“Selama ratusan tahun
sebelum Indonesia merdeka, nilai-nilai dan hukum Islam berlaku di tanah air.
Bila kini banyak yang menuntut mengembalikan Indonesia sebagai negeri yang
diwarnai Islam, maka itu adalah hal yang wajar. Karena negeri ini didirikan
lewat darah dan keringat mayoritas ulama dan umat Islam,”kata Nuim Hidayat,
peneliti Insists dalam Training Dai dan Guru di Depok, Sabtu (25/5).
Nuim menjelaskan bahwa
ketika proklamasi kemerdekaan, justru Presiden Soekarno menerapkan sekulerisme.
“Seharusnya yang dibacakan ketika proklamasi 17 Agustus 1945 adalah Piagam
Jakarta, tapi digantikan dengan coretan-coretan yang dibuat Soekarno di rumah
panglima Jepang Laksamana Maeda. Apakah ada di dunia ini proklamasi kemerdekaan
dirumuskan dengan coret-coretan?,”tanyanya. Piagam Jakarta adalah pembukaan UUD
45, termasuk teks Pancasila, kecuali sila pertama yang telah disepakati
sebelumnya berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya” diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Ketua Dewan Da’wah
Islamiyah Depok ini juga memaparkan bahwa pagi hari 17 Agustus 1945, sebelum
Subuh, Soekarno mengajak Hatta ke rumah Laksamana Maeda merumuskan proklamasi
yang akan dibacakan sebelum jam 10.00 pagi. “Ini bisa dibaca dalam buku Piagam
Jakarta, 22 Juni 1945 karya tesis tokoh Masyumi Endang Saefuddin
Anshari,”terangnya.
Esoknya 18 Agustus
1945 siang hari, diadakan rapat kilat yang menghapus ‘kata-kata Islam’ di UUD
45. Soekarno mengundang rapat siang hari, tanpa melibatkan satu pun empat tokoh
Islam yang terlibat dalam Tim Sembilan yang disusun untuk membentuk UUD sebelum
merdeka. Yaitu Agus Salim, Prof Kahar Muzakkar, Wachid Hasyim dan Abikusno
Tjokrosuyoso. Yang hadir dalam rapat kilat itu mayoritas adalah tokoh-tokoh
nasionalis sekuler dan non Islam. Tokoh
Islam yang hadir adalah Ki Bagus Hadikusumo dan Kasman Singodimedjo yang
sebelumnya telah dilobi Mohammad Hatta agar menerima perubahan sila pertama
Pancasila itu. Hatta menyatakan pada keduanya bahwa makna sila pertama
peggantinya yaitu, Ketuhanan Yang Maha Esa bermakna Tauhid. Dan Hatta mengaku
mendapat ancaman dari ‘kalangan Indonesia Timur’ mereka akan memisahkan diri
bila sila Pertama berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Dalam rapat kilat
tidak sampai tiga jam itu, Soekarno juga menjanjikan dalam situasi damai akan
disusun Undang-Undang Dasar yang lebih komperehensif. Maka dalam rapat itu
diputuskan tiga hal penting. Pertama, kata Mukaddimah diganti dengan Pembukaan.
Kedua, sila “Pertama Ketuhanan dengan Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya” diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ketiga, pasal 6
ayat 1 yang berbunyi “Presiden adalah orang Indonesia asli dan Islam” diganti
dengan
“Presiden adalah orang Indonesia asli”.
Ketika peristiwa itu
terjadi, tokoh-tokoh Islam baik dari kalangan Masyumi, NU dan lain-lain
mempertanyakannya. KH Saifuddin Zuhri tokoh NU dan Prawoto Mangkusasmito tokoh
Masyumi mempertanyakan kenapa hal-hal yang sudah disepakati lewat rapat
berhari-hari dengan tiba-tiba dibatalkan oleh presiden Soekarno.
“Alhamdulillah
akhirnya ada Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959. Setelah 1956-1959 terjadi
deadlock penentuan dasar negara di Majelis Konstituante, apakah Islam (Piagam
Jakarta) atau Pancasila yang menjadi Dasar Negara, akhirnya lewat lobi-lobi
tokoh Islam, akhirnya Presiden mengeluarkan Dekrit yang salah satu klausulnya
menyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan satu rangkaian
kesatuan yang tidak terpisahkan. Dengan dekrit ini maka Piagam Jakarta dan
Pancasila adalah satu kesatuan. Karena itu tidak boleh lahir Undang-Undang di
negeri ini yang bertentangan dengan Islam,”tegas Nuim alumni pasca sarjana
Universitas Indonesia. Maka menjadi tugas para eksekutif, yudikatif dan
legislatif Muslim untuk berani merumuskan undang-undang yang senantiasa
bernafaskan Islam. “Piagam Jakarta ini seringkali dipropagandakan oleh kalangan
politisi non Muslim untuk menakut-nakuti umat Islam. Padahal Piagam Jakarta
adalah dokumen (dokumen politik dan hukum) resmi negara yang sah yang
disepakati oleh Tim Kecil perumus UUD yang terdiri dari empat tokoh nasionalis
sekuler, empat tokoh nasionalis Islam dan satu tokoh Kristen.”
Sementara itu Dr Adian
Husaini dalam ceramahnya menjelaskan tentang pembenahan kurikulum sejarah di
tanah air. “Sejarah sangat penting untuk membentuk kepribadian atau karakter
murid,”tegasnya. Ia menghimbau kalangan guru untuk mempelajari sejarah
Indonesia dengan benar, sehingga tidak ‘anut grubyuk’ dengan banyak buku
sejarah yang ditulis sekarang. “Bagaimana Hari Pendidikan Nasional diperingati
bersamaan dengan hari lahir Ki Hadjar Dewantoro 2 Mei? Apa hebatnya Ki
Hadjar?”tanya Ketua Program Pendidikan Pasca Sarjana UIKA Bogor ini. Agar guru lebih memahami tentang pendidikan
Islam dan sejarah Indonesia ini panitia membagikan kepada para guru, dai dan
aktivis buku Dr Adian yang berjudul “Pendidikan Islam Membentuk Manusia yang
Adil dan Beradab.”
Dr Adian juga
menjelaskan tentang pentingnya para guru mengkaitkan pelajaran sains dan Islam.
“Dalam Al Qur’an ketika manusia disuruh untuk mengamati alam semesta ini, pasti
ujungnya adalah untuk mengenal atau mentauhidkan Allah,”terangnya. Maka sains
ada yang universal ada yang tidak. Tetang penciptaan manusia misalnya,
pelajaran sains kita sampai kini menginduk pada pendapat intelektual Barat yang
menjelaskan asal-usul manusia dari dengan mengumpulkan jejak-jejak tulang
(Antropologi). “Karena mereka tidak percaya kepada wahyu -trauma Barat terhadap
gereja/agama yang mendominasi Eropa abad pertengahan-, maka mereka menyusun
teori dengan sesuatu yang bisa diindera saja. Seperti ketika menyusun teori
asal usul manusia dengan mengumpulkan tulang-tulang, sehingga ada manusia purba
dan seterusnya. Padahal asal usul manusia itu jelas dalam Al Qur’an berasal
dari nabi Adam. Seharusnya dalam pelajaran sains itu diajarkan demikian. Dan
yang terpenting alat untuk mencapai kebenaran itu, selain alat indera adalah
akal dan khabar shadiq (khabar yang
terpercaya/wahyu),”tegas Wakil Ketua MIUMI ini.
Sementara itu, Fahmi
Salim dalam acara itu menjelaskan tentang pentingnya semangat dakwah para guru.
“Dakwah ini tujuannya untuk membina kepribadian murid dan masyarakat yang
sholeh dan melindungi mereka dari pemikiran-pemikiran yang merusak,”tegas wakil
Sekjen MIUMI ini. Alumni Pascasarjana Universitas Al Azhar Kairo ini
menganjurkan agar para guru juga mempelajari pemikiran-pemikiran yang merusak
Islam, seperti liberalisme, pluralisme dan lain-lain. “Bahaya bila murid-murid
terserang faham pluralisme, karena mereka bisa menghalalkan pernikahan beda
agama,”jelasnya.
Tiar Anwar Bachtiar
yang berbicara pada sesi terakhir menjelaskan tentang pembelokan sejarah
Indonesia oleh kalangan intelektual-intelektual Barat. “Intelektual Barat
(orientalis) yang pertama menggali Candi Borobudur adalah Raffles. Ia
menyatakan dalam bukunya History of Java,
bahwa ajaran Islam itu tidak berakar dalam hati orang Jawa (Indonesia/Asia
Tenggara). Bagaimana ia bisa mengukur hati orang Jawa? Padahal banyak di Jawa
banyak didirikan pesantren dan banyak ulama. Rupanya ia ingin membuat opini dan
kesimpulan bahwa yang berakar di Indonesia ini adalah Hindu/Budha. Sehingga ia
menggali Candi yang sudah terkubur ratusan tahun itu,”terang peneliti Insists
dalam acara yang dilaksanakan oleh Dewan Da’wah Islamiyah Depok, Lazis DDII dan
At Taqwa Qur’anic School.
Tiar menjelaskan bahwa
dengan telah terkuburnya candi-candi itu ratusan tahun, berarti tempat itu
sudah tidak dipakai lagi untuk ibadah.
Candi Borobudur yang ada sekarang ini telah melewati pemugaran dan
perbaikan yang terus menerus. “Apakah ada masjid di Indonesia yang terkubur
ratusan tahun kemudian digali, dipugar dan diperindah seperti Borobudur? ”tanya
Tiar yang juga Ketua Umum Pemuda Persis. Orientalis-orientalis Barat, termasuk
orientalis Belanda memang tidak ingin melihat Islam ini mengakar baik dalam
sejarah Indonesia di masa lalu, maupun di masa depan. Tokoh politik Indonesia
yang mengikuti jejak orientalis ini adalah Mohammad Yamin.* (izzadina)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar