Kamis, 22 Januari 2009

Studi Islam di Barat?

''Ilmu bukanlah banyaknya riwayat, tapi ilmu adalah cahaya yang bersinar dalam hati,'' kata Ibnu Mas'ud sebagaimana dikutip Imam Al Ghazali dalam karyanya Ihya' Uluumiddin. Saat ini Islamic Studies menjadi subjek kajian yang sangat penting di dunia pendidikan, baik di dunia Islam maupun Barat. Di Leiden, Chicago, London, dan lain-lain didirikan institut atau universitas yang mengajarkan 'studi Islam' yang diajar oleh profesor-profesor Muslim dan non-Muslim.

Mereka-mereka yang belajar di Barat biasanya menunjukkan rasa bangganya karena lebih analitis dan unggul dalam metodologi. Selain banyak anak cerdas Indonesia yang belajar studi Islam di Barat, banyak juga mereka yang belajar di Timur. Kairo, Makkah, Madinah, Damaskus, dan Tripoli adalah beberapa kota yang menjadi idaman mahasiswa-mahasiswa Muslim Indonesia. Di Kairo saja mahasiswa Indonesia yang belajar S1-S3 mencapai ribuan orang. Begitu juga di Makkah dan Madinah.

Sekembali mahasiswa-mahasiswa itu ke Indonesia, kebanyakan mereka berperan dalam masyarakat. Ada yang menjadi sebagai dosen, guru, peneliti, dan manajer. Ada pula yang menjadi tokoh yang kepribadian dan pemikirannya berpengaruh luas di masyarakat dan ada yang menjadi orang yang biasa saja. Itu tergantung pada kepribadian, keseriusan dalam belajar, tradisi ilmu dalam lingkungannya, niat ketika belajar, pengalaman organisasi/hidup, dan lain-lain.

Di antara mereka yang belajar studi Islam di Barat, misalnya beralasan beberapa tokoh Islam, seperti Sayid Qutb, Prof. Mustafa Azami, dan Profesor Rasjidi belajar di Barat. Tapi, mereka justru menjadi penentang yang lantang kepada Barat.

M Hilaly Basya, seorang mahasiswa yang studi S2 di Universitas Leiden, Belanda, misalnya, menulis di majalah Madina edisi Desember 2008 dengan judul Belajar Islam di Barat, Kenapa Tidak? Ia mengutip pernyataan dosennya, Prof Busken (guru besar antropologi) yang mengajar perkuliahan Methods and Theories of Islamic Studies: ''Mata kuliah saya tidak berpretensi menjadikan Anda sebagai alim (jamak ulama). Itu karena saya tidak akan mengajarkan Anda tentang ilmu-ilmu keislaman/keagamaan (uluum ad-diin).''

Profesor Busken menambahkan bahwa Islam hanya diposisikan sebagai objek studi dan penelitian. Ilmu-ilmu yang diwariskan kepada mahasiswanya adalah sosiologi, antropologi, ilmu sejarah, arkeologi, dan filologi. Dengan demikian, kata Basya, tujuan program Islamic Studies di universitas-universitas Barat adalah melahirkan ilmuwan, entah itu sejarawan, sosiolog, antropolog, atau filolog yang bidang kajiannya adalah Islam dalam segala dimensinya.

Kemanakah belajar Islam?
Pendidikan dalam Islam bertujuan melahirkan manusia-manusia unggul yang mempunyai ketakwaan tinggi. Ketakwaan tentu dimaksudkan sebagai pemegangan teguh kepada akidah, syariah, dan akhlak Islam. Jadi, niat dan tujuan (antara dua hal ini saling berkaitan) menjadi peranan penting dalam proses belajar.

Dalam ilmu manajemen modern ada ungkapan start of the end. Sabda Rasulullah SAW yang penting: ''Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya.'' (HR Bukhari). Jadi, ketika seseorang belajar S1, S2, dan S3 apa tujuan yang ingin diraihnya? Menjadi ilmuwan yang hebat, pengamat yang hebat, atau apa?

Di sinilah pernyataan Prof Busken perlu dikritisi. Ketika ia menyatakan bahwa mata kuliah saya tidak berpretensi menjadikan Anda sebagai alim dan seterusnya, di sini jelas Busken tidak akan menyampaikan ilmu-ilmu yang menjadikan mahasiswanya semakin alim. Mungkin Prof Busken sendiri tidak terlalu percaya kepada keilmuan Islam dan peradabannya. Maka, dengan sistem metodologi yang diajarkan di Leiden itu, kita bisa memprediksi bagaimana alumni-alumninya setelah lulus nanti.

Bukan hanya Busken, banyak profesor lain di Barat yang berpendapat senada. Kita ambil kasus misalnya yang terjadi pada Prof William Liddle, guru besar ilmu politik di Universitas Ohio. Lulusan-lulusan dari bimbingan Liddle memang menjadi orang hebat atau berpengaruh di Indonesia. Misalnya Dr Saiful Mujani dan Dr Denny JA, menjadi ahli survei yang presisi dengan metode quick count-nya untuk pemilihan-pemilihan bupati, gubernur, atau presiden sekalipun. Tapi, apakah ahli survei itu peduli terhadap akhlak kandidat-kandidat yang terpilih? Kita melihatnya selama ini tidak.

Itu karena dua orang itu bukan seorang alim. Mereka dibimbing oleh profesor non-Muslim yang tidak peduli terhadap pembinaan akidah mahasiswa-mahasiswanya.Jadi, dalam pendidikan bukan hanya kapasitas intelektualnya yang dikembangkan tapi juga kapasitas akidah dan akhlaknya perlu dibina. Dalam teori modern tentang kecerdasan, ada delapan kecerdasan manusia yang perlu dikembangkan. Kecerdasan linguistik, kecerdasan matematis logis, kecerdasan spasial, kecerdasan kinestetis jasmani, kecerdasan musikal, kecerdasan musikal, kecerdasan interpersonal, kecerdasan inrtapersonal, dan kecerdasan naturalis (Thomas Armstrong, 2002:232-233).

Tentu dalam Islam konsep kecerdasan ini mesti dibingkai dengan kecerdasan akidah/spiritual. Kecerdasan manusia dalam memahami dirinya, dari mana, mau ke mana dan tujuan apa hidup di dunia ini? Sabda Rasulullah saw yang sangat terkenal: ''Barangsiapa dikehendaki Allah dengan kebaikan, maka Allah akan memberikan kefakihan dalam agama.'' (HR Ahmad).

Maka, dalam Islam bukan hanya tujuan pendidikan melahirkan orang-orang hebat yang dikembangkan semua potensi kecerdasannya, tapi mereka juga mempunyai akidah yang kuat, pemahaman keislaman yang fakih dan akhlak yang mulia. Mungkinkah ini terwujud bila tiap hari mahasiswa itu berdialog, konsultasi dan dibimbing dengan profesor-profesor non-Muslim? Tentu sulit meski kaum Muslimin paham bahwa mengambil pengetahuan dari orang-orang non-Muslim diperbolehkan.

Tapi, mereka tidak diperbolehkan pembimbing, konsultan, mentor, rujukan (tempat bertanya berbagai masalah) tiap hari bagi mahasiswa Muslim. Itulah yang selama ini terjadi di Islamic-Islamic studies di Barat, yang menjadi pembimbing dan rujukan mahasiswa adalah profesor-profesor non-Muslim. Tentu saja profesor ini tidak merasakan situasi kejiwaan (kecerdasan emosional) ketika seorang Muslim shalat malam, berbuka puasa, membaca dan memahami makna-makna Alquran, berzakat, dan berjihad.

Kasuistik
Mengajak ramai-ramai orang belajar studi Islam di Barat dengan mengambil contoh-contoh kasuistik yang terjadi pada beberapa tokoh Islam, tentu merupakan pengambilan kesimpulan yang kacau. Itu sebagaimana menyuruh anak-anak Muslim belajar di sekolah-sekolah Kristen dengan mengambil kesimpulan bahwa beberapa orang dari anak yang lulus di situ justru Islamnya lebih kuat.

Dalam mengambil sebuah kesimpulan, maka harus ada uji statistik (meski sederhana). Misalnya dari 1.000 orang yang studi Islam di Barat, berapa persen orang yang lulus akidah Islamnya menjadi kacau dan berapa persen yang semakin kuat. Bila didapati mayoritas (misalnya lebih dari 50 persen) kacau, maka bisa dibuat kesimpulan bahwa studi Islam di Barat banyak menghasilkan intelektual yang kacau akidahnya.

Maka, kesimpulannya Sayid Qutb, Prof Rasjidi, dan Prof Mustafa Azami adalah contoh-contoh kasuistik. Bisa diprediksi bahwa dari awal mereka belajar studi/studi Islam di Barat niatnya untuk menjayakan Islam. Di samping mereka sebelum berangkat telah mempunyai bekal yang kuat dalam hal ilmu-ilmu Islam, ilmu-ilmu umum, dan berbagai metodologinya. Dengan begitu, ketika berhadapan dengan intelektual Barat mereka tidak minder dan bisa berargumen yang ilmiah kepada mereka.

Bila tidak, maka yang terjadi adalah menjadi 'pak turut' kepada Barat. Keunggulan Barat dengan metode ilmiah dan teknologinya menjadikan santri-santri kita terkagum-kagum, seolah-olah jalan hidup mereka benar. Para santri yang belajar di Barat itu setapak demi setapak mengikuti jalan mereka. Lupa kepada kejayaan dan kehebatan pemikiran dan peradaban sendiri. Lupa terhadap peta yang mesti ditempuh untuk meraih kembali kejayaan itu kembali.

Padahal, tradisi keilmuan universitas adalah dari peradaban Islam. Prof Wan Daud, guru besar ATMA-UKM, mengutip Makdisi (1998:237) menyatakan: ''Islam klasik telah menghasilkan sebuah budaya intelektual yang memengaruhi Barat Kristen dalam tradisi keilmuan universitas. Ia telah menyumbangkan faktor yang melahirkan universitas, yaitu metode keilmuan, bersamaan ide kebebasan akademik. Kebebasan akademik dalam Islam klasik, pada level ahli hukum dan orang awam memiliki batasan-batasan yang sama dengan konsep modern dalam kebebasan bagi profesor dan mahasiswa di universitas.''

Kebebasan manusia bermakna dan akan diperoleh setelah melalui penyerahan dan kepatuhan dengan penuh kesadaran terhadap segala kewajiban Islam. Tentu belajar di dunia Islam tidak sepenuhnya sempurna. Universitas-universitas di dunia Islam banyak yang mesti disempurnakan. Metodologi pengajarannya, intelektualitas dosennya, pembinaan mahasiswanya, perpustakaannya, dan lain-lain. Tapi, itulah rumah kita. Dari situlah kita membangun pemikiran dan peradaban Islam. Bukan dari rumah orang lain yang kita tidak memilikinya. http://republika.co.id/koran/0/22612.html

1 komentar:

Admin mengatakan...

Selamat jadi blogger akh.
Silahkan coba wordpress.com juga buat perbandingan.

Blog ana:
www.media-islam.or.id
www.syiarislam.wordpress.com
www.agusnizami.wordpress.com