Nuim Hidayat (mantan wartawan Media Dakwah)
Amien Rais adalah tokoh intelektual Islam yang
‘digadang-gadang’ umat Indonesia menjadi presiden Indonesia setelah Soeharto
turun 1998. Amien dijegal oleh ‘kelompok
non Islam’. Kini Jokowi dielu-elukan
Kompas untuk menjadi presiden. Akankah berhasil?
Bermula tahun 90-an
sepulang Amien dari Doktornya di Chicago University, Amien, doktor ilmu
politik, senantiasa meluncurkan pemikiran-pemikiran segar. Baik di kalangan
intelektual maupun media massa seperti di Panji Masyarakat, Republika dan
jurnal-jurnal ilmiah. Amien saat itu adalah pengritik terdepan kekuasaan
Soeharto yang begitu menggurita. Soeharto menguasai militer, politik, ekonomi
dan lain-lainnya.
Dalam masalah anggota
DPR-MPR misalnya, Amien mengiritik keras Soeharto. Ia menganggap bahwa DPR-MPR
hanya ‘tunduk’ pada Pak Harto. Selain sebagai Ketua Dewan Pembina Golkar, Pak
Harto lah yang menentukan pengangkatan Utusan Daerah atau Utusan Militer yang
akan duduk di DPR atau MPR. Sehingga yang terjadi adalah ABS, Asal Bapak
Senang. Maka tiap pemilihan presiden –saat itu presiden dipilih DPR/MPR- hanya
Soeharto yang dicalonkan. Anggota DPR-MPR tidak berani mengusulkan calon lain.
Pak Harto makin
disorot ketika keluarganya ikut-ikutan dalam bisnis dan politik. Tutut diangkat
Soeharto menjadi menteri dan Tommy memegang bisnis mobil Timor, yang rencananya
menjadi mobil nasional. Maka ditambah kritik Pak Amien dan ‘kesumpekan politik’
yang puluhan tahun itu, maka masyarakat, khususnya mahasiswa marah dan
terjadilah tragedi Mei 1998. Jakarta dibakar oleh ‘kelompok-kelompok kiri dan
non Islam’ dan Pak Harto turun. Amien cs
menginginkan Habibie sebagai presiden, kelompok kiri atau non Islam
menginginkan paket Soeharto-Habibie turun.
Akhirnya karena
desakan mahasiswa dan tokoh-tokoh masyarakat, Soeharto turun, Habibie naik (21
Mai 1998). Tapi apakah Habibie aman menjadi presiden? Ketika Habibie naik ia
segera didesak oleh kelompok-kelompok ‘anti Pak Harto’ saat itu agar segera
menyelenggarakan pemilu. Maka Habibie pun hanya memerintah setahun lima bulan.
Dan disitulah manuver politik dimulai.
Mereka yang tidak
menginginkan ‘Islam Politik’ (ICMI dkk) naik memerintah negeri ini, mulai
mengadakan kasak-kusuk di partai-partai. Tokoh-tokoh PDIP menjadi yang terdepan
menolak Habibie. Golkar pecah. Tokoh-tokoh Golkar ‘kiri/sekuler’ seperti yang
dipelopori Marzuki Darusman, menggalang dukungan menolak laporan
pertanggungjawaban Habibie. Harapannya, dengan ditolak laporannya, maka Habibie
tidak mungkin mencalonkan diri menjadi presiden.
Laporan Habibie
ditolak dengan perbandingan tipis, hanya selisih 33 suara. Prestasi Habibie
menurunkan dolar dan menstabilkan rupiah, membuka ‘kebebasan pers’, membuka
partai-partai baru dan seterusnya dianggap angin lalu. Karena bagi mereka,sejak
Habibie menjadi wakil presiden dan mendorong terbentuknya ICMI –Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia- maka Habibie harus harus disingkirkan. Islam
Politik tidak boleh memerintah negeri ini, begitu keinginan mereka
Dengan seabreg prestasinya,
Habibie pun pupus tidak mungkin menjadi presiden. Menjadi tidak etis, presiden
yang telah ditolak laporan pertanggungjawabannya dicalonkan kembali menjadi
presiden. Maka diadakanlah perundingan di “Kuningan” antara elit politik di
negeri ini. Wiranto, Habibie, Amien Rais, dan tokoh-tokoh elit negeri ini saat
itu berkumpul. Mereka sepakat menjadikan Amien sebagai presiden.
Kelompok lain, kita
tidak tahu mereka dimana berapat, yang jelas mereka tidak menginginkan Pak
Amien menjadi presiden. Amien adalah kartu mati bagi mereka. Karena Amien
adalah tokoh intelektual Islam yang memahami Amerika/Barat. Kritik-kritik Amien
terhadap sekulerisme-liberalisme (termasuk kritik Amien terhadap Nurcholish
saat itu) tentu mereka dokumentasikan dan menjadi catatan besar bagi mereka.
Apalagi ketokohan Amien di Muhammadiyah dan ICMI yang ‘melegenda’ saat itu,
semakin menakutkan mereka.
Selain tentu saja
tulisan-tulisan Amien di Panji Masyarakat, Republika dan jurnal-jurnal ilmiah
dan kedekatan Amien dengan tokoh-tokoh
Masyumi saat itu, tentu tidak dirasakan nyaman oleh mereka. Buku Amien
“Cakrawala Islam” tentu juga telah mereka ‘file’ kan.
Maka pertarungan
politik di DPR-MPR mulai. Mereka yang menolak laporan pertanggungjawaban
Habibie, sebagian besar adalah mereka
yang tidak menginginkan Amien menjadi presiden. Fraksi yang tegas menolak saat
itu adalah FPIP, FKKI, FPDKB dan FPKB. Fraksi Golkar pecah, tidak bersikap. Boleh
jadi apapun, tapi Amien tidak boleh menjadi orang nomor satu di negeri ini.
Rekayasa pun dimulai. Pemilihan Ketua MPR didahulukan. Amien pun digiring
mereka agar mau mencalonkan menjadi Ketua MPR. Karena begitu kuatnya desakan
itu. Amien pun menyetujuinya dan tentu saja dengan mudah Amien menjadi Ketua
MPR.
Siapa jadi presiden?
Siapa lagi kalau bukan Gus Dur. Kalangan ‘pro CSIS’ saat itu memang mempunyai
target setelah Pak Harto jatuh, Amien tidak boleh menjadi presiden. Dan Gus Dur
atau Mega yang dikenal dekat dengan CSIS, menjadi calon yang kuat saat itu.
Dalam hal ini sebenarnya ada ‘kesalahan orang-orang yang dekat Amien”. Mereka
saat itu –sebelum Pemilu 1999- mendorong Gus Dur menjadi presiden, sebenarnya
hanya ‘gurauan’. Mereka memperkirakan bahwa Gus Dur nanti menolak –karena
kondisi penglihatannya- dan mengembalikan pencalonan presiden kepada Amien.
Tapi rupanya perkiraan politik mereka meleset. Gus Dur menerima pencalonan itu
dan kelompok-kelompok terdekatnya, mendukungnya penuh.
Dan akhirnya muluslah
Gus Dur menjadi presiden setelah Amien Rais jadi Ketua MPR. Yusril yang saat
itu sebenarnya ‘bisa menjadi alternatif’ ---karena dianggap terlalu muda—dilobi
juga untuk mengundurkan diri. Akhirnya Yusril rela mengundurkan diri di depan sidang
DPR-MPR.
Tentu kita bisa
menebak ketika Gus Dur jadi presiden.
Karena alat indranya yang tidak lengkap, Gus Dur sering menelurkan
kebijakan yang ‘aneh-aneh’. Memecat beberapa menterinya, melontarkan
guyonan-guyonan yang ngawur dan lain-lain. Melihat hal-hal yang tidak sehat itu
akhirnya Amien bersama ‘seluruh partai’ –tentu saja kecuali PKB- akhirnya
sepakat melengserkannya. Dan era baru ‘yang lama’ dimulai. Megawati menjadi
presiden.
Ketika Mega jadi
presiden, tidak ada hal yang menggembirakan di Indonesia. Keterbatasan
inetelektual Mega, menjadi negeri ini tambah dikuasai asing. Mega dengan
seenaknya menjual Indosat ke asing dan beberapa perusahaan strategis Indonesia
lainnya. Maka jangan heran ketika Mega memerintah, jutsru perolehan dan citra
PDIP malah menurun. Partai yang dalam sejarahnya merupakan leburan dari partai
Kristen, Katolik dan Nasionalis (sekuler) ini malah anjlok perolehannya, karena
kalah dengan partai baru Demokrat dan Golkar.
Pandangan tokoh-tokoh
Masyumi
Yang menarik
sebenarnya pandangan tokoh-tokoh Masyumi terhadap Pak Harto. Seperti Anwar
Harjono dan Hussein Umar (alm) dan
Chalil Badawi dll. Mereka memandang sejak Soeharto pergi haji 1998, sebenarnya
mulai ada perbaikan dalam kebijakan Soeharto. Soeharto mulai mendekat dengan Islam, apalagi
sejak terbentuknya ICMI, peluncuran Harian Republika dan pembentukan Bank
Muamalat Islam.
Bila dalam masa awal
pemerintahannya Soeharto dekat dengan CSIS –menarik Pancasila ke Sekulerisme
setelah Soekarno menarik Pancasila ke Marhaenisme/Marxisme, dengan berbagai
kebijakan seperti asas Tunggal, Penataran P4, Pendidikan Kewarganegaraan yang
sekuler, pelarangan PII masuk sekolah dan diganti OSIS, pengangkatan Jenderal
Benny Moerdani sebagai Panglima ABRI dll- maka tahun 90-an Pak Harto mulai
dekat dengan kalangan Islam. Istilah pengamat politik Fachry Ali saat itu,
‘orang Jawa bila masa tua biasanya kembali ke agamanya’.
Tentu saja setelah
puluhan tahun Pak Harto keras terhadap ‘Islam Politik’ dan tahun 90-an mengubah
kebijakannya pro Islam Politik, membuat panas kalangan CSIS dan berbagai
kelompok yang tidak suka Islam naik dalam panggung politik. Rekayasa pun
dimulai. Pak Harto harus cepat dilengserkan, sebelum lebih jauh ‘kelompok
Islam’ naik panggung politik. Mereka menciptakan mahasiswa-mahasiswa militan
diantaranya PRD, Partai Rakyat Demokratik kelompok kiri militan yang kerjaannya
menghantam Soeharto.
Demo-demo pun dimulai.
Internet yang baru meluncur di Indonesia meluncurkan email-email bersambung
tentang KKN Soeharto. Di UI atau universitas-universitas, kelompok-kelompok
yang menggalang demo pro reformasi pertama kali bukanlah Lembaga Dakwah Kampus
atau kelompok mahasiswa Islam. Kelompok-kelompok yang demo dan anti Pak Harto
adalah kelompok kiri atau non Islam. Mereka dengan pintar menggalang aksi-aksi
demo ke seluruh kampus dan meneriakkan reformasi dan anti KKN Soeharto. Mereka
tidak mau menyerang Keislaman Soeharto yang makin baik. Mereka menyerang KKN
Soeharto dan anak-anaknya.
Pak Amien dan
kelompoknya melihat situasi politik yang menggelisahkan –di samping juga Pak
Amien lama kritis terhadap Pak Harto--- akhirnya bareng dengan mereka
menggulingkan Pak Harto. Pak Amien cs ingin Habibie menggantikan Soeharto,
mereka menginginkan keduanya lengser. Diganti dengan yang sama sekali baru.
Yang baru itu siapa, mereka menyembunyikannya. Yang penting negeri ini tidak
boleh ‘kelompok Islam politik’ yang berkuasa, begitu jargon mereka.
Pak Amien pun terus
mereka pepet. Sehingga saati itu Amien ‘dipaksa’ mereka membuat kelompok MARA
atau MAR. Mereka memastikan bahwa Pak Amien nggak boleh membuat partai Islam
(Karena mereka memahami kalau pak Amien membuat partai Islam saat itu, umat
Islam akan bersatu dan kemungkinan tidak
ada PKS, PBB, PPP dan lain-lainnya). Pak Amien harus membuat partai nasionalis,
sehingga orang-orang Kristen-Katolik dan lain-lain bisa masuk.
Tokoh-tokoh Islam saat
itu melobi Amien, baik tokoh tua maupun muda. Dari pihak non Islam mengeluarkan
ancaman bila Pak Amien bergabung atau membuat partai Islam, mereka akan keluar
dari lingkaran Pak Amien. ‘Amien dan inner circlenya’ ternyata takut atau
termakan dengan ancaman itu. Hingga akhirnya Amien menyatakan bahwa partai
Islam ibarat baju kesempitan baginya dan seterusnya.
Akhirnya Amien membuat
PAN. Dan masuklah di sana ‘orang-orang berbagai macam’. Ada pendeta, ada
Goenawan Mohammad yang terkenal dengan liberalismenya, ada ustadz, artis dan sebagainya.
Karena berbagai macam pemikiran orang yang berkumpul itu, maka PAN pun pecah.
Tinggal sekarang artis dan sebagian kalangan Muhammadiyah yang ikut PAN. Banyak
ahli politik yang memperkirakan bila saat itu Amien mau membentuk Partai Islam,
atau bergabung dengan partai Islam maka bukan tidak mungkin ia menjadi
presiden. Tapi nasi telah menjadi bubur. Tentu Pak Amien dan kita semua
mengambil hkmahnya. Jangan sampai kesalahan yang sama, terjadi lagi ke depan.
Sejarah adalah ibrah, pelajaran yang penting buat orang-orang beriman.
Jokowi
Jokowi menjadi
Gubernur DKI adalah ‘permainan media massa belaka’. Media TV dan cetak yang
dikuasai kaum sekuler, begitu fenomenal mendukung Jokowi-Ahok. Media mereka
tidak ada yang mempersoalkan ideologi atau prinsip agama Jokowi. Dengan
menggandeng non Muslim menjadi gubernur Jakarta –yang mayoritas Islam- tentu
kita tahu sejauh mana prinsip agama menjadi pegangan Jokowi. Apalagi ketaatan
Jokowi terhadap pimpinan PDIP –yang merupakan leburan dari partai Kristen,
Katolik dan Nasionalis sekuler.
Maka jangan heran,
‘harian milik Katolik’ Kompas, terus menerus mendukung Jokowi menjadi presiden.
Artinya bila Jokowi menjadi presiden, maka kalangan Cina, non Islam dan
kelompok-kelompok sekuler, makin leluasa di negeri ini. (Inilah nampaknya yang
dikhawatirkan Pak Amien). Mereka dengan media massanya pintar memainkan
‘politik Jokowi’ . Blusukan tiap hari Jokowi dianggap hebat. Padahal seorang
pemimpin selain blusukan juga harus betah di kantor atau rapat untuk ‘adu
pikiran’ mengelola negara ini. Ketidakbetahan Jokowi di kantor atau rapat,
menunjukkan kelemahan intelektualitas Jokowi dalam mengatur rakyat. Maka, bila
Jokowi menjadi presiden tak ubahnya sewaktu Mega jadi presiden dulu, yang
bermain adalah kelompok-kelompok intelektual di belakang Jokowi. Dan itu siapa,
anda bisa menebaknya.
Dan terus terang saya
malas untuk membandingkan Amien Rais dengan Jokowi. Karena Jokowi tidak ada
prestasi intelektual dan karyanya yang monumental untuk bangsa ini.
Membandingkan Amien Rais dengan Jokowi, ibarat membandingkan dosen dengan
mahasiswa. Guru dengan murid. Dan bila
bangsa ini memilih Jokowi menjadi presiden, maka PDIP berkibar, Gubernur
Jakarta Kristen, setelah walikota Solo Kristen . Dan itulah yang diinginkan kelompok
politik Kristen/Katolik. Wallahu alimun hakim.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar