Oleh: Nuim Hidayat
Bismillahirrahmanirrahim,
Surat cinta
ini saya tulis karena terpicu dengan
pernyataan salah satu tokoh politisi Muslim yang bangga ketika ada non Muslim
menjadi salah satu pengurus partainya.
Mungkin ia dan sahabat-sahabatnya punya dalil atau hujjah untuk pendapatnya
itu. Tapi saya yakin hujjah itu tidak diuji ke publik, terutama ke para ulama
dan cendekiawan yang shaleh, yang faham tentang Islam dan sejarah bangsa ini.
Sekitar tahun
2006, saya pernah menulis di Majalah Hidayatullah tentang pentingnya kesatuan
aqidah dalam sebuah organisasi termasuk partai politik. Kita bisa bayangkan,
bila NU dan Muhammadiyah tidak dirintis oleh orang-orang yang sama dalam tujuan
aqidah dan dakwah. Apakah mungkin sebesar sekarang? Inilah ringkasan dari
artikel yang saya beri judul Bersama-sama Kaum Muslim Kita Berjuang.
Kepada
sahabat2
Generasi
Muda Islam
Kususun
buku ini untukmu
Turutilah
djedjak pemimpinmu
kenangkan
sedjarahnya
teruskan
perjuangannya
Di tengah gegap
gempitanya ‘partai-partai Islam’ saat ini berkonsolidasi untuk pemilu 2009,
maka muncullah gagasan partai Islam agar terbuka dan inklusif. Partai
Kebangkitan Bangsa telah lebih dulu memulai gagasan ini dengan memasukkan
beberapa non Muslim menjadi pengurus atau anggota DPP Partai PKB. Partai Keadilan Sejahtera, yang juga menerima
gagasan inklusif ini. Meski sebenarnya
PKS juga telah memulai menerima anggota/pengurus non Muslim/anggota DPRD untuk
daerah Irian.
Melihat gagasan
inklusif partai-partai Islam (dalam AD/ART-nya) ini, membuat penasaran diri
saya untuk bertanya: bolehkah dalam berpartai kita bersama-sama non Muslim?
Kemudian saya membuka-buka kembali buku sejarah. Alhamdulillah di rumah saya ketemu buku “Alam
Fikiran dan Djedjak Perjuangan Prawoto Mangkusasmito” yang yang disusun oleh SU
Bajasut. Buku ini selain memaparkan pemikiran-pemikiran Ketua Umum Masyumi
Prawoto juga melampirkan dokumentasi Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
Masyumi.
Di Anggaran Dasar
Partai Politik Islam Indonesia Masjumi ditegaskan: “Tujuan Partai ialah
terlaksananya ajaran dan hukum Islam, di dalam kehidupan orang seorang ,
masyarakat dan negara Republik Indonesia, menuju keridhaan Ilahi.” (Pasal III).
Pada pasal IV-nya dinyatakan: “Usaha partai untuk mencapai tujuannya:
- Menginsyafkan dan memperluas pengetahuan serta kecakapan Umat Islam Indonesia dalam perjuangan politik
- Menyusun dan memperkokoh kesatuan dan tenaga umat Islam Indonesia dalam segala lapangan
- Melaksanakan kehidupan rakyat terhadap perikemanusiaan, kemasyarakatan, persaudaraan dan persamaan hak berdasarkan taqwa menurut ajaran Islam
- Bekerjasama dengan lain-lain golongan dalam lapangan bersamaan atas dasar harga menghargai
Nah, ini yang
menarik, di pasal V tentang anggota dinyatakan, Anggota Partai terdiri dari:
- Anggota biasa, ialah warga negara Indonesia yang beragama Islam (laki-laki dan perempuan) dan tidak menjadi anggota partai politik lain
- Anggota teras, terpilih dari anggota-anggota biasa
- Anggota Istimewa, ialah Pengurus Besar/Pusat perhimpunan Islam yang bukan partai politik
Keharusan anggota
wajib beragama Islam ini lebih tegas lagi, dijelaskan dalam “Anggaran Rumah
Tangga Partai Politik Islam Indonesia Masjumi”. Dalam Bab II Pasal 3
dijelaskan: “Syarat-syarat untuk menjadi anggota partai: 1. Tiap warga negara Republik Indonesia yang
beragama Islam, laki-laki maupun perempuan, berumur sekurang-kurangnya 18 tahun
atau sudah kawin dan tidak menjadi anggota partai politik lain dapat diterima
menjadi anggota biasa...” (ART Partai ini ditetapkan dalam Sidang Dewan Partai,
9-12 Oktober 1953. Artinya sebelum pemilu 1955 dimana Masjumi memperoleh suara
)
Jadi Masjumi
tegas mengharamkan anggota partainya non Muslim. Apalagi jadi pengurus partai.
Seperti sudah lazim kita ketahui untuk menjadi pengurus partai (atau anggota
DPRD sebuah partai), seseorang diharuskan menjadi anggota terlebih dahulu. Jadi bila merujuk sejarah, maka suatu hal yang
aneh partai Islam anggota/pengurus non Muslim (inklusif).
Bagi partai yang
ingin menegakkan syariah Islam di Indonesia, atau partai dakwah, tentu hal yang
aneh bila dalam perjuangan partai itu ada anggota/pengurus non Muslim. Bagaimana mau berdakwah, mengajak orang lain
ke jalan Islam, sementara dalam rumah
tangga partai dakwah sendiri ada yang non Muslim? Logika berpikir yang benar, tentu untuk
menjadi partai dakwah, maka anggota/pengurus yang di dalam harus bersiap untuk
dakwah. Dan untuk siap berdakwah, maka
seseorang harus menjadi Muslim terlebih dulu.
Sayangnya, kini
sejarah Masjumi yang didirikan oleh alim ulama dan cendekiawan Islam yang penuh
keteladanan itu kini jarang lagi ditengok oleh politikus-politikus partai. Para politikus saat ini mencoba gagah-gagahan
untuk melepas diri sejarah perjuangan Islam Indonesia masa lalu. Padahal Masjumi Masjumi didirikan dari hasil
Muktamar Islam Indonesia di Yogyakarta 7-8 November 1945, oleh hampir semua tokoh
berbagai organisasi Islam dari masa sebelum perang serta masa pendudukan
Jepang. Organisasi-organisasi Islam yang masuk Masjumi antara lain:
Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, Perikatan Umat Islam, Persatuan Umat Islam,
Persis, Al Irsyad, Al Jamiyatul Washliyah, Al Ittihadiyah dan lain-lain (Lihat
buku Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, hal. 47-50).
Padahal Al-Qur’an
berulangkali dalam ayatnya mengingatkan kita agar menengok dan meneladani
sejarah. Baik sejarah individu,
masyarakat atau sebuah bangsa. Politik hari ini, adalah sejarah sejarah esok
hari. Allah SWT mengingatkan:
“Dan semua kisah
dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami
teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran
dan peringatan bagi orang-orang yang beriman. (QS. 11:120).
Maka buku
pemikiran Prawoto Mangkusasmito di atas, bukanlah sekedar kalimat-kalimat
pemuas akal belaka. Di halaman persembahannya ditulis:
“Kususun buku ini untukmu,
Turutilah djedjak pemimpinmu,
kenangkan sedjarahnya,
teruskan perjuangannya
Tapi, kini
kondisi partai politik lebih parah. Disadari atau tidak, ideologi sekuler Barat
–lewat lobi-lobi para orientalis/indonesianis-- telah masuk dalam cara berpikir
banyak orang partai. Sehingga dalam dan
antar partai Islam yang terjadi rebutan jabatan, rebutan angggota DPR/DPRD dan
rebutan sumber-sumber uang. Tanpa melihat lagi aqidah, kapabilitas dan
keamanahan seorang calon. Partai bukan dilihat lagi sebagai alat perjuangan
dakwah dan alat perjuangan untuk menegakkan syariat Islam di Indonesia. Padahal
Al-Qur’an jelas menegaskan fungsi organisasi Islam atau partai Islam adalah
menegakkan amar makruf nahi mungkar. Bukan untuk mencari suara belaka. Untuk
apa kekuasaan dipegang, bila tidak ditegakkan amar makruf nahi mungkar? Al
Qur’an mengingatkan: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang
munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung.” (QS. 3:104)
Cara berpikir
Barat yang menyesatkan lainnya –yang banyak diadopsi oleh partai-partai
sekuler— adalah partai diibaratkan negara kecil. Dari sinilah ide pluralisme,
inklusivisme partai masuk. Padahal
partai bukanlah tipikal negara. Partai
bukan negara. Partai bisa diibaratkan rumah keluarga besar kita. Dalam keluarga, kita berkewajiban menjaga
aqidah istri, anak-anak dan sistem dalam keluarga itu agar tidak keluar dari
nilai-nilai Islam. Keluarga kita harus
Islami, tapi kita menghormati tetangga kita yang non Muslim. Bahkan kita bisa saling membantu dalam hal
kebaikan dengan mereka.
Walhasil, memang
benar ungkapan Rasulullah saw, bahwa dalam kehidupan ini –berumah tangga,
bekerja, berorganisasi dan berpartai—ditentukan oleh niat. Kalau dalam
organisasi Islam bisa dilihat dalam anggaran dasar dan anggaran rumah
tangganya. Sabda Rasulullah saw:
“Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya dan sesungguhnya tiap-tiap orang
tidak lain (akan memperoleh balasan dari) apa yang diniatkannya. Barangsiapa
hijrahnya menuju (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu ke arah
(keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa hijrahnya karena (harta atau
kemegahan) dunia yang dia harapkan, atau karena seorang wanita yang ingin
dinikahinya, maka hijrahnya itu ke arah yang ditujunya.” (HR Bukhari Muslim)
Keberhasilan
Masjumi dengan asas Islam dan agenda penegakan syariah Islam di Indonesia,
dalam Pemilu tahun 1955, dan kegagalan Amien Rais dengan Partai Amanat
Nasionalnya sudah merupakan pelajaran berharga bagi kita untuk melangkah ke
depan. Fa’tabiru ya Ulil Albab.
(Demikian artikel di Majalah Hidayatullah).
Misi Dakwah Islam
Kini kita tahu
bersama, banyak masyarakat yang antipati terhadap partai politik atau politik. Golongan putih makin
lama makin menaik. Mereka muak terhadap tingkah laku banyak para politisi yang
tidak peka terhadap kondisi rakyat. Di tengah-tengah rakyat Indonesia yang
masih 40 juta miskin, malah menurut Bank Dunia, kalau kategori miskin di bawah
2 dolar US per hari, jumlah penduduk miskin bisa mencapai 100 juta orang, para
politisi seenaknya bepergian ke luar negeri menghabiskan uang negara dan
seterusnya.
Di sisi lain,
banyak aktivis-aktivis Muslim yang tidak lagi istiqamah dalam memperjuangkan
dakwah Islam. Dakwah Islam sebagai inti dari dibentuknya sebuah partai atau
organisasi Islam, kini hanya tinggal slogan. Para politisi Muslim banyak yang
tidak memberikan keteladanan dakwah ketika ia menjabat sebagai politisi atau
eksekutif. Gaya hidup dan pergaulan tidak lagi mencerminkan sebagai seorang
dai. Padahal dulu mereka diajari “Aku adalah Muslim (dai) sebelum segala
sesuatu”. Konsep-konsep dan praktek-praktek dalam politik tidak mencerminkan
semangat dan nilai-nilai mendasar dalam Islam. Sehingga banyak
politisi-politisi muda akhirnya kecewa terhadap partai Islam. Ada teman penulis
yang kecewa dengan tingkah laku para politisi partai Islam, akhirnya membuat
partai sekuler.
Tentu hal itu
tidak kita ingini bersama. Kita menginginkan politisi-politisi di Partai Islam,
makin Islami dan politisi-politisi Muslim di partai-partai sekuler berani
melakukan Islamisasi di partainya.
Lihatlah kini
media massa dan masyarakat, gegap gempita menyiarkan gebrakan-gebrakan yang
dilakukan Jokowi dan Ahok. Turun langsung ke masyarakat, berani memotong
anggaran-anggaran yang mubazir, menggaji para pemulung dan lain-lain.
Seharusnya politisi-politisi Muslim –terutama yang di partai-partai Islam- malu
kalah gebrakannya dengan mereka berdua. Seharusnya politisi-politisi Muslim
membuat gebrakan yang lebih hebat dari mereka. Misalnya minta penurunan gaji
baik sebagai pejabat eksekutif atau legislatif, karena masih puluhan juta orang
miskin di tanah air atau seperti Dahlan Iskan yang berani mengumumkan orang
yang mencoba menyuap dan sebagainya.
Bila para
politisi Muslim tidak berbuat demikian, kukuh terhadap aqidah Islam dan membuat
gebrakan-gebrakan yang ‘revolusioner’, maka masyarakat akan antipati terhadap
politik Islam. Dan ini bisa disebut kegagalan politik Islam. Ah sama saja yang
memerintah dari partai Islam atau partai sekuler, begini-begini saja. Bahkan
lebih bahaya bila muncul pernyataan: wah ini yang memerintah dari eksekutif dan
legislatif dari partai Islam, kok masyarakat tambah miskin, maksiyat tetap
merajalela dan seterusnya. Kalau sudah demikian apa makna membentuk partai
politik Islam? Apa makna dari pentingnya politisi Muslim memegang jabatan? Ya
menjadi tidak bermakna.
Renungkanlah
mengapa dulu Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin (dan dilanjutkan sahabat-sahabat
terkemuka) berhasil dalam dakwahnya. Dakwah di masa mereka menyebar cepat,
tidak sampai 50 tahun Islam menyebar ke seluruh jazirah Arab, Afrika, Asia dan
Eropa. Tidak lain karena menyatunya antara konsep dan praktik (akhlak) mereka.
Hidup sederhana menjadi ciri para pemimpin Muslim saat itu. Para ulama di saat
itu selalu mengingatkan bahaya hidup bermewah-mewah, apalagi bila uang yang
dipakai uang rakyat dan seterusnya. Selain itu, juga keteguhan aqidah dan
semangat dakwah yang tinggi yang menjadikan Islam adalah agama yang tercepat
pertumbuhannya dalam sejarah dunia.
Para pemimpin
Islam itu bangga dengan Islamnya. Rasulullah saw dalam surat-suratnya sering
menyerukan ‘Aslim taslam’. Masuk Islam lah engkau pasti selamat. Sayyidina Umar
ra, begitu teguhnya memegang Islam dan begitu tinggi tasamuhnya (misalnya ketika
menaklukkan Yerusalem), sehingga para pendeta pun hormat kepadanya. Umar
ra selalu menggelorakan dakwah Islam dan
menyampaikan kemuliaan Islam, karena rasa kasihannya terhadap nasib non Muslim
di akherat nanti.
Pernah suatu
waktu, khalifah Umar melewati sebuah tempat ibadah seorang rahib/pendeta, lalu
ia berhenti sejenak. Rahib itu kemudian dipanggil dan diberi tahu bahwa
khalifah Umar datang. “Ini adalah Amirul Mukminin”. Rahib itu kemudian menghadap
Umar ra. Keadaaannya kurus dan lemah karena lelah dan kesulitan hidupnya. Rahib
itu dalam hidupnya berusaha meninggalkan dunia. Umar ra kemudian menangis
melihat kondisi Rahib itu. Seorang sahabat mengingatkan.”Rahib itu seorang
Nasrani.” Umar ra menjawab,”Aku tahu itu. Dan aku teringat firman Allah SWT
yang berbunyi,”Bekerja keras lagi
kepayahan. Memasuki api yang sangat panas.”
(al Ghasyiyah 3-4). Aku merasa kasihan pada nasib dan kesungguhannya
itu, padahal ia akan masuk neraka nantinya.”
Begitulah nurani
yang halus dan keteguhan Umar. Ia memberikan keteladanan yang tinggi dalam
memimpin, hidup sederhana, selalu berkeliling memantau kondisi rakyat, selalu
aktif menggelorakan dakwah dll, karena menginginkan Islam ini dipeluk
sebanyak-banyaknya umat manusia. Karena Umar ra faham, Islam ini nilainya lebih
dari emas sepenuh langit dan bumi. Al Qur’an yang mulia mengingatkan: “Sungguh orang-orang yang kafir dan mati
dalam kekafiran, tidak akan diterima (tebusan) dari seorang diantara mereka
sekalipun (berupa) emas sepenuh bumi, sekiranya dia hendak menebus diri mereka
dengannya. Mereka itulah orang-orang yang mendapat azab yang pedih dan tidak
memperoleh penolong.” (Ali Imran 91).
Jadi bila
dakwah menjadi inti utama partai Islam, maka kebanggaan sebenarnya adalah bila
berhasil partai Islam itu mengislamkan orang-orang non Muslim atau berhasil
dalam program Islamisasinya. Bukan bangga memasukkan orang-orang non Muslim
dalam partainya.
Mengapa kita
perhatian terhadap partai Islam? Ya karena merekalah ujung tombak dakwah Islam
dalam bidang politik. Bila citra mereka anjlok di kalangan masyarakat, berarti
bisa dikatakan dakwah Islam gagal dalam bidang politik.
Politik memang
tidak segalanya. Tapi politik banyak mempengaruhi kehidupan kita. Undang-undang
dilahirkan dalam keputusan politik, kebijakan pembagian keuangan pusat dan
daerah diputuskan lewat politik, kebijakan pendidikan siapa yang boleh
mengajar, siapa guru yang akan diberi uang negara adalah keputusan politik.
Keputusan memberikan modal baik bagi pengusaha besar maupun kecil juga
keputusan politik. Pengangkatan hakim agung yang akan memutuskan perkara juga
keputusan politik. Jadi bila umat
meninggalkan politik, maka alangkah ruginya umat Islam ini. Bisa dikatakan
mereka telah meninggalkan tanggungjawab dan amanat yang besar dalam pengaturan
tanah air, yang merupakan bumi Allah ini. Padahal Allah SWT menciptakan kita
sebagai khalifah adalah untuk memakmurkan bumi ini.
Entah
bagaimana wajah politik Islam tahun 2014 nanti, ketika presiden berganti. Tapi
bila politisi Muslim –terutama yang berada di partai-partai Islam- tidak
memperbaiki sikapnya, mungkin partai-partai sekuler akan terus menguasai negeri
ini. Dan negeri ini, yang telah diperjuangkan oleh para ulama dan ‘wali’ dalam
sejarahnya, sulit menjadi negeri Muslim yang disegani dunia. Apalagi menjadi
pemimpin dunia Muslim. Mungkin hanya jadi pemimpi.
Akhirnya
marilah kita renungkan, nasihat Sayidina Ali kepada gubernur di Mesir saat itu
yang isinya aktual hingga kini: "Sesungguhnya
orang-orang akan melihat segala urusanmu, sebagaimana engkau dahulu melihat
urusan para pemimpin sebelummu. Rakyat
akan mengawasimu dengan matanya yang tajam, sebagaimana kamu menyoroti
pemerintahan sebelumnya juga dengan pandangan yang tajam."
Ali melanjutkan:
”Mereka akan bicara tentangmu, sebagaimana kau bicara tentang mereka. Sesungguhnya rakyat akan berkata yang
baik-baik tentang mereka yang berbuat baik pada mereka… Karenanya, harta karun
terbesar akan kau peroleh jika kau dapat menghimpun harta karun dari
perbuatan-perbuatan baikmu. Jagalah keinginan-keinginanmu
agar selalu di bawah kendali dan jauhkan dirimu dari hal-hal yang
terlarang. Dengan sikap yang waspada
itu, kau akan mampu membuat keputusan
di antara sesuatu yang baik atau yang tidak baik untuk rakyatmu.
Kembangkanlah sifat kasih dan cintailah rakyatmu dengan lemah lembut. Jadikanlah itu sebagai sumber kebijakan dan
berkah bagi mereka. Jangan bersikap
kasar dan jangan memiliki sesuatu yang menjadi milik dan hak mereka.
Jangan katakan:"Aku ini telah diangkat menjadi pemimpin, maka aku bisa
memerintahkan dan harus ditaati", karena hal itu akan merusak hatimu
sendiri, melemahkan keyakinanmu pada agama dan menciptakan kekacauan dalam
negerimu. Bila kau merasa bahagia dengan kekuasaan atau malah merasakan semacam
gejala rasa bangga dan ketakaburan, maka pandanglah kekuasaan dan keagungan
pemerintahan Allah atas semesta, yang kamu sama sekali tak mampu kuasai. Hal
itu akan meredakan ambisimu, mengekang kesewenang-wenangan dan mengembalikan
pemikiranmu yang terlalu jauh.
Sesungguhnya tiang agama, kekuatan kaum Muslimin dan senjata untuk
menghadapi musuh adalah rakyat jelata.
Karena itu, jagalah hubungan baik dengan mereka dan perhatikan
kesejahteraan mereka.” Wallahu aliimun hakim.
*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar