Oleh: Nuim Hidayat
Mesir kini digoncang
kembali krisis akut. Kembali ke awal, seperti ketika rezim Mubarak berkuasa.
Dimana saat itu Mubarak bersama militer bersikap keras terhadap rakyatnya yang
beroposisi, khususnya Ikhwanul Muslimin. Di eranya banyak tokoh-tokoh Ikhwan
yang dibunuh, ditangkap atau dipenjara. Ia melanjutkan tradisi kekuasaan
militer dari Gamal Abdul Nasser dan Anwar Sadat.
Jendral Al Sisi setali
tiga uang dengan Mubarak. Siapa yang menentang kekuasaannya layak untuk
dibunuh. Ia tidak tahan terhadap demonstrasi dari oposisi. Beda dengan Presiden
Mursi yang sabar dan tdak menggunakan senjata menghadapi para demonstran. Kini
Al Sisi dkk melangkah ‘maju’ dengan rencana melarang kelompok Ikhwanul
Muslimin. Bila ini dilakukan, kekeruhan politik di Mesir bisa jadi panjang dan
akut.
Kenapa Ikhwanul
Muslimin menolak masuk dalam pemerintahan Al Sisi? Jelas ini adalah pilihan
yang logis. Mursi dan kebinetnya terang-terangan dikudeta militer, bagaimana
mereka mau masuk? Dan IKhwan kini juga menolak Pemilu, karena dalam pandangan
Ikhwan pemilu baru dilaksanakan setahun lalu dan Ikhwan memenangkan secara
demokratis, mengapa dikudeta? Bukan mustahil bila pemilu kembali dilakukan, militer tetap tidak mau menerima kemenangan
Ikhwan lagi.
Dari sini pandangan
atau ideologi politik, militer Mesir perlu diteropong kenapa mereka bisa
bertindak sekejam itu. Pemerintahan Mesir meski Islam tercantum di konstitusi,
sebenarnya ideologi mereka (militer) adalah sosialis. Tahun 50-an sebelum
beralih polisi dunia ke AS, Mesir punya hubugan yang akrab dengan Rusia.
Khususnya di masa Gamal Abdul Nasser. Karena itu prinsip politik Machiavelli
sangat dipegang teguh oleh mereka.
Niccolo Machiavelii
(1469-1527) dalam The Prince menyatakan : “Tetapi kalau pangeran ada bersama
tentaranya dan mempunyai serdadu di bawah pengawasanya, maka sangat lah perlu
untuk tidak peduli terhadap sangkaan orang bahwa ia kejam. Kejam tanpa dikenal
begitu, ia tidak mungkin menjaga persatuan atau kepatuhan tentaranya. Di antara
tindakan-tindakan Hannibal yang perlu dicatat, ialah bahwa walau ia mempunyai
tentara yang besar yang terdiri dari semua bangsa dan berperang di negeri
asing, tidak pernah timbul perpecahan di antara mereka atau terhadap pangeran
mereka, baik dalam keadaan suka maupun duka. Hal ini hanya bisa terjadi karena
kekejamannya yang tidak berperi kemanusiaan, yang bersama-sama dengan
sifat-sifat baik lain yang banyak, menyebabkan ia senantiasa dihormati dan
ditakuti oleh para serdadunya…” (Lihat
Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat, Mizan, 1998).
Selain Ideologi
Machiavelli, ideologi Partai Baats juga turut mewarnai militer Mesir dan
umumnya militer di negeri-negeri Arab. Ideologi Baats ini dipegang teguh oleh
pemimpin Arab saat itu, yaitu Gamal Abdul Nasser (Mesir) dan Hafiz Assad
(Suriah). Partai Baats ini didirikan pada April 1947, oleh Michael Aflaq
(seorang Kristiani) dan Shalah al Baithar, seorang Muslim Sunni yang
menyelesaikan studinya di Paris. Nama arab partai ini Hizbul Baats al Arabi.
Partai Baats adalah
partai nasionalis sekuler yang menyerukan revolusi total dalam konsep dan
nilai-nilai keAraban untuk dilebur dan dialihkan ke pangkuan sosialisme. Slogan
yang dikumandangkannya adalah “Bangsa Arab yang satu, memiliki misi yang satu.”
Slogan itu diperinci dengan jargon: Persatuan, Kebebasan dan Sosialisme.”
Ideologi sosialisme menurut mereka adalah upaya mendidik setiap warganegara
dengan pendidikan sosialisme ilmiah untu membebaskannya dari berbagai belenggu
tradisi masyarakat turun temurun yang telah ketinggalan zaman, demi terciptanya
manusia Arab baru berdasarkan akal ilmiah terbuka, berkeperibadian moral
sosialisme baru dan percaya kepada nilai-nilai kebersamaan.” Partai juga
menjauhkan agama (Islam) baik dalam Anggaran Dasar maupun Rumah Tangganya. (Lihat Gerakan Keagamaan dan Pemikiran,
Lembaga Pengkajian dan Penelitian WAMY, Al I’tisham, 2008).
Maka jangan heran, bila militer-militer di
negeri Arab umumnya memusuhi Ikhwanul Muslimin, gerakan keagamaan terbesar di
negeri-negeri Arab (dunia Islam). Ideologi Ikhwan dan Baats bertentangan
seratus delapan puluh derajat. Bila Ikhwan, meyakini bahwa kebangkitan Arab
hanya bisa diraih dengan Islam, maka partai Baats menyatakan bahwa kebangkitan
Arab hanya bisa diraih dengan sekulerisme Arab, atau mengangkat nilai-nilai
keAraban menggantikan Islam.
Ikhwanul Muslimin dan Indonesia
IKhwanul Muslimin
didirikan pada tahun 1928 di Mesir, oleh Imam Hasan Al Banna (1906-1949) dan
kawan-kawan. Ia menyerukan penerapan Islam secara nyata di Arab dan dunia Islam
dan membendung sekulerisme. Bila riwayat hidup pendiri Partai Baats tidak
banyak diketahui, maka biografi pendiri Ikhwan menjadi teladan bagi seluruh
jamaah Ikhwan di seluruh dunia. Kisah hidup, masa kecil, perjuangan dan
kesyahidan Hasan al Banna, menjadi teladan dan ruh gerakan Ikhwan di seluruh
dunia. Kini hampir semua negara, baik di negeri-negeri Islam maupun Barat, ada
penganut Ikhwanul Muslimin.
Di tanah air, ideologi
Ikhwan secara tidak langsung disebarkan oleh tokoh-tokoh Masyumi, khususnya
Mohammad Natsir. Natsir (1908-1993) banyak mendorong penerjemahan buku-buku
Ikhwan ke Indonesia. Bahkan WAMY, sayap organisasi pelajar Ikhwan, mempunyai
hubungan khusus dengan Dewan Da’wah yang didirikan Natsir. Maka selama kepemimpinan
Natsir, buku-buku Hasan al Banna, Sayid Qutb, Abdul Karim Zaidan atau Maududi
banyak diedarkan ke kalangan masyarakat, khususnya mahasiswa.
Hubungan Mesir dan
Indonesia juga cukup erat di era awal kemerdekaan. Dimana Haji Agus Salim yang
menjabat Menteri Luar Negeri saat itu, melakukan lobi pertama ke Mesir ketika
awal Indonesia merdeka. Selain menemui tokoh-tokoh negara Mesir, Agus Salim dkk
juga menemui tokoh kharismatik Mesir, Imam Hasan al Banna. Dengan diakuinya
kemerdekaan Indonesia oleh Mesir, maka negara-negara Arab lainnya pun kemudian
mengikutinya, seperti Libanon, Suriah, Irak, Arab Saudi dan Yaman.
Maka, pengaruh Ikhwan
sebenarnya cukup luas di tanah air. Selain ke Partai Keadilan Sejahtera,
ideology Ikhwan juga mempengaruhi
tokoh-tokoh Masyumi, Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, Front Pembela
Islam, bahkan juga Abu Bakar Baasyir. Mereka menggali ideology Ikhwan dengan
tafsir masing-masing.
Masa Depan Mesir
Kembali ke Mesir.
Tragedi Mesir yang menimbulkan korban lebih dari 600 orang minggu lalu (versi
Ikhwan lebih dari 2000), menimbulkan luka mendalam bagi kita sebagai kaum
Muslimin. Negeri yang berpenduduk Islam di Timur Tengah itu (sekitar 82 juta
orang) kini menghadapi krisis politik. Tuntutan internasional agar Presiden
Mursi dibebaskan, nampaknya tidak akan diberikan oleh penguasa riil Mesir,
Jendral Al Sisi.
Bila kondisi Mesir
terus seperti itu, bukan tidak mungkin Mesir akan mengikuti jejak ‘perang
saudara’ di Suriah atau Aljazair, ketika
Partai Islam FIS dikudeta dan dilarang militer pada 1991. Saat itu FIS yang
menang pemilu pertama secara damai dan demokratis dikudeta militer Aljazair dan
pemilu dibekukan. Bukan hanya itu, militer juga menangkapi ratusan tokoh-tokoh
FIS dan membunuhi para demonstran. Saat itulah kemudian akhirnya sebagian
kelompok FIS tidak tahan dan akhirnya mengambil langkah senjata. Senjata lawan
senjata. Akankah Mesir seperti itu? Semoga tidak dan tokoh-tokoh politik Mesir
membuka pintu damai untuk kebaikan penduduk Mesir sendiri. Wallahu Alimun Hakim.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar