Natsir berhasil menjelmakan dalam hidupnya sebagai seorang pemimpin Islam, dai dan politisi Islam sebenarnya. Ia bukan hanya pintar berdakwah, berorasi dan berstrategi, tapi yang jauh lebih penting keteladanan hidup dan perjuangan Islamnya. Keteladanannya menyamai tokoh-tokoh gerakan di negeri-negeri Islam lainnya. Ini semua menjadikan kata-katanya bersinar hingga kini.
000
Mohammad Natsir lahir di Minangkabau, Sumatera Barat, 17 Juli 1908. Ia wafat di Jakarta 6 Februari 1993. Pendidikan Islam sejak kecil dengan orang tua dan lingkungannya. Pendidikan formal di HIS Solok, MULO (1923-1927), AMS di Bandung (1930). Ketika di Bandung itulah ia berkenalan dan menjadi murid sekaligus sahabat dari ulama pergerakan Islam, A Hassan.
Natsir pernah menjadi Menteri Penerangan Kabinet Sjahrir I (3 Januari 1946 - 12 Maret 1946), Menteri Penerangan Kabinet (12 Maret 1946 - 2 Oktober 1946), Menteri Penerangan Kabinet (2 Oktober 1946 – 27 Juni 1947), Menteri Penerangan Kabinet Hatta I (29 Januari 1948 - 4 Agustus 1949), dan Perdana Menteri ’Kabinet Natsir’ (6 September 1950 – 26 April 1951).
Natsir memegang sebagai Ketua Pimpinan Pusat Masyumi pada 1949, 1951, 1952, 1954 dan 1956. Setelah Masyumi dibubarkan, Buya Natsir dengan kawan-kawannya –tokoh-tokoh Islam Masyumi—mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia pada 1967. Ketika berkiprah di Dewan Dakwah, Natsir melakukan pendidikan dai secara nasional dan sistematis, mendirikan perguruan tinggi-perguruan tinggi Islam di luar IAIN, memelopori pendirian pesantren-pesantren di sekitar kampus-kampus umum, mengirimkan dai-dai sekolah ke Timur Tengah dan lain-lain.
Ketokohan Natsir bukan hanya pada tulisan-tulisannya, tapi juga sejarah hidup dan perjuangan dakwahnya. Mulai remaja, dewasa sampai dengan tuanya, kehidupan Natsir penuh dengan keteladanan.
Saat-saat remajanya, digambarkan bagus oleh penulis Ajip Rosidi, bahwa setelah lulus AMS (Algemene Middelbare School/setingkar SMA), Natsir telah hidup mandiri. Ia tidak mau bekerja di pemerintahan. Padahal bila bekerja di pemerintahan, ia bisa dapat gaji cukup besar saat itu (paling kecil F. 130; harga beras saat itu tidak sampai F. 0,05/lima sen satu kilogram). Natsir juga tidak merasa sreg untuk melanjutkan ke Fakultas Hukum (RH) di Jakarta atau Fakultas Ekonomi di Belanda, meskipun kesempatan beasiswa terbuka lebar.
”Aneh!” kata Natsir hampir tiga puluh tahun kemudian (1958) dalam suratnya kepada istri dan anak-anaknya tatkala mengenangkan lagi saat ia berhasil mencapai cita-cita yang sudah lama diidamkannya sendiri, dan yang juga diharap-harapkan oleh ayahbundanya selama ini, yaitu mendapat beasiswa untuk melanjutkan pelajaran setelah tamat AMS sehingga jalan untuk menyandang gelar ”Mr” terbuka. ”Aneh! Semua itu tidak menerbitkan selera Aba sama sekali. Aba merasa ada satu lapangan yang paling penting daripada itu semua. Aba ingin mencoba menempuh jalan lain. Aba ingin berkhitmad kepada Islam dengan langsung. Belum terang benar Aba pada permulaannya, apa yang harus dikerjakan sesungguhnya. Tapi dengan tidak banyak pikir-pikir Aba putuskanlah bahwa tidak akan melanjutkan pelajaran ke Fakultas manapun juga. Aba hendak memperdalam pengetahuan tentang Islam lebih dahulu. Sudah itu bagaimana nanti.”
Dalam biografinya ”M Natsir Sebuah Biografi”, Ajip Rosidi melanjutkan: ”Lalu, dimulainyalah hidup sebagai seorang bebas yang bermaksud membaktikan dirinya buat Islam. Setiap hari dia pergi ke rumah Tuan Hassandi Gang Belakang Pakgade dengan sepeda untuk mengurus penerbitan majalah Pembela Islam dan pada malam hari ditelaahnya Tafsir Al Qur’an dan kitab-kitab lainnya yang dianggap perlu, termasuk yang ditulis dalam bahasa Inggris atau bahasa Eropa lainnya. Dibacanya majalah-majalah tentang Islam dalam berbagai bahasa, seperti Islamic Review dalam bahasa Inggris, Moslemische Revue dalam bahasa Jerman, dan juga majalah al Manar dalam bahasa Arab yang terbit di Kairo. Penguasaannya atas bahasa Arab sebenarnya belum sebaik terhadap bahasa Inggris, Perancis atau Jerman-jangan dikata lagi bahasa Belanda- tetapi Tuan Hassan selalu mendesaknya agar dia membaca kitab-kitab atau majalah-majalah dalam bahasa Arab.
Hal-hal yang menarik hati dari majalah yang dibacanya itu, disarikannya untuk dimuat dalam Pembela Islam, dengan demikian dibukanya semacam jendela sehingga para pembacanya dapat mengetahui juga keadaan dan pendapat sesama Muslim di bagian dunia yang lain. Pikiran-pikiran Amir Syakieb Arsalan misalnya mendapat tempat yang luas dalam halaman-halaman Pembela Islam, karyanya yang terkenal menelaah mengapa umat Islam mundur, dimuat bersambung di dalamnya.”
Ketika menjadi menteri penerangan, Natsir juga menunjukkan keteladanannya. Ia tidak aji mumpung memanfaatkan jabatannya untuk menumpuk kekayaan dan bahkan ia tidak memerdulikan pakaiannya baru atau usang. “Saat pertama kali berjumpa dengannya di tahun 1948, pada waktu itu ia Menteri Penerangan RI, saya menjumpai sosok orang yang berpakaian paling camping (mended) di antara semua pejabat di Yogyakarta. Itulah satu-satunya pakaian yang dimilikinya, dan beberapa minggu kemudian staf yang bekerja di kantornya berpatungan membelikannya sehelai baju yang lebih pantas, mereka katakan pada saya, bahwa pemimpin mereka itu akan kelihatan seperti ‘menteri betulan’,” kata George McT Kahin, Guru Besar Cornell University.
Ketika bergerak di Masyumi, Natsir dan kawan-kawan konsisten dan terus menerus memperjuangkan tegaknya syariat Islam di Indonesia. Natsir tidak segan-segan mengusulkan Islam sebagai dasar negara, diantaranya dengan Piagam Jakarta. Argumen-argumen Natsir dan tokoh-tokoh Masyumi sangat kuat. Ditambah kecakapan ilmiah, baik tertulis maupun orasi, kejujuran dan kesederhanaannya, maka Natsir sangat dihormati bahwa oleh kawan maupun lawan.
Dalam pidatonya di Dewan Konstituante, 12 November 1957, Natsir mengatakan bahwa faham sekulerisme mengandung bahaya-bahaya. Sekulerisme adalah suatu pandangan hidup, opini-opini, tujuan-tujuan dan sifat-sifat yang dibatasi oleh batas-batas keberadaan duniawi. Kata Natsir: “Meskipun mungkin pada suatu saat kaum sekuleris itu mengakui keberadaan Tuhan, di dalam kehidupan kesehariannya sebagai pribadi-pribadi sekuleris, tidak mengakui kebutuhan terhadap suatu hubungan itu dalam kehidupan sehari-hari dinyatakan dalam sikap-sikap, tingkah laku dan tindakan-tindakan atau dalam doa dan ibadah.”
Natsir melanjutkan: “Juga kaum sekuleris memandang konsep-konsep mengenai Tuhan dan agama hanya sebagai hasil ciptaan manusia, yang ditentukan oleh kondsi-kondisi sosial, bukan ditentukan oleh kebenaran wahyu. Bagi kaum sekuleris doktrin agama dan Tuhan relatif dan tergantung pada penemuan-penemuan umat manusia. Dan tolok ukur kebenaran dan kebahagiaan atau ukuran keberhasilan manusia semata-mata ditentukan oleh materi (benda), Di negara sekuler, masalah-masalah ekonomi, hukum, pendidikan, sosial dan lain-lainnya semata-mata ditentukan oleh kepentingan material, bukan oleh nilai-nilai spiritual.”
Natsir juga tak segan-segan berterus terang tentang perlunya Islam dan negara bersatu: “Kalau kita terangkan bahwa agama dan negara harus bersatu, maka terbayang sudah dimata seorang bahlul (bloody fool) duduk di atas singgasana, dikelilingi oleh haremnya menonton tari dayang-dayang. Terbayang olehnya yang duduk mengepalai kementrian kerajaan, beberapa orang tua bangka memegang hoga. Sebab memang beginilah gambaran pemerintahan Islam yang digambarkan dalam kitab-kitab Eropah yang mereka baca dan diterangkan oleh guru-guru bangsa Barat selama ini. Sebab umumnya (kecuali amat sedikit) bagi orang Eropa: Chalifah=Harem, Islam=Poligami).”
Natsir melanjutkan : “Suatu negeri yang pemerintahannya tidak memperdulikan keperluan rakyat, membiarkan rakyat bodoh dan dungu, tidak mencukupkan sarana yang perlu untuk kemajuan agar jangan tercecer dari negeri-negeri lain, dan yang kepala-kepalanya menindas rakyat dengan memakai “Islam” sebagai kedok atau memakai ibadah-ibadah sebagai kedok; sedangkan kepala-kepala pemerintahan itu sendiri penuh dengan segala macam maksiyat dan membiarkan takhayul, khurafat merajalela sebagaimana keadaan pemerintahan Turki pada zaman Sultan-sultannya yang akhir-akhir, maka pemerintahan yang semacam itu bukanlah pemerintahan Islam. Islam tidak menyuruh dan tidak membiarkan orang menyerahkan sesuatu urusan kepada yang bukan ahlinya. Malah Islam mengancam akan datang kerusakan dan bala’ bencana, bila suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya itu. “Apabila satu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, tunggulah saat kehancurannya.” (HR Bukhari).”
Dalam bukunya Agama dan Negara dalam perspektif Islam, Mohammad Natsir menyatakan:
“Bagi kaum muslimin urusan agama itu bukanlah ibarat satu baju yang boleh dipakai dan digantungkan, bilamana suka, akan tetapi menjadi urusan prive semata, melainkan juga masalah kemasyarakatan (maatschappelijk probleem) bahkan masalah kenegaraan, staatkundig probleem, yang berarti bagi kaum Muslimin Indonesia belumlah cukup “kerayaannya” satu kerajaan Indonesia Raya selama belum didasarkan dan diatur menurut dasar-dasar susunan hukum kenegaraan Islam, sekalipun ditakdirkan, yang memegang pucuk pimpinan pemerintahan Indonesia Raya itu sudah sebangsa dan setanah air.
Tegasnya dengan semata-mata jatuhnya pucuk pemerintahan ke dalam tangan Indonesia, belumlah tercapai ideologi pergerakan Muslimin Indonesia. Paling banyak mereka kaum Muslimin pada saat itu baru sampai ke zaman (fase) yang kedua dari pergerakan mereka. Dan selama itu pula mereka akan meneruskan perjuangan, sehingga tercapai cita-cita kenegaraan Islamietisch Staatkundig Ideaal mereka.
Lama atau lekasnya akan sampai kepada tujuan tersebut, bergantung kepada keadaan gelanggang perjuangan dalam zaman yang kedua itu, dan bergantung kepada besar kecilnya kekuatan kaum Muslimin di saat itu dibandingkan dengan partai-partai lain. Dan ini bergantung kepada persiapan organisasi kaum Muslimin di Indonesia dari sekarang.
Ditakdirkan sebagai misal, pada saat kaum Muslimin berada dalam keadaan lemah walaupun jumlah mereka pada hekekatnya jauh lebih besar dari jumlah golongan bukan Islam, perjuangan merekapun tidak boleh dihentikan, walaupun ibaratnya sebagai partai oposisi dalam pemerintahan negara, sekalipun pemerintahan itu terletak dalam tangan bangsa sendiri, sampai kepada satu saat dimana pemerintahan didasarkan atas dasar Keislaman, tidak mungkin dan tidak boleh mereka hentikan, serta tunduk kepada perintah agama mereka.
“Berbuat baktilah kepada Allah dengan segenap kesanggupanmu.” (At-Taghabun:16).”
Pelaksanaan Hukum Islam di Indonesia
Natsir secara tegas menyatakan bahwa hukum-hukum Islam harus dilaksanakan di Indonesia. Menghadapi pertanyaan : Bagaimana umpamanya di satu negeri seperti di Indonesia ini apakah semua urusan diatur menurut kemauan Islam juga sedangkan penduduknya ada bermacam-macam agama? Jawab Natsir : “Kalau kekuasaan sudah ada dalam orang Islam (bukan Kemalisten caplokan Turki) memang sudah tentu begitu. Bagaimanakah lagi kalau tidak begitu. Dalam satu negeri yang berdasar Islam, orang-orang yang bukan Islam mendapatkan kemerdekaan beragama dengan luas. Malah lebih luas lagi daripada apa yang mungkin diberikan oleh setengah negeri di Eropa sekarang kepada agama-agama yang ada disana. Dan apa keberatannya bagi penduduk negeri yang bukan Islam, apabila dalam negeri itu berlaku wet-wet Islam urusan bermuamalah dan lain-lain. Padahal peraturan itu tidak ada yang bertentangan dengan peraturan agama mereka, lantaran dalam agama mereka memang tidak ada peraturan-peraturan yang bersangkutan dengan hal-hal yang bersangkutan dengan hal-hal yang semacam itu.
Dengan berlakunya wet-wet Islam dalam negeri, agama mereka tidak terganggu, tidak rusak dan tidak kurang satu apa.
Tetapi sebaliknya: orang yang tidak mau mendasarkan negara itu kepada hukum-hukum Islam dengan alasan tidak mau merusakkan hati orang yang bukan beragama Islam, sebenarnya (dengan tidak sadar atau memang disengaja) berlaku zalim kepada orang Islam sendiri yang bilangannya di Indonesia 20 kali lebih banyak; lantaran tindakan begitu menggugurkan sebagian dari peraturan-peraturan agama mereka (agama Islam). Itu berarti merusakkan hak-hak mayoritas, yang sama-sama hal itu tidak berlawanan dengan hak-hak dan kepentingan minoritas, hanya semata-mata lantaran takut, kalau si minoritas itu “tidak doyan”. Ini namanya “staatkundige – demokrasi – tunggang balik.!” Entah inikah gerangan yang dinamakan “reele staatkunde” oleh ahli-ahli “staatsrech” rasional, entahlah!
Pergerakan Politik
Untuk mencapai tujuan agar hukum Islam dapat berlaku dalam sebuah negara. Natsir mendorong umat masuk dalam pergerakan politik. Ketika ada pertanyaan: Jalan apakah yang harus ditempuh oleh kaum Muslimin dalam hal ini? Natsir menjawab: “Kaum Muslimin Indonesia tidak akan mungkin mencapai ideologi mereka ini dengan mencemplungkan diri dalam pergerakan politik yang berdasarkan kebangsaan, yang memang sudah tidak suka mengambil Islam sebagai dasar hukum negara. Ini sudah terang!
Jalan yang satu-satunya membawa mereka kepada tujuan mereka adalah: Mendirikan dan memperkuat barisan pergerakan politik yang berdasar Islam dan bertujuan Islam dengan arti yang telah berulang-ulang dikemukan di atas tadi (Bukan dengan arti sekedar menuliskan dalam statuen; kalimah-kalimah “berdasar Islam” atau “karena Allah” atau yang semacam itu).
Lambat atau cepatnya berhasil cita-cita mereka itu, bukanlah bergantung kepada kemurahan dan kerahiman orang lain yang memang berlainan kepentingannya, dan bukan pula kerahiman golongan-golongan dalam masyarakat Indonesia sendiri yang berlainan tujuan dan cita-cita dengan mereka. Akan tetapi semata-mata bergantung kepada kekuatan yang ada dalam kalangan kaum Muslimin yang sama kepentingan, sama dasar, sama cita-cita dan sama tujuan hidup. Ini pula bergantung kepada persiapan kaum Muslimin dari sekarang dalam gerakan politik, sosial dan lain-lain yang perlu untuk membangunkan satu masyarakat dan negara di bawah bendera Islam yang munasabah dengan jamannya.
Sedangkan tentang titel khalifah, Natsir berbeda dengan Taqiyudin an Nabhani, pendiri gerakan Hizbut Tahrir.. Kata Natsir: “Hanyalah yang dibawakan oleh Nabi Muhammad saw ialah beberapa patokan untuk mengatur negara. Supaya negara itu menjadi kuat dan subur, dan boleh menjadi wasilah yang sebaik-baiknya untuk mencapai tujuan hidup manusia yang berhimpun dalam negara itu, untuk keselamatan diri dan msyarakat, untuk kesentosaan perorangan dan kesentosaan umum. Dalam pada itu, apakah yang menjadi kepala pemerintahan itu bertitel khalifah atau tidak, buknlah urusan yang utama. Titel Chalifah bukan menjadi syarat mutlak dalam pemerintahan Islam, bukan conditio sine qua non. Cuma saja yang menjadi kepala negara yang diberi kekuasaan itu, sanggup bertindak bijaksana dan peraturan-peraturan Islam berjalan dengan semestinya dalam susunan kenegaraan baik dalam kaedah maupun dalam praktek.”
Natsir juga mengatakan: “Apakah bunyinya gelar atau titel yang harus diberikan kepada Kepala Negara itu sebagaimana telah kita katakan, tidak menjadi syarat yang terpenting. Khalifah boleh, Amirul Mukminin boleh, Presiden boleh, apa saja boleh, asal sifat-sifat, hak dan kewajibannya adalah sebagaimana yang dikehendaki oleh Islam...Ditetapkan si Kepala itu wajib bermusyawarah dengan orang-orang yang ptut dan layak dibawa bermusyawarah dalam urusan mengenai umat, yakni dalam hal-hal yang perlu dimusyawarahkan lebih dahulu. Tapi bukan dalam hal hukumhukum yang telah ada ketentuannya dalam agama. Apakah permusyawaratan itu dilakukan sebagaimana Sayidina Abu Bakar bermusyawarah dengan Amir-amirnya di padang pasir dan pohon kurma, ataukah diatur dengan parlementer-stelsel seperti pada abad ke-20 ini, ataukah akan dipakai individueel kiesrecht ataukah organisch-kiesrecht, tidak ditetapkan oleh agama Islam. Hal itu diserahkan dengan leluasa kepada ijtihad sendiri, apa yang cocok untuk zaman kita pula, asal permusyawarahan atau syura itu ada berlaku!”
Menurut yang menjadi syarat untuk menjadi kepala Negara Islam adalah agamanya, sifat dan tabiatnya, akhlak dan kecakapannya untuk memegang kekuasaan yang diberikan kepadanya, jadi bukanlah bangsa dan keturunannya ataupun semata-mata intelektualnya saja. Ia juga menegaskan bahwa terhadap penguasa negara terpilih, umat mempunyai kewajiban mengikutinya selama ia benar dalam menjalankan kekuasaannya. Bila menyimpang, umat berhak melakukan koreksi atau mengingkari penguasa negara. Dalam masalah ini Islam menekankan kewajiban musyawarah tentang hak dan kewajiban antara penguasa dan yang dikuasai.” Meski setuju dengan kehidupan parlemen, Natsir mewanti-wanti: “Dalam parlemen negara Islam, yang hanya boleh dimusyawarahkan adalah tata cara pelaksanaan hukum Islam (syariat Islam) tetapi bukan dasar pemerintahannya.”
Pancasila dan Islam
Natsir tidak menolak mentah-mentah Pancasila. Menurutnya di atas tanah yang beriklim Islam, Pancasila dapat hidup subur. Kata Natsir: “Dalam pandangan Al Qur’an, Pancsila akan hidup subur. Satu dengan lain tidak a priori bertentangan, tapi tidak pula identik (sama). Di mata seorang Muslim, perumusan Pancasila bukan kelihatan a priori sebagai “barang asing” yang berlawanan dengan ajaran Al Qur’an. Ia melihat di dalamnya satu pencerminan dari sebagai yang ada pada sisinya. Tapi ini tidak berarti Pancasila memang mengandung tujuan Islam, tetapi Pancasila itu bukanlah berarti Islam. Kita berkeyakinan yang tak kunjung kering, di atas tanah dan dalam iklim Islamiyah Pancasila akan hidup subur. Sebab iman kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa tidak dapat ditumbuhkan dengan semata-mata hanya mencantumkan kata-kata dan istilah “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu saja dalam perumusan Pancasila itu.”
Natsir kemudian melanjutkan: “Kita mengharapkan Pancasila dalam perjalanannya mencari isi semenjak ia dilancarkan itu, tidaklah akan diisi dengan ajaran yang menentang Al Qur’an, wahyu Ilahi yang semenjak berabad-abad telah menjadi darah daging bagi sebagian terbesar dari bangsa kita ini. Dan janganlah pula ia dipergunakan untuk menentang kaidah-kaidah dan ajaran yang termaktub dalam Al Qur’an itu, yaitu induk serba sila, yang bagi umat Muslim Indonesia menjadi pedoman hidup dan pedoman matinya, yang mereka ingin sumbangkan isinya kepada pembinaan bangsa dan negara, dengan jalan-jalan parlementer dan demokratis.”
Meskipun demikian, dalam pidatonya di Sidang Pleno Konstituante, 12 November 1957, Natsir –sebagai cita-cita Masyumi-- memperjuangan Islam sebagai dasar negara. Menurutnya Pancasila yang ingin tetap berdiri sendiri, netral dari ideologi komunisme atau Islam, menjadikan Pancasila tidak dapat berwujud apa-apa.
Kata Natsir: “Inilah satu tragik yang dihadapi oleh Pancasila yang sekuler (ladiniyah) dan netral. Jika demikian, bagaimana saudara Ketua, Pancasila dapat dijadikan dasar negara. Itulah sebabnya sebagaimana yang saya katakan dalam permulaan keterangan ini, Pancasila sebagai falsafah dasar negara itu adalah kabur dan tak bisa berkata apa-apa kepada jiwa umat Islam yang sudah mempunyai dan sudah memiliki satu ideologi yang tegas, terang dan lengkap, serta hidup dalam kalbu rakyat Indonesia sebagai tuntutan hidup dan sumber kekuatan lahir dan batin, yakni Islam.
Dari ideologi Islam ke Pancasila bagi umat Islam adalah ibarat melompat dari bumi tempat berpijak, ke ruang hampa, vacum, tak berhawa. Betul, demikianlah ibaratnya, Saudara Ketua.
Seruan Kepada Pendukung Pancasila,
Saudara Ketua,
Saya ingin menyampaikan seruan yang sungguh-sungguh kepada saudara-saudara yang mendukung Pancasila.
Sila-sila yang saudara-saudara maksud ada terdapat dalam Islam. Bukan sebagai “pure concept” yang steril, tetapi sebagai nilai-nilai hidup yang mempunyai substansi yang riil dan terang. Dengan menerima Islam sebagai falsafah negara, saudara-saudara pembela Pancasila sedikitpun tidak dirugikan apa-apa. Baik sebagai pendukung Pancasila atau sebagai orang yang beragama. Malah akan memperoleh satu state philosophy yang hidup berjiwa, berisi, tegas dan mengandung kekuatan.
Tak satupun dari lima sila yang terumus dalam Pancasila itu, yang akan terluput atau gugur, apabila saudara-saudara menerima Islam sebagai dasar negara.
Dalam Islam terdapat qaedah-qaedah yang tentu-tentu dimana “pure concept” dari lima yang lima itu mendapat substansi yang riil, mendapat jiwa dan roh penggerak
Kepada saudara-saudara yang memajukan sosial ekonomi sebagai dasar, saya berseru, dalam Islam saudara-saudara pasti akan bertemu dengan konsep sosial ekonomi yang progresif.”
Demokrasi Islam
Natsir dengan Masyumi-nya juga secara tegas ingin menegakkan demokrasi Islam. Dalam pidatonya di depan Sidang Pleno Konstituante itu Natsir menyatakan: “Saudara Ketua, timbul pertanyaan : Apakah sekarang negara yang berdasarkan Islam seperti itu satu negara teokrasi?
Teokrasi adalah satu sistem kenegaraan dimana pemerintahan dikuasai oleh satu priesthood (sistem kependetaan), yang mempunyai hirarki (tingkat bertingkat), dan menjalankan demikian itu sebagai wakil Tuhan di dunia. Dalam Islam tidak dikenal priesthood semacam itu. Jadi negara yang berdasarkan Islam sukanlah satu teokrasi. Ia negara demokrasi. Ia bukan pula sekuler yang saya uraikan lebih dahulu. Ia adalah negara demokrasi Islam Dan kalaulah saudara Ketua hendak memberi nama yang umum juga, maka barangkali negara yang berdasarkan Islam itu dapat disebut Theistic Democracy.”
Memang partai Natsir, Masyumi juga secara tegas menegaskan bahwa tujuan partai adalah menegakkan hukum Islam di Indonesia. Di Anggaran Dasar Partai Politik Islam Indonesia Masjumi ditegaskan: "Tujuan Partai ialah terlaksananya ajaran dan hukum Islam, di dalam kehidupan orang seorang , masyarakat dan negara Republik Indonesia, menuju keridhaan Ilahi." (Pasal III).
Pada pasal IV-nya dinyatakan: "Usaha partai untuk mencapai tujuannya:
1. Menginsyafkan dan memperluas pengetahuan serta kecakapan Umat Islam Indonesia dalam perjuangan politik
2. Menyusun dan memperkokoh kesatuan dan tenaga umat Islam Indonesia dalam segala lapangan
3. Melaksanakan kehidupan rakyat terhadap perikemanusiaan, kemasyarakatan, persaudaraan dan persamaan hak berdasarkan taqwa menurut ajaran Islam Bekerjasama dengan lain-lain golongan dalam lapangan bersamaan atas dasar harga menghargai.”
Pesan kepada Pejuang “Politik Islam”
Buya Natsir berpesan kepada para pemimpin politik Islam agar tidak ragu dalam mengambil Islam sebagai asasnya. Kata Natsir: “Berhadapan dengan Nasrani dan Yahudi, Muhammad saw tidak gugup-gugup memperingatkan terus terang:
(Artinya): “Barangsiapa berkehendak kepada satu agama lain dari Islam, maka itu tidak akan diterima dari dia, dan pada hari kemudian jadilah dia setengah dari orang-orang yang merugi.” (Ali Imran:84).
Tak ada “separo Islam” yang dia benarkan, tak ada “setengah Nasrani” yang dia akui. Tak ada Muhammad SAW mengendur-ngendurkan kekuasaan kebenarannya.”
Menurut sastrawan Ajip Rosidi, tulisan ini menyindir golongan Islam yang pada masa itu hendak berkompromi dengan golongan lain sehingga dalam Anggaran Organisasinya mencantumkan “Islam dan...” tidak merasa cukup Islam saja. Dengan melukiskan keteguhan Muhammad dalam memegang teguh Keislamannya, maka Natsir melanjutkan dalam tulisannya “Kontan dan Ikhlas” di Pembela Islam no. 32 (Agustus 1931):
“Dalam memisahkan yang hak dari yang bathal, maka Pemimpin itu tidak merembuk pada siapa atau dimana letak kebathilan. Tak enggan mengorbankan pertalian dengan “kawan” yang membahayai “pergerakannya”, tak enggan menyingkirkan karib yang munafik kepada usahanya.
(Artinya):”Hai orang-orang yang beriman! Hendaklah kamu jadi kaum yang mendirikan keadilan (dan kaum) yang menjadi saksi karena Allah, walaupun menentang diri kamu atau ibu bapa dan kaum kerabat. Orang yang (kamu) saksikan itu kalau kaya atau miskin, Allah lebih patut mengurusnya. Tetapi janganlah kamu turut hawa nafsu buat tidak adil; dan jika kamu bengkok atau berpaling, maka sesungguhnya Allah itu amat mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Nisa’:135)
Pada saat yang amat perlu kepada pertulungan kawan, pada saat yang sangat penting kekuatan bersama, penentang musuh dalam peperangan, tak sayang Pemimpin umat ini menolak “sokongan” mereka yang bimbang-bimbang, mundur segan, maju tak berani:
(Artinya):”...(Tidak perlu) kamu keluar bersamaku selama-lamanya, dan tidak (perlu) kamu memerangi musuh bersamaku, karena kamu telah suka duduk-duduk dulu, maka sekarang duduklah bersama orang-orang tinggal (di belakang).” (At Taubah:83).
Bukan persekutuan dengan munafik yang bisa menolak pengaruh pengkhianat dari dalam dan serangan musuh dari luar. Hanyalah mengasingkan diri, berpisah, “berhijrah” dari golongan lawan yang memang sudah musuh, dari golongan lawan yang memakai bulu kawan. Hijrah dengan keyakinan teguh kepada kesucian dasar dan kerjanya, hijrah yang mencari kekuatan dalam kaum seasas, secita-cita, hijrah yang tak diragui, oleh bayangan-bayangan mereka yang berlainan tujuan.
Maka dalam kerjanya sebagai Pemimpin, Muhammad saw juga menderita bencana dari pihak mereka yang merupakan diri sebagai kawan. Sedikitpun tidak mendatangkan kecewa pada dirinya. Bukan nama harum yang menjadi tujuannya, bukan “simpazi” orang dicari-carinya, maka lambat-lekasnya berhasil usahanya itu, tidak jadi taksiran dan kira-kira. Hanya keyakinan pada kesucian agamanya, dan keinsafan kepada kewajibannya sebagai Rasulullah yang jadi sumber kekuatannya setiap saat.
Sengsara dan bahaya memperkuat pendirian; tak menanti-nanti dan meminta-minta keakuran orang banyak; merasa cukup dengan pimpinan Tuhannya. Kemenangan dan kesentosaan tak menerbitkan megah dan sombong. Senantiasa ingat dan peringatkan yang dia hanya hamba dan Pesuruh Allah yang melakukan kewajibannya. Senantiasa berada dalam kelapangan. Menyerah kepada Tuhannya, dalam sengsara bersabar dan dalam kesenangan bersyukur kepada Allah.”
Di dunia Islam, Natsir juga aktif menggalang bantuan untuk Palestina dan menghadiri seminar-seminar yang bertema pembebasan Palestina. Selain itu Natsir juga beberapa kali bertemu dengan tokoh-tokoh pergerakan Islam Ikhwanul Muslimin.
Di dalam negeri, selain Natsir mengadakan pembinaan dan pengkaderan dai-dai dan ulama Islam, ia juga aktif mengirim mahasiswa-mahasiswa ke luar negeri, khususnya ke Timur Tengah. Ketika Dewan Dakwak Islamiyah dipimpin Natsir, buku-buku karya Hasan al Banna, Sayyid Qutb, Abul A’la al Maududi diterjemah dan disebarluaskan ke seluruh tanah air. Ketokohan Natsir ini bisa kita lihat juga penghormatan tokoh-tokoh politik, seperti Amien Rais dan Anwar Ibrahim kepadanya. Dalam Tempo edisi 14-20 Juli 2008, Amien Rais menyandingkan ketokohan Mohammad Natsir di dunia Islam, dengan Abul A’la al Maududi dan Sayid Qutb, dalam kolomnya di Tempo edisi 14-20 Juli 2008
Bulan Juli 2008, bertepatan dengan seratus tahun kelahiran Mohammad Natsir, majalah Tempo dan al Mujtama’ mengangkat Natsir sebagai laporan utama. Tempo membuat tulisan panjang dengan membuat cover majalah berjudul “Politik Santun Diantara Dua Rezim”. Sedangkan al Mujtama’ membuat tulisan penuh satu majalah dengan cover depan berjudul :“Maestro Dakwah yang Tak Kenal Lelah”.
Memang kepribadian, sejarah hidup dan pergerakan dakwah Mohammad Natsir, berpengaruh besar hingga ke generasi Islam Indonesia saat ini. Kita bisa membandingkan ketokohan Natsir dengan tiga tokoh besar dunia abad ke-20, yang pemikiran dakwah dan pemikiran Islamnya berpengaruh hingga kini. Mohammad Natsir, Hasan al Banna, Abul A’la al Maududi dan Taqiyudin an Nabhani pada dasarnya mempunyai cita-cita yang sama, menginginkan terbentuknya individu Islami, keluarga Islami, masyarakat Islami dan negeri yang Islami. Strategi yang mereka terapkan berbeda, karena pengalaman hidup, pendidikan dan pergaulan mereka berbeda.*
Sumber :
*Tahun 1945, Natsir tercatat sebagai anggota, ketua Masyumi saat itu adalah Dr. Sukiman Wirjosandjojo. Tahun 1949, Natsir menjadi ketua, sebagai presiden partai adalah Dr. Sukiman (struktur partai berubah). Lihat buku Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, Grafiti Pers, 1987, hal. 100-105
Ajip Rosidi, Natsir Sebuah Biografi, Girimukti Pasaka, 1990, hal. 76
Mohammad Natsir dalam Feith, dalam Ahmad Suhelmi, Soekarno versus Natsir hal. 75.
Mohammad Natsir, Agama dan Negara dalam Perspektif Islam, Media Dakwah, 2001, hal. 79
Idem Natsir, hal. 80
Mohammad Natsir, Agama dan Negara dalam Perspektif Islam, Media Dakwah, 2001, hal. 51
Idem Natsir, hal. 70
Idem Natsir, hal. 70-71
Idem Natsir, 83
Idem Natsir, 86
Lihat Ahmad Suhelmi, Soekarno versus Natsir hal. 56-57
Idem Natsir hal. 163. Artikel ini ditulis Natsir pada Mei 1954 (Ramadhan 1373 H)
Idem Natsir hal. 218
Idem Natsir hal. 220
Lihat buku SU Bajasut, Alam Fikiran dan Djedjak Perjuangan Prawoto Mangkusasmito, hal. 381
Lihat Ajip Rosidi, Natsir Sebuah Biografi, hal.78
Idem Ajip Rosidi, hal. 79-80
Abdul
Tidak ada komentar:
Posting Komentar