Minggu, 29 Agustus 2010

Perang atau Diplomasi? Tanggapan untuk David Miliband, Menlu Inggris


Perang atau Diplomasi?
Tanggapan untuk David Miliband, Menlu Inggris

Oleh: Nuim Hidayat

“Setelah melalui peninjauan yang mendalam, Presiden Obama telah memutuskan bahwa diperlukan penempatan 30.000 pasukan tambahan untuk mengatasi kebuntuan di Afghanistan. Walau dengan risiko yang harus dihadapi, dengan tegas ia mengatakan bahwa perang ini adalah sebuah perang yang diperlukan karena di daerah perbatasan yang bergunung-gunung antara Afghanistan dan Pakistan merupakan pusat pelatihan ekstrimis al Qaidah, tulis David Miliband di Republika 11 Desember 2009.

Di artikel itu David mengakhiri dukungannya ke Obama dengan kalimat: “Tantangan-tantangan di Afghanistan adalah sesuatu yang kompleks dan memakan waktu untuk diselesaikan. Namun, yang menjadi taruhan bukan hanya kredibilitas NATO atau stabilitas Asia Selatan, tapi juga keselamatan penduduk kita di sini, baik di Eropa, Amerika, maupun dimana saja. Komitmen dan kebulatan tekad Amerika Serikat sudah jelas. Yang diperlukan sekarang adalah kewajiban kita semua untuk mempertimbangkan sumberdaya dan kekuatan kita sendiri. Lalu, bertanya pada diri sendiri, apalagi yang bisa kita lakukan. Meski demikian, tidak hanya lebih banyak tentara yang diperlukan, tapi juga para polisi, hakim-hakim, administrative, bantuan pembangunan, pendanaan integrasi, atau para ahli pertanian.”

Lebih kurang setelah tujuh tahun AS melakukan invasi ke Aghanistan, nampak AS kini kedodoran. Menurut laporan beberapa media, mayoritas wilayah bukan dikuasai AS dan sekutunya, tapi malah lebih banyak dikuasai mujahidin Afghan. Meski AS/NATO didukung persenjataan yang canggih dan lengkap, sampai saat ini tentara-tentara AS dan ‘pemerintahan boneka-nya’ di Afghan tidak bisa mengendalikan Afghan.

Perang Mujahidin Afghan dengan Rusia, dimana Rusia tidak bisa menaklukkan Afghan tidak diambil pelajaran oleh Obama. Begitu juga perang Vietnam yang membuat Amerika malu, mestinya menjadi pelajaran besar bagi seorang pemimpin Negara besar seperti Obama. Sudah merupakan sunnatullah atau hukum alam, bahwa semangat jiwa tidak akan bisa dikalahkan oleh materi. Yakni semangat perjuangan kaum Muslimin Afghanistan untuk membebaskan tanahnya dari invasi AS dan sekutunya tidak akan dikalahkan oleh pasukan NATO.

Secara psikologis, tentu semangat para pejuang Afghan, jauh lebih tinggi daripada semangat tentara-tentara yang dikirimkan oleh AS. Tentu jauh beda, semangat seorang yang membebaskan negara dari penjajah versus semangat tentara yang ingin menguasai Afghan. Semangat pejuang Afghan (mujahidin Taliban cs) yang dilandasi keimanan untuk melawan kezaliman itu dimiliki oleh masing-masing individu pejuang. Sedangkan semangat tentara AS cs mungkin hanya dimiliki oleh segelintir pemimpin pasukan AS di sana. Sementara individu-individu pasukan itu semangatnya setengah-setengah, bahkan banyak tentara AS yang tidak ingin dikirim ke Afghan atau Irak. Gerilyawan-gerilyawan Afghan sanggup tidak makan dua-tiga hari dan berjalan puluhan dan ratusan kilometer menembus salju. Tentara AS tentu tidak mampu. Jadi meski dikirim puluhan ribu lagi tentara AS ke sana, kemungkinan besar akan sia-sia. Hanya menambah korban saja, baik di pihak pejuang Afghan atau NATO.

Perang Fisik atau Perang Pemikiran?

Di abad informasi ini, sebenarnya perang fisik sudah bukan zamannya. Tidak ada jalan buntu, bila para pemimpin lebih mendulukan otak daripada otot. Lebih mengutamakan akal dari pada ‘okol’. Memang peranan akal akan hilang, bila yang muncul adalah nafsu ketamakan. Ketamakan menguasai harta, jabatan, sumberdaya dan lain-lain.

Bila masalah Afghan mau selesai, maka saatnyalah tentara-tentara NATO mengundurkan diri dari tanah para mujahidin itu. Relakanlah Afghanistan diatur oleh kaum Muslimin Afghan untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri. Para ulama internasional bisa dilibatkan untuk membantu pemulihan Afghan di masa depan (hal yang sama sebenarnya bisa dilakukan di Irak atau Israel). Hanya para ulama-ulama ienternasional lah yang bisa bermusyawarah untuk menyelesaikan afghan. Mereka yang mengerti pemikiran perasaan muslimin Afghan. Bukan tentara-tentara NATO yang pemikiran dan perasaanya jauh beda dengan muslimin di Afghan..

Ingat, manusia kini telah memasuki zaman baru. Google telah membuat perpustakaan raksasa, ‘menscan’ hampir semua buku penerbit-penerbit terkenal di dunia. Dengan ragam bahasa, mulai bahasa Indonesia, Cina, Arab, Perancis, Inggris dan lain-lain. Kini seringkali untuk mengkaji sejarah pemikiran dan peradaban sebuah bangsa, kita cukup duduk manis di depan komputer, tidak perlu repor-repot pergi jauh ke Leiden, Oxford, Mekkah dan lain-lain.

Langkah Google, yang dipelopori dua anak muda Amerika itu, harusnya menginspirasi pemimpin-pemimpin Amerika-Inggris. Untuk mencari pemikiran-pemikiran terbaik manusia, bukan dengan jalan perang fisik. Tapi jalannya musyawarah, adu pendapat atau adu pemikiran.

Taliban: Ancaman atau Tantangan?

Taliban, Al Qaida sebenarnya hampir sama dengan kelompok Muslim lainnya. Serangan mereka ke WTC atau kejadian-kejadian lain, hanyalah letupan kecil atau balasan kepada kezaliman yang dilakukan AS sendiri di belahan negeri Muslim lainnya. Di Bosnia, Israel dan lain-lain. Jadi kalau tragediWTC dibalas dengan penjajahan di Afghan atau Irak, ibaratnya, pencurian kecil-kecilan dibalas dengan perampokan balas-balasan. Granat dibalas dengan bom atom. Amerika cs telah bertindak melewati batas membalas Al Qaida dengan memerangi, merampok dan merusak masa depan negeri Islam, Irak dan Afghan, maka AS dan sekutunya bertindak seperti Israel menjajah Palestina.

Karena itu, tidak heran bila para intelektual ternama Barat seperti John L Esposito atau Noam Chomsky menganjurkan AS agar ‘berkaca’. Mengevaluasi kebijakan-kebijakan luar negeri mereka sendiri yang lebih banyak menyengsarakan dunia Islam daripada memakmurkan. Dan ingat berapa juta penduduk Barat sendiri yang berdemonstrasi agar Amerika, Inggris (NATO) menarik diri dari Afghan dan Irak.

Tentang Al Qaida atau Taliban mengancam Eropa, Amerika atau negara-negara lainnya. Sebenarnya hanyalah mitos belaka. Bila Amerika cs berlaku sebagai polisi yang adil di dunia ini, maka tidak akan terjadi ancaman atau ‘balasan serangan’. Tergantung pada Amerika sendiri mau menjadi penguasa yang ‘congkak’di dunia ini atau mau rendah hati, bersama-sama para ulama dunia Islam menuju perdamaian dunia.

Memang tidak mudah menuju perdamaian dunia bila masih banyak kezaliman di sana. Ibaratnya sulit menghindari adanya pencurian, apabila orang-orang kaya di sebuah masyarakat tidak mau berbagi dengan yang lain. Begitu juga sukar menghindari adanya peperangan fisik bila sebagian masyarakat masih mengobarkan peperangan fisik dengan yang lain. Dan manusia yang tergoda syetan senantiasa akan menurutinya. Syetan tidak suka kepada perdamaian sejati (Islam).

Menurut Sayid Qutb, perdamaian dunia dimulai dengan perdamaian individu. Yakni mereka yang menginginkan perdamaian di muka bumi ini, maka dari jiwa individulah dimulai. Terutama dari jiwa pemimpin-pemimpin dunia. Bila sang pemimpin tidak ada kedamaian jiwanya, maka nafsu berperanglah yang akan menguasainya. Individu yang resah jiwanya, cenderung akan menularkan keresahan itu kepada yang lain. Sebuah komunitas masyarakat yang individu-individunya banyak yang resah, tentu akan membesar, menjadi keresahan masyarakat dan akhirnya menjadi keresahan negara dan dunia. Begitu juga bila individu itu tenteram jiwanya, maka akan menular kepada keluarganya. Dari keluarga ke masyarakat dan seterusnya ke negara dan dunia.

Walhasil, seharusnya Inggris tidak perlu terus membebek kepada kebijakan politik Amerika. Sejarah Inggris sebagai sebuah ‘imperium besar’ mestinya bisa mandiri tidak selalu mengikut pada kata Presiden AS. Obama meski telah dianugerahi Nobel, bukanlah seorang yang suci dan pemimpin sejati. Obama tidak pernah menderita dalam sejarah hidupnya. Padahal pemimpin sejati dalam sejarah manusia, ia ‘selalu menderita’ memikirkan rakyatnya. ‘Leiden is lijden’, pemimpin itu menderita, kata tokoh Masyumi Kasman Singodimedjo.

Walhasil, cuplikan puisi penyair besar Mohammad Iqbal ini patut kita renungkan:

“Malanglah umat yang terperangkap tipu muslihat golongan lain
Yang menghancurkan diri sendiri dan membangun untuk kepentingan umat lain
Mereka memperoleh kecakapan ilmiah dan ketrampilan seni
Namun tak menyadari kepribadiannya sendiri
Mereka menghapuskan ayat Tuhan dari cincinnya
Cita-cita di hatinya bangkit cuma untuk tenggelam
Mereka tak diberkati keturunan yang diresapi rasa hormat
Jiwa dalam tubuh anak-anak mereka seperti bangkai dalam kuburan”* (artikel yang lebih ringkas telah dimuat di majalah Hidayatullah).

Jumat, 27 Agustus 2010

Prof Nik Anuar Nik Mahmud : “Melayu Islam tidak Boleh Dizalimi”



Prof Nik adalah profesor yang pemberani. Bukan hanya dimana-mana ia lantang menyuarakan satu rumpun Melayu dan Melayu Raya, tapi juga menyuarakan Melayu Islam tidak boleh dizalimi. Bukunya tentang Sejarah Islam di Pattani dilarang pemerintah Thailand. Tapi ia tidak takut, ia terus menulis buku dan berbicara dimana-mana tentang sejarah Melayu sebenarnya.

Kepakarannya dan keberaniannya dalam mengungkapkan sejarah Islam Melayu, sukar dicari tandingannya. Ia bila berbicara terbuka dan tidak mau berpura-pura. Berikut petikan wawancaranya di kantornya, ATMA-UKM (Institut Alam dan Tamadun Melayu-Universiti Kebangsaan Malaysia), dengan Dosen STID M Natsir di Malaysia, Nuim Hidayat:

Bagaimana Anda melihat hubungan Malaysia Indonesia ini dari perspektif sejarah?

Ya, saya akan melihat hubungan Indonesia Malaysia ini dari perspektif sejarah, dari perspektif Malaysia. Kalau kita baca buku-buku sejarah, khususnya buku-buku sejarah Melayu yang ditulis sebelum perang dunia ke-2, seperti sejarah Melayu yang ditulis oleh Abdul Hadi dan Munir Adil, maka wilayah Semenanjung dan Indonesia ini dianggap sebagai alam Melayu Raya. Mereka menamakan tanah Melayu ini, Sumatera, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Sumatra, Johor, Kelantan, Pattani dll ini alam Melayu atau di Indonesia dikenal Nusantara. Yaitu wilayah Semenanjung tanah Melayu dan gugusan tanah Melayu.

Sejarah ini apakah diajarkan kepada murid-murid di Malaysia?

Ya, pelajaran sejarah ini diajarkan kepada pelajar-pelajar Melayu sebelum perang dunia ke-2. Orang Melayu semenanjung ini bagian dari pada alam Melayu yang merangkumi pulau-pulau tadi itu. Jadi walaupun ini satu alam Melayu, tapi alam Melayu ini telah dipecah dua oleh penjajah, yaitu pada tahun 1824 oleh British (Inggris) dan Belanda. Mana-mana wilayah dibawah semenanjung di bawah naungan Belanda. Mana-mana wilayah di atas Sumatra atau Riau, di bawah naungan British.

Sebelum ini tidak ada perpecahan itu. Sampai hari ini pemecahan itu berlaku. Sebelum Perang Dunia ke-2, ada semangat mau bersatu semula.. Ibrahim Haji Yakub dari Melayu, mau melihat negeri-negeri Melayu yang telah pecah ini bersatu atas nama Melayu Raya,.di Indonesia juga ada gerakan seperti ini. Mereka mau melihat alam Melayu ini disatukan atas nama Indonesia raya. Ada hasrat untuk menjadi bersatu. Tapi rencana ini tidak berjaya karena dihalang oleh kuasa-kuasa besar. Mereka tidak mau melihat bangsa Melayu ini mempunyai satu Negara. Mereka mau melihat perpecahan. Kalau bangsa Melayu ini dibawah satu negara, maka akan jaya. Potensi baik dari segi jumlah penduduknya yang besar maupun hasil buminya,

Bagaimana kuasa-kuasa besar itu bermain?

Jadi akibat halangan kuasa-kuasa besar itu, usaha mewujudkan Melayu Raya gagal, Malaysia dengan Malaysianya, Indonesia tetap dengan Indonesianya. Tapi bagaimanapun apabila tanah Melayu menggapai kemerdekaan tahun 1963, pemimpin-pemimpin Indonesia mengharapkan adanya kerjasama yang erat.

Tahun 1958 atau atau 1959 itu Tun Razak, PM Malaysia, melakukan lawatan ke Jakarta dan PM Juanda melawat ke Kuala Lumpur. Mereka melakukan perjanjian kerjasama, kebudayaan dan bahasa. Walaupun berbeda Negara, atas nama satu rumpun pemimpin Indonesia ingin kerjasama.

Sebelum merdeka semasa rakyat Indonesia lepas dari Perang Dunia ke-2, semasa Indonesia membebaskan tanah airnya dari kekuasaan Belanda, ramai juga anak-anak muda Melayu yang jadi sukarelawan menyertai anak-anak Indonesia yang berjuang untuk menentang Belanda. Sehingga Belanda akhirnya mengiktiraf kemerdekaan Indonesia tahun 1949. Tahun 1945 Belanda belum mengiktiraf Indonesia. Juga ketika Indonesia membebaskan Irian Barat banyak anak-anak muda Semenanjung yang ikut serta.

Itu menunjukkan semangat satu rumpun. Pada masa itu Malaysia belum merdeka masih dijajah Inggris. Mereka berhijrah ke Indonesia, berjuang bersama Indonesia memperjuangkan kemerdekaan dari Belanda. Sejarah ini perlu kita fahamkan. Walaupun Malaysia Indonesia dipisahkan oleh Belanda dan Inggris pada tahun 1824. Jadi semangat satu rumpun masih kuat. Kesatuan Muda Malaysia pimpinan Ibrahim Yakub bergabung dengan pemuda Indonesia dalam melawan Belanda, untuk mewujudkan Melayu Raya.

Bagaimana kemudian hubungan Indonesia Malaysia tahun 60-an itu?

Tokoh-tokoh Indonesia Malaysia itu sebenarnya mau mengukuhkan hubungan perjanjian persahabatan. Tahun 1961, hubungan Malaysia Indonesia lebih dingin berkaitan dengan cadangan Tengku untuk membentuk Malaysia. Tengku mengumunkan bahwa beliau akan membebaskan Sabah, Serawak, Brunei, Singapura daripada penjajahan British dan menyatukan negeri ini dengan tanah Melayu. Jadi pengistiharan (Pengumuman) Tengku ini disalahartikan oleh presiden Soekarno. Ia menganggap rencana Tengku ini bertujuan untuk melemahkan atau melumpuhkan Indonesia.

Dia kata rencana tengku itu adalah konspirasi British dan Amerika untuk mengukuhkan dirinya. Gagasan itu kemudian ditentang. Ini sebenarnya tidak pas. Bila saya buat kajian, tiadak ada satu kalimatpun yang menyatakan bahwa tujuan Tengku itu untuk melemahkan Indonesia. Tidak ada. Tujuan Tengku adalah untuk memerdekakan sisa-sia penjajahan British di Asia Tengah. Bukan bertujuan untuk mengepung Indonesia. Bukan bermufakat dengan Barat untuk memecahkan wilayah Indonesia. Ini adalah salah paham.

Mengapa Presiden Soekarno bereaksi seperti itu?

Saya tak boleh salahkan Presiden Soekarno juga. Karena semenjak beliau menjadi presiden, Amerika dan British berusaha untuk menjatuhkan beliau. Sebagai contoh Amerika pernah memberikan senjata pada beberapa pergolakan di Indonesia. Karena latar belakang tadi, jadi apabila Tengku merencanakan kemerdekaan Malaysia, maka ia dengan cepat mengatakan bahwa ini adalah usaha-usaha kuasa besar untuk melemahkan Indonesia. Padahal tidak ada usaha itu.

Kedua, waktu ada pergolakan PRRI di Sumatera, ada pemimpin-pemimpin PRRI itu yang berlari ke Melayu. Mereka memohon suaka politik. Tengku mengizinkan, tapi dengan syarat bahwa jangan jadikan tanah Melayu ini sebagai bekalan untuk menentang Indonesia. Jadi itu mengapa kemudian Tengku memberikan perlindungan kepada Des Alwi, Dr Sutino, dll. Presiden Soekarno menuntut agar dua orang itu dikembalikan ke Indonesia. Tengku kata bahwa dua orang tokoh itu bukan penjenayah (tahanan) biasa, tapi mereka tahanan politik. Mereka menuntut hak untuk suaka politik, ini membuat Indonesia mencurigai Melayu. Tahun 1963-1966 terjadi konfrontasi Indonesia Malaysia. Beberapa perundingan dijalankan tapi gagal. Tahun 1963, ketika Malaysia diiktiraf kemerdekaannya oleh dunia internasional, Indoensia tidak mengiktiraf Malaysia dan memutuskan hubungan diplomatik.

Dalam pandangan Malaysia, ini karena desakan PKI (Partai Komunis Indonesia). Dengan konfrontasi ini, maka pihak tentara memberi tumpuan kepada pertahanan dan keamanan. Maka ini memberi peluang kepada PKI untuk melebarkan pengaruhnya di Indonesia, karena tentara beralih perhatiannya (tentara RI adalah anti PKI). Dan Soekarno saat itu sudah uzur, dipercayai lambat laun Soekarno akan melepaskan jabatan presiden apakah sakit, umur tua atau meninggal. Malaysia dianggap Soekarno sebagai neo kolonialisme.

Jadi Soekarno saat itu uzur, kalau turun dari jabatan presiden saat itu, maka siapa yang akan mengisi? Dipercayai yang akan mengisi adalah Aidit, tokoh PKI. Pihak pimpinan tentara RI tidak mau melihat Aidit menjadi presiden Indonesia, seperti Ahmad Yani, Soeharto dll. Jadi pihak tentara mencari jalan bagaimana memastikan bahwa Aidit tidak menjadi persiden. Maka kemudian berlaku gestapu. Jendral-jendral anti komunis ini kan menumbuhkan dewan jendral, penubuhan dewan jendral ini diketahui oleh kolonel Untung yang pro komunis. Maka Soekarno dan komunis mengarahkan untuk menangkap jendral-jenderal itu. Tapi jendral itu ternyata bukan dtangkap PKI, tapi dibunuh. Mengapa dibunuh itu jadi misteri. Kemudian Soeharto bangkit dan mengambil kuasa dari Soekarno.

Bagaimana setelah Soeharto memimpin?

Jadi apabila Soeharto mengambil alih tahun 1966, hubungan Malaysia Indonesia menjadi pulih. Setelah itu hubungan Indo-Malay zaman Tun Razak Soeharto cukup bagus, cukup erat. Kalau konfrontasi diteruskan maka yang mendapat manfaat adalah Partai Komunis Indonesia.

Salah satu syarat yang membolehkan Indonesia untuk mengiktiraf Malaysia adalah dengan mengadakan semula pemungutan semula Sabah dan Serawak. Lewat Adam Malik, akhirnya Malaysia setujui syarat itu. Pemungutan suara itu diadakan lewat pilihan raya. Itu untuk memenuhi syarat Indonesia. Tahun 1967 diadakan pilihan raya dan partai yang pro Malaysia menang. Jadi Sabah Serawak secara sukarela memilih untuk bergabung dengan Malaysia. Pilihannya dua. Apakah kemasukan Sabah Serawak waktu itu dipaksa masuk ke Malaysia atau secara sukarela? Indonesia saat itu melihat bahwa Sabah Serawak dipaksa masuk ke Malaysia, untuk melumpuhkan Indonesia.

Tun Razak itu menganggap Indonesia itu sebagai abang. Tapi yang berlaku hari ini, adalah sejarah ini dilupakan, baik oleh generasi di Indonesia maupun di Malaysia. Lupa bahwa Malaysia Indonesia ini adalah alam Melayu, satu rumpun, Melayu johor, Melayu Jawa, Kalimanatan, satu rumpun. Sejarah ini tidak diajarkan kepada generasi baru baik di Malaysia maupun di Indonesia. Akibatnya generasi baru di Indonesia Malaysia menganggap bahwa kita ini berbeda. Generasi kami menganggap bahwa Indonesia adalah adik beradik saja.

Jadi harus bagaimana menyikapi sejarah ini?

Karena kita tidak masukkan dalam pelajaran sejarah, baik di Indonesia maupun Malaysia bahwa kita ini satu rumpun. Tidak diajarkan di sekolah. Kita berpisah karena penjajahan. Di ATMA (Institut Alam dan Tamadun Melayu) kita mau bangkitkan semangat satu rumpun Melayu ini.

Paman saya saja ikut pada tahun 1946 ke Jakarta dengan Ibrahaim Yakub berjuang menentang Belanda. Kembali ke Malaysia tahun 80-an. Dia sudah kawin dengan orang Indonesia.

Tapi, sekarang ini telah berlaku kekeliruan, karena generasi baru telah dipisah dengan sejarah lama. Dulu kita diajar kita satu rumpun. Kata itu kini sudah tidak ada. Tidak disebut dalam buku sejarah baik tingkat dasar maupun tingkat universitas, kecuali mungkin di ATMA.

Kita perlu didik anak-anak kita baik di Semenanjung atau di Indonesia bahwa asalnya kita ini adalah satu, tapi dipisah-pisah oleh penjajah. Mereka tidak mau Malaysia Indonesia bersatu. Semenanjung Melayu ini sebenarnya mewakili Indonesia Raya. Semua suku Indonesia ada di sini. Jawa, Bugis, Aceh, Minang. Aslinya penduduk semenanjung ini kan sebenarnya Kelantan, Trengganu dan Kedah. Kini banyak orang Jawa di Johor, Selangor juga Jawa, Aceh pun banyak disini.

Mengapa berlaku perpecahan ini? Ini salah paham saja. Negeri sembilan sebagian penduduknya dari Minangkabau, sultan Selangor dari Bugis. Jadi sepatutnya kita dengan semangat stau rumpun bekerjasama untuk bangunkan alam melayu ini. Kita tak boleh lagi menjadi bangsa kelas dua, harus bangsa kelas satu yang bisa mempengaruhi dunia. Tapi kalau masing-masing kita berpecah, ashabiyah, kita terus akan menjadi mainan kuasa-kuasa besar yang tidak mau melihat bangsa Melayu tumbuh menjadi bangsa yang besar. Kita mesti tanamkan kembali sejarah. Dari segi agama, bahasa, melayu sama.

Bagaimana dengan isu-isu akhir ini. Isu tenaga kerja, budaya dan perbatasan?

Isu-isu ini tak patut dibesar-besarkan. Kalau dibesar-besarkan pihak ketiga akan mengeksploitir isu-isu ini untuk melemahkan semangat persaudaraan antar bangsa serumpun ini. Jadi msalah-masalah yang disebut tadi boleh diselesaikan dengan perundingan antar pimpinan negara. Tak perlu dibesarkan di media massa. Mereka akan terus esploitir kasus Ambalat, kebudayaan dll. Untuk melihat Indonesia Malaysia kembali konfrontasi. Kalau konfrontasi, semua pihak tidak akan untung, pihak ketiga akan untung. Kita tahu pihak ketiga itu siapa.

Dalam memoir buku Thomas Raffles, disebut: bahwa Barat mesti pastikan bahwa alam Melayu ini lemah. Jadi dia usulkan untuk melemahkan itu dua strategi: Pertama, bawa imigran-imigran asing masuk ke Melayu supaya kawasan ini tidak menjadi kawasan Melayu. Supaya menjadi majemuk (dibawa orang-orang Cina dan India).

Kedua, pastikan bahwa raja-raja Melayu ini apakah di Semenanjung, Sumatera, Jawa dan sebagainya, tidak mengambil para ulama Arab menjadi penasehat mereka. Jadi tujuannya untuk memisahkan Arab dengan Melayu. Jadi sebelum ini hubungan antara kerajaan Islam di Melayu dengan Daulah Utsmaniyah cukup rapat. Sebab penasehat raja-raja Melayu adalah ulama dari Timur Tengah. Ganti dengan penasehat dari Belanda atau British, kata Raffles (seperti Nuruddin ar Raniri, dll.yang menjadi penasehat raja) Maka mengapa kemudian pangeran Diponegroo ditangkap? Karena mereka membawa semangat Islam dan membina hubungan rapat dengan Utsmaniyah.

Dalam sejarah, kita lihat setelah Barat meruntuhkan Utsmainyah barulah muncul Saudi, Kuwait, dll. Yang angkat mereka Bitish, Perancis. Jadi nggak ada Turki Utsmaniyah Timur Tengah hancur, alam Melayu kemudian juga hancur. Umat tidak ada pemimpin. Kuasa Barat tidak mau khalifah atau Melayu Raya.

Jadi bagaimana sebaiknya sekarang?

Kini pemimpin generasi baru tidak ada semangat satu rumpun.. Tun Razak semasa berunding dengan Adam Malik, ada perjanjian tidak tertulis bahwa akan ada kerjasama erat. Malaysia akan bantu Indonesia dari segi ekonomi, Indonesia bantu Malaysia dari segi penduduk. Malaysia impor penduduk Indonesia, untuk meramaikan orang Melayu. Malaysia bantu dengan memberi pekerjaan orang Indonesia.

Tapi kerjasama ini dilupakan, dan mungkin ada pihak yang ingin melihat jangan sampai bersatu. Mau porak porandakan. Isu pekerja ini kan satu dua dan bisa diselesaikan. Yang menjadi masalah seringkali bukan orang Melayu yang buat. Tapi dibesar-besarkan. Pada umumnya mereka kerja senang disini. Tapi kenapa ribut masalah? Orang Kelantan buat batik dan Indonesia juga punya batik, karena batik ini tradisi Melayu. Jadi kadang-kadang ada orang Bugis Sulawesi ke sini dengan kebudayaanya, mereka memperkenalkan budaya disini apakah suatu kesalahan? Atau orang Jawa ke sini pakai bahasa Jawa apakah tak boleh? Kenapa harus bertengkar dalam masalah seperti ini.

Jadi kita perlu kerjasama, baik di bidang ekonomi, pendidikan dan lain-lain. Sekarang banyak pelajar perguruan tinggi yang dikirim dari Malaysia ke Indonesia atau sebaliknya.* (artikel yang lebih ringkas pernah dimuat di Majalah Hidayatullah).

Selasa, 10 Agustus 2010

Syed Muhammad Naquib Al Attas: Pendekar Sejarah Melayu-Indonesia


Syed Muhammad Naquib Al Attas:
Pendekar Sejarah Melayu-Indonesia

Hati hampa yang tiada mengandung Sejarah Bangsa,
Tiadakan dapat tahu menilai hidup yang mulia;
Penyimpan khabar zaman yang lalu menambah lagi
Pada umurnya umur berulang berkali-ganda
(Prof Dr. Syed Muhammad Naquib al Attas)

Begitulah Prof Alatas memulai karyanya Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu. Monografnya ini, meski tidak tebal, adalah salah satu karya yang serius dalam membongkar perjalanan sejarah Islam di Indonesia-Melayu. Alatas ‘membongkar-bongkar’ perpustakaan-perpustakaan antara lain perpustakaan di Leiden, Oxford, Jakarta dan Kuala Lumpus sebelum menuliskannya.
Buku ini adalah karya tulis yang dipersembahkannya kepada para intelektual bertepatan dengan pelantikannya sebagai guru besar (Profesor) Sastra Melayu di Universiti Kebangsaan Malaysia pada 24 Januari 1973. Di sini Alatas menguliti dengan tajam dan ilmiah rekayasa orientalis –khususnya sejarawan-sejawaran Belanda seperti Van Leur dan Snouck Hugronje —dalam menjungkirbalikkan perjalanan sejarah Islam Indonesia-Melayu.
Al-Attas yang kini berusia 79 tahun, menulis: “Keputusan akhir Van Leur laksana hukuman yang telah dijatuhkan terhadap Islam ialah bahwa Islam itu tiada membawa apa-apa, perubahan asasi dan tiada pula membawa suatu tamaddun yang lebih luhur daripada apa yang sudah sedia ada. Bawaan pemikiran sarjana-sarjana Belanda dari dahulu memang sudah mengisaratkan kecenderungan ke arah memperkecil-kecilkan Islam dan peranannya dalam sejarah Kepulauan ini dan sudahpun nyata, misalnya dalam tulisan-tulisan Snouck Hugronje pada akhir abad yang lalu”
Apa yang dibawa Islam di tanah Melayu ini? Al Attas dengan cermat menguraikan: “… kedatangan Islam di Kepulauan Melayu Indonesia harus kita lihat sebagai mencirikan zaman baru dalam persejarahannya, sebagai semboyan tegas membawa rasionalisma dan pengetahuan akliah serta menegaskan suatu sistim masharakat yang berdasarkan orang perseorangan, keadilan dan kemuliaan kepribadian insan.”
Jadi Islam membawa peradaban yang tinggi, intelektualisme dan ketinggian budi insan di tanah Melayu. Prof al-Attas juga menunjukkan bukti bahwa dari tangan ulama-ulama Islam lahirlah budaya sastra, tulisan, falsafah, budaya buku dan lain-lain, yang tidak dibawa peradaban sebelumnya. Islam memang tidak meninggalkan kebudayaan patung/candi sebagaimana kebudayaan pra Islam, tetapi Islam mengembangkan budaya ilmu.
Kembali mengutip al-Attas: “Salah satu kejadian baru yang terpenting mengenai kebudayaan, yang dengan secara langsung digerakkan oleh proses sejarah kebudayaan Islam adalah penyebaran bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar, bukan sahaja dalam kesusasteraan epik dan roman, akan tetapi –lebih penting– dalam pembicaraan falsafah. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa kesusasteraan falsafah Islam di kepulauan Melayu-Indonesia menambah serta meninggikan perbendaharaan katanya dan istilah-istilah khususnya dan merupakan salah satu faktor terutama yang menjunjungnya ke peringkat bahasa sastera yang bersifat rasional, yang akhirnya berdaya serta sanggup menggulingkan kedaulatan bahasa Jawa sebagai bahasa sastera Melayu-Indonesia.”

000

Syed Muhammad Naquib bin Ali bin Abdullah bin Muhsin al Attas, dilahirkan di Bogor, 5 September 1931. Sejak kecil memperoleh pendidikan Islam dari orangtuanya. Ia memulai pendidikan formalnya sekolah dasar di Johor, Malaysia. Karena adanya pendudukan Jepang di Semenanjung, ia kemudian pindah belajar ke Madrasah al Urwatul Wutsqa, Sukabumi Jawa Barat (1941-1945). Tahun 1946, ia kembali belajar di Johor di Bukit Zahrah School dan English College (1946-1951).
Al Attas menempuh sarjana mudanya di Universiti Malaya. Saat masih kuliah ia berhasil membuat buku Rangkaian Riba’iyat, yang dipublikasikan pertama kali oleh Dewan Bahasa dan Pustaka tahun 1959. Karya klasiknya yang kedua adalah Some Aspects of Sufism as Understood and Practical among the Malays. Ia kemudian melanjutkan studinya di McGill University. Berbeda dengan sejumlah alumni McGill yang mengikuti jejak orientalis, al Attas berhasil memahami pemikiran orientalis dan kemudian mengkritisinya dengan tajam dan akurat. Ia menyelesaikan masternya tahun 1962 dengan tesis Raniri and the Wujudiyyah of 17th Century Acheh.
Setahun kemudian al Attas melanjutkan program doktoralnya di School of Oriental and African Studies, University of London. Di sana ia berinteraksi dengan Profesor A.J. Arberry dan Dr. Martin Lings. Ia menyelesaikan program doktoralnya (1965) dengan karyanya yang monumental dan klasik berjudul The Mysticism of Hamzah Fansuri.
Prof al Attas telah menulis karya lebih dari 29 buku dan monograf dalam bahasa Inggris dan Melayu. Banyak buku-bukunya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, yaitu: Arab, Turki, Urdu, Malaysia, Indonesia, Albania, Persia, Perancis, Jerman, Rusia, Bosnia, Jepang, Hindi, Korea dan Albania.
Tahun 1991 Prof al Attas merancang berdirinya ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization), satu model universitas Islam ideal di dunia Islam. Al-Attas adalah salah satu ilmuwan Muslim yang diakui reputasinya di dunia internasional. Ia dikenal sangat kritis terhadap sekularisme. Bukunya, Islam and Secularism telah diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa.
Tahun 2002. The Cranlana Program Australia menerbitkan dua volume buku berjudul Powerful Ideas: Perspectives on the Good Society (2002). Buku ini menghimpun gagasan pemikir-pemikir besar dalam sejarah umat manusia. Dalam buku ini, al-Attas merupakan satu-satunya ilmuwan Muslim yang diakui memiliki gagasan genuine dalam kajian kritisnya terhadap Barat. Gagasan al-Attas yang diambil adalah pemikirannya yang tertuang dalam sebuah tulisan berjudul “The Dewesternization of Knowledge”. (nuim hidayat). Islamia-Republika, 15 Juli 2010.