Senin, 26 Januari 2009

Tugas Cendekiawan Muslim

Melihat politik luar negeri Amerika yang tidak beradab saat ini, menjadikan ilmu-ilmu politik yang dibangun Barat perlu dipertanyakan kembali relevansinya. Untuk apa ilmu pengetahuan disusun dan disebarluaskan, sementara dalam praktiknya justru menyengsarakan umat manusia? Di mana peran cendekiawan Amerika yang tidak beres mengurusi negaranya atau menasihati pemerintahannya agar tidak bertindak semena-mena? Sementara dalam waktu yang sama mereka merekrut pemuda-pemuda cerdas dari Indonesia dan negara di dunia ketiga lainnya untuk dididik di Amerika.

Saat inilah seharusnya para cendekiawan Muslim berperan untuk merumuskan ilmu dan membangun kembali peradaban yang nyata-nyata gagal dikendalikan ilmuwan Barat. Konsep dasar ilmu Barat memang berbeda dengan Islam. Bila dalam Islam ilmu selain berpijak pada akal, juga tidak boleh menyimpang dari wahyu. Sementara di Barat, ilmu hanya berakar dari akal atau rasionalisme. Dan di sinilah awal mula kerusakan di Barat, karena akal sifatnya terbatas.

Selain itu, dalam konsep Islam, hal yang urgent, antara ilmu dan amal menyatu. Bila amalnya menyalahi ilmu, maka ia akan dijuluki munafik, fasiq, zalim, atau ahli maksiat. Makanya dalam ilmu hadis diajarkan bahwa orang tidak saja dilihat dari apa yang diucapkannya, tetapi juga dari perilakunya. Di Barat, ilmu dan amal tidak harus menyatu. Memang sebagian orang Barat menyatakan bahwa ilmu dan amal harus menyatu. Tapi dalam kenyataan yang dilakukan cendekiawannya atau praktik politiknya, antara ilmu dan amal jauh panggang dari api. Tokoh-tokoh Barat, seperti Faucault dan JJ Rousseau, terkenal sebagai intelektual yang gonta-ganti perempuan dan rusak akhlaknya. Politik AS dan negara Barat saat ini ke dunia Islam, terlihat kebiadabannya. Bagaimana sebuah negari Islam dihancurkan infrastrukturnya, dibunuhi rakyatnya, dirusak masa depan anak-anaknya dan dimiskinkan negaranya?

Tujuan pendidikan
Menurut mantan Guru Besar ISTAC, Wan Mohd Nor Wan Daud, ada dua pandangan teoritis mengenai tujuan pendidikan. Pertama, orientasi kemasyarakatan, yaitu pandangan yang menganggap pendidikan sebagai sarana utama dalam menciptakan rakyat yang baik. Kedua, lebih berorientasi kepada individu yang lebih memfokuskan diri pada kebutuhan, daya tampung, dan minat pelajar.

Secara umum, sistem pendidikan yang diterapkan di dunia ini berorientasi kemasyarakatan dan kenegaraan. Pandangan ini juga dianut oleh aliran perenial atau aliran transmisi kebudayaan yang sering dihubung-hubungkan dengan Plato dan sarjana Barat Abad Pertengahan, juga beberapa sarjana modern seperti William T Harris, Robert Hutchins, dan Adler di Amerika Serikat, para feminis yang giat meneriakkan prinsip-prinsip kebebasan, dan sebagainya.

Sebaliknya, menurut Wan Daud, hampir semua agama besar di permukaan bumi ini menganut pandangan yang berorientasi kepada individu. Pandangan teoritis pendidikan yang berorientasi individual ada dua aliran. Pertama , mereka yang berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah mempersiapkan peserta didik agar bisa meraih kebahagiaan optimal melalui pencapaian kesuksesan kehidupan bermasyarakat dan ekonomi, jauh lebih berhasil yang pernah dicapai oleh orangtua mereka. Aliran kedua adalah mereka yang lebih menekankan peningkatan intelektual, kekayaan, dan keseimbangan jiwa peserta didik. Menurut mereka, meskipun memiliki banyak persamaan dengan peserta didik yang lain, seorang peserta didik masih tetap memiliki keunikan dalam pelbagai segi.

Sementara Prof Naquib Al Attas menyatakan bahwa tujuan pendidikan menurut Islam bukanlah untuk menghasilkan warga negara dan pekerja yang baik. Tujuan pendidikan Islam adalah untuk menciptakan manusia yang baik. Manusia yang baik, mesti menjadi warganegara yang baik. Tidak sebaliknya. Dalam bukunya Islam dan Sekulerisme, Al Attas menyatakan bahwa tujuan mencari ilmu adalah untuk menanamkan kebaikan ataupun keadilan dalam diri manusia sebagai seorang manusia dan individu, bukan hanya sebagai warga negara ataupun anggota masyarakat. Yang perlu ditekankan (dalam pendidikan) adalah nilai manusia sebagai manusia sejati, sebagai warga kota, sebagai warga negara dalam kerajaannya yang mikro, sebagai sesuatu yang bersifat spiritual. Dengan demikian yang ditekankan itu bukanlah nilai manusia sebagai entitas fisik yang diukur dalam konteks pragmatis dan utilitarian berdasarkan kegunaannya bagi negara, masyarakat, dan dunia.

Selanjutnya Al Attas menguraikan bahwa Alquran adalah undangan Allah kepada manusia untuk menikmati jamuan makan di muka bumi. "Kitab Suci Alquran adalah undangan Tuhan kepada manusia untuk menghadiri jamuan keruhanian dan cara memperoleh ilmu pengetahuan yang sebenarnya mengenai Alquran adalah dengan menikmati makanan-makanan lezat yang tersedia dalam jamuan makanan keruhanian tersebut. Artinya, karena kenikmatan makanan yang lezat dalam jamuan istimewa itu, ditambah kawan yang Agung dan Pemurah dan karena makanan tersebut disikapi menurut cara-cara, sikap dan etiket yang suci, hendaknya ilmu pengetahuan yang dimuliakan sekaligus dinikmati itu didekati dengan perilaku yang sesuai dengan sifatnya yang mulia." (Prof Wan Mohd Nor Wan Daud, 2003).

Karena itu, intelektual muslim asal Bogor tersebut mempopulerkan istilah ta'dib untuk pendidikan Islam. Dengan ta'dib maka pribadi yang terbentuk menjadi mempunyai adab. Bila pendidikan akhirnya malah membentuk manusia-manusia yang jahat, maka pendidikan ( ta'dib) bisa dikatakan telah gagal total.

Maka menjadi tugas cendekiawan muslim saat ini untuk kembali merumuskan dan bergerak mendidik para pemuda dengan arah pendidikan yang benar. Pendidikan yang menghasilkan pribadi-pribadi yang cemerlang akal, jiwa, dan sikapnya, bukan melaksanakan pendidikan yang hanya berorientasi ekonomi atau pendidikan siap kerja. Karena bila penekanan 'ekonomi' lebih dipentingkan, maka hasil didikannya hanya menjadi pekerja-pekerja yang sekuler, tidak beradab, dan materialis.

Pendidikan memang memerlukan tenaga dan biaya besar serta jangka waktu 'panen' yang lama. Pendidikan di universitas saja, mungkin baru dilihat hasilnya pada mahasiswa-mahasiswa yang berkualitas itu, sekitar 10 tahun kemudian. Apalagi bila pendidikan itu dimulai dari masa kanak-kanak. Tapi mau tidak mau, untuk membangun peradaban Islam yang berkualitas dari sinilah jalan setapak harus dimulai.

Kesempatan emas kembali membangun dunia pendidikan ini, ketika Barat telah gagal mendidik rakyat dan kaum elitenya, sayang bila dilewatkan. Dengan pendidikan yang memadukan akal dan jiwa, duniawi dan ukhrawi, fisik dan ruhani, nilai dan materi, maka pendidikan Islam justru bisa menjadi sumber cahaya yang akan menerangi Barat kembali.

Ilmuwan dan penyair terkenal, Mohammad Iqbal, telah mengritik habis-habisan metode pendidikan Barat yang sekuler ini. Iqbal dalam karya-karyanya menekankan pengembangan individu Muslim yang matang dengan kepribadian Alquran.

Ikhtisar
- Kejahatan Amerika Serikat (AS) terhadap dunia Islam yang kini terjadi membuat kita perlu mempertanyakan kembali ilmu-ilmu yang selama ini dikembangkan Barat.
- Fenomena tersebut menunjukkan bahwa di Barat, ilmu tidak dikembangkan selaras dengan perilaku manusia.
- Dalam Islam, ilmu dan amal haruslah menyatu.
- Pendidikan dalam Islam juga tidak hanya dilaksanakan untuk tujuan yang sifatnya materi.

http://www.republika.co.id/kolom.asp?kat_id=16, Republika, 27 Juli 2007

Tidak ada komentar: