Sayid Qutb dan Hamka, adalah diantara ulama-ulama yang melahirkan karya emas di balik jeruji. Penjara bagi mereka, tidak menghalangi jalan untuk tetap berdakwah kepada masyarakat luas. Teladan yang perlu dicontoh
Sayid Qutb lahir di Mausyah, salah satu provinsi Asyuth, di dataran tinggi Mesir. Ia lahir pada 9 Oktober 1906. Nama lengkapnya adalah Sayyid Quthb Ibrahim Husain.
Menurut Dr. Dr. Shalah Abdul Fattah al-Khalidi, ada dua puluh lima buku (kitab) Quthb yang telah diterbitkan. Diantara karyanya yang ditulis dalam penjara adalah Tafsir Fi Zhilal dan Maalim fit Thariq.
Tafsir Fi Zhilalil Qur`an
Tafsir ini telah secara luas diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa: bahasa Inggris, Melayu, Indonesia, dan lain-lain. Pada mulanya penulisan tafsir oleh Quthb dituangkan di majalah Al-Muslimun edisi ke-3, yang terbit pada Februari 1952. Quthb mulai menulis tafsir secara serial di majalah itu, dimulai dari surah al-Faatihah dan diteruskan dalam surat al-Baqarah dalam episode-episode berikutnya. Setelah tulisannya sampai edisi ke-7, Quthb menyatakan, “Dengan kajian (episode ke-7 ini), maka berakhirlah serial dalam Majalah Al-Muslimun. Sebab Fi Zhilalil Qur`an akan dipublikasikan tersendiri dalam tiga puluh juz bersambung, dan masing-masing episodenya akan diluncurkan pada awal setiap dua bulan, dimulai dari bulan September mendatang dengan izin Allah, yang akan diterbitkan oleh Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah milik Isa Halabi & Co. Sedangkan majalah Al- Muslimun mengambil tema lain dengan judul Nahwa Mujtama’ Islami (Menuju Masyarakat Islami).”
Juz Pertama Zhilal itu terbit Oktober 1952. Quthb memenuhi janjinya kepada pembacanya, sehingga ia meluncurkan satu juz dari Zhilal setiap dua bulan. Bahkan kadang lebih cepat dari waktu yang ditargetkan. Pada periode antara Oktober 1952 dan Januari 1954, ia meluncurkan 16 juz dari Zhilal.
Ketika dimasukkan penjara untuk pertama kalinya, Januari hingga Maret 1954, Quthb berhasil menerbitkan dua juz Zhilal, juz ke-17 dan juz ke-18. Ia kemudian dibebaskan, tapi November 1954 ia bersama ribuan jamaah Ihwanul Muslimin ditangkap lagi dan dijatuhi hukuman 15 tahun. Pada awalnya di penjara itu, Quthb tidak bisa melanjutkan untuk menulis fi Zhilal, karena berbagai siksaan yang dialaminya. Tapi lambat laun, atas jasa penerbitnya, Quthb bisa melanjutkan tulisannya itu dan juga merevisi juz-juz fi Zhilal sebelumnya.
Dalam pengantar tafsirnya, Quthb mengatakan bahwa hidup dalam naungan Al-Qur`an itu suatu kenikmatan. Sebuah kenikmatan yang tidak diketahui kecuali oleh orang yang telah merasakannya. Suatu kenikmatan yang mengangkat umur (hidup), memberkatinya dan menyucikannya. Quthb merasa telah mengalami kenikmatan hidup di bawah naungan Al-Qur`an itu, sesuatu yang belum dirasakannya sebelumnya.
Ketika mau menulis tafsirnya, Quthb sebenarnya khawatir, karena ia melihat mustahil menafsirkan Al-Qur`an secara komprehensif. Lafal-lafal dan ungkapan-ungkapan yang ia tulis, ia rasakan tidak mampu sepenuhnya untuk menjelaskan apa yang dirasakannya terhadap Al-Qur`an. Quthb berkata, “Meskipun demikian, saya merasa takut dan gemetar manakala saya mulai menerjemahkan (menafsirkan) Al-Qur`an ini. Sesungguhnya irama Al-Qur`an yang masuk dalam perasaan mustahil bisa saya terjemahkan dalam lafal-lafal dan ungkapan-ungkapanku. Oleh karena itu, saya selalu merasakan adanya jurang yang menghalangi antara apa yang saya rasakan dan apa yang akan saya terjemahkan untuk orang lain dalam Zhilal ini.”
Tujuan-tujuan yang dituliskan tafsir fi Zhilal, menurut al-Khalidi adalah sebagai berikut.
Pertama, menghilangkan jurang yang dalam antara kaum Muslimin sekarang ini dengan Al-Qur`an. Quthb menyatakan, “Sesungguhnya saya serukan kepada para pembaca Zhilal, jangan sampai Zhilal ini yang menjadi tujuan mereka. Tetapi hendaklah mereka membaca Zhilal agar bisa dekat kepada Al-Qur`an. Selanjutnya agar mereka mengambil Al-Qur`an secara hakiki dan membuang Zhilal ini.”
Kedua, mengenalkan kepada kaum Muslimin sekarang ini pada fungsi amaliyah harakiyah Al-Qur`an, menjelaskan karakternya yang hidup dan bernuansa jihad, memperlihatkan kepada mereka mengenai metode Al-Qur`an dalam pergerakan dan jihad melawan kejahiliahan, menggariskan jalan yang mereka lalui dengan mengikuti petunjuknya, menjelaskan jalan yang lurus serta meletakkan tangan mereka di atas kunci yang dapat mereka gunakan untuk mengeluarkan perbendaharaan-perbendaharaan yang terpendam.
Ketiga, membekali orang Muslim sekarang ini dengan petunjuk amaliah tertulis menuju ciri-ciri kepribadian Islami yang dituntut, serta menuju ciri-ciri islami yang Qur`ani.
Keempat, mendidik orang Muslim dengan pendidikan Qur`ani yang integral; membangun kepribadian Islam yang efektif, menjelaskan karakteristik dan ciri-cirinya, faktor-faktor pembentukan dan kehidupannya.
Kelima, menjelaskan ciri-ciri masyarakat islami yang dibentuk oleh Al-Qur`an, mengenalkan asas-asas yang menjadi pijakan masyarakat islami, menggariskan jalan yang bersifat gerakan dan jihad untuk membangunnya. Dakwah secara murni untuk menegakkannya, membangkitkan hasrat para aktivis untuk meraih tujuan ini, menjelaskan secara terperinci mengenai masyarakat islami pertama yang didirikan oleh Rasulullah saw. di atas nash-nash Al-Qur`an, arahan-arahan, dan manhaj-manhajnya sebagai bentuk nyata yang bisa dijadikan teladan, misal, dan contoh bagi para aktivis.
§ Ma’alim fith-Thariq (Petunjuk Jalan)
Buku yang ditulis Quthb terakhir dalam hidupnya ini, adalah termasuk buku yang terbanyak dibaca pembaca, di antara buku-bukunya. Di Indonesia, paling tidak ada dua penerbit yang telah menerjemahkannya. Yaitu penerbit Media Dakwah dan penerbit Gema Insani Press. Sedangkan di Mesir, menurut Dr. Abdullah Azzam , pada tahun 1965 itu, Dinas intelijen Amerika mengirim surat kepada Gamal Abdul Nasser agar mengawasi buku itu karena telah laku terjual 30 ribu di pasar.
Buku Quthb ini juga menjadi bukti bagi hakim di pengadilan, bagi penghukuman matinya. Meskipun hakim di pengadilan itu, tidak menjelaskan secara terperinci hal-ihwal buku Maalim fith- Thariq.
Ma’alim fith-Thariq sebenarnya ini seperti “ringkasan” dari seluruh karya yang ditulis Quthb. Ia memulai bukunya dengan memberikan pedoman-pedoman agar seorang Muslim menjadi generasi Qur`ani yang istimewa. Quthb berkata, “Dakwah ini pernah menghasilkan suatu generasi manusia, yaitu generasi sahabat—semoga Allah meridhai mereka. Suatu generasi pilihan dalam sepanjang sejarah Islam dan dalam sepanjang sejarah manusia. Kemudian generasi semacam itu tidak lagi dihasilkan dalam sejarah Islam. Benar ada beberapa orang dengan karakteristik seperti generasi pertama itu yang dihasilkan oleh dakwah Islam sepanjang sejarah, namun belum pernah terjadi dalam sejarah Islam, terkumpulnya tokoh-tokoh besar semacam itu dalam satu tempat, seperti yang terjadi pada masa pertama dari kehidupan dakwah ini.”
Quthb dalam bukunya itu juga membahas tentang Karakteristik Manhaj Al-Qur`an dalam Dakwah, Tumbuhnya Masyarakat Muslim dan Karakteristiknya, Laa Ilaaha Illallah Sebuah Pedoman Hidup, Islam Sebuah Peradaban dan Jihad Fi Sabilillah.
Dalam bab tentang Islam Sebuah Peradaban (Al-Islaamu huwa al-hadhaarat), Quthb menegaskan bahwa Islam hanya mengenal dua bentuk masyarakat: masyarakat islami dan masyarakat jahiliah. Masyarakat islami adalah masyarakat yang melaksanakan Islam dalam akidah dan ibadah, syariat dan sistem (nidzam), serta dalam akhlak dan tingkah laku. Sedangkan masyarakat jahiliah adalah masyarakat yang tidak menerapkan Islam, tidak dihukumi oleh akidah dan pandangan hidup Islam, oleh nilai-nilai dan timbangan Islam, serta tidak berakhlak dan bertingkah laku Islam. Suatu masyarakat tidak dinamakan masyarakat Islam, hanya karena terdiri dari orang-orang yang menamakan dirinya orang-orang Islam (muslimin), padahal syariat Islam tidak menjadi hukum pada mereka, meskipun kewajiban-kewajiban, seperti shalat, berpuasa, dan melakukan ibadah haji dilaksanakan.
Masyarakat islami adalah satu-satunya masyarakat yang berperadaban, sedangkan masyarakat jahiliah dengan berbagai variasi bentuknya adalah masyarakat yang terbelakang. Quthb berkata, “Bila kekuasaan tertinggi dalam suatu masyarakat kembali kepada Allah semata, terlambang dalam berdaulatnya syariat Ilahi, maka ini adalah satu-satunya bentuk manusia dapat menjadi bebas dengan sempurna dan sesungguhnya dari penghambaan manusia. Inilah yang merupakan “peradaban manusia” (al-hadhaarah al-insaaniyah), yang sesungguhnya, karena peradaban manusia itu menghendaki adanya suatu fondasi pokok untuk kebebasan manusia yang sesungguhnya dan sempurna. Fondasi demi ketinggian martabat yang mutlak bagi setiap individu dalam masyarakat.”
Di Amerika, Quthb mendengarnya syahidnya Hasan al-Banna dan hatinya "membara", marah ketika melihat banyak tokoh masyarakat di sana yang bergembira dengan meninggalnya al-Banna. Sekembalinya dari Amerika, Quthb bergabung dengan Ikhwanul Muslimin. Saat itu ia memegang sebagai Ketua Seksi Penyebaran Dakwah dan Pemimpin Redaksi Koran Al-Ikhwan al-Muslimun.
Dua tahun kemudian, tepatnya November 1954, Quthb ditangkap oleh Nasser bersamaan dengan penangkapan besar-besaran pemimpin Ikhwan. Quthb bersama kawan-kawannya dituduh bersekongkol untuk membunuh Nasser (subversif), melakukan kegiatan agitasi antipemerintah dan lain-lain serta dijatuhi hukuman lima belas tahun “kerja keras” (penjara–-pent. )
Selama dipenjarakan, ia merevisi tiga belas juz pertama tafsir Qur`annya dan menulis beberapa buah buku, termasuk Hadzad Diin (Inilah Islam) dan Al-Mustaqbal Hadzad Diin (Masa Depan di Tangan Islam). Sebelumnya, Quthb berhasil menerbitkan 16 juz dari Tafsir Zhilal sebelum ia dipenjara.
Sesudah sepuluh tahun menjalani hukumannya, Quthb dibebaskan dari penjara oleh Nasser karena campur tangan pribadi presiden Irak, Abdul Salam Arif. Siksaan fisik dan mental kepada para anggota-anggota Ikhwan, meninggalkan bekas yang mendalam kepadanya. Setelah bebas, ia menulis buku Maalim fith-Thariq dan mengakibatkan ia ditangkap lagi pada tahun 1965.
Pemerintah Mesir tidak hanya terkesima dengan kepemimpinan Quthb yang nyaris messianik, tetapi juga dengan kedalaman dukungan masyarakat akar rumput atas perjuangannya. Mereka ini kebanyakan bukanlah petani atau masyarakat rural (pedusunan) yang rawan terhadap simbolisme keagamaan. Dari ribuan anggota Ikhwanul Muslimin yang ditahan, banyak di antara mereka adalah ahli hukum, ilmuwan, gurubesar universitas, guru sekolah, dan mahasiswa. Quthb dipandang begitu berbahaya bagi tatanan politik Nasseris, sehingga meskipun menghadapi banjir imbauan untuk pengampunannya, hukuman mati tetap dilaksanakan juga oleh pemerintah Mesir.
Tahun 1965, Quthb bersama Ikhwanul Muslimin dituduh Gamal Abdul Nasser berkonspirasi menjatuhkan kekuasaannya. Pengumuman itu disampaikan Nasser ketika di Moskow. Atas pengumuman Nasser itu, aparat negara dan kepolisian melakukan penangkapan terhadap Quthb dan aktivis-aktivis Ikhwanul Muslimin lainnya, juga teman-teman kenalan dan kerabat-kerabat mereka. Quthb ditangkap pertama kali dan kemudian dijatuhi hukuman mati.
Akhirnya, pada Minggu sore, 28 Agustus 1966, bertepatan dengan 12 Jumadi Ats-Tsaniyah 1386, seminggu setelah dikeluarkannya putusan hukuman eksekusi, seluruh pimpinan redaksi media massa dihubungi melalui sambungan telepon dari kantor Sami Syaraf, Sekretaris Gamal Abdul Nasser bidang penerangan. Sekretaris itu mengeluarkan berita kepada media massa, “Pagi ini telah selesai pelaksanaan eksekusi terhadap Sayyid Quthb, Abdul Fattah Ismail, dan Muhammad Yusuf Hawwasy!"
Peristiwa eksekusi Quthb oleh Nasser ini, mengagetkan masyarakat dan dunia Islam. Karena sebelumnya hubungan antara Quthb dan Nasser adalah cukup dekat, terutama ketika menjelang berlangsungnya revolusi Agustus 1952. Beberapa hari menjelang Revolusi Mesir itu, Nasser berkunjung ke rumah Quthb. Ketika Revolusi meletus, Quthb adalah orang yang dihormati oleh para pemimpin revolusi. Media massa di Mesir saat itu banyak menampilkan gambar Quthb yang berdampingan dengan Muhammad Najib dan Gamal Abdul Nasser.
Abdullah Azzam dalam bukunya As-Syahid Sayyid Quthb, menceritakan bahwa beberapa hari setelah revolusi itu, Quthb diminta untuk menyampaikan pidato di depan ribuan manusia. Termasuk yang hadir adalah wakil negara-negara Arab Muslim yang ada di Mesir, para politisi, para sastrawan, pemikir, ahli hukum, dan para guru besar dari berbagai perguruan tinggi dan akademisi. Dalam pidato itu, di antaranya Quthb menyatakan,“Sekarang revolusi betul-betul telah dimulai. Akan tetapi, kita tidak boleh menyanjung-nyanjungnya, sebab dia belum memberikan sesuatu yang berarti. Diturunkannya Raja Fuad bukanlah tujuan revolusi ini. Akan tetapi, tujuannya adalah mengembalikan negeri ini kepada Islam…Pada masa kerajaan saya selalu siap untuk dipenjarakan setiap saat, dan perkembangan hari ini pun belum menjamin keamanan diri saya. Pada saat ini, saya selalu siap untuk dijebloskan ke dalam penjara atau bahkan dipenjara lebih dari yang ada sebelumnya.”
Menyambut pernyataan Quthb itu, Nasser kemudian berpidato,
“Saudaraku Sayyid Quthb, demi Allah, mereka tidak akan bisa mengganggumu kecuali harus melewati mayat kami. Kami berikan janji kami dengan nama Allah. Bahkan kami ulangi janji kami, bahwa kami akan menjadi pembela-pembelamu hingga akhir hayat kami.”
Ternyata Nasser tidak menepati janjinya. Ia menangkap Quthb, bahkan menghukumnya mati.
Setelah bersama-sama berhasil dalam revolusi 1952 itu, sebelumnya Quthb pernah ditunjuk pemerintah Nasser sebagai Penasihat Dewan Pimpinan Revolusi untuk urusan kebudayaan dan dalam negeri. Jabatan ini dipangkunya beberapa bulan saja. Selain itu, Quthb juga pernah ditawari sebagai Menteri Pendidikan Mesir dan Direktur Umum Penerangan, tetapi ia menolaknya. Akhirnya, Quthb menerima jabatan Sekretaris Jenderal Liga Pembebasan (Hai’at at-Tahrir), sebuah jabatan strategis karena ia menyangkut penentuan kebijaksanaan politik Mesir. Tetapi jabatan ini hanya dipegangnya selama beberapa bulan.
HAMKA
Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau Hamka adalah ulama dan penulis Islam Indonesia paling produktif. Karya tafsirnya, Al Azhar, dibaca kaum muslimin dari Mesir sampai London. Hamka lahir di Sungai Batang, Sumatera Barat, pada 17 Februari 1908.
Hamka mulai menulis tafsirnya pada tahun 1958. Awalnya dilakuan lewat kuliah subuh pada jamaah di masjid Al Azhar Kebayoran Baru, Jakarta. Ia memulai penafsiran dari surah al Kahfi juz XV. Mulai tahun 1962, kajian tafsir yang dicermahkannya itu dimuat di majalah Gema Islam.
Dua tahun kemudian, tepatnya 27 Januari 1964, Hamka ditangkap penguasa Orde Lama (Soekarno) dengan tuduhan berkhianat terhadap tanah air. Penahanan ini berlangsung sekitar dua tahun. Dan ini menjadi berkah bagi ulama yang juga sastrawan itu. Dalam rentang waktu di tahanan itulah ia bisa menyelesaikan penulisan tafsirnya. Beberapa hari sebelum pindah ke tahanan rumah, ia telah merampungkan tafsir Al-Qur’an 30 juz. Pada tahun 1967, tafsir itu untuk pertama kalinya terbit dengan nama Tafsir Al Azhar.
Hamka mengisahkan hikmahnya ia di penjara: “Tetapi di samping hati mereka (penfitnah Hamka-pen) yang telah puas, Tuhan Allah telah melengkapi apa yang disabdakan-Nya di dalam surah at Taghabun ayat 11. Yaitu bahwa segala musibah yang menimpa diri manusia adalah dengan izin Allah belaka. Asal manusia berima teguh kepada Allah, niscaya Allah akan memberikan hidayat ke dalam hatinya. Tuhan Allah rupanya menghendaki agar masa terpisah dari anak istri dua tahun, dan terpisah dari masyarakat, dapat saya pergunakan menyelesaikan pekerjaan berat ini, menafsirkan Al Qur’anul Karim. Karena kalau saya masih di luar, pekerjaan saya ini tidak akan selesai sampai saya mati. Masa terpencil dua tahun telah saya pergunakan untuk sebaik-baiknya. Maka dengan petunjuk dan hidayat dari Allah Yang Maha Kuasa, beberapa hari sebelum saya dipindahkan ke dalam tahanan rumah, penafsiran Al Qur’an 30 Juzu’ telah selesai. Dan semasa tahanan rumah dua bulan lebih saya pergunakan pula buat menyisip mana yang masih kekurangan.”
Hamka juga ingat kisah Ibnu Taimiyah yang dipenjarakan degan muridnya Ibnu Qayyim karena fitnah. Ia mengatakan kepada Ibnu Qayim:”Apakah lagi yang didengkikan oleh musuh-musuhku kepadaku? Penjara itu bagiku adalah untuk berkhalwat dan pembuangan adalah untuk menambah pengalaman. Orang terpenjara ialah yang dipenjarakan oleh hawanafsunya dan orang yang terbelenggu ialah yang dibelenggu oleh syaitan.”
Ulama besar ini ditahan karena dituduh memberontak kepada penguasa dan ikut serta membela –dalam ceramah-ceramahnya—perjuangan PRRI oleh tokoh-tokoh Masyumi. Ia dituduh mengadakan rapat gelap di Tangerang pada 11 Oktober 1963.
Prof. Dr. Hamka mengungkapkan:”Seketika menyusun “Tafsir” ini, baik selama dalam masa tahanan maupun setelah keluar dan menelitinya kembali, terkenanglah saya kepada tiga orang (bapak, guru dan istrinya -pen) yang amat besar peranan mereka di dalam membentuk pribadi dan wajah kehidupan saya, yang saya belum merasa puas kalau belum menuliskannya dalam permulaan “Tafsir ini”.
Mereka itu ialah pertama ayah dan guru saya yang tercinta, Almarhum Dr. Syaikh Abdulkarim Amrullah, yang sejak saya mulai terlancar dari perut ibu saya, mulai melihat cahaya matahari, beliau ingin sekali agar saya kelak menggantikan tempat beliau sebagai orang alim. Karena baik beliau sendiri, ataupun ayah beliau (nenek saya) Syaikh Muhammad Amrullah, atau nenek beliau Syaikh Abdullah Shalih, atau nenek yang di atas lagi yaitu Tuanku Pariaman Syaikh Abdullah Arif, adalah orang-orang alim belaka pada zamannya. Ayahku mengharap janganlah hal itu putus pada anak-anaknya dan sayalah yang beliau harap meneruskan itu.”
Hamka menyatakan bahwa ia tidak punya keahlian khusus sebenarnya untuk menulis tafsir. Ia, meskipun banyak menguasai ilmu agama dan telah menulis banyak buku tentang bahasa dan Islam, tapi ia bukan orang spesialis. Ia memberanikan diri menulis tafsir ini, karena menganggap ada kebutuhan yang diperlukan bagi para pemuda yang semangat menjalankan Islam dan ahli-ahli dakwah yang butuh bimbingan.
Ulama teladan ini menyatakan: ”Penulis ‘Tafsir’ ini telah membaca syarat-syarat yan dikemukakan oleh ulama-ulama ikutan kita, untuk siapa-siapa yang hendak menterjemahnya, hendaklah tahu bahasa Arab dengan segala peralatannya, tahu pula penafsiran orang terdahulu, pula tahu Asbabun Nuzul, yitu sebab-sebab turun ayat, tahu pula hal Nasikh Mansukh, tahu pula ilmu Hadits, terutama yang berkenaan dengan ayat yang tengah ditafsirkan, tahu pula ilmu Fiqh, untuk mendudukkan hukum.
Syarat-syarat itu memang berat dan patut. Kalau tidak ada syarat demikian tentu segala orang dapat berani saja mentafsirkan Al-Qur’an. Ilmu-ilmu yang dijadikan syarat oleh ulama-ulama itu Alhamdulillah telah penulis ketahui ala kadarnya, tetapi penulis tidaklah mengakui bahwa penulis sudah sangat alim dalam segala ilmu itu. ” * (Artikel yang lebih ringkas pernah dimuat di Majalah Media Dakwah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar