan membiarkan takhayul, khurafat merajalela sebagaimana keadaan pemerintahan Turki pada zaman Sultan-sultannya yang akhir-akhir, maka pemerintahan yang semacam itu bukanlah pemerintahan Islam. Islam tidak menyuruh dan tidak membiarkan orang menyerahkan sesuatu urusan kepada yang bukan ahlinya. Malah Islam mengancam akan datang kerusakan dan bala’ bencana, bila suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya itu. “Apabila satu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, tunggulah saat kehancurannya.” (HR Bukhari).”

Dalam bukunya Agama dan Negara dalam perspektif Islam, Mohammad Natsir menyatakan:

“Bagi kaum muslimin urusan agama itu bukanlah ibarat satu baju yang boleh dipakai dan digantungkan, bilamana suka, akan tetapi menjadi urusan prive semata, melainkan juga masalah kemasyarakatan (maatschappelijk probleem) bahkan masalah kenegaraan, staatkundig probleem, yang berarti bagi kaum Muslimin Indonesia belumlah cukup “kerayaannya” satu kerajaan Indonesia Raya selama belum didasarkan dan diatur menurut dasar-dasar susunan hukum kenegaraan Islam, sekalipun ditakdirkan, yang memegang pucuk pimpinan pemerintahan Indonesia Raya itu sudah sebangsa dan setanah air.

Tegasnya dengan semata-mata jatuhnya pucuk pemerintahan ke dalam tangan Indonesia, belumlah tercapai ideologi pergerakan Muslimin Indonesia. Paling banyak mereka kaum Muslimin pada saat itu baru sampai ke zaman (fase) yang kedua dari pergerakan mereka. Dan selama itu pula mereka akan meneruskan perjuangan, sehingga tercapai cita-cita kenegaraan Islamietisch Staatkundig Ideaal mereka.

Lama atau lekasnya akan sampai kepada tujuan tersebut, bergantung kepada keadaan gelanggang perjuangan dalam zaman yang kedua itu, dan bergantung kepada besar kecilnya kekuatan kaum Muslimin di saat itu dibandingkan dengan partai-partai lain. Dan ini bergantung kepada persiapan organisasi kaum Muslimin di Indonesia dari sekarang.

Ditakdirkan sebagai misal, pada saat kaum Muslimin berada dalam keadaan lemah walaupun jumlah mereka pada hekekatnya jauh lebih besar dari jumlah golongan bukan Islam, perjuangan merekapun tidak boleh dihentikan, walaupun ibaratnya sebagai partai oposisi dalam pemerintahan negara, sekalipun pemerintahan itu terletak dalam tangan bangsa sendiri, sampai kepada satu saat dimana pemerintahan didasarkan atas dasar Keislaman, tidak mungkin dan tidak boleh mereka hentikan, serta tunduk kepada perintah agama mereka.

“Berbuat baktilah kepada Allah dengan segenap kesanggupanmu.” (At-Taghabun:16).”

Pelaksanaan Hukum Islam di Indonesia

Natsir secara tegas menyatakan bahwa hukum-hukum Islam harus dilaksanakan di Indonesia. Menghadapi pertanyaan : Bagaimana umpamanya di satu negeri seperti di Indonesia ini apakah semua urusan diatur menurut kemauan Islam juga sedangkan penduduknya ada bermacam-macam agama? Jawab Natsir : “Kalau kekuasaan sudah ada dalam orang Islam (bukan Kemalisten caplokan Turki) memang sudah tentu begitu. Bagaimanakah lagi kalau tidak begitu. Dalam satu negeri yang berdasar Islam, orang-orang yang bukan Islam mendapatkan kemerdekaan beragama dengan luas. Malah lebih luas lagi daripada apa yang mungkin diberikan oleh setengah negeri di Eropa sekarang kepada agama-agama yang ada disana. Dan apa keberatannya bagi penduduk negeri yang bukan Islam, apabila dalam negeri itu berlaku wet-wet Islam urusan bermuamalah dan lain-lain. Padahal peraturan itu tidak ada yang bertentangan dengan peraturan agama mereka, lantaran dalam agama mereka memang tidak ada peraturan-peraturan yang bersangkutan dengan hal-hal yang bersangkutan dengan hal-hal yang semacam itu.

Dengan berlakunya wet-wet Islam dalam negeri, agama mereka tidak terganggu, tidak rusak dan tidak kurang satu apa.

Tetapi sebaliknya: orang yang tidak mau mendasarkan negara itu kepada hukum-hukum Islam dengan alasan tidak mau merusakkan hati orang yang bukan beragama Islam, sebenarnya (dengan tidak sadar atau memang disengaja) berlaku zalim kepada orang Islam sendiri yang bilangannya di Indonesia 20 kali lebih banyak; lantaran tindakan begitu menggugurkan sebagian dari peraturan-peraturan agama mereka (agama Islam). Itu berarti merusakkan hak-hak mayoritas, yang sama-sama hal itu tidak berlawanan dengan hak-hak dan kepentingan minoritas, hanya semata-mata lantaran takut, kalau si minoritas itu “tidak doyan”. Ini namanya “staatkundige – demokrasi – tunggang balik.!” Entah inikah gerangan yang dinamakan “reele staatkunde” oleh ahli-ahli “staatsrech” rasional, entahlah!


Pergerakan Politik

Untuk mencapai tujuan agar hukum Islam dapat berlaku dalam sebuah negara. Natsir mendorong umat masuk dalam pergerakan politik. Ketika ada pertanyaan: Jalan apakah yang harus ditempuh oleh kaum Muslimin dalam hal ini? Natsir menjawab: “Kaum Muslimin Indonesia tidak akan mungkin mencapai ideologi mereka ini dengan mencemplungkan diri dalam pergerakan politik yang berdasarkan kebangsaan, yang memang sudah tidak suka mengambil Islam sebagai dasar hukum negara. Ini sudah terang!

Jalan yang satu-satunya membawa mereka kepada tujuan mereka adalah: Mendirikan dan memperkuat barisan pergerakan politik yang berdasar Islam dan bertujuan Islam dengan arti yang telah berulang-ulang dikemukan di atas tadi (Bukan dengan arti sekedar menuliskan dalam statuen; kalimah-kalimah “berdasar Islam” atau “karena Allah” atau yang semacam itu).

Lambat atau cepatnya berhasil cita-cita mereka itu, bukanlah bergantung kepada kemurahan dan kerahiman orang lain yang memang berlainan kepentingannya, dan bukan pula kerahiman golongan-golongan dalam masyarakat Indonesia sendiri yang berlainan tujuan dan cita-cita dengan mereka. Akan tetapi semata-mata bergantung kepada kekuatan yang ada dalam kalangan kaum Muslimin yang sama kepentingan, sama dasar, sama cita-cita dan sama tujuan hidup. Ini pula bergantung kepada persiapan kaum Muslimin dari sekarang dalam gerakan politik, sosial dan lain-lain yang perlu untuk membangunkan satu masyarakat dan negara di bawah bendera Islam yang munasabah dengan jamannya.

Sedangkan tentang titel khalifah, Natsir berbeda dengan Taqiyudin an Nabhani, pendiri gerakan Hizbut Tahrir.. Kata Natsir: “Hanyalah yang dibawakan oleh Nabi Muhammad saw ialah beberapa patokan untuk mengatur negara. Supaya negara itu menjadi kuat dan subur, dan boleh menjadi wasilah yang sebaik-baiknya untuk mencapai tujuan hidup manusia yang berhimpun dalam negara itu, untuk keselamatan diri dan msyarakat, untuk kesentosaan perorangan dan kesentosaan umum. Dalam pada itu, apakah yang menjadi kepala pemerintahan itu bertitel khalifah atau tidak, buknlah urusan yang utama. Titel Chalifah bukan menjadi syarat mutlak dalam pemerintahan Islam, bukan conditio sine qua non. Cuma saja yang menjadi kepala negara yang diberi kekuasaan itu, sanggup bertindak bijaksana dan peraturan-peraturan Islam berjalan dengan semestinya dalam susunan kenegaraan baik dalam kaedah maupun dalam praktek.”

Natsir juga mengatakan: “Apakah bunyinya gelar atau titel yang harus diberikan kepada Kepala Negara itu sebagaimana telah kita katakan, tidak menjadi syarat yang terpenting. Khalifah boleh, Amirul Mukminin boleh, Presiden boleh, apa saja boleh, asal sifat-sifat, hak dan kewajibannya adalah sebagaimana yang dikehendaki oleh Islam...Ditetapkan si Kepala itu wajib bermusyawarah dengan orang-orang yang ptut dan layak dibawa bermusyawarah dalam urusan mengenai umat, yakni dalam hal-hal yang perlu dimusyawarahkan lebih dahulu. Tapi bukan dalam hal hukumhukum yang telah ada ketentuannya dalam agama. Apakah permusyawaratan itu dilakukan sebagaimana Sayidina Abu Bakar bermusyawarah dengan Amir-amirnya di padang pasir dan pohon kurma, ataukah diatur dengan parlementer-stelsel seperti pada abad ke-20 ini, ataukah akan dipakai individueel kiesrecht ataukah organisch-kiesrecht, tidak ditetapkan oleh agama Islam. Hal itu diserahkan dengan leluasa kepada ijtihad sendiri, apa yang cocok untuk zaman kita pula, asal permusyawarahan atau syura itu ada berlaku!”

Menurut yang menjadi syarat untuk menjadi kepala Negara Islam adalah agamanya, sifat dan tabiatnya, akhlak dan kecakapannya untuk memegang kekuasaan yang diberikan kepadanya, jadi bukanlah bangsa dan keturunannya ataupun semata-mata intelektualnya saja. Ia juga menegaskan bahwa terhadap penguasa negara terpilih, umat mempunyai kewajiban mengikutinya selama ia benar dalam menjalankan kekuasaannya. Bila menyimpang, umat berhak melakukan koreksi atau mengingkari penguasa negara. Dalam masalah ini Islam menekankan kewajiban musyawarah tentang hak dan kewajiban antara penguasa dan yang dikuasai.” Meski setuju dengan kehidupan parlemen, Natsir mewanti-wanti: “Dalam parlemen negara Islam, yang hanya boleh dimusyawarahkan adalah tata cara pelaksanaan hukum Islam (syariat Islam) tetapi bukan dasar pemerintahannya.”

Pancasila dan Islam

Natsir tidak menolak mentah-mentah Pancasila. Menurutnya di atas tanah yang beriklim Islam, Pancasila dapat hidup subur. Kata Natsir: “Dalam pandangan Al Qur’an, Pancsila akan hidup subur. Satu dengan lain tidak a priori bertentangan, tapi tidak pula identik (sama). Di mata seorang Muslim, perumusan Pancasila bukan kelihatan a priori sebagai “barang asing” yang berlawanan dengan ajaran Al Qur’an. Ia melihat di dalamnya satu pencerminan dari sebagai yang ada pada sisinya. Tapi ini tidak berarti Pancasila memang mengandung tujuan Islam, tetapi Pancasila itu bukanlah berarti Islam. Kita berkeyakinan yang tak kunjung kering, di atas tanah dan dalam iklim Islamiyah Pancasila akan hidup subur. Sebab iman kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa tidak dapat ditumbuhkan dengan semata-mata hanya mencantumkan kata-kata dan istilah “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu saja dalam perumusan Pancasila itu.”

Natsir kemudian melanjutkan: “Kita mengharapkan Pancasila dalam perjalanannya mencari isi semenjak ia dilancarkan itu, tidaklah akan diisi dengan ajaran yang menentang Al Qur’an, wahyu Ilahi yang semenjak berabad-abad telah menjadi darah daging bagi sebagian terbesar dari bangsa kita ini. Dan janganlah pula ia dipergunakan untuk menentang kaidah-kaidah dan ajaran yang termaktub dalam Al Qur’an itu, yaitu induk serba sila, yang bagi umat Muslim Indonesia menjadi pedoman hidup dan pedoman matinya, yang mereka ingin sumbangkan isinya kepada pembinaan bangsa dan negara, dengan jalan-jalan parlementer dan demokratis.”

Meskipun demikian, dalam pidatonya di Sidang Pleno Konstituante, 12 November 1957, Natsir –sebagai cita-cita Masyumi-- memperjuangan Islam sebagai dasar negara. Menurutnya Pancasila yang ingin tetap berdiri sendiri, netral dari ideologi komunisme atau Islam, menjadikan Pancasila tidak dapat berwujud apa-apa.

Kata Natsir: “Inilah satu tragik yang dihadapi oleh Pancasila yang sekuler (ladiniyah) dan netral. Jika demikian, bagaimana saudara Ketua, Pancasila dapat dijadikan dasar negara. Itulah sebabnya sebagaimana yang saya katakan dalam permulaan keterangan ini, Pancasila sebagai falsafah dasar negara itu adalah kabur dan tak bisa berkata apa-apa kepada jiwa umat Islam yang sudah mempunyai dan sudah memiliki satu ideologi yang tegas, terang dan lengkap, serta hidup dalam kalbu rakyat Indonesia sebagai tuntutan hidup dan sumber kekuatan lahir dan batin, yakni Islam.

Dari ideologi Islam ke Pancasila bagi umat Islam adalah ibarat melompat dari bumi tempat berpijak, ke ruang hampa, vacum, tak berhawa. Betul, demikianlah ibaratnya, Saudara Ketua.

Seruan Kepada Pendukung Pancasila,
Saudara Ketua,

Saya ingin menyampaikan seruan yang sungguh-sungguh kepada saudara-saudara yang mendukung Pancasila.

Sila-sila yang saudara-saudara maksud ada terdapat dalam Islam. Bukan sebagai “pure concept” yang steril, tetapi sebagai nilai-nilai hidup yang mempunyai substansi yang riil dan terang. Dengan menerima Islam sebagai falsafah negara, saudara-saudara pembela Pancasila sedikitpun tidak dirugikan apa-apa. Baik sebagai pendukung Pancasila atau sebagai orang yang beragama. Malah akan memperoleh satu state philosophy yang hidup berjiwa, berisi, tegas dan mengandung kekuatan.

Tak satupun dari lima sila yang terumus dalam Pancasila itu, yang akan terluput atau gugur, apabila saudara-saudara menerima Islam sebagai dasar negara.

Dalam Islam terdapat qaedah-qaedah yang tentu-tentu dimana “pure concept” dari lima yang lima itu mendapat substansi yang riil, mendapat jiwa dan roh penggerak

Kepada saudara-saudara yang memajukan sosial ekonomi sebagai dasar, saya berseru, dalam Islam saudara-saudara pasti akan bertemu dengan konsep sosial ekonomi yang progresif.”

Demokrasi Islam

Natsir dengan Masyumi-nya juga secara tegas ingin menegakkan demokrasi Islam. Dalam pidatonya di depan Sidang Pleno Konstituante itu Natsir menyatakan: “Saudara Ketua, timbul pertanyaan : Apakah sekarang negara yang berdasarkan Islam seperti itu satu negara teokrasi?

Teokrasi adalah satu sistem kenegaraan dimana pemerintahan dikuasai oleh satu priesthood (sistem kependetaan), yang mempunyai hirarki (tingkat bertingkat), dan menjalankan demikian itu sebagai wakil Tuhan di dunia. Dalam Islam tidak dikenal priesthood semacam itu. Jadi negara yang berdasarkan Islam sukanlah satu teokrasi. Ia negara demokrasi. Ia bukan pula sekuler yang saya uraikan lebih dahulu. Ia adalah negara demokrasi Islam Dan kalaulah saudara Ketua hendak memberi nama yang umum juga, maka barangkali negara yang berdasarkan Islam itu dapat disebut Theistic Democracy.”

Memang partai Natsir, Masyumi juga secara tegas menegaskan bahwa tujuan partai adalah menegakkan hukum Islam di Indonesia. Di Anggaran Dasar Partai Politik Islam Indonesia Masjumi ditegaskan: "Tujuan Partai ialah terlaksananya ajaran dan hukum Islam, di dalam kehidupan orang seorang , masyarakat dan negara Republik Indonesia, menuju keridhaan Ilahi." (Pasal III).

Pada pasal IV-nya dinyatakan: "Usaha partai untuk mencapai tujuannya:
1. Menginsyafkan dan memperluas pengetahuan serta kecakapan Umat Islam Indonesia dalam perjuangan politik
2. Menyusun dan memperkokoh kesatuan dan tenaga umat Islam Indonesia dalam segala lapangan
3. Melaksanakan kehidupan rakyat terhadap perikemanusiaan, kemasyarakatan, persaudaraan dan persamaan hak berdasarkan taqwa menurut ajaran Islam Bekerjasama dengan lain-lain golongan dalam lapangan bersamaan atas dasar harga menghargai.”

Pesan kepada Pejuang “Politik Islam”

Buya Natsir berpesan kepada para pemimpin politik Islam agar tidak ragu dalam mengambil Islam sebagai asasnya. Kata Natsir: “Berhadapan dengan Nasrani dan Yahudi, Muhammad saw tidak gugup-gugup memperingatkan terus terang:

(Artinya): “Barangsiapa berkehendak kepada satu agama lain dari Islam, maka itu tidak akan diterima dari dia, dan pada hari kemudian jadilah dia setengah dari orang-orang yang merugi.” (Ali Imran:84).

Tak ada “separo Islam” yang dia benarkan, tak ada “setengah Nasrani” yang dia akui. Tak ada Muhammad SAW mengendur-ngendurkan kekuasaan kebenarannya.”

Menurut sastrawan Ajip Rosidi, tulisan ini menyindir golongan Islam yang pada masa itu hendak berkompromi dengan golongan lain sehingga dalam Anggaran Organisasinya mencantumkan “Islam dan...” tidak merasa cukup Islam saja. Dengan melukiskan keteguhan Muhammad dalam memegang teguh Keislamannya, maka Natsir melanjutkan dalam tulisannya “Kontan dan Ikhlas” di Pembela Islam no. 32 (Agustus 1931):

“Dalam memisahkan yang hak dari yang bathal, maka Pemimpin itu tidak merembuk pada siapa atau dimana letak kebathilan. Tak enggan mengorbankan pertalian dengan “kawan” yang membahayai “pergerakannya”, tak enggan menyingkirkan karib yang munafik kepada usahanya.

(Artinya):”Hai orang-orang yang beriman! Hendaklah kamu jadi kaum yang mendirikan keadilan (dan kaum) yang menjadi saksi karena Allah, walaupun menentang diri kamu atau ibu bapa dan kaum kerabat. Orang yang (kamu) saksikan itu kalau kaya atau miskin, Allah lebih patut mengurusnya. Tetapi janganlah kamu turut hawa nafsu buat tidak adil; dan jika kamu bengkok atau berpaling, maka sesungguhnya Allah itu amat mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Nisa’:135)

Pada saat yang amat perlu kepada pertulungan kawan, pada saat yang sangat penting kekuatan bersama, penentang musuh dalam peperangan, tak sayang Pemimpin umat ini menolak “sokongan” mereka yang bimbang-bimbang, mundur segan, maju tak berani:

(Artinya):”...(Tidak perlu) kamu keluar bersamaku selama-lamanya, dan tidak (perlu) kamu memerangi musuh bersamaku, karena kamu telah suka duduk-duduk dulu, maka sekarang duduklah bersama orang-orang tinggal (di belakang).” (At Taubah:83).

Bukan persekutuan dengan munafik yang bisa menolak pengaruh pengkhianat dari dalam dan serangan musuh dari luar. Hanyalah mengasingkan diri, berpisah, “berhijrah” dari golongan lawan yang memang sudah musuh, dari golongan lawan yang memakai bulu kawan. Hijrah dengan keyakinan teguh kepada kesucian dasar dan kerjanya, hijrah yang mencari kekuatan dalam kaum seasas, secita-cita, hijrah yang tak diragui, oleh bayangan-bayangan mereka yang berlainan tujuan.

Maka dalam kerjanya sebagai Pemimpin, Muhammad saw juga menderita bencana dari pihak mereka yang merupakan diri sebagai kawan. Sedikitpun tidak mendatangkan kecewa pada dirinya. Bukan nama harum yang menjadi tujuannya, bukan “simpazi” orang dicari-carinya, maka lambat-lekasnya berhasil usahanya itu, tidak jadi taksiran dan kira-kira. Hanya keyakinan pada kesucian agamanya, dan keinsafan kepada kewajibannya sebagai Rasulullah yang jadi sumber kekuatannya setiap saat.

Sengsara dan bahaya memperkuat pendirian; tak menanti-nanti dan meminta-minta keakuran orang banyak; merasa cukup dengan pimpinan Tuhannya. Kemenangan dan kesentosaan tak menerbitkan megah dan sombong. Senantiasa ingat dan peringatkan yang dia hanya hamba dan Pesuruh Allah yang melakukan kewajibannya. Senantiasa berada dalam kelapangan. Menyerah kepada Tuhannya, dalam sengsara bersabar dan dalam kesenangan bersyukur kepada Allah.”

Di dunia Islam, Natsir juga aktif menggalang bantuan untuk Palestina dan menghadiri seminar-seminar yang bertema pembebasan Palestina. Selain itu Natsir juga beberapa kali bertemu dengan tokoh-tokoh pergerakan Islam Ikhwanul Muslimin.

Di dalam negeri, selain Natsir mengadakan pembinaan dan pengkaderan dai-dai dan ulama Islam, ia juga aktif mengirim mahasiswa-mahasiswa ke luar negeri, khususnya ke Timur Tengah. Ketika Dewan Dakwak Islamiyah dipimpin Natsir, buku-buku karya Hasan al Banna, Sayyid Qutb, Abul A’la al Maududi diterjemah dan disebarluaskan ke seluruh tanah air. Ketokohan Natsir ini bisa kita lihat juga penghormatan tokoh-tokoh politik, seperti Amien Rais dan Anwar Ibrahim kepadanya. Dalam Tempo edisi 14-20 Juli 2008, Amien Rais menyandingkan ketokohan Mohammad Natsir di dunia Islam, dengan Abul A’la al Maududi dan Sayid Qutb, dalam kolomnya di Tempo edisi 14-20 Juli 2008

Bulan Juli 2008, bertepatan dengan seratus tahun kelahiran Mohammad Natsir, majalah Tempo dan al Mujtama’ mengangkat Natsir sebagai laporan utama. Tempo membuat tulisan panjang dengan membuat cover majalah berjudul “Politik Santun Diantara Dua Rezim”. Sedangkan al Mujtama’ membuat tulisan penuh satu majalah dengan cover depan berjudul :“Maestro Dakwah yang Tak Kenal Lelah”.

Memang kepribadian, sejarah hidup dan pergerakan dakwah Mohammad Natsir, berpengaruh besar hingga ke generasi Islam Indonesia saat ini. Kita bisa membandingkan ketokohan Natsir dengan tiga tokoh besar dunia abad ke-20, yang pemikiran dakwah dan pemikiran Islamnya berpengaruh hingga kini. Mohammad Natsir, Hasan al Banna, Abul A’la al Maududi dan Taqiyudin an Nabhani pada dasarnya mempunyai cita-cita yang sama, menginginkan terbentuknya individu Islami, keluarga Islami, masyarakat Islami dan negeri yang Islami. Strategi yang mereka terapkan berbeda, karena pengalaman hidup, pendidikan dan pergaulan mereka berbeda.*


Sumber :

*Tahun 1945, Natsir tercatat sebagai anggota, ketua Masyumi saat itu adalah Dr. Sukiman Wirjosandjojo. Tahun 1949, Natsir menjadi ketua, sebagai presiden partai adalah Dr. Sukiman (struktur partai berubah). Lihat buku Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, Grafiti Pers, 1987, hal. 100-105
Ajip Rosidi, Natsir Sebuah Biografi, Girimukti Pasaka, 1990, hal. 76
Mohammad Natsir dalam Feith, dalam Ahmad Suhelmi, Soekarno versus Natsir hal. 75.
Mohammad Natsir, Agama dan Negara dalam Perspektif Islam, Media Dakwah, 2001, hal. 79
Idem Natsir, hal. 80
Mohammad Natsir, Agama dan Negara dalam Perspektif Islam, Media Dakwah, 2001, hal. 51
Idem Natsir, hal. 70
Idem Natsir, hal. 70-71
Idem Natsir, 83
Idem Natsir, 86
Lihat Ahmad Suhelmi, Soekarno versus Natsir hal. 56-57
Idem Natsir hal. 163. Artikel ini ditulis Natsir pada Mei 1954 (Ramadhan 1373 H)
Idem Natsir hal. 218
Idem Natsir hal. 220
Lihat buku SU Bajasut, Alam Fikiran dan Djedjak Perjuangan Prawoto Mangkusasmito, hal. 381
Lihat Ajip Rosidi, Natsir Sebuah Biografi, hal.78
Idem Ajip Rosidi, hal. 79-80
Abdul

Senin, 26 Januari 2009

Budaya Ilmu

Tradisi ilmu kaum Muslimin dulu dikenal dalam sejarah sangat mengagumkan. Cendekiawan Islam maupun Barat mengakui bahwa kejayaan ilmu pengetahuan di zaman kejayaan Islam telah mempengaruhi secara signifikan pertumbuhan peradaban Barat. Tapi kini umat Islam terperosok, ia menjadi bangsa yang tidak disegani bahkan menjadi bangsa-bangsa yang diibaratkan Rasulullah sebagai “makanan” yang diperebutkan bangsa Barat. Kenapa?

Tradisi ilmu dalam Islam sebenarnya telah diproklamirkan Rasulullah saw semenjak ayat Al Qur’an yang pertama turun. Ayat Iqra’, bacalah, telah mengubah sahabat-sahabat Rasulullah dari orang-orang jahiliyah yang suka mabuk-mabukan, main perempuan, berleha-leha, menipu, menjadi orang-orang yang senang dengan ilmu pengetahuan dan berakhlak mulia. Mengubah generasi-generasi Arab jahiliyah yang tidak diperhitungkan dalam pergolakan dunia, menjadi pemimpin-pemimpin dunia yang disegani di seluruh kawasan dunia saat itu.

Tradisi baca dan tulis-menulis begitu hidup saat itu. Tiap ayat al-Qur’an turun, Rasulullah saw. memerintahkan kepada sahabat dekatnya untuk menulis, Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Thalib dll. Bahkan tradisi membaca dan menulis ini menjadi simbol kemuliaan seseorang. Ibnu Saad mengatakan: “Bangsa Arab Jahiliyah dan permulaan Islam menilai bahwa orang yang sempurna adalah yang dapat menulis, berenang dan melempar panah.”

Rasulullah saw menugaskan Abdullah bin Said bin al Ash untuk mengajarkan tulis menulis di Madinah. Juga memberi mandat Ubadah bin as Shamit mengajarkan tulis menulis ketika itu. Kata Ubadah, bahwa ia ia pernah diberi hadiah panah dari salah seorang muridnya, setelah mengajarkan tulis menulis kepada Ahli Shuffah. Saad bin Jubair berkata: “Dalam kuliah-kuliah Ibn Abbas, aku biasa mencatat di lembaran. Bila telah penuh, aku menuliskannya di kulit sepatuku, dan kemudian di tanganku. Ayahku sering berkata:” Hapalkanlah, tetapi terutama sekali tulislah. Bila telah sampai di rumah, tuliskanlah. Dan jika kau memerlukan atau kau tak ingat lagi, bukumu akan membantumu.” (lihat Prof. Mustafa Azami, 2000)

Semangat mereka dalam memburu ilmu pengetahuan makin tinggi, berkat pemahaman terhadap Al-Qur’an yang banyak ayat-ayatnya mendorong agar Muslim senantiasa menggunakan akalnya. Juga ratusan sabda Rasulullah yang menunjukkan pujian terhadap orang-orang yang berilmua. Diantaranya sabda Rasulullah saw: “Barangsiapa pergi mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan jalannya ke surga.” (HR Imam Ahmad). Ibnu Taimiyah meriwayatkan bahwa banyak sahabat yang tinggal di asrama untuk mengikuti madrasah Rasulullah. Menurut Ibnu Taimiyyah, jumlah orang yang tinggal di dalam Suffah (asrama tempat belajar), mencapai 400 orang. Sedangkan menurut Qatadah, jumlah mereka mencapai 900 orang.

Menurut Prof. Azami, Rasulullah mempunyai sekitar 65 sekretaris yang bertugas menulis berbagai hal khusus. Khusus menulis Al Qur’an: Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Utsman bin Affan dan Ubay bin Kaab. Khusus mencatat harta-harta sedekah: Zubair bin Awwam dan Jahm bin al Shalit. Masalah hutang dan perjanjian lain-lain: Abdullah bin al Arqam dan al Ala’ bin Uqbah. Bertugas mempelajari dan menerjemahkan bahasa asing (Suryani): Zaid bin Tsabit. Sekretaris cadangan dan selalu membawa stempel Nabi: Handhalah (lihat “Kuttabun Nabi”, Prof. Mustafa Azami).

Setelah itu, pendahulu-pendahulu kita juga demikian: Abu Bakar Al-Anbari membaca setiap pekan sebanyak 10 ribu lembar. Hingga beliau sering sakit dan membawanya pada kematian karena sering membaca. Syekh Ali Ath-Thantawi membaca 100 – 200 halaman setiap harinya. Menulis artikel di Media massa lebih dari 13 ribu halaman, sedangkan yang hilang sejumlah itu juga dan bahkan lebih. Imam Ibnu Jarir Ath Thabari mampu menulis empat puluh halaman kitab setiap harinya, selama 40 tahun dari usianya yang terakhir.

Jabir ibn Abdullah ra menempuh perjalanan sebulan penuh dari kota Madinah ke kota ‘Arisy di Mesir hanya demi mencari satu Hadits. Ibnu al-Jauzi menulis lebih dari seribu judul. Imam Ahmad pernah menempuh perjalanan ribuan kilomater untuk mencari satu Hadits, bertani untuk mencari rezeki dan masih membawa-bawa tempat tinta pada usia 70 tahun. Imam Syafi’i pernah terjaga semalaman sampai fajar dalam mempelajari satu hadits dan satu masalah. Malam-malam beliau isi dengan membaca, sholat, atau belajar. Imam al-Bukhari menulis kitab Shahih-nya selama 16 tahun dan selalu sholat dua rakaat setiap kali menulis satu Hadits, serta berdoa meminta petunjuk Allah. Sehingga karyanya menjadi contoh teladan, tujuan para ulama dan pemuncak cita-cita

Imam Nawawi (w. 676 H), penulis Kitab Riyadhush Shalihin, al-Majmu’, dan Syarah Shahih Muslim, disebutkan bahwa beliau setiap hari belajar 8 cabang ilmu dari subuh sampai larut malam. Al-Mizzi, Ibn Katsir, Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Ibn Hajar, al-Suyuthi, al-Sakhawi, dan ulama besar lainnya, menyisihkan lebih dari 15 jam per hari untuk membaca dan menulis. Ulama kontemporer Prof. Dr. Wahbah Zuhaili, menurut murid-muridnya juga meluangkan waktu sekitar 15 jam per hari untuk membaca dan menulis. Sehingga ia melahirkan karya-karya yang monumental setingkat ensiklopedi .


Kejayaan dan Kejatuhan Bangsa

Dalam masalah tradisi ilmu ini, Prof. Wan Daud menyatakan bahwa kejayaan atau kejatuhan suatu bangsa tergantung pada kuat atau tidaknya budaya ilmu pada bangsa itu. “Pembinaan budaya ilmu yang terpadu dan jitu merupakan prasyarat awal dan terpenting bagi kesuksesan, kekuatan dan kebahagiaan seseorang dan suatu bangsa. Suatu individu atau suatu bangsa yang mempunyai kekuasaan atau kekayaan tidak bisa mempertahankan miliknya, atau mengembangkannya tanpa budaya ilmu yang baik. Malah dia akan bergantung kepada orang atau bangsa lain yang lebih berilmu. Kita telah melihat sendiri betapa beberapa negara minyak yang kaya-raya terpaksa bergantung hampir dalam semua aspek penting kehidupan negaranya kepada negara lain yang lebih maju dari segi keilmuan dan kepakaran. Sedangkan unsur lain, yaitu harta dan tahta, bersifat eksternal dan sementara. Keduanya bukanlah ciri yang sejalan dengan diri seseorang atau suatu bangsa tanpa ilmu yang menjadi dasarnya. Sebaliknya jika ilmu terbudaya dalam diri pribadi dan masyarakat dengan baik, maka bukan saja bisa mempertahankan dan meningkatkan lagi keberhasilan yang ada, malah bisa memberikan kemampuan untuk memulihkan diri dalam menghadapi segala kerumitan dan tantangan,”papar Guru Besar ISTAC ini.

Ia kemudian mencontohkan peristiwa dalam sejarah: “Bangsa yang telah begitu banyak mempengaruhi peradaban manusia ialah bangsa Yunani. Pencapaian bangsa ini, khususnya yang berpusat di Athena hampir lebih 2.000 tahun silam bisa memberikan banyak pengajaran kepada kita. Salah satunya ialah bahwa yang mempunyai tradisi ilmu akan mempunyai pengaruh yang besar kepada bangsa lain yang jauh lebih besar jumlah rakyatnya dan lebih kuat bala tentaranya. Hal ini juga nampaknya merupakan salah satu hukum umum sejarah. Hasil keilmuan Yunani, terutama yang berpusat di Athena, mempunyai pengaruh besar terhadap Roma dan bangsa lain hingga hari ini. Pada zaman kegemilangannya, jumlah rakyat dan tentaranya tidak sebanyak dan sekuat Roma. Bidang ilmu seperti filsafat dengan segala aspek penelitiannya, logika, matematika (terutama geometri) adalah hasil pemikiran Yunani yang mempengaruhi beberapa aliran dalam peradaban Islam, dan terutamanya peradaban Barat hingga hari ini. Dalam bidang kedokteran, sumpah Hippocrates (meninggal dunia di sekitar 500 sebelum Masehi) yang menggariskan etika kedokteran Barat dan modern masih digunakan. Malah Olimpiade sendiri adalah penjelmaan kembali salah satu ciri budaya Yunani kuno yang berpengaruh itu.”

Ia juga menggambarkan bagaimana budaya ilmu itu menjadi kebangkitan bagi kejayaan Cina, Barat dan Jepang. Ia mencontohkan sebuah peristiwa di Jepang: “Di Jepang pendidikan adalah jalan terpenting untuk mendaki tangga kesuksesan. Para remaja dan pelajar disajikan dengan kisah-kisah keberhasilan individu dari Timur dan Barat. Contohnya buku Yukichi Fukuzawa, Galakkan Belajar dijual sebanyak 600.000 eksemplar pada tahun 1882. Buku itu menyatakan: “Manusia tidak dilahirkan mulia atau hina, kaya atau miskin, tetapi dilahirkan sama dengan yang lain. Barang siapa yang gigih belajar dan menguasai ilmu dengan baik akan menjadi mulia dan kaya, tetapi mereka yang jahil akan menjadi papa dan hina.”

Jadi, tidak ada kata lain bahwa kebangkitan Islam, kebangkitan negara, masyarakat atau individu Muslim mesti dimulai dengan kebangkitan budaya ilmu. Karena kepemimpinan yang benar adalah kepemimpinan berfikir, bukan kepemimpinan ekonomi atau militer. Peradaban dunia dunia saat ini yang mengunggulkan kepemimpinan ekonomi dan militer, maka hasilnya kita lihat, adalah peradaban yang jauh dari kemanusiaan. Banyak negara yang egois dengan nasionalismenya masing-masing, sehingga rela memperdaya dan memiskinkan negara-negara lain.

Dan jangan bermimpi negeri-negeri Islam akan memimpin dunia Barat, bila tradisi ilmu belum membudaya dalam masyarakat. Wallahu aliimun hakiim.* (Jurnal Al Insan, 2008)

Tugas Cendekiawan Muslim

Melihat politik luar negeri Amerika yang tidak beradab saat ini, menjadikan ilmu-ilmu politik yang dibangun Barat perlu dipertanyakan kembali relevansinya. Untuk apa ilmu pengetahuan disusun dan disebarluaskan, sementara dalam praktiknya justru menyengsarakan umat manusia? Di mana peran cendekiawan Amerika yang tidak beres mengurusi negaranya atau menasihati pemerintahannya agar tidak bertindak semena-mena? Sementara dalam waktu yang sama mereka merekrut pemuda-pemuda cerdas dari Indonesia dan negara di dunia ketiga lainnya untuk dididik di Amerika.

Saat inilah seharusnya para cendekiawan Muslim berperan untuk merumuskan ilmu dan membangun kembali peradaban yang nyata-nyata gagal dikendalikan ilmuwan Barat. Konsep dasar ilmu Barat memang berbeda dengan Islam. Bila dalam Islam ilmu selain berpijak pada akal, juga tidak boleh menyimpang dari wahyu. Sementara di Barat, ilmu hanya berakar dari akal atau rasionalisme. Dan di sinilah awal mula kerusakan di Barat, karena akal sifatnya terbatas.

Selain itu, dalam konsep Islam, hal yang urgent, antara ilmu dan amal menyatu. Bila amalnya menyalahi ilmu, maka ia akan dijuluki munafik, fasiq, zalim, atau ahli maksiat. Makanya dalam ilmu hadis diajarkan bahwa orang tidak saja dilihat dari apa yang diucapkannya, tetapi juga dari perilakunya. Di Barat, ilmu dan amal tidak harus menyatu. Memang sebagian orang Barat menyatakan bahwa ilmu dan amal harus menyatu. Tapi dalam kenyataan yang dilakukan cendekiawannya atau praktik politiknya, antara ilmu dan amal jauh panggang dari api. Tokoh-tokoh Barat, seperti Faucault dan JJ Rousseau, terkenal sebagai intelektual yang gonta-ganti perempuan dan rusak akhlaknya. Politik AS dan negara Barat saat ini ke dunia Islam, terlihat kebiadabannya. Bagaimana sebuah negari Islam dihancurkan infrastrukturnya, dibunuhi rakyatnya, dirusak masa depan anak-anaknya dan dimiskinkan negaranya?

Tujuan pendidikan
Menurut mantan Guru Besar ISTAC, Wan Mohd Nor Wan Daud, ada dua pandangan teoritis mengenai tujuan pendidikan. Pertama, orientasi kemasyarakatan, yaitu pandangan yang menganggap pendidikan sebagai sarana utama dalam menciptakan rakyat yang baik. Kedua, lebih berorientasi kepada individu yang lebih memfokuskan diri pada kebutuhan, daya tampung, dan minat pelajar.

Secara umum, sistem pendidikan yang diterapkan di dunia ini berorientasi kemasyarakatan dan kenegaraan. Pandangan ini juga dianut oleh aliran perenial atau aliran transmisi kebudayaan yang sering dihubung-hubungkan dengan Plato dan sarjana Barat Abad Pertengahan, juga beberapa sarjana modern seperti William T Harris, Robert Hutchins, dan Adler di Amerika Serikat, para feminis yang giat meneriakkan prinsip-prinsip kebebasan, dan sebagainya.

Sebaliknya, menurut Wan Daud, hampir semua agama besar di permukaan bumi ini menganut pandangan yang berorientasi kepada individu. Pandangan teoritis pendidikan yang berorientasi individual ada dua aliran. Pertama , mereka yang berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah mempersiapkan peserta didik agar bisa meraih kebahagiaan optimal melalui pencapaian kesuksesan kehidupan bermasyarakat dan ekonomi, jauh lebih berhasil yang pernah dicapai oleh orangtua mereka. Aliran kedua adalah mereka yang lebih menekankan peningkatan intelektual, kekayaan, dan keseimbangan jiwa peserta didik. Menurut mereka, meskipun memiliki banyak persamaan dengan peserta didik yang lain, seorang peserta didik masih tetap memiliki keunikan dalam pelbagai segi.

Sementara Prof Naquib Al Attas menyatakan bahwa tujuan pendidikan menurut Islam bukanlah untuk menghasilkan warga negara dan pekerja yang baik. Tujuan pendidikan Islam adalah untuk menciptakan manusia yang baik. Manusia yang baik, mesti menjadi warganegara yang baik. Tidak sebaliknya. Dalam bukunya Islam dan Sekulerisme, Al Attas menyatakan bahwa tujuan mencari ilmu adalah untuk menanamkan kebaikan ataupun keadilan dalam diri manusia sebagai seorang manusia dan individu, bukan hanya sebagai warga negara ataupun anggota masyarakat. Yang perlu ditekankan (dalam pendidikan) adalah nilai manusia sebagai manusia sejati, sebagai warga kota, sebagai warga negara dalam kerajaannya yang mikro, sebagai sesuatu yang bersifat spiritual. Dengan demikian yang ditekankan itu bukanlah nilai manusia sebagai entitas fisik yang diukur dalam konteks pragmatis dan utilitarian berdasarkan kegunaannya bagi negara, masyarakat, dan dunia.

Selanjutnya Al Attas menguraikan bahwa Alquran adalah undangan Allah kepada manusia untuk menikmati jamuan makan di muka bumi. "Kitab Suci Alquran adalah undangan Tuhan kepada manusia untuk menghadiri jamuan keruhanian dan cara memperoleh ilmu pengetahuan yang sebenarnya mengenai Alquran adalah dengan menikmati makanan-makanan lezat yang tersedia dalam jamuan makanan keruhanian tersebut. Artinya, karena kenikmatan makanan yang lezat dalam jamuan istimewa itu, ditambah kawan yang Agung dan Pemurah dan karena makanan tersebut disikapi menurut cara-cara, sikap dan etiket yang suci, hendaknya ilmu pengetahuan yang dimuliakan sekaligus dinikmati itu didekati dengan perilaku yang sesuai dengan sifatnya yang mulia." (Prof Wan Mohd Nor Wan Daud, 2003).

Karena itu, intelektual muslim asal Bogor tersebut mempopulerkan istilah ta'dib untuk pendidikan Islam. Dengan ta'dib maka pribadi yang terbentuk menjadi mempunyai adab. Bila pendidikan akhirnya malah membentuk manusia-manusia yang jahat, maka pendidikan ( ta'dib) bisa dikatakan telah gagal total.

Maka menjadi tugas cendekiawan muslim saat ini untuk kembali merumuskan dan bergerak mendidik para pemuda dengan arah pendidikan yang benar. Pendidikan yang menghasilkan pribadi-pribadi yang cemerlang akal, jiwa, dan sikapnya, bukan melaksanakan pendidikan yang hanya berorientasi ekonomi atau pendidikan siap kerja. Karena bila penekanan 'ekonomi' lebih dipentingkan, maka hasil didikannya hanya menjadi pekerja-pekerja yang sekuler, tidak beradab, dan materialis.

Pendidikan memang memerlukan tenaga dan biaya besar serta jangka waktu 'panen' yang lama. Pendidikan di universitas saja, mungkin baru dilihat hasilnya pada mahasiswa-mahasiswa yang berkualitas itu, sekitar 10 tahun kemudian. Apalagi bila pendidikan itu dimulai dari masa kanak-kanak. Tapi mau tidak mau, untuk membangun peradaban Islam yang berkualitas dari sinilah jalan setapak harus dimulai.

Kesempatan emas kembali membangun dunia pendidikan ini, ketika Barat telah gagal mendidik rakyat dan kaum elitenya, sayang bila dilewatkan. Dengan pendidikan yang memadukan akal dan jiwa, duniawi dan ukhrawi, fisik dan ruhani, nilai dan materi, maka pendidikan Islam justru bisa menjadi sumber cahaya yang akan menerangi Barat kembali.

Ilmuwan dan penyair terkenal, Mohammad Iqbal, telah mengritik habis-habisan metode pendidikan Barat yang sekuler ini. Iqbal dalam karya-karyanya menekankan pengembangan individu Muslim yang matang dengan kepribadian Alquran.

Ikhtisar
- Kejahatan Amerika Serikat (AS) terhadap dunia Islam yang kini terjadi membuat kita perlu mempertanyakan kembali ilmu-ilmu yang selama ini dikembangkan Barat.
- Fenomena tersebut menunjukkan bahwa di Barat, ilmu tidak dikembangkan selaras dengan perilaku manusia.
- Dalam Islam, ilmu dan amal haruslah menyatu.
- Pendidikan dalam Islam juga tidak hanya dilaksanakan untuk tujuan yang sifatnya materi.

http://www.republika.co.id/kolom.asp?kat_id=16, Republika, 27 Juli 2007

Kebebasan vs Amar Makruf Nahi Mungkar

“Hendaklah kamu beramar makruf nahi mungkar. Kalau tidak, maka Allah akan menguasakan atasmu orang-orang yang paling jahat diantara kamu, kemudian orang-orang baik diantara kamu berdoa, Allah tidak mengabulkan.” (HR Al-Bazaar)

Salah satu konsep utama yang membedakan Islam dengan Barat, adalah konsep amar ma’ruf nahi munkar. Al-Qur’an telah menyebut istilah ini dalam berbagai ayat dengan kalimat yang sama ‘amar makruf nahi mungkar’. Dan Al-Qur’an hanya menyuruh umat Islam melaksanakan amar makruf nahi mungkar, tidak disuruh melaksanakan amar makruf nahi makruf, amar mungkar nahi makruf atau amar mungkar nahi mungkar. Perilaku orang yang bekerjasama dalam kemungkaran - “ya’muruuna bilmungkar wayanhauna anil ma’ruf” (QS. at Taubah 67), disebut Al-Qur’an sebagai perilaku orang-orang munafik.

Sedangkan Barat tidak jelas konsep amar makruf nahi mungkarnya. Kadang-kadang mereka amar makruf, kadang-kadang mereka amar mungkar. Kadang-kadang mereka nahi mungkar, kadang-kadang mereka nahi makruf. Karena mereka sendiri tidak mempunyai definisi yang jelas tentang makruf dan definisi yang jelas tentang mungkar.

Dalam Islam yang disebut makruf adalah hal-hal yang sesuai atau tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan as-Sunnah, sedangkan yang disebut mungkar adalah hal-hal yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan as-Sunnah. Karena itu kita dapati seluruh ormas atau gerakan Islam, menjadikan amar makruf nahi mungkar sebagai dasar atau asas dakwah mereka.

Dalam Al Qur’an disebutkan bahwa amar makruf nahi mungkar adalah tugas individu, kelompok (jamaah) dan negara. Bahkan Al-Qur’an mensyaratkan agar seorang idividu, masyarakat atau bangsa mencapai kejayaan, maka ia mesti melaksanakan amar makruf nahi mungkar.

“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (Ali Imran : 110)

Makruf secara makna bahasa (Arab) artinya dikenal atau diketahui. Berasal dari kata dari arafa, ya’rifu, irfaanan -ma’ruufan. Yang menarik arufa (thaaba riihuhu), artinya harum baunya. Jadi hal yang makruf itu sebenarnya dikenali secara fitrah oleh manusia –kecuali manusia yang membutakan fitrahnya. Seperti perintah Islam untuk jujur, rajin, kerja keras, hemat, sedekah, beribadah dll, adalah dikenali manusia sebagai hal yang baik. Dan mungkar adalah lawan dari makruf, dimana fitrah manusia cenderung mengingkarinya, seperti zina, mencuri, riba (memiskinkan masyarakat), bohong dan lain-lain.

Sedangkan mungkar secara bahasa artinya hal yang tidak dikenali atau hal yang diingkari. Nakural amru artinya sha‘uba wasytadda, hal yang sulit atau susah. Jadi hal mungkar itu, sebenarnya susah untuk dikerjakan manusia dan juga bisa dimaknakan, orang yang mengerjakan kemungkaran, akan mengalami kesusahan di dunia atau di akherat.

Dalam Islam, tidak ada perubahan konsep amar makruf nahi mungkar oleh waktu dan tempat (kondisi geografis). Masyarakat di zaman Rasulullah yang masih sederhana struktur sosial dan teknologinya, zina diharamkan. Dalam masyarakat yang modern saat ini, di mana industri dan pabrik-pabrik bertebaran, teknologi digital visual dimana-mana, laki-laki dan perempuan banyak yang bekerja, zina tetap haram.

Lain dengan Barat. Bila kita belajar ilmu sosiologi, maka perubahan masyarakat dari pertanian ke industri misalnya, memaksa hubungan sosial laki-laki perempuan mengalami pergeseran. Dan dianggap budaya dansa-dansi, pesta laki-laki perempuan anak-anak muda biasa saja, dan ujung-jungnya zina bukan suatu hal yang haram. Karena itu di Barat, hubungan seksual dianggap hubungan biologis semata. Tidak ada halal-haram di situ. Meskipun ada kalangan Kristen Konservatif yang mengharamkan perzinahan, tapi mereka tidak serius melarang masyarakatnya berzina. Misalnya, meskipun ada diantara warganya yang tidak setuju perzinahan, aborsi, lesbian atau lainnya, tapi pemerintah Amerika tidak serius melarangnya. Mereka tidak membuat peraturan yang melarang perzinahan. Membiarkan, bila tidak dikatakan menfasilitasi film-film porno (ingat tahun 90’an kasus “perijinan jaringan bioskop 21 vs ekspor tekstil Indonesia”), setengah porno dibuat dan diedarkan di seluruh dunia. Mereka tidak bisa melarang film-film perzinahan, kebohongan, pencurian minyak ke negara lain, dan lain-lain, karena landasan negara dan masyarakatnya bukan amar makruf nahi mungkar tapi kebebasan (freedom).

Kebebasan adalah sebuah konsep yang tidak jelas ke mana manusia mau dibawa. Karena seringkali kebebasan itu merusak, bukan memperbaiki manusia. Seorang yang melakukan hubungan seksual sebebas-bebasnya, orang yang bebas minum dan makan apa saja, orang yang berpakaian seenak nafsunya, maka yang terjadi pada orang itu adalah kerusakan.

Kita lihat misalnya, beberapa film Barat bagus tentang persekongkolan politik, pembunuhan dan lain-lain, tapi seringkali di film itu diselipkan dengan aktivitas-aktivitas yang mungkar (pemainnya berzina, berselingkuh dan lain-lain). Karena sutradara atau pemainnya tidak memiliki konsep amar makruf nahi mungkar untuk film, yang mereka miliki adalah ideologi uang atau kebebasan.

“Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, satu dengan yang lain adalah (sama), mereka menyuruh (berbuat) yang mungkar dan mencegah (perbuatan) yang makruf dan mereka meng-genggamkan tangannya (kikir). Mereka telah melupakan kepada Allah, maka Allah melupakan mereka (pula). Sesungguhnya orang-orang munafik itulah orang-orang yang fasik” (at-Taubah : 67)


Konsep kebebasan adalah konsep yang absurd. Tidak ada kebebasan yang mutlak pada manusia. Maka, di sini Islam melandasi pembangunan masyarakat dengan amar makruf nahi mungkar bukan kebebasan. Kebebasan manusia dibingkai oleh Islam dalam makruf dan mungkar. Sebagaimana indra kita, mata, telinga, dan lain-lain, kita tidak bisa liarkan. Kita membatasi fungsi indra kita pada hal-hal yang bermanfaat yang tidak bertentangan dengan Islam. Bila sebuah aktivitas disebut makruf, manusia bebas disitu untuk berkreasi dan bila sebuah kegiatan disebut mungkar, maka manusia harus berhenti dan berusaha mencegahnya sekuat mungkin.

Kaidah Amar Makruf Nahi Mungkar


Firman Allah SWT, “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (QS at-Taubah 71)

Memerintahkan yang makruf dan mencegah kemungkaran adalah salah satu pokok Islam yang penting. Untuk itulah para rasul diutus, kitab-kitab diturunkan dan syariat agama ditegakkan. Allah swt berfirman ketika menjelaskan sifat Nabi kita saw,“Dia memerintahkan mereka berbuat yang makruf dan mencegah yang mungkar, menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala buruk”. Sahabat Abu Hurairah berkata: “Kalian adalah sebaik-baik manusia, kalian datangi mereka dalam keadaan terbelenggu dan terikat hingga kalian menghantarkannya masuk surga”. Dikatakan kepada Ibnu Mas’ud: “Siapakah mayat yang hidup? Beliau menjawab: “Yaitu yang mengenal yang makruf dan tidak pula mengingkari kemungkaran”.
Kelompok yang menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, namun tidak menjaga kaidah-kaidah pengingkaran, fikih yang makruf, dampak, ekses serta kerusakan yang mungkin akan ditimbulkan. Karena itulah, Imam Hasan Al Banna mengingatkan kaidah amar makruf nahi mungkar ini,”Dengan sarana-sarana yang terbaik, yang tidak mendatangkan hal-hal yang lebih buruk darinya”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menegaskan, “Apabila kerusakan yang akan timbul dari seruan atau pencegahan lebih besar dari kemaslahatannya, maka tidaklah ia tergolong yang diperintahkan Allah.”

Ibnu Taimiyah juga mengungkapkan,“Sesungguhnya sebuah seruan atau pencegahan, betapapun mengandung kemaslahatan serta mencegah kerusakan maka harus dilihat dampak-dampaknya, apabila kemaslahatan yang akan hilang dan kerusakan yang akan terjadi lebih besar, maka ia tidak termasuk yang diperintahkan, bahkan menjadi haram apabila kerusakannya lebih besar dari kemaslahatannya, akan tetapi tolok ukur maslahat atau kerusakan adalah berdasarkan timbangan syariat...” (Al Fatawa: 28/129 dalam www.al-ikhwan.net). Wallahu aliimun hakiim.*

Bagaimana Menghadapi Israel?

Delegasi parlemen Israel (Knesset) pada 29 April - 4 Mei 2007 ini akan berkunjung ke Indonesia. Kedatangan mereka ke Bali itu dalam rangka acara Inter Parliamentary Union (IPU). Menurut Menlu RI Nur Hassan Wirajuda, kedatangan delegasi Israel itu adalah hal yang lumrah. “Kehadiran seluruh anggota IPU itu lumrah saja. Kita juga tak perlu melakukan special welcome, cukup mereka (IPU) saja yang menyambutnya,”kata Hassan. (Republika, 17 April 2007).

Ketua Badan Kerjasama Antarparlemen (BKSAP), Abdillah Toha memaparkan, delegasi parlemen Israel mendapatkan undangan dari IPU. Undangan itu dibuat langsung oleh IPU Pusat, karena Israel merupakan satu dari 148 anggota IPU.

Menanggapi rencana kedatangan anggota Knesset ke Bali itu, Ketua Badan Kerja Sama Antarparlemen Dewan Perwakilan Rakyat Abdillah Toha meminta agar hal ini tidak dibesar-besarkan lantaran bukan yang pertama. Ia juga menegaskan pemerintah tidak boleh melarang kedatangan mereka. "Yang pasti tidak ada pertemuan, baik formal maupun informal, dengan pejabat Indonesia," kata politikus dari Partai Amanat Nasional itu.

Parlemen Israel (Knesset) sendiri menegaskan akan mengirimkan delegasinya. "Kami memang akan mengirimkan delegasi," kata Ilan Ostfeld, juru bicara Ketua Knesset Dalia Itzik, saat dihubungi Tempo melalui telepon selulernya kemarin. Hanya, ia belum bisa memastikan apakah Ketua Knesset, yang juga pejabat Presiden Israel, akan hadir.

Dihubungi terpisah, Direktur Jenderal Asia Pasifik Kementerian Luar Negeri Israel Giora Becher membenarkan soal rencana kedatangan delegasi Knesset ke Indonesia. "Ini hak kami karena kami bukan diundang ke Indonesia. Kami anggota parlemen sedunia (IPU) dan diundang oleh mereka," katanya. (Koran Tempo, 16 April 2007).

Kedatangan delegasi Israel ke Indonesia bukanlah yang pertama. Tahun lalu delegasi negara Yahudi itu, termasuk Duta Besar Israel di Thailand, menghadiri pertemuan ESCAP di Jakarta.


Posisi Israel

Indonesia, kini memang menjadi incaran negara-negara di dunia, termasuk Israel. Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia menjadi market bisnis yang menggiurkan bagi negara manapun di dunia. Karena itu, Kementerian Luar Negeri Israel meluncurkan situs berbahasa Indonesia awal tahun ini. "Kami ingin memberikan informasi yang sebenarnya tentang Israel kepada rakyat Indonesia," kata Duta Besar Israel di Indonesia, Ilan Ben Dov.

Lewat lobi-lobi khusus, Israel terus menerus ingin menjalin hubungan yang erat dengan Indonesia. Bukan hanya hubungan dagang –yang telah berlangsung- tapi juga hubungan diplomatik.

Masalah hubungan RI-Israel itu pernah mencuat ke permukaan tidak lama setelah terbentuknya kabinet Gus Dur (1999-2001). Waktu itu Gus Dur dan Menlu Alwi Shihab melontarkan keinginan mereka untuk membuka hubungan dengan Israel, kendati akhirnya hanya berhasil dalam taraf hubungan ekonomi dan perdagangan. Bahkan saat itu pemerintah Gus Dur ingin membuka hubungan diplomatik dengan Israel, tapi karena reaksi masyarakat –terutama ormas-ormas Islam cukup kuat—akhirnya Gus Dur membatalkan. Bahkan sampai-sampai saat itu 16 Duta Besar Negara-negara Arab di Jakarta, menyampaikan keberatannya, sehingga akhirnya Gus Dur menghentikan niatnya membuka hubungan diplomatik dengan Israel.

Tentang hubungan perdagangan, entah sejak kapan pemerintah Indonesia memulainya. Tapi ketika Luhut Panjaitan menjabat sebagai Menteri Perdagangan dan Perindustrian (2000-2001) era Gus Dur, mencuat ke media massa itu, tentang bocoran dokumen persetujuan perdagangan dengan Israel. Sampai saat ini hubungan dagang dengan Israel nampaknya berlangsung diam-diam, tidak pernah pemerintah memberi informasi yang benderang kepada masyarakat.

Sikap Indonesia?

Negara Israel yang diproklamasikan sejak 14 Mei 1948, memang merupakan satu-satunya negara yang kini menjadi musuh bersama dunia Islam. Sebagian besar Negara Arab –kecuali Yordania, Mesir, Turki dll-- kini tetap konsisten tidak mau berhubungan diplomatik dengan Israel. Sedangkan Oman, Qatar, Tunisia dll memang telah mengadakan hubungan dagang dengan Israel, meski sampai saat ini tidak banyak diketahui tentang keuntungan mereka membuka hubungan dagang dengan Negara zionis itu.

Yang menarik, pemerintah Indonesia –lewat Menteri Pemuda dan Olahraga—pada Juli 2006 lalu memutuskan tidak mengirim tim tennis Fed Cup karena tim Indonesia harus bertanding di Ramat Hasharon, Israel. Keputusan berani pemerintah Indonesia ini, memang berbuah ancaman dari Federasi Tenis Internasional (ITF). ITF akan mengeluarkan Indonesia dari keanggotaan, bila tidak membayar denda sebesar sebesar 15.000 poundsterling atau sekitar Rp. 268 juta lebih.

“Jika gagal membayar denda, kami bisa disingkirkan dari ITF dan tidak dapat bermain di ajang Fed Cup, Davis Cup atau pertandingan internasional, serta even multi sport karena sanksi yang diberikan oleh ITF,” kata Martina Widjaja seperti dilansir Eurosport. (lihat www.detiksport.com/raket/index.php/home.read/tahun /2007/bulan/03/tgl/27/time/070226/idnews/758970/idkanal/79).

Entah, karena trauma tidak mengikuti Fed Cup atau membebek IPU, kini pemerintah Indonesia melunak kepada Israel. Pemerintah lewat Menlu Hassan mungkin berhitung akibat-akibat yang buruk yang akan diterima pemerintah Indonesia, bila menolak kunjungan parlemen Israel April mendatang.

Memang jalinan berkelindan yang rumit pemerintah Israel dengan negara-negara besar (khususnya Amerika dan Inggris), menjadikan Negara Israel kini hari ke hari makin digdaya. Meski jutaan masyarakat dunia terus menerus mengecam kezaliman negara zionis ini, tapi pemerintah negara-negara bersangkutan tetap adem ayem dengan Israel. Ironisnya negeri-negeri Muslim sendiri tidak mempunyai sikap yang satu dalam menghadapi Israel. Padahal penduduk Israel kini hanyalah berjumlah 6.352.117 orang (lihat www.cia.gov/ cia/publications/ factbook/geos/is.html).

Tapi, memang begitulah hukum sunnatullah di alam ini. Tidak mesti golongan yang besar itu akan mengalahkan golongan yang kecil. Malah yang terjadi seringkali sebaliknya. Israel, karena kecerdasan dan kelicikannya mampu bertahan hingga kini dan bahkan makin digdaya, dengan memiliki persenjataan militer –termasuk nuklir—yang jauh lebih dahsyat daripada yang dimiliki negeri-negeri Islam.

Bukan mudah memang bagi pemerintah Indonesia, untuk bersikap tegas terhadap Israel. Karena suatu keputusan politik kepada Israel mempunyai imbas yang besar pada pemerintah Amerika dan Inggris (kedua Negara inilah sponsor utama pendirian Negara Israel 1948). Jadi kalau selama ini sikap politik internasional pemerintah seringkali “membebek” kepada AS jangan berharap pemerintah akan bersikap tegas kepada Israel.

Tapi bagaimanapun sebuah negara tergantung pada pemimpinnya. Pepatah yang terkenal mengatakan “ikan itu busuk dari kepalanya.” Bila pemimpinnya penakut, maka penyakit takut itu akan menular ke pejabat-pejabat bawahannya dan kemudian ke rakyatnya. Memang yang repot bila tokoh-tokoh kita sendiri sejak awal sudah tidak ada idealisme. Artinya tidak ada inisiatif bagaimana menghilangkan kezaliman di dunia ini. Akhirnya sikap yang muncul adalah sikap “Pak Turut”. Pernyataan Menlu Hassan atau Abdillah Thoha yang menyatakan bahwa kedatangan Israel itu hal yang lumrah, menunjukkan hal itu.

Dan inilah bahaya terbesar di negeri ini bahkan bahaya umat manusia secara umum. Penyakit takut menghadapi kezaliman dan penyakit “Pak Turut”. Karena dari sinilah akan muncul sikap-sikap pembenaran, bahwa kezaliman, kerusakan yang terjadi adalah hal yang lumrah. Tidak muncul upaya-upaya kreatif bagaimana menghilangkan kezaliman itu.

Dalam masalah ini, katakanlah pemerintah Indonesia, berani menolak kedatangan delegasi Israel dalam IPU di Bali itu, rakyat Indonesia tidak akan kiamat. Justru, bisa jadi negeri-negeri Muslim yang lain akan hormat, bahkan mengikuti sikap berani pemerintah Indonesia itu. Tapi, dengan mengatakan bahwa kedatangan Israel adalah hal yang lumrah dan jangan dipersoalkan, maka menunjukkan negara Indonesia adalah negara Pak Turut. Tidak ada keteladanan sama sekali dalam upaya ikut andil penghapusan kezaliman global sebagaimana yang dicontohkan para pejuang-pejuang kita terdahulu.

Akhirnya, kita perlu menyimak pernyataan tokoh pemberani mantan PM Malaysia Mahathir Mohammad di depan Sidang OKI beberapa tahun lalu:

“Kita sesungguhnya sangat kuat. Umat Islam yang berjumlah 1,3 miliar orang (seharusnya) tak bisa dengan mudah dikalahkan. Orang Eropa membunuh 6 dari 12 juta orang Yahudi. Akan tetapi, kini orang Yahudi secara tak langsung menguasai dunia. Mereka bisa membuat orang lain berperang dan mati untuk mereka…
Apakah benar kita tak perlu dan tak dapat melakukan apa-apa bagi diri kita sendiri? Apakah benar 1,3 miliar orang (Islam) tak memiliki kekuatan untuk menyelamatkan diri mereka sendiri dari penghinaan dan penindasan yang dilakukan oleh musuh yang jumlahnya jauh lebih kecil? Apakah mereka (umat Islam) hanya dapat membalas secara membabi buta dengan kemarahan. Apakah tak ada jalan lain kecuali meminta anak-anak muda kita untuk meledakkan dirinya sendiri dan membunuh orang lain, tindakan yang hanya mengundang dilancarkannya pembantaian lebih banyak lagi atas rakyat kita?...Tak mungkin tak ada jalan lain. Kaum Muslim yang berjumlah 1,3 miliar tak dapat dikalahkan oleh berapa juta orang Yahudi. Seharusnya ada jalan (bagi kita).” Jalan Rasulullah saw. saja 13 tahun membentuk generasi yang hebat dan cerdas untuk mengalahkan Yahudi. Bagaimana dengan kita? Wallahu Aziizun Hakiim. * (18 April 2007)

Jumat, 23 Januari 2009

Kamis, 22 Januari 2009

Dari Penjara, Lahir Karangan yang Mulia

Sayid Qutb dan Hamka, adalah diantara ulama-ulama yang melahirkan karya emas di balik jeruji. Penjara bagi mereka, tidak menghalangi jalan untuk tetap berdakwah kepada masyarakat luas. Teladan yang perlu dicontoh


Sayid Qutb lahir di Mausyah, salah satu provinsi Asyuth, di dataran tinggi Mesir. Ia lahir pada 9 Oktober 1906. Nama lengkapnya adalah Sayyid Quthb Ibrahim Husain.

Menurut Dr. Dr. Shalah Abdul Fattah al-Khalidi, ada dua puluh lima buku (kitab) Quthb yang telah diterbitkan. Diantara karyanya yang ditulis dalam penjara adalah Tafsir Fi Zhilal dan Maalim fit Thariq.

Tafsir Fi Zhilalil Qur`an

Tafsir ini telah secara luas diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa: bahasa Inggris, Melayu, Indonesia, dan lain-lain. Pada mulanya penulisan tafsir oleh Quthb dituangkan di majalah Al-Muslimun edisi ke-3, yang terbit pada Februari 1952. Quthb mulai menulis tafsir secara serial di majalah itu, dimulai dari surah al-Faatihah dan diteruskan dalam surat al-Baqarah dalam episode-episode berikutnya. Setelah tulisannya sampai edisi ke-7, Quthb menyatakan, “Dengan kajian (episode ke-7 ini), maka berakhirlah serial dalam Majalah Al-Muslimun. Sebab Fi Zhilalil Qur`an akan dipublikasikan tersendiri dalam tiga puluh juz bersambung, dan masing-masing episodenya akan diluncurkan pada awal setiap dua bulan, dimulai dari bulan September mendatang dengan izin Allah, yang akan diterbitkan oleh Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah milik Isa Halabi & Co. Sedangkan majalah Al- Muslimun mengambil tema lain dengan judul Nahwa Mujtama’ Islami (Menuju Masyarakat Islami).”

Juz Pertama Zhilal itu terbit Oktober 1952. Quthb memenuhi janjinya kepada pembacanya, sehingga ia meluncurkan satu juz dari Zhilal setiap dua bulan. Bahkan kadang lebih cepat dari waktu yang ditargetkan. Pada periode antara Oktober 1952 dan Januari 1954, ia meluncurkan 16 juz dari Zhilal.

Ketika dimasukkan penjara untuk pertama kalinya, Januari hingga Maret 1954, Quthb berhasil menerbitkan dua juz Zhilal, juz ke-17 dan juz ke-18. Ia kemudian dibebaskan, tapi November 1954 ia bersama ribuan jamaah Ihwanul Muslimin ditangkap lagi dan dijatuhi hukuman 15 tahun. Pada awalnya di penjara itu, Quthb tidak bisa melanjutkan untuk menulis fi Zhilal, karena berbagai siksaan yang dialaminya. Tapi lambat laun, atas jasa penerbitnya, Quthb bisa melanjutkan tulisannya itu dan juga merevisi juz-juz fi Zhilal sebelumnya.

Dalam pengantar tafsirnya, Quthb mengatakan bahwa hidup dalam naungan Al-Qur`an itu suatu kenikmatan. Sebuah kenikmatan yang tidak diketahui kecuali oleh orang yang telah merasakannya. Suatu kenikmatan yang mengangkat umur (hidup), memberkatinya dan menyucikannya. Quthb merasa telah mengalami kenikmatan hidup di bawah naungan Al-Qur`an itu, sesuatu yang belum dirasakannya sebelumnya.

Ketika mau menulis tafsirnya, Quthb sebenarnya khawatir, karena ia melihat mustahil menafsirkan Al-Qur`an secara komprehensif. Lafal-lafal dan ungkapan-ungkapan yang ia tulis, ia rasakan tidak mampu sepenuhnya untuk menjelaskan apa yang dirasakannya terhadap Al-Qur`an. Quthb berkata, “Meskipun demikian, saya merasa takut dan gemetar manakala saya mulai menerjemahkan (menafsirkan) Al-Qur`an ini. Sesungguhnya irama Al-Qur`an yang masuk dalam perasaan mustahil bisa saya terjemahkan dalam lafal-lafal dan ungkapan-ungkapanku. Oleh karena itu, saya selalu merasakan adanya jurang yang menghalangi antara apa yang saya rasakan dan apa yang akan saya terjemahkan untuk orang lain dalam Zhilal ini.”

Tujuan-tujuan yang dituliskan tafsir fi Zhilal, menurut al-Khalidi adalah sebagai berikut.
Pertama, menghilangkan jurang yang dalam antara kaum Muslimin sekarang ini dengan Al-Qur`an. Quthb menyatakan, “Sesungguhnya saya serukan kepada para pembaca Zhilal, jangan sampai Zhilal ini yang menjadi tujuan mereka. Tetapi hendaklah mereka membaca Zhilal agar bisa dekat kepada Al-Qur`an. Selanjutnya agar mereka mengambil Al-Qur`an secara hakiki dan membuang Zhilal ini.”

Kedua, mengenalkan kepada kaum Muslimin sekarang ini pada fungsi amaliyah harakiyah Al-Qur`an, menjelaskan karakternya yang hidup dan bernuansa jihad, memperlihatkan kepada mereka mengenai metode Al-Qur`an dalam pergerakan dan jihad melawan kejahiliahan, menggariskan jalan yang mereka lalui dengan mengikuti petunjuknya, menjelaskan jalan yang lurus serta meletakkan tangan mereka di atas kunci yang dapat mereka gunakan untuk mengeluarkan perbendaharaan-perbendaharaan yang terpendam.

Ketiga, membekali orang Muslim sekarang ini dengan petunjuk amaliah tertulis menuju ciri-ciri kepribadian Islami yang dituntut, serta menuju ciri-ciri islami yang Qur`ani.

Keempat, mendidik orang Muslim dengan pendidikan Qur`ani yang integral; membangun kepribadian Islam yang efektif, menjelaskan karakteristik dan ciri-cirinya, faktor-faktor pembentukan dan kehidupannya.

Kelima, menjelaskan ciri-ciri masyarakat islami yang dibentuk oleh Al-Qur`an, mengenalkan asas-asas yang menjadi pijakan masyarakat islami, menggariskan jalan yang bersifat gerakan dan jihad untuk membangunnya. Dakwah secara murni untuk menegakkannya, membangkitkan hasrat para aktivis untuk meraih tujuan ini, menjelaskan secara terperinci mengenai masyarakat islami pertama yang didirikan oleh Rasulullah saw. di atas nash-nash Al-Qur`an, arahan-arahan, dan manhaj-manhajnya sebagai bentuk nyata yang bisa dijadikan teladan, misal, dan contoh bagi para aktivis.


§ Ma’alim fith-Thariq (Petunjuk Jalan)

Buku yang ditulis Quthb terakhir dalam hidupnya ini, adalah termasuk buku yang terbanyak dibaca pembaca, di antara buku-bukunya. Di Indonesia, paling tidak ada dua penerbit yang telah menerjemahkannya. Yaitu penerbit Media Dakwah dan penerbit Gema Insani Press. Sedangkan di Mesir, menurut Dr. Abdullah Azzam , pada tahun 1965 itu, Dinas intelijen Amerika mengirim surat kepada Gamal Abdul Nasser agar mengawasi buku itu karena telah laku terjual 30 ribu di pasar.

Buku Quthb ini juga menjadi bukti bagi hakim di pengadilan, bagi penghukuman matinya. Meskipun hakim di pengadilan itu, tidak menjelaskan secara terperinci hal-ihwal buku Maalim fith- Thariq.

Ma’alim fith-Thariq sebenarnya ini seperti “ringkasan” dari seluruh karya yang ditulis Quthb. Ia memulai bukunya dengan memberikan pedoman-pedoman agar seorang Muslim menjadi generasi Qur`ani yang istimewa. Quthb berkata, “Dakwah ini pernah menghasilkan suatu generasi manusia, yaitu generasi sahabat—semoga Allah meridhai mereka. Suatu generasi pilihan dalam sepanjang sejarah Islam dan dalam sepanjang sejarah manusia. Kemudian generasi semacam itu tidak lagi dihasilkan dalam sejarah Islam. Benar ada beberapa orang dengan karakteristik seperti generasi pertama itu yang dihasilkan oleh dakwah Islam sepanjang sejarah, namun belum pernah terjadi dalam sejarah Islam, terkumpulnya tokoh-tokoh besar semacam itu dalam satu tempat, seperti yang terjadi pada masa pertama dari kehidupan dakwah ini.”

Quthb dalam bukunya itu juga membahas tentang Karakteristik Manhaj Al-Qur`an dalam Dakwah, Tumbuhnya Masyarakat Muslim dan Karakteristiknya, Laa Ilaaha Illallah Sebuah Pedoman Hidup, Islam Sebuah Peradaban dan Jihad Fi Sabilillah.

Dalam bab tentang Islam Sebuah Peradaban (Al-Islaamu huwa al-hadhaarat), Quthb menegaskan bahwa Islam hanya mengenal dua bentuk masyarakat: masyarakat islami dan masyarakat jahiliah. Masyarakat islami adalah masyarakat yang melaksanakan Islam dalam akidah dan ibadah, syariat dan sistem (nidzam), serta dalam akhlak dan tingkah laku. Sedangkan masyarakat jahiliah adalah masyarakat yang tidak menerapkan Islam, tidak dihukumi oleh akidah dan pandangan hidup Islam, oleh nilai-nilai dan timbangan Islam, serta tidak berakhlak dan bertingkah laku Islam. Suatu masyarakat tidak dinamakan masyarakat Islam, hanya karena terdiri dari orang-orang yang menamakan dirinya orang-orang Islam (muslimin), padahal syariat Islam tidak menjadi hukum pada mereka, meskipun kewajiban-kewajiban, seperti shalat, berpuasa, dan melakukan ibadah haji dilaksanakan.

Masyarakat islami adalah satu-satunya masyarakat yang berperadaban, sedangkan masyarakat jahiliah dengan berbagai variasi bentuknya adalah masyarakat yang terbelakang. Quthb berkata, “Bila kekuasaan tertinggi dalam suatu masyarakat kembali kepada Allah semata, terlambang dalam berdaulatnya syariat Ilahi, maka ini adalah satu-satunya bentuk manusia dapat menjadi bebas dengan sempurna dan sesungguhnya dari penghambaan manusia. Inilah yang merupakan “peradaban manusia” (al-hadhaarah al-insaaniyah), yang sesungguhnya, karena peradaban manusia itu menghendaki adanya suatu fondasi pokok untuk kebebasan manusia yang sesungguhnya dan sempurna. Fondasi demi ketinggian martabat yang mutlak bagi setiap individu dalam masyarakat.”

Di Amerika, Quthb mendengarnya syahidnya Hasan al-Banna dan hatinya "membara", marah ketika melihat banyak tokoh masyarakat di sana yang bergembira dengan meninggalnya al-Banna. Sekembalinya dari Amerika, Quthb bergabung dengan Ikhwanul Muslimin. Saat itu ia memegang sebagai Ketua Seksi Penyebaran Dakwah dan Pemimpin Redaksi Koran Al-Ikhwan al-Muslimun.

Dua tahun kemudian, tepatnya November 1954, Quthb ditangkap oleh Nasser bersamaan dengan penangkapan besar-besaran pemimpin Ikhwan. Quthb bersama kawan-kawannya dituduh bersekongkol untuk membunuh Nasser (subversif), melakukan kegiatan agitasi antipemerintah dan lain-lain serta dijatuhi hukuman lima belas tahun “kerja keras” (penjara–-pent. )

Selama dipenjarakan, ia merevisi tiga belas juz pertama tafsir Qur`annya dan menulis beberapa buah buku, termasuk Hadzad Diin (Inilah Islam) dan Al-Mustaqbal Hadzad Diin (Masa Depan di Tangan Islam). Sebelumnya, Quthb berhasil menerbitkan 16 juz dari Tafsir Zhilal sebelum ia dipenjara.

Sesudah sepuluh tahun menjalani hukumannya, Quthb dibebaskan dari penjara oleh Nasser karena campur tangan pribadi presiden Irak, Abdul Salam Arif. Siksaan fisik dan mental kepada para anggota-anggota Ikhwan, meninggalkan bekas yang mendalam kepadanya. Setelah bebas, ia menulis buku Maalim fith-Thariq dan mengakibatkan ia ditangkap lagi pada tahun 1965.

Pemerintah Mesir tidak hanya terkesima dengan kepemimpinan Quthb yang nyaris messianik, tetapi juga dengan kedalaman dukungan masyarakat akar rumput atas perjuangannya. Mereka ini kebanyakan bukanlah petani atau masyarakat rural (pedusunan) yang rawan terhadap simbolisme keagamaan. Dari ribuan anggota Ikhwanul Muslimin yang ditahan, banyak di antara mereka adalah ahli hukum, ilmuwan, gurubesar universitas, guru sekolah, dan mahasiswa. Quthb dipandang begitu berbahaya bagi tatanan politik Nasseris, sehingga meskipun menghadapi banjir imbauan untuk pengampunannya, hukuman mati tetap dilaksanakan juga oleh pemerintah Mesir.

Tahun 1965, Quthb bersama Ikhwanul Muslimin dituduh Gamal Abdul Nasser berkonspirasi menjatuhkan kekuasaannya. Pengumuman itu disampaikan Nasser ketika di Moskow. Atas pengumuman Nasser itu, aparat negara dan kepolisian melakukan penangkapan terhadap Quthb dan aktivis-aktivis Ikhwanul Muslimin lainnya, juga teman-teman kenalan dan kerabat-kerabat mereka. Quthb ditangkap pertama kali dan kemudian dijatuhi hukuman mati.

Akhirnya, pada Minggu sore, 28 Agustus 1966, bertepatan dengan 12 Jumadi Ats-Tsaniyah 1386, seminggu setelah dikeluarkannya putusan hukuman eksekusi, seluruh pimpinan redaksi media massa dihubungi melalui sambungan telepon dari kantor Sami Syaraf, Sekretaris Gamal Abdul Nasser bidang penerangan. Sekretaris itu mengeluarkan berita kepada media massa, “Pagi ini telah selesai pelaksanaan eksekusi terhadap Sayyid Quthb, Abdul Fattah Ismail, dan Muhammad Yusuf Hawwasy!"

Peristiwa eksekusi Quthb oleh Nasser ini, mengagetkan masyarakat dan dunia Islam. Karena sebelumnya hubungan antara Quthb dan Nasser adalah cukup dekat, terutama ketika menjelang berlangsungnya revolusi Agustus 1952. Beberapa hari menjelang Revolusi Mesir itu, Nasser berkunjung ke rumah Quthb. Ketika Revolusi meletus, Quthb adalah orang yang dihormati oleh para pemimpin revolusi. Media massa di Mesir saat itu banyak menampilkan gambar Quthb yang berdampingan dengan Muhammad Najib dan Gamal Abdul Nasser.

Abdullah Azzam dalam bukunya As-Syahid Sayyid Quthb, menceritakan bahwa beberapa hari setelah revolusi itu, Quthb diminta untuk menyampaikan pidato di depan ribuan manusia. Termasuk yang hadir adalah wakil negara-negara Arab Muslim yang ada di Mesir, para politisi, para sastrawan, pemikir, ahli hukum, dan para guru besar dari berbagai perguruan tinggi dan akademisi. Dalam pidato itu, di antaranya Quthb menyatakan,“Sekarang revolusi betul-betul telah dimulai. Akan tetapi, kita tidak boleh menyanjung-nyanjungnya, sebab dia belum memberikan sesuatu yang berarti. Diturunkannya Raja Fuad bukanlah tujuan revolusi ini. Akan tetapi, tujuannya adalah mengembalikan negeri ini kepada Islam…Pada masa kerajaan saya selalu siap untuk dipenjarakan setiap saat, dan perkembangan hari ini pun belum menjamin keamanan diri saya. Pada saat ini, saya selalu siap untuk dijebloskan ke dalam penjara atau bahkan dipenjara lebih dari yang ada sebelumnya.”

Menyambut pernyataan Quthb itu, Nasser kemudian berpidato,
“Saudaraku Sayyid Quthb, demi Allah, mereka tidak akan bisa mengganggumu kecuali harus melewati mayat kami. Kami berikan janji kami dengan nama Allah. Bahkan kami ulangi janji kami, bahwa kami akan menjadi pembela-pembelamu hingga akhir hayat kami.”

Ternyata Nasser tidak menepati janjinya. Ia menangkap Quthb, bahkan menghukumnya mati.

Setelah bersama-sama berhasil dalam revolusi 1952 itu, sebelumnya Quthb pernah ditunjuk pemerintah Nasser sebagai Penasihat Dewan Pimpinan Revolusi untuk urusan kebudayaan dan dalam negeri. Jabatan ini dipangkunya beberapa bulan saja. Selain itu, Quthb juga pernah ditawari sebagai Menteri Pendidikan Mesir dan Direktur Umum Penerangan, tetapi ia menolaknya. Akhirnya, Quthb menerima jabatan Sekretaris Jenderal Liga Pembebasan (Hai’at at-Tahrir), sebuah jabatan strategis karena ia menyangkut penentuan kebijaksanaan politik Mesir. Tetapi jabatan ini hanya dipegangnya selama beberapa bulan.

HAMKA

Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau Hamka adalah ulama dan penulis Islam Indonesia paling produktif. Karya tafsirnya, Al Azhar, dibaca kaum muslimin dari Mesir sampai London. Hamka lahir di Sungai Batang, Sumatera Barat, pada 17 Februari 1908.
Hamka mulai menulis tafsirnya pada tahun 1958. Awalnya dilakuan lewat kuliah subuh pada jamaah di masjid Al Azhar Kebayoran Baru, Jakarta. Ia memulai penafsiran dari surah al Kahfi juz XV. Mulai tahun 1962, kajian tafsir yang dicermahkannya itu dimuat di majalah Gema Islam.

Dua tahun kemudian, tepatnya 27 Januari 1964, Hamka ditangkap penguasa Orde Lama (Soekarno) dengan tuduhan berkhianat terhadap tanah air. Penahanan ini berlangsung sekitar dua tahun. Dan ini menjadi berkah bagi ulama yang juga sastrawan itu. Dalam rentang waktu di tahanan itulah ia bisa menyelesaikan penulisan tafsirnya. Beberapa hari sebelum pindah ke tahanan rumah, ia telah merampungkan tafsir Al-Qur’an 30 juz. Pada tahun 1967, tafsir itu untuk pertama kalinya terbit dengan nama Tafsir Al Azhar.

Hamka mengisahkan hikmahnya ia di penjara: “Tetapi di samping hati mereka (penfitnah Hamka-pen) yang telah puas, Tuhan Allah telah melengkapi apa yang disabdakan-Nya di dalam surah at Taghabun ayat 11. Yaitu bahwa segala musibah yang menimpa diri manusia adalah dengan izin Allah belaka. Asal manusia berima teguh kepada Allah, niscaya Allah akan memberikan hidayat ke dalam hatinya. Tuhan Allah rupanya menghendaki agar masa terpisah dari anak istri dua tahun, dan terpisah dari masyarakat, dapat saya pergunakan menyelesaikan pekerjaan berat ini, menafsirkan Al Qur’anul Karim. Karena kalau saya masih di luar, pekerjaan saya ini tidak akan selesai sampai saya mati. Masa terpencil dua tahun telah saya pergunakan untuk sebaik-baiknya. Maka dengan petunjuk dan hidayat dari Allah Yang Maha Kuasa, beberapa hari sebelum saya dipindahkan ke dalam tahanan rumah, penafsiran Al Qur’an 30 Juzu’ telah selesai. Dan semasa tahanan rumah dua bulan lebih saya pergunakan pula buat menyisip mana yang masih kekurangan.”

Hamka juga ingat kisah Ibnu Taimiyah yang dipenjarakan degan muridnya Ibnu Qayyim karena fitnah. Ia mengatakan kepada Ibnu Qayim:”Apakah lagi yang didengkikan oleh musuh-musuhku kepadaku? Penjara itu bagiku adalah untuk berkhalwat dan pembuangan adalah untuk menambah pengalaman. Orang terpenjara ialah yang dipenjarakan oleh hawanafsunya dan orang yang terbelenggu ialah yang dibelenggu oleh syaitan.”
Ulama besar ini ditahan karena dituduh memberontak kepada penguasa dan ikut serta membela –dalam ceramah-ceramahnya—perjuangan PRRI oleh tokoh-tokoh Masyumi. Ia dituduh mengadakan rapat gelap di Tangerang pada 11 Oktober 1963.
Prof. Dr. Hamka mengungkapkan:”Seketika menyusun “Tafsir” ini, baik selama dalam masa tahanan maupun setelah keluar dan menelitinya kembali, terkenanglah saya kepada tiga orang (bapak, guru dan istrinya -pen) yang amat besar peranan mereka di dalam membentuk pribadi dan wajah kehidupan saya, yang saya belum merasa puas kalau belum menuliskannya dalam permulaan “Tafsir ini”.

Mereka itu ialah pertama ayah dan guru saya yang tercinta, Almarhum Dr. Syaikh Abdulkarim Amrullah, yang sejak saya mulai terlancar dari perut ibu saya, mulai melihat cahaya matahari, beliau ingin sekali agar saya kelak menggantikan tempat beliau sebagai orang alim. Karena baik beliau sendiri, ataupun ayah beliau (nenek saya) Syaikh Muhammad Amrullah, atau nenek beliau Syaikh Abdullah Shalih, atau nenek yang di atas lagi yaitu Tuanku Pariaman Syaikh Abdullah Arif, adalah orang-orang alim belaka pada zamannya. Ayahku mengharap janganlah hal itu putus pada anak-anaknya dan sayalah yang beliau harap meneruskan itu.”

Hamka menyatakan bahwa ia tidak punya keahlian khusus sebenarnya untuk menulis tafsir. Ia, meskipun banyak menguasai ilmu agama dan telah menulis banyak buku tentang bahasa dan Islam, tapi ia bukan orang spesialis. Ia memberanikan diri menulis tafsir ini, karena menganggap ada kebutuhan yang diperlukan bagi para pemuda yang semangat menjalankan Islam dan ahli-ahli dakwah yang butuh bimbingan.
Ulama teladan ini menyatakan: ”Penulis ‘Tafsir’ ini telah membaca syarat-syarat yan dikemukakan oleh ulama-ulama ikutan kita, untuk siapa-siapa yang hendak menterjemahnya, hendaklah tahu bahasa Arab dengan segala peralatannya, tahu pula penafsiran orang terdahulu, pula tahu Asbabun Nuzul, yitu sebab-sebab turun ayat, tahu pula hal Nasikh Mansukh, tahu pula ilmu Hadits, terutama yang berkenaan dengan ayat yang tengah ditafsirkan, tahu pula ilmu Fiqh, untuk mendudukkan hukum.
Syarat-syarat itu memang berat dan patut. Kalau tidak ada syarat demikian tentu segala orang dapat berani saja mentafsirkan Al-Qur’an. Ilmu-ilmu yang dijadikan syarat oleh ulama-ulama itu Alhamdulillah telah penulis ketahui ala kadarnya, tetapi penulis tidaklah mengakui bahwa penulis sudah sangat alim dalam segala ilmu itu. ” * (Artikel yang lebih ringkas pernah dimuat di Majalah Media Dakwah)