Senin, 26 Januari 2009

Budaya Ilmu

Tradisi ilmu kaum Muslimin dulu dikenal dalam sejarah sangat mengagumkan. Cendekiawan Islam maupun Barat mengakui bahwa kejayaan ilmu pengetahuan di zaman kejayaan Islam telah mempengaruhi secara signifikan pertumbuhan peradaban Barat. Tapi kini umat Islam terperosok, ia menjadi bangsa yang tidak disegani bahkan menjadi bangsa-bangsa yang diibaratkan Rasulullah sebagai “makanan” yang diperebutkan bangsa Barat. Kenapa?

Tradisi ilmu dalam Islam sebenarnya telah diproklamirkan Rasulullah saw semenjak ayat Al Qur’an yang pertama turun. Ayat Iqra’, bacalah, telah mengubah sahabat-sahabat Rasulullah dari orang-orang jahiliyah yang suka mabuk-mabukan, main perempuan, berleha-leha, menipu, menjadi orang-orang yang senang dengan ilmu pengetahuan dan berakhlak mulia. Mengubah generasi-generasi Arab jahiliyah yang tidak diperhitungkan dalam pergolakan dunia, menjadi pemimpin-pemimpin dunia yang disegani di seluruh kawasan dunia saat itu.

Tradisi baca dan tulis-menulis begitu hidup saat itu. Tiap ayat al-Qur’an turun, Rasulullah saw. memerintahkan kepada sahabat dekatnya untuk menulis, Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Thalib dll. Bahkan tradisi membaca dan menulis ini menjadi simbol kemuliaan seseorang. Ibnu Saad mengatakan: “Bangsa Arab Jahiliyah dan permulaan Islam menilai bahwa orang yang sempurna adalah yang dapat menulis, berenang dan melempar panah.”

Rasulullah saw menugaskan Abdullah bin Said bin al Ash untuk mengajarkan tulis menulis di Madinah. Juga memberi mandat Ubadah bin as Shamit mengajarkan tulis menulis ketika itu. Kata Ubadah, bahwa ia ia pernah diberi hadiah panah dari salah seorang muridnya, setelah mengajarkan tulis menulis kepada Ahli Shuffah. Saad bin Jubair berkata: “Dalam kuliah-kuliah Ibn Abbas, aku biasa mencatat di lembaran. Bila telah penuh, aku menuliskannya di kulit sepatuku, dan kemudian di tanganku. Ayahku sering berkata:” Hapalkanlah, tetapi terutama sekali tulislah. Bila telah sampai di rumah, tuliskanlah. Dan jika kau memerlukan atau kau tak ingat lagi, bukumu akan membantumu.” (lihat Prof. Mustafa Azami, 2000)

Semangat mereka dalam memburu ilmu pengetahuan makin tinggi, berkat pemahaman terhadap Al-Qur’an yang banyak ayat-ayatnya mendorong agar Muslim senantiasa menggunakan akalnya. Juga ratusan sabda Rasulullah yang menunjukkan pujian terhadap orang-orang yang berilmua. Diantaranya sabda Rasulullah saw: “Barangsiapa pergi mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan jalannya ke surga.” (HR Imam Ahmad). Ibnu Taimiyah meriwayatkan bahwa banyak sahabat yang tinggal di asrama untuk mengikuti madrasah Rasulullah. Menurut Ibnu Taimiyyah, jumlah orang yang tinggal di dalam Suffah (asrama tempat belajar), mencapai 400 orang. Sedangkan menurut Qatadah, jumlah mereka mencapai 900 orang.

Menurut Prof. Azami, Rasulullah mempunyai sekitar 65 sekretaris yang bertugas menulis berbagai hal khusus. Khusus menulis Al Qur’an: Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Utsman bin Affan dan Ubay bin Kaab. Khusus mencatat harta-harta sedekah: Zubair bin Awwam dan Jahm bin al Shalit. Masalah hutang dan perjanjian lain-lain: Abdullah bin al Arqam dan al Ala’ bin Uqbah. Bertugas mempelajari dan menerjemahkan bahasa asing (Suryani): Zaid bin Tsabit. Sekretaris cadangan dan selalu membawa stempel Nabi: Handhalah (lihat “Kuttabun Nabi”, Prof. Mustafa Azami).

Setelah itu, pendahulu-pendahulu kita juga demikian: Abu Bakar Al-Anbari membaca setiap pekan sebanyak 10 ribu lembar. Hingga beliau sering sakit dan membawanya pada kematian karena sering membaca. Syekh Ali Ath-Thantawi membaca 100 – 200 halaman setiap harinya. Menulis artikel di Media massa lebih dari 13 ribu halaman, sedangkan yang hilang sejumlah itu juga dan bahkan lebih. Imam Ibnu Jarir Ath Thabari mampu menulis empat puluh halaman kitab setiap harinya, selama 40 tahun dari usianya yang terakhir.

Jabir ibn Abdullah ra menempuh perjalanan sebulan penuh dari kota Madinah ke kota ‘Arisy di Mesir hanya demi mencari satu Hadits. Ibnu al-Jauzi menulis lebih dari seribu judul. Imam Ahmad pernah menempuh perjalanan ribuan kilomater untuk mencari satu Hadits, bertani untuk mencari rezeki dan masih membawa-bawa tempat tinta pada usia 70 tahun. Imam Syafi’i pernah terjaga semalaman sampai fajar dalam mempelajari satu hadits dan satu masalah. Malam-malam beliau isi dengan membaca, sholat, atau belajar. Imam al-Bukhari menulis kitab Shahih-nya selama 16 tahun dan selalu sholat dua rakaat setiap kali menulis satu Hadits, serta berdoa meminta petunjuk Allah. Sehingga karyanya menjadi contoh teladan, tujuan para ulama dan pemuncak cita-cita

Imam Nawawi (w. 676 H), penulis Kitab Riyadhush Shalihin, al-Majmu’, dan Syarah Shahih Muslim, disebutkan bahwa beliau setiap hari belajar 8 cabang ilmu dari subuh sampai larut malam. Al-Mizzi, Ibn Katsir, Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Ibn Hajar, al-Suyuthi, al-Sakhawi, dan ulama besar lainnya, menyisihkan lebih dari 15 jam per hari untuk membaca dan menulis. Ulama kontemporer Prof. Dr. Wahbah Zuhaili, menurut murid-muridnya juga meluangkan waktu sekitar 15 jam per hari untuk membaca dan menulis. Sehingga ia melahirkan karya-karya yang monumental setingkat ensiklopedi .


Kejayaan dan Kejatuhan Bangsa

Dalam masalah tradisi ilmu ini, Prof. Wan Daud menyatakan bahwa kejayaan atau kejatuhan suatu bangsa tergantung pada kuat atau tidaknya budaya ilmu pada bangsa itu. “Pembinaan budaya ilmu yang terpadu dan jitu merupakan prasyarat awal dan terpenting bagi kesuksesan, kekuatan dan kebahagiaan seseorang dan suatu bangsa. Suatu individu atau suatu bangsa yang mempunyai kekuasaan atau kekayaan tidak bisa mempertahankan miliknya, atau mengembangkannya tanpa budaya ilmu yang baik. Malah dia akan bergantung kepada orang atau bangsa lain yang lebih berilmu. Kita telah melihat sendiri betapa beberapa negara minyak yang kaya-raya terpaksa bergantung hampir dalam semua aspek penting kehidupan negaranya kepada negara lain yang lebih maju dari segi keilmuan dan kepakaran. Sedangkan unsur lain, yaitu harta dan tahta, bersifat eksternal dan sementara. Keduanya bukanlah ciri yang sejalan dengan diri seseorang atau suatu bangsa tanpa ilmu yang menjadi dasarnya. Sebaliknya jika ilmu terbudaya dalam diri pribadi dan masyarakat dengan baik, maka bukan saja bisa mempertahankan dan meningkatkan lagi keberhasilan yang ada, malah bisa memberikan kemampuan untuk memulihkan diri dalam menghadapi segala kerumitan dan tantangan,”papar Guru Besar ISTAC ini.

Ia kemudian mencontohkan peristiwa dalam sejarah: “Bangsa yang telah begitu banyak mempengaruhi peradaban manusia ialah bangsa Yunani. Pencapaian bangsa ini, khususnya yang berpusat di Athena hampir lebih 2.000 tahun silam bisa memberikan banyak pengajaran kepada kita. Salah satunya ialah bahwa yang mempunyai tradisi ilmu akan mempunyai pengaruh yang besar kepada bangsa lain yang jauh lebih besar jumlah rakyatnya dan lebih kuat bala tentaranya. Hal ini juga nampaknya merupakan salah satu hukum umum sejarah. Hasil keilmuan Yunani, terutama yang berpusat di Athena, mempunyai pengaruh besar terhadap Roma dan bangsa lain hingga hari ini. Pada zaman kegemilangannya, jumlah rakyat dan tentaranya tidak sebanyak dan sekuat Roma. Bidang ilmu seperti filsafat dengan segala aspek penelitiannya, logika, matematika (terutama geometri) adalah hasil pemikiran Yunani yang mempengaruhi beberapa aliran dalam peradaban Islam, dan terutamanya peradaban Barat hingga hari ini. Dalam bidang kedokteran, sumpah Hippocrates (meninggal dunia di sekitar 500 sebelum Masehi) yang menggariskan etika kedokteran Barat dan modern masih digunakan. Malah Olimpiade sendiri adalah penjelmaan kembali salah satu ciri budaya Yunani kuno yang berpengaruh itu.”

Ia juga menggambarkan bagaimana budaya ilmu itu menjadi kebangkitan bagi kejayaan Cina, Barat dan Jepang. Ia mencontohkan sebuah peristiwa di Jepang: “Di Jepang pendidikan adalah jalan terpenting untuk mendaki tangga kesuksesan. Para remaja dan pelajar disajikan dengan kisah-kisah keberhasilan individu dari Timur dan Barat. Contohnya buku Yukichi Fukuzawa, Galakkan Belajar dijual sebanyak 600.000 eksemplar pada tahun 1882. Buku itu menyatakan: “Manusia tidak dilahirkan mulia atau hina, kaya atau miskin, tetapi dilahirkan sama dengan yang lain. Barang siapa yang gigih belajar dan menguasai ilmu dengan baik akan menjadi mulia dan kaya, tetapi mereka yang jahil akan menjadi papa dan hina.”

Jadi, tidak ada kata lain bahwa kebangkitan Islam, kebangkitan negara, masyarakat atau individu Muslim mesti dimulai dengan kebangkitan budaya ilmu. Karena kepemimpinan yang benar adalah kepemimpinan berfikir, bukan kepemimpinan ekonomi atau militer. Peradaban dunia dunia saat ini yang mengunggulkan kepemimpinan ekonomi dan militer, maka hasilnya kita lihat, adalah peradaban yang jauh dari kemanusiaan. Banyak negara yang egois dengan nasionalismenya masing-masing, sehingga rela memperdaya dan memiskinkan negara-negara lain.

Dan jangan bermimpi negeri-negeri Islam akan memimpin dunia Barat, bila tradisi ilmu belum membudaya dalam masyarakat. Wallahu aliimun hakiim.* (Jurnal Al Insan, 2008)

Tidak ada komentar: