Oleh : Nuim Hidayat
“Media Seringkali
Membuat Banyak Orang Salah Idola” (anonim)
Soekarno, laki-laki
proklamator RI ini kini menjadi banyak idola kawula muda. Buku-buku banyak
ditulis memuji-muji kehebatan dia. Mulai dari masa kecilnya, remaja dan dewasanya.
Dibukukan tulisan-tulisannya dan divideokan pidato-pidatonya. Film-film pun
dibuat untuk mempropagandakan kepribadian dan kehebatannya. Benarkah Soekarno
manusia yang hebat tidak ada cacat atau justru banyak cacatnya? Tulisan ringkas
ini akan mencoba menelaahnya.
Bila ditelusuri
Soekarno ternyata pintar bicara tapi ‘miskin’ dalam perbuatan atau akhlak.
Pidatonya yang berapi-api memang membakar semangat rakyat. Tapi sikap-sikapnya
terutama dalam politik seringkali menjadi blunder, bahkan kepada dirinya.
Egonya yang terlalu berlebihan, menjadikan banyak temannya menjadi korban.
Nafsunya kepada perempuan seringkali tidak terkendalikan. Entah berapa orang
yang menjadi istri atau pasangannya. Ideologi Islam yang semasa remaja ditanam
Tjokroaminoto di Surabaya, seolah ‘hilang lenyap’ tergantikan dengan ideologi
Marxisme atau Marhaenisme yang dipahat
oleh dosen-dosen Belanda di ITB Bandung.
Kita coba telisik
Soekarno mulai dari kasus Piagam Jakarta. Piagam Jakarta yang sudah
ditandatangani oleh Soekarno sendiri pada 22 Juni 1945, disepakati akan
dibacakan pada proklamasi republik Indonesia, diganti dengan coret-coretan
Soekarno. Hal itu terjadi pada subuh
hari 17 Agustus 1945, Soekarno mengajak Hatta ke rumah Laksamana Maida untuk
mendiskusikan lagi naskah proklamasi yang sudah disepakati Tim Sembilan. Di
rumah itu, selain ada petinggi Jepang juga ada Ahmad Subarjo (nasionalis
sekuler) sekretaris Laksamana Maida. Dan akhirnya dalam sejarah tercatat
Soekarno membacakan proklamasi dengan coretan-coretannya sendiri pada sekitar
pukul 10.00, 17 Agustus 1945. Tidak ada dalam perundingan dalam rumah Maida itu
tokoh nasionalis Islam. (lihat http://www.hidayatullah.com/read/28027/06/04/2013/jangan-pertentangkan-islam-dan-pancasila.html)
Lebih tragis lagi pada
18 Agustus 1945. Soekarno lewat rapat kilat tidak sampai tiga jam mengganti
hal-hal penting yang berkaitan dengan Islam dalam urusan politik. Yakni
mengganti hal-hal penting dalam UUD 45.
Lewat rapat yang dipimpinnya Soekarno mengganti kata Mukaddimah menjadi
pembukaan, kata Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa dan kata presiden adalah
orang Indonesia asli dan beragama Islam kata “dan beragama Islam dicoret.
Karena tragedi itu,
maka setelah Pemilu 1955, tokoh-tokoh Islam bersatu menuntut pengembalian
Piagam Jakarta atau Islam sebagai dasar negara. Karena kemerdekaan Indonesia
diperoleh dengan darah dan keringat mayoritas rakyat yang beragama Islam. Maka
diadakanlah penyusunan UUD kembali oleh Majelis Konstituante 1957-1959. Setelah
bersidang lebih dari dua tahun, hasilnya mentok. Faksi Nasionalis Islam dengan faksi nasionalis sekuler tidak
ada yang menang mutlak. Soekarno
akhirnya membubarkan Majelis Konstituante dengan didukung TNI, dengan
mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Yang menarik Soekarno saat itu
menerima usulan dari tokoh-tokoh Islam, untuk menampung aspirasi dari
nasionalis sekuler dan nasionalis Islam, maka dirumuskanlah salah satu isi
dekrit itu adalah : Piagam Jakarta menjiwai UUD 45 dan merupakan satu rangkaian
kesatuan yang tidak terpisahkan. Sayangnya meski bunyi dekrit seperti itu,
Soekarno tidak menerjemahkannya dalam undang-undang atau peraturan presiden.
Masa Soekarno atau Orde Lama
Bila banyak yang
mencela Orde Baru, maka Orde Lama bagi umat Islam terutama tokoh-tokohnya
terasa ‘lebih sengsara’. Buya Hamka,
ulama besar ini menyampaikan isi hatinya dalam Majalah Panjimas yang diasuhnya.
Setelah mengritik mantan Menteri Subandrio –di sidang Mahmilub- yang hingga
tuanya tidak mengenal rakaat shalat dan Yusuf Muda Dalam yang tidak mengerti
bahwa beristri lebih dari empat dilarang dalam Islam, Hamka menyatakan :
“Inilah contohnya
orang-orang yang memegang kekuasaan negara di masa Orde Lama. Mengaku percaya
kepada Tuhan Yang Maha Esa di bibir, tetapi tidak pernah mendekatkan diri
kepada Tuhan menurut agama yang mereka peluk sebagai pusaka dari ayah bundanya.
Sehingga terbaliklah
keadaan; orang yang tekun kepada Tuhan; mengerjakan perintah dan menghentikan
larangan Tuhan, dipandang anti Pancasila, orang yang taat mengerjakan agama di
cap reaksioner atau kontra revolusioner.
“Bersuluh kepada matahari, bergelanggang di
mata orang banyak”, bagaimana
setiap hari hukum-hukum agama itu dilanggar, didurhakai.
Zina menjadi kemegahan,
minuman keras diminum laksana minum air teh saja, uang negara dihamburkan untuk
kepentingan pribadi. Tidak ada sedikit juga rupanya rasa takut kapada Tuhan.
Karena Tuhan itu hanya untuk penghias pidato, bukan untuk penghias hidup, budi
moral dan mental.
Mereka pun melanggar
dasar negara yang kedua, yaitu Pri Kemanusiaan. Tengoklah bagaimana sengsaranya
rakyat. Tengoklah kelaparan, karena banjir di Solo, karena letusan Gunung Agung
di Bali, karena letusan Gunung Kelud, bencana kelaparan di Lombok. Tidak
seorang juga diantara mereka itu yang sudi meringankan langkah buat melihat
keadaan rakyat yang malang dan sengsara itu…
Peri Kemanusiaan :
dalam prakteknya orang-orang yang dicemburui, dibenci dan dipandang akan
menghalangi langkah-langkah mereka meneruskan kezaliman itu.
Sampai Sutan Syahrir
mati dalam status tahanan. Mereka ditahan, kadang-kadang rumah kediamannya
dirampas dan dengan seenaknya didiami oleh khadam-khadam (pembantu) para
pembesar itu. Benar-benar berlaku di negeri ini sebagai yang berlaku berates
tahun yang laludi zaman kekuasaan raja-raja tidak terbatas, yang nasib malang
akan menimpa orang yang dibenci oleh pihak istana. Dan anak istri orang yang
ditahan itu dibiarkan melarat.
Alangkah banyaknya
paradoks di dalam negara yang berdasar Pancasila di zaman itu. Mobil mewah
pejabat meluncur di atas jembatan, sedang dibawahnya tidur orang-orang yang
kehabisan tenaga buat hidup. Yang di atas menikmati rasa kemerdekaan, yang di
bawah terlempar ke dalam lumpur kehinaan sejak negara merdeka.
Disorak-soraikan
amanat penderitaan rakyat. Alangkah seramnya jika dikaji bahwa kata-kata Amanat
Penderitaan Rakyat itu diungkapkan oleh pemimpin-pemimpin itu sendiri, padahal
merekalah yang mengkhianatinya.
Mereka belum merasa
puas kalau belum ada undang-undang untuk
menyikat bersih dari masyarakat orang-orang yang dibenci, sedang kesalahan
mereka yang terang tidak ada. Lalu diadakan Penetapan Presiden (Pen-Pres)
buat menangguk sisa-sisa orang yang dibenci yang masih tinggal, orang-orang
yang dipandang masih ada pengaruhnya
dalam masyarakat. Dengan “dugaan saja, walaupun tidak ada bukti sama sekali
orang bisa dibenamkan ke dalam tahanan. Itulah Pen-Pres No 11 yang terkenal
dengan sebutan Undang-Undang Subversif…
Indonesia benar-benar
menjadi “Mercusuar” dari kebrobokan. Indonesia diteropong, bahkan di mikroskop
oleh bangsa lain, lalu menjadi tertawaan.
Tetapi surat-surat kabar yang memuat berita tentang kebrobokan dilarang
masuk Indonesia.
Sebentar-sebentar
diadakan pidato, rapat raksasa, rapat samudera.
Diobati perut yang
lapar dengan pidato, diobat jalan-jalan yang rusak dengan pidato. Rakyat
dikerahkan dengan segala macam daya upaya supaya dari subuh sudah berangkat ke
tanah lapang mendengarkan pidato.
Perusahaan-perusahaan
wajib menutup usahanya dan mengerahkan buruhnya pergi mendengarkan pidato.
Produksi menurun karena hari habis untuk mendengarkan pidato…
Berdirilah
gedung-gedung monument, patung-patung yang tidak akan dapat mengenyangkan perut
rakyat, yang hanya akan ditegahkan (dipertunjukkan) kepada tamu luar negeri,
padahal kalau tetamu itu datang, sasaran tustel mereka bukanlah monument dan
patung, melainkan rakyat yang tidur di dalam pipa air yang belum dipasang atau
mandi telanjang di kali Ciliwung.” ” (lihat
Hamka, Dari Hati ke Hati, Pustaka Panjimas,2002, hal. 259-262).
Hamka juga mengritik
keras gagasan Nasakom yang digulirkan Soekarno.
Karena Masyumi dan PSI (Partai Sosialis Indonesia) tidak mau ikut
bergabung dengan pemerintahan Soekarno, maka kedua partai itu dipaksa bubar. Tokoh-tokohnya dipenjarakan tanpa kesalahan
yang jelas di pengadilan –termasuk Buya Hamka yang dipenjara lebih dari dua
tahun. Maka, kata cendekiawan ulung ini
:
“Akhirnya datanglah
klimaks dari NASAKOM ini, yaitu peristiwa Lubang Buaya! Inilah akibat dari
penyelewengan Pancasila atau Munafik Pancasila itu; yang dipidatokan buat
dikhianati. Atau di dalam jiwa sendiri tidak ada, sebab itu menjadi kosong ke
tengah udara bebas.
Tetapi Tuhan Allah
tidaklah mengizinkan kemunafikan itu berlanjut sehingga lanjutan dari peristiwa
Lubang Buaya ialah terbukanya mata rakyat malang yang selama ini hanya dibuat,
dinina-bobokkan dengan janji-janji dari mereka yang berkuasa yang sekali-kali
tidak sanggup mereka memenuhinya. ABRI (TNI) dan rakyat jelata semuanya bersatu
menghadapi Orde Lama yang munafik dan bobrok ini dan setiap yang berhutang
musti membayarnya” (Hamka, Dari Hati ke
Hari, hal. 265).
Selain Hamka, mantan
Wakil Perdana Menteri RI, Mohammad Roem juga kritis kepada Soekarno. Kritik
Roem lain lagi. Menurut Roem, Soekarno kurang jujur menceritakan masa kecilnya
yang dipenuhi kemiskinan, kepada penulis biografinya Cindy Adams.
Sebelumnya Roem
menyatakan bahwa Soekarno adalah bagaikan buku terbuka. Kata tokoh Masyumi ini :
“Bagi penulis sendiri
umpamanya, perjuangan Soekarno sejak ia memimpin PNI 1926 sampai sekarang laksana buku terbuka. Tapi kita ingin tahu
juga riwayat hidupnya menurut buku ini (buku Cindy Adams –pen). Keturunan
Soekarno tidak tanggung-tanggung! Ibunya Idaju, seorang Bali dari kasta
Brahmana keturunan bangsawan. Raja Singaradja terakhir adalah paman ibunya. Ayahnya, Raden Sukemi
Sosrodihardjo, keturunan Sultan Kediri. Baikpun dari fihak Ibu ataupun dari
fihak ayah, para nenek moyang Soekarno adalah pejuang-pejuang kemerdekaan
melawan penjajah Belanda. Salah seorang nenek moyangnya, seorang wanita,
berjuang di samping pahlawan besar Pangeran Diponegoro di dalam peperangan
tahun 1825-1830, sampai menemui ajalnya.” (Lihat Mohammad Roem, Bunga Rampai
Dari Sejarah I, 1977, hal. 167-183).
Roem kemudian mengulas
tentang kemungkinan besar ketidakjujuran Soekarno tentang kemiskinannya
itu. Roem mengutip biografi Soekarno
yang menyatakan : “Aku dilahirkan di tengah kemiskinan dan dibesarkan dalam
kemiskinan. Aku tidak mempunyai sepatu. Aku mandi tidak dalam air yang keluar
dari kran. Aku tidak mengenal sendok dan garpu. Ketiadaan yang keterlaluan
demikian ini dapat menyebabkan hati kecil di dalam menjadi sedih.
Mengenai hidup dalam
“kemiskinan” ini sangat lengkap…Begitu lengkapnya cerita itu, sehingga orang
yang tahu keadaan di Indonesia terutama di Pulau Jawa pada waktu itu, dengan
angka-angka Soekarno sendiri melihat, bahwa keluarga Raden Sukemi Sosrodihardjo
tidak miskin sama sekali.
Dilihat dalam rangka
“Gobang Report”, dalam mana orang Indonesia rata-rata hidup dari dua setengah
sen setiap hari, maka tiap anggota dari keluarga Raden Sukemi Sosrodihardjo yang
terdiri dari empat orang, hidup dari 250 gobang sebulan atau lebih dari 8
gobang sehari.”
Maka, kata Roem : “ Tidak
masuk akal, seperti yang ia (Soekarno –pen) ceritakan “Kami sangat melarat sehingga hampir tidak
dapat makan satu kali dalam sehari.” (Mohammad Roem, hal. 170).
Kritik keras Roem yang
lain adalah sikap Soekarno yang merangkul PKI untuk menyingkirkan Masyumi.
Syafii Maarif mengutip Roem, dalam bukunya “Islam dan Politik Teori Belah Bambu
Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965” menyatakan logika revolusi Soekarno ialah
menarik garis yang tegas antara sahabat dan musuh revolusi. Kata Syafii : “Pada
masa demokrasi terpimpin, jargon politik PKI tentang golongan “Kepala Batu”
sudah menyatu dengan jargon politik Soekarno yang juga menilai Masyumi sebagai
kekuatan “Kepala Batu” yang merintangi penyelesaian revolusi Indonesia.”
Demokrasi Terpimpin ini mulai mengkristal ketika Soekarno pada 20 Maret 1960
membubarkan parlemen hasil pemilihan umum 1955 dan membentuk DPRGR (Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong) dimana Masyumi dan PSI tidak diikutsertakan.
Walhasil, sebelum
merdeka memang Soekarno adalah seorang pemuda yang mempunyai ide besar dan
semangat tinggi melawan penjajah Belanda. Ia pernah dipenjara dan diasingkan
pemerintah Belanda saat itu. Tapi pemikirannya sayang setelah dewasa lebih
banyak diwarnai Marxisme (sekuler) daripada Islam. Sehingga tahun 1930-an ia
berdebat keras di media massa dengan pemuda Natsir tentang bagaimana bentuk
negara ke depan. Soekarno menginginkan Indonesia menjadi negara sekuler
sebagaimana yang dibentuk Kemal Attaturk. Natsir menginginkan negara yang
dilandasi oleh nilai-nilai Islam, sebagaimana yang diteladankan Rasulullah saw
dan para sahabatnya. Soekarno akhirnya
menjadi presiden dengan menerapkan ide-ide sekuler yang diyakininya dan kemudian
di periode akhir pemerintahannya menyingkirkan kelompok Natsir Masyumi yang
dianggap mengganggu jalan revolusinya.
Natsir memang pernah
ikut dalam pemerintahan Soekarno, sebagai Menteri Penerangan dan Perdana
Menteri, karena Natsir ingin membaktikan hidupnya memperbaiki atau mengislamkan
negeri ini. Tapi ia kemudian berlepas diri dari pemerintahan karena partainya
‘dibubarkan dengan paksa’ oleh presiden pada tahun 1960.
Kini pertarungan ide
negara sekuler dan ide negara Islami terus berlangsung di negeri ini.
Sebagaimana ide menggulirkan tokoh-tokoh idola. Siapakah yang akan menang? Wallahu alimun hakim.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar