Menarik apa yang diungkap oleh Salahuddin Wahid tentang bagusnya Pancasila sebagai dasar negara. Dikatakannya: ''Bagi saya saat itu Pancasila adalah dasar yang bagus bagi negara RI. Pendapat itu tetap saya yakini sampai saat ini ... Timbul pertanyaan dalam diri saya mengapa partai NU tidak menerima Pancasila dalam persidangan Konstituante. Saya bertanya kepada mertua saya, KH Saifudin Zuhri, mengapa NU dalam Konstituante menolak Pancasila? Beliau menjawab bahwa pendapat NU diputuskan melalui musyawarah bersifat nasional dan memang saat itu hampir semua tokoh NU memilih dasar negara Islam.'' (Lihat Republika, 27 Juni 2008).
Memang perdebatan di sidang Konstituante tentang dasar negara sangat menarik dicermati. Organisasi-organisasi Islam yang besar saat itu, seperti NU dan Masyumi mendukung dasar negara RI adalah Islam. Tapi, Presiden Soekarno yang memang sedari awal memuja sekularisme Turki, membubarkan Sidang Konstituante dan akhirnya membuat Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Ketua Fraksi Masyumi saat itu, M Natsir, dalam Sidang Pleno Konstituante, 12 November 1957, menyatakan: ''Di antara prinsip-prinsip demokrasi yang terkenal adalah: 1. Golongan yang berkuasa harus mendapat persetujuan dari golongan terbesar (mayoritas) 2. Golongan-golongan kecil yang berlainan pendapat dari mayoritas terjamin hak hidupnya dalam masyarakat. Konsekuensi dari prinsip demokrasi itu jika dipakai untuk membentuk suatu negara, maka tidak bisa lain dari negara itu harus mengutamakan menjamin apa yang sesungguhnya hidup, terutama falsafah hidup dari sebagian besar mayoritas rakyatnya."
Natsir kemudian mengkritik mereka yang menolak Islam sebagai dasar negara, dengan mengutip mereka yang menolak Islam: ''Jangan dipakai Islam sebagai dasar negara, sebab Islam itu dalam satu faham hidup yang didukung oleh hanya satu golongan di Indonesia ini. Sedangkan di Indonesia ada pula lain-lain golongan yang bukan Islam.
Penolakan itu didasarkan bukan kepada penilaian tentang meritas (hasanatnya), isi dan sifat paham hidup, yakni Islam. Tidak pula didasarkan pada soal berakar atau tidaknya paham hidup itu dalam jiwa rakyat yang terbanyak yang diakuinya sebagai mayoritas di Indonesia. Akan tetapi ditolak lantaran paham hidup itu hanya dimiliki oleh satu golongan, tetapi tidak oleh semua golongan.''
Ketua Umum Masyumi ini melanjutkan: ''Alasan yang demikian juga tidak efektif, sebab bagaimana, andaikata pihak Islam yang paham hidupnya ditolak untuk jadi dasar negara, karena pahamnya hanya dimiliki oleh satu golongan di antara golongan-golongan lain, lalu menjawab pula 'Ya, dan kita umat Islam harus menerima Pancasila, sebagai dasar negara, sedangkan Pancasila itupun sesungguhnya juga miliknya satu pihak saja, yang tidak mewakili golongan Indonesia itu? Alasannya paham hidup kami umat Islam tidaklah tecermin oleh Pancasila itu!'' (Lihat M Natsir, Agama dan Negara dalam Perspektif Islam, hal. 201, Media Dakwah, 2001).
Kemudian fraksi Masyumi menyimpulkan, bahwa hanya dua alternatif untuk meletakkan dasar negara dalam sikap asasnya (principle attitudenya), yaitu: Faham sekularisme (ladienyah) dan faham agama (dieny). Kemudian dalam sidang itu fraksi Masyumi menjelaskan panjang lebar tentang kelebihan agama dibanding sekularisme.
Masyumi tidak menolak mentah-mentah Pancasila. Menurut, Natsir di atas tanah yang beriklim Islam, Pancasila dapat hidup subur. Kata Natsir (yang pernah berkawan dengan Soekarno): ''Dalam pandangan Alquran, Pancasila akan hidup subur. Satu dengan lain tidak a priori bertentangan, tapi tidak pula identik (sama). Di mata seorang Muslim, perumusan Pancasila bukan kelihatan a priori sebagai 'barang asing' yang berlawanan dengan ajaran Alquran. Ia melihat di dalamnya satu pencerminan dari sebagai yang ada pada sisinya. Tapi ini tidak berarti Pancasila memang mengandung tujuan Islam, tetapi Pancasila itu bukanlah berarti Islam. Kita berkeyakinan yang tak kunjung kering, di atas tanah dan dalam iklim Islamiyah Pancasila akan hidup subur. Sebab iman kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa tidak dapat ditumbuhkan dengan semata-mata hanya mencantumkan kata-kata dan istilah 'Ketuhanan Yang Maha Esa' itu saja dalam perumusan Pancasila itu.''
Natsir kemudian melanjutkan: ''Kita mengharapkan Pancasila dalam perjalanannya mencari isi semenjak ia dilancarkan itu, tidaklah akan diisi dengan ajaran yang menentang Alquran, wahyu Ilahi yang semenjak berabad-abad telah menjadi darah daging bagi sebagian terbesar dari bangsa kita ini. Dan janganlah pula ia dipergunakan untuk menentang kaidah-kaidah dan ajaran yang termaktub dalam Alquran itu, yaitu induk serbasila, yang bagi umat Muslim Indonesia menjadi pedoman hidup dan pedoman matinya, yang mereka ingin sumbangkan isinya kepada pembinaan bangsa dan negara, dengan jalan-jalan parlementer dan demokratis.''
Natsir, mantan perdana menteri RI, juga menyatakan: ''Inilah satu tragik yang dihadapi oleh Pancasila yang sekuler (ladiniyah) dan netral. Jika demikian, bagaimana Saudara Ketua, Pancasila dapat dijadikan dasar negara. Itulah sebabnya sebagaimana yang saya katakan dalam permulaan keterangan ini, Pancasila sebagai falsafah dasar negara itu adalah kabur dan tak bisa berkata apa-apa kepada jiwa umat Islam yang sudah mempunyai dan sudah memiliki satu ideologi yang tegas, terang dan lengkap, serta hidup dalam kalbu rakyat Indonesia sebagai tuntutan hidup dan sumber kekuatan lahir dan batin, yakni Islam.
Dari ideologi Islam ke Pancasila bagi umat Islam adalah ibarat melompat dari bumi tempat berpijak, ke ruang hampa, vacum, tak berhawa. Betul, demikianlah ibaratnya, Saudara Ketua ... Saya ingin menyampaikan seruan yang sungguh-sungguh kepada saudara-saudara yang mendukung Pancasila. Sila-sila yang saudara-saudara maksud ada terdapat dalam Islam. Bukan sebagai pure concept yang steril, tetapi sebagai nilai-nilai hidup yang mempunyai substansi yang riil dan terang. Dengan menerima Islam sebagai falsafah negara, saudara-saudara pembela Pancasila sedikitpun tidak dirugikan apa-apa. Baik sebagai pendukung Pancasila atau sebagai orang yang beragama. Malah akan memperoleh satu state philosophy yang hidup berjiwa, berisi, tegas dan mengandung kekuatan. Tak satupun dari lima sila yang terumus dalam Pancasila itu, yang akan terluput atau gugur, apabila Saudara-saudara menerima Islam sebagai dasar negara. Dalam Islam terdapat qaidah-qaidah yang tentu-tentu di mana pure concept dari lima yang lima itu mendapat substansi yang riil, mendapat jiwa dan roh penggerak.''
Memang partai Natsir, Masyumi, juga secara tegas menyatakan bahwa tujuan partai adalah menegakkan hukum Islam di Indonesia. Di Anggaran Dasar Partai Politik Islam Indonesia Masjumi ditegaskan: ''Tujuan Partai ialah terlaksananya ajaran dan hukum Islam, di dalam kehidupan orang seorang, masyarakat dan negara Republik Indonesia, menuju keridhaan Ilahi.'' (Pasal III). Pada pasal IV-nya dinyatakan: ''Usaha partai untuk mencapai tujuannya: 1. Menginsyafkan dan memperluas pengetahuan serta kecakapan Umat Islam Indonesia dalam perjuangan politik. 2. Menyusun dan memperkokoh kesatuan dan tenaga umat Islam Indonesia dalam segala lapangan. 3. Melaksanakan kehidupan rakyat terhadap perikemanusiaan, kemasyarakatan, persaudaraan dan persamaan hak berdasarkan taqwa menurut ajaran Islam. 4. Bekerjasama dengan lain-lain golongan dalam lapangan bersamaan atas dasar harga menghargai.'' (Lihat buku Alam Fikiran dan Djedjak Perjuangan Prawoto Mangkusasmito).
Masyumi didirikan dari hasil Muktamar Islam Indonesia di Yogyakarta 7-8 November 1945, oleh hampir semua tokoh berbagai organisasi Islam dari masa sebelum perang serta masa pendudukan Jepang. Organisasi-organisasi Islam yang masuk Masyumi antara lain: Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, Perikatan Umat Islam, Persatuan Umat Islam, Persis, Al Irsyad, Al Jamiyatul Washliyah, Al Ittihadiyah dan lain-lain. (Lihat buku Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, hal. 47-50).
Konsistensi tokoh-tokoh Islam Masyumi dalam memperjuangkan Islam dan keteladanan hidup mereka, menjadikan organisasi Masyumi disegani oleh kawan atau lawan politiknya. Bahkan sampai kini pemikiran mereka terus mempengaruhi jiwa tokoh-tokoh Islam dan kaum mudanya.
Meski tidak berhasil meletakkan Islam secara resmi sebagai dasar negara, tokoh-tokoh Islam Masyumi, NU dan lain-lain, tidak mengadakan pemberontakan kepada Presiden Soekarno secara membabi buta. Mereka terus memperjuangkan secara fair, agar ajaran Islam berpengaruh baik dalam kehidupan individu, masyarakat, atau negara. Kini banyak kaum Muslim di Indonesia yang berjuang menegakkan nilai-nilai dapat berlaku di daerah-daerah. Bahkan tidak sedikit pemda dan gubernur yang menyambutnya. Sehingga kaum sekuler mengkampanyekan slogan: ''Pancasila dikepung Syariat Islam, Politik Syariat Islam dari Daerah dan lain-lain.''
Perjuangan organisasi-organisasi Islam, baik memperjuangkan Islam sebagai landasan kehidupan bermasyarakat dan bernegara maupun nilai-nilai Islam masuk dalam UU, Perda dan lain-lain harusnya tidak dihalangi. Bahkan mestinya didukung. Karena nilai-nilai Islam itu sendiri terbukti dalam sejarah dan hingga kini bermakna universal dan berfaidah bagi seluruh umat manusia, baik Muslim maupun non-Muslim.
Apalagi penerapan nilai-nilai Islam dalam UU yang ada di Indonesia tidak bertentangan dengan dasar negara RI. Meski dalam Dekritnya, Soekarno menyatakan pembubaran Konstituante dan kembali ke UUD 45, dalam dokumen Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu juga dinyatakan: ''Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian ketentuan dalam konstitusi tersebut.'' Wallahu aziizun hakiim. http://republika.co.id/kolom.asp?kat_id=16, Kamis, 03 Juli 2008
1 komentar:
Pak. Bukankah yg dmksd sila ke-1 adlh islam. Lagi pula jika kt berpegang pd sila ke-1 ini, maka secara otomatis kt terikat dng Al Quran dan Hadist. Jadi sila ke-2 smpe sila ke-5 tdk perlu d jabarkan d luar krn itu mempersempit ruang lingkup pemaknaanya, dtmbh lg sila ke-2 smpe sila ke-5 sdh jls trdpt dalam Al Quran. Jadi , jls pancasila sebenarnya adalah ideologi islam tp dicampur dngn bumbu sekular(jalan tengah).
Posting Komentar