Oleh: Nuim Hidayat
22 Juni merupakan
peristiwa penting bagi bangsa Indonesia. Tanggal ini adalah disyahkannya Piagam
Jakarta, pembukaan UUD 1945 (22 Juni 1945). Selain itu ia adalah hari lahir
kota Jakarta, 22 Juni 1527. Hari dimana pahlawan Fatahillah berhasil mengusir
Portugis dari Pelabuhan Sunda Kelapa. Sedangkan 5 Juli 1959 adalah Dekrit
Presiden Soekarno yang mengatakan kembalinya berlaku UUD 1945 dan pernyataannya
bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan.
Dekrit Presiden Soekarno ini merupakan hal
yang fundamental, karena hampir tiga tahun (1956-1959) Majelis Konstituante
bersidang untuk merumuskan UUD, saat itu tidak mencapai kata sepakat atau korum
dalam pengambilan keputusan tentang dasar negara.
Bermula terutama dari
kekecewaan tokoh-tokoh Islam dengan sikap Presiden Soekarno yang sepihak
membatalkan Piagam Jakarta pada 17-18 Agustus 1945, maka mayoritas rakyat
menginginkan diadakannya segera Pemilu. Untuk memilih wakil rakyat dan menyusun
UUD negara. Maka pada 29 September 1955 dilaksanakanlah pemilu untuk memilih
anggota parlemen dan pada 15 Desember 1955 diadakan pemilu untuk memilih
anggota Majelis Konstituante. Pemilu itu diikuti oleh 34 partai politik. (Lihat Erwien Kusuma dan Khairul (Ed.),
Pancasila dan Islam : Perdebatan antar Parpol dalam Penyusunan Dasar Negara di
Dewan Konstituante, Baur Publishing, 2008).
Majelis Konstituante
itu dilantik pada 10 Nopember 1956 dan melaksanakan sidang terakhirnya 2 Juni
1959, sebelum dibubarkan Presiden Soekarno. Konstituante telah melaksanakan
tujuh kali sidang pleno. Satu kali pada tahun 1956, tiga kali sidang pada tahun
1957, dua kali sidang pada 1958 dan satu kali sidang pleno pada tahun 1959.
Salah satu sidang
pleno yang paling menarik masyarakat luas dan paling sengit perdebatannya
terjadi pada 11 Nopember hingga 6 Desember 1957 yang membahas masalah Dasar
Negara. Sidang yang dilaksanakan dalam dua babak itu melibatkan 47 pembicara
dalam babak pertama dan 54 pembicara dalam babak kedua. Masing-masing kubu beragumentasi
dengan ‘kuat’ pendapatnya tentang dasar negara. Ada tiga kubu di sana. Kubu
Pancasila, Kubu Islam dan Kubu Ekonomi Sosialis-Demokrasi.
Kubu yang menginginkan
Dasar Negara Pancasila diajukan oleh: PNI (Partai Nasional Indonesia), PKI
(Partai Komunis Indonesia), Republik Proklamasi, Parkindo (Partai Kristen
Indonesia), Partai Katolik, PSI (Partai Sosialis Indonesia), dan IPKI (IKatan
Pendukung Kemerdekaan Indonesia) bersama 14 faksi kecil lainnya. Mereka
mempunyai 274 kursi dalam Majelis Konstituante.
Sementara kubu yang
menginginkan Islam sebagai Dasar Negara, mempunyai 230 kursi. Mereka terdiri
dari empat faksi besar. Yaitu Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), NU
(Nahdhatul Ulama), PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia), Perti (Persatuan
Tarbiyah Islamiyah) dan empat fraksi kecil lainnya.
Sedangkan kubu yang
menginginkan Dasar Negara Ekonomi Sosialis dan Demokrasi (sesuai pasal 1 dan pasal
33 UUD 1945), hanya mempunyai 10 kursi. Mereka terdiri dari : Partai Buruh,
Partai Murba dan Acoma.
Karena perdebatan itu
begitu alotnya, dan tidak mencapai kata sepakat khususnya untuk dasar negara
maka muncullah usulan-usulan dari Presiden Soekarno dan pimpinan TNI Jenderal
Abdul Haris Nasution untuk kembali kepada UUD 1945. Usulan itu mengemuka
sekitar Juli 1958. Kemudian pada 13 Februari 1959 pada pertemuan masyarakat
sipil dan militer di Padang, Nasution mengusulkan hal yang sama, kembali ke UUD
1945. Pada 2 Maret 1959, Perdana Menteri Djuanda mengemukakan kepada parlemen
hal yang sama. Begitu pula Presiden Soekarno dalam pidatonya di Majelis
Konstituante 22 April 1959, menghimbau Majelis Konstituante untuk kembali
kepada UUD 45. Di situ ia memberikan pidato panjangnya berjudul Res Publica sekali lagi Res Publica.
Terhadap usulan
pemerintah ini, tentu saja faksi pro Soekarno, PNI dan PKI serta merta
menyetujuinya. Faksi Islam menginginkan
Konstutante tetap bekerja menyelesaikan pekerjaannya semula. Mereka tidak
menerima UUD 45 tanpa revisi (modifikasi). Maka mereka mengambil kesempatan
untuk memasukkan kembali tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang dihilangkan
Soekarno cs pada 17-18 Agustus 1945. Yaitu kata-kata: “(Ketuhanan) dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Faksi Islam menyatakan bahwa mereka menerima
kembali UUD 1945, dengan catatan Piagam Jakarta dicantumkan dalam UUD 45 dan
mempunyai kekuatan hukum sebagai bagian darinya.
Menanggapi usulan
faksi Islam itu, maka PM Djuanda pada 22 April 1959 dalam keterangannya
menjawab pertanyaan-pertanyaan wakil-wakil Islam di Majelis Konstituante
menyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan oleh karena itu memberi
dasar bagi pelaksanaan hukum agama. (lihat (Lihat
Erwien Kusuma dan Khairul (Ed.), Pancasila dan Islam : Perdebatan antar Parpol
dalam Penyusunan Dasar Negara di Dewan Konstituante, Baur Publishing, 2008).
Keterangan pemerintah
yang ‘sepihak’ itu (tanpa landasan tertulis) tentu saja belum memuaskan faksi
Islam. Ketua Fraksi Islam di Majelis Konstituante yang saat itu dijabat KH
Masjkur (dari NU) mengusulkan agar tujuh kata itu masuk dalam Pembukaan UUD
1945. Maka diambillah pemungutan suara di Konstituante. Hasilnya 201 pro dan 265
kontra dari 470 anggota Konstituante yang hadir. Fraksi Islam kalah tipis. Hal itu menunjukkan pertentangan yang keras
dari Kubu Islam dan Kubu Pancasila dalam menyikapi rumusan Piagam Jakarta.
Usulan pemerintah
untuk kembali ke UUD 1945, tanpa revisi, juga dilaksanakan pemungutan suara di Majelis
Konsituante. Konstituante bahkan melakukan tiga kali pemungutan suara. Pada 30
Mei 1959, hasilnya 269 pro dan 199 kontra. 1 Juni 1959 hasilnya 264 pro dan 204
kontra. Dan terakhir pada 2 Juni 1959, 263 pro kembali UUD 45 dan 203 kontra.
Karena kemenangan kurang dari 2/3 suara –sebagaimana diamanatkan dalam UUD
45—maka hasil pemungutan suara itu tidak ada yang menang.
Beberapa anggota
Konstituante dari kubu pro Pancasila, PNI, PKI dan IPKI menyarankan agar
Konstituante membubarkan diri. Banyak diantara mereka menyatakan tidak akan
hadir pada sidang-sidang Konstituante berikutnya. Maka pemungutan suara pada 2
Juni 1959 itu, adalah sidang terakhir Majelis Konstituante. Dari kubu Islam, Masyumi dan NU, berharap agar
Konstituante menyelesaikan pekerjaannya menyelesaikan konstitusi baru. Beberapa
anggota Konstituante mengusulkan kepada pemerintah memberi kesempatan kepada
mereka untuk bersidang sampai Maret 1960.
Maka pimpinan TNI dan
wakil-wakil Konstituante mengusulkan kepada presiden Soekarno agar mengeluarkan
dekrit. Menteri Penerangan Roeslan
Abdulgani menghadap Soekarno yang sedang berkumjung ke Tokyo, untuk memberi
laporan tentang perkembangan politik dalam negeri. Presiden pun segera pulang
ke tanah air pada 29 Juni 1959. Rumusan dekrit itu akhirnya ditandatangani pada
4 Juli 1959 dan diumumkan di Istana Merdeka Jakarta pada 5 Juli 1959.
Untuk mengakomodasi
usulan-usulan dari berbagai fraksi di Konstituante, maka Dekrit Presiden itu
terdiri dari lima pertimbangan. Pertama, bahwa Konstituante tidak dapat
mengambil keputusan yang diperlukan, yaitu mayoritas dua pertiga mengenai usul
kembali ke UUD 45. Kedua, bahwa sebagian besar anggota Konstituante menolak
menghadiri rapat-rapat selanjutnya, sehingga Konstituante tidak dapat
meneruskan tugasnya. Ketiga, oleh karena itu telah timbul situasi yang
berbahaya bagi kesatuan dan kesejahteraan negara. Keempat bahwa dengan dukungan
sebagian besar rakyat serta dikukuhkan oleh keyakinannya sekarang, Presiden
harus mengambil tindakan untuk menyelamatkan negara. Kelima bahwa Presiden
yakin bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan kesatuan dari
Konsitusi tersebut.
Berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan itu, Presiden mendekritkan bahwa Konstituante
dibubarkan dan menetapkan kembali secara resmi UUD 1945 sebagai UUD negara.
Jadi bisa dilihat,
akhirnya presiden berusaha mengambil jalan tengah antara kubu Islam yang setuju
dengan Piagam Jakarta dan kubu Pancasila yang menolak Piagam Jakarta. Kubu
PNI-PKI-IPKI dan kubu Masyumi-NU. Mewadahi suara Fraksi Islam yang suaranya
hampir sama dengan Fraksi Pancasila, maka Presiden dalam dekritnya menyatakan
bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan kesatuan dari konstituasi
tersebut. Dan tentu dengan dekrit ini dalam konteksnya saat itu, maka sesuai
dengan usulan fraksi Islam, dekrit presiden ini mempunyai kekuatan hukum. Maka
berlakunya hukum-hukum Islam saat ini –dan seterusnya- di tanah air mempunyai
status hukum yang kuat. Selain tentu saja dalam Pancasila sendiri terdapat sila
pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, yang menurut proklamator Bung Hatta bermakna
Tauhid.
Inilah yang
dikhawatirkan kalangan Kristiani dalam
tabloidnya: “Kita memerlukan presiden yang tegas dan berani menentang segala intrik
atau manuver-manuver kelompok tertentu yang ingin merongrong Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) ini. Ketika kelompok ini merasa gagal memperjuangkan
diperlakukannya “Piagam Jakarta”, kini mereka membangun perjuangan ini lewat
jalur legislasi. Mereka memasukkan nilai-nilai agama mereka ke dalam perundang-undangan.
Kini ada banyak UU yang mengarah kepada
syariah, misalnya UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Wakaf, UU Sisdiknas, UU
Perbankan Syariah, UU Surat Berharga Syariah (SUKUK), UU Yayasan, UU Arbitrase,
UU Pornografi dan Pornoakasi, dan lain-lain. Apapun alasannya semuanya ini
bertentangan dengan prinsip dasar negara ini.” (Tabloid Kristen, Reformata edisi 110/2009).
Seorang penulis
Kristen, IJ Setyabudi, dalam bukunya Kontroversi
Nama Allah - (lihat buku Adian Husaini, Pancasila
Bukan Untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam)- mengakui keunggulan tokoh-tokoh Islam dalam
perumusan sila pertama Pancasila. Ia menulis: “Lalu siapa sebenarnya yang lebih
cerdas dan menguasai ruang persidangan ketika merumuskan Sila Pertama itu?
Sangat jelas Bapak-Bapak Islam lebih cerdas dari Bapak-Bapak Kristen karena
kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu identik dengan “Ketuhanan Yang Satu!”
Kata Maha Esa itu memang harus berarti satu. Oleh sebab itu tidak ada peluang
bagi keberbagaian Tuhan. Umat Kristen dan Hindu harus gigit jari dan menelan
ludah atas kekalahan Bapak-Bapak Kristen dan Hindu ketika menyusun Sila Pertama
itu.” *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar