Kamis, 29 Januari 2009

Kehebatan Nabhani

Taqiyudin an Nabhani dilahirkan di daerah Ijzim pada tahun 1909. Ia mendapat didikan ilmu dan agama di rumah dari ayahnya sendiri, seorang syaikh yang faqih fid din. Ayahnya seorang pengajar ilmu-ilmu syari’ah di Kementerian Pendidikan Palestina. Ibunya juga menguasai beberapa cabang ilmu syari’ah, yang diperolehnya dari ayahnya, Syaikh Yusuf bin Ismail bin Yusuf An Nabhani. Beliau ini adalah seorang qadly (hakim), penyair, sastrawan, dan salah seorang ulama terkemuka dalam Daulah Utsmaniyah.

Syaikh Taqiyyuddin kemudian meneruskan pendidikannya di Tsanawiyah Al Azhar pada tahun 1928 dan pada tahun yang sama ia meraih ijazah dengan predikat sangat memuaskan. Lalu ia melanjutkan studinya di Kulliyah Darul Ulum yang saat itu merupakan cabang Al Azhar. Taqiyyuddin An Nabhani menamatkan kuliahnya di Darul Ulum pada tahun 1932. Pada tahun yang sama beliau menamatkan pula kuliahnya di Al Azhar Asy Syarif menurut sistem lama, di mana para mahasiswanya dapat memilih beberapa syaikh Al Azhar dan menghadiri halaqah-halaqah mereka mengenai bahasa Arab, dan ilmu-ilmu syari’ah seperti fiqih, ushul fiqih, hadits, tafsir, tauhid (ilmu kalam), dan yang sejenisnya.

Setelah menyelesaikan pendidikannya, Taqiyuddin kembali ke Palestina untuk kemudian bekerja di Kementerian Pendidikan Palestina sebagai seorang guru di sebuah sekolah menengah atas negeri di Haifa. Di samping itu beliau juga mengajar di sebuah Madrasah Islamiyah di Haifa.

Pada tahun 1948, sahabatnya Al Ustadz Anwar Al Khatib mengirim surat kepadanya, yang isinya memintanya agar kembali ke Palestina untuk diangkat sebagai qadly di Mahkamah Syar’iyah Al Quds. Syaikh Taqiyyuddin mengabulkan permintaan itu dan kemudian ia diangkat sebagai qadly di Mahkamah Syar’iyah Al Quds pada tahun 1948. Kemudian, oleh Kepala Mahkamah Syar’iyah dan Kepala Mahkamah Isti’naf saat itu –yakni Al Ustadz Abdul Hamid As Sa’ih– ia lalu diangkat sebagai anggota Mahkamah Isti’naf, dan ia tetap memegang kedudukan itu sampai tahun 1950.

Pada tahun 1950 inilah, ia lalu mengajukan permohonan mengundurkan diri, karena Taqiyudin mencalonkan diri untuk menjadi anggota Majelis Niyabi (Majelis Perwakilan).
Pada tahun 1951, Syaikh An Nabhani mendatangi kota Amman untuk menyampaikan ceramah-ceramahnya kepada para pelajar Madrasah Tsanawiyah di Kulliyah Ilmiyah Islamiyah. Hal ini terus berlangsung sampai awal tahun 1953, ketika ia mulai sibuk dalam Hizbut Tahrir, yang telah ia rintis antara tahun 1949 hingga 1953.

Publikasi pembentukan partai ini secara resmi tersiar tahun 1953, pada saat Taqiyyuddin An Nabhani mengajukan permohonan resmi kepada Departemen Dalam Negeri Yordania sesuai Undang-Undang Organisasi yang diterapkan saat itu. Dalam surat itu terdapat permohonan izin agar Hizbut Tahrir dibolehkan melakukan aktivitas politiknya. Dalam surat itu terdapat pula struktur kepengurusan Hizbut Tahrir dengan susunan sebagai berikut :
1.Taqiyyuddin An Nabhani, sebagai pemimpin Hizbut Tahrir.
2.Dawud Hamdan, sebagai wakil pemimpin merangkap sekretaris.
3.Ghanim Abduh, sebagai bendahara.
4.Dr. Adil An Nablusi, sebagai anggota.
5.Munir Syaqir, sebagai anggota.

Oleh karena itu, Syaikh Taqiyyuddin kemudian menjalankan aktivitas secara rahasia dan segera membentuk Dewan Pimpinan (Qiyadah) yang baru bagi Hizb, di mana ia sendiri yang menjadi pucuk pimpinannya. Dewan Pimpinan ini dikenal dengan sebutan Lajnah Qiyadah. Beliau terus memegang kepemimpinan Dewan Pimpinan Hizb ini sampai wafatnya beliau pada tanggal 25 Rajab 1398 H, bertepatan dengan tanggal 20 Juni 1977 M.

Di bawah kepemimpinannya, Hizbut Tahrir telah melancarkan beberapa upaya pengambil-alihan kekuasaan di banyak negeri-negeri Arab, seperti di Yordania pada tahun 1969, di Mesir tahun 1973, dan di Iraq tahun 1972. Juga di Tunisia, Aljazair, dan Sudan. Sebagian upaya kudeta ini diumumkan secara resmi oleh media massa, sedang sebagian lainnya memang sengaja tidak diumumkan.

Al Ustadz Dawud Hamdan menjelaskan karakter kitab-kitab Syaikh Taqiyyuddin –yang termasuk kitab-kitab yang disebarluaskan oleh Hizbut Tahrir–dengan pernyataannya :
“Sesungguhnya kitab ini –yakni kitab Ad Daulah Al Islamiyyah– bukanlah sebuah kitab untuk sekedar dipelajari, akan tetapi kitab ini dan kitab lainnya yang telah disebarluaskan oleh Hizbut Tahrir –seperti kitab Usus An Nahdlah, Nizhamul Islam, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, An Nizham Al Iqthishady fi Al Islam, Nizham Al Hukm, Asy Syakhshiyah Al Islamiyah, At Takattul Al Hizbi, Mafahim Hizhut Tahrir, Mafahim Siyasiyah li Hizbit Tahrir– menurut saya adalah kitab yang dimaksudkan untuk membangkitkan kaum muslimin dengan jalan melanjutkan kehidupan Islam dan mengemban dakwah Islamiyah.”

Karena beraneka ragamnya bidang kajian dalam kitab-kitab yang ditulis oleh Syaikh Taqiyyuddin, maka tak aneh bila karya-karya beliau mencapai lebih dari 30 kitab. Ini belum termasuk memorandum-memorandum politik yang beliau tuliuntuk memecahkan problematika-problematika politik. Belum lagi banyak selebaran-selebaran dan penjelasan-penjelasan mengenai masalah-masalah pemikiran dan politik yang penting.

1.Nizhamul Islam.
2.At Takattul Al Hizbi.
3.Mahafim Hizbut Tahrir
4.An Nizhamul Iqthishadi fil Islam.
5.An Nizhamul Ijtima’i fil Islam.
6.Nizhamul Hukm fil Islam.
7.Ad Dustur.
8.Muqaddimah Dustur.
9.Ad Daulatul Islamiyah.
10.Asy Syakhshiyah Al Islamiyah (3 jilid).
11.Mafahim Siyasiyah li Hizbit Tahrir.
12.Nazharat Siyasiyah li Hizbit Tahrir.
13.Nida’ Haar.
14.Al Khilafah.
15.At Tafkir.
16.Ad Dusiyah.
17.Sur’atul Badihah.
18.Nuqthatul Inthilaq.
19.Dukhulul Mujtama’.
20.Inqadzu Filisthin.
21.Risalatul Arab.
22.Tasalluh Mishr.
23.Al Ittifaqiyyah Ats Tsana’iyyah Al Mishriyyah As Suriyyah wal Yamaniyyah
24.Hallu Qadliyah Filisthin ala Ath Thariqah Al Amrikiyyah wal Inkiliziyyah. Nazhariyatul Firagh As Siyasi Haula Masyru’ Aizanhawar

Semua ini belum termasuk ribuan selebaran-selebaran (nasyrah) mengenai pemikiran, politik, dan ekonomi, serta beberapa kitab yang dikeluarkan atas nama anggota Hizbut Tahrir –dengan maksud agar kitab-kitabnya mudah ia sebarluaskan– setelah adanya undang-undang yang melarang peredaran kitab-kitab karya Syaikh Taqiyyuddin. Di antara kitab itu adalah :
1.As Siyasah Al Iqthishadiyah Al Mutsla.
2.Naqdlul Isytirakiyah Al Marksiyah.
3.Kaifa Hudimat Al Khilafah.
4.Ahkamul Bayyinat.
5.Nizhamul Uqubat.
6.Ahkamush Shalat.
7.Al Fikru Al Islami.
(lihat situs resmi Hizbut Tahrir Indonesia, http://hizbut-tahrir.or.id/2007/05/20/syaikh-taqiyyuddin-an-nabhani-pendiri-hizbut-tahrir/. Ini dikutip situs Hizbut Tahrir dari terjemahan kitab Mafhum Al Adalah al Ijtima’iyah fi Al Fikri Al Islami Al Mu’ashir, karya Ihsan Samarah, Dar An Nahdlah Al Islamiyah, Beirut, cetakan II, 1991).

Saat ini pemimpin pusat Hizbut Tahrir, adalah Ata Abu Rushta. Ia juga telah menulis sejumlah buku politik dan hukum Islam dan sebelumnya pernah menjadi juru bicara resmi partai. Abu Rushta adalah pemimpin pusat ketiga Hizbut Tahrir, setelah Abdul Qadim Zallum dan Taqiyuddin an Nabhani.

Hizbut Tahrir adalah organisasi politik Islam global yang didirikan pada 1953 di bawah pimpinan pendirinya - seorang ulama, pemikir, politisi ulung, dan hakim Pengadilan Banding di al-Quds (Yerusalem), Taqiuddin an-Nabhani. Hizbut Tahrir beraktivitas di seluruh lapisan masyarakat di Dunia Islam mengajak kaum Muslim untuk melanjutkan kehidupan Islam di bawah naungan Negara Khilafah. (lihat situs resmi Hizbut Tahrir http://hizbut-tahrir.or.id/faq/)

Khilafah

Hizbut Tahrir beraktivitas di seluruh dunia Islam untuk memperkuat komunitas Muslim yang hidup secara islami dalam pikiran dan perbuatannya, dengan terikat pada hukum-hukum Islam dan menciptakan identitas Islam yang kuat. Hizbut Tahrir juga beraktivitas bersama-sama komunitas Muslim di Barat untuk mengingatkan mereka agar menyambut seruan perjuangan mengembalikan Khilafah dan menyatukan kembali umat Islam secara global. Hizbut Tahrir juga berupaya menjelaskan citra Islam yang positif kepada masyarakat Barat dan terlibat dalam dialog dengan para pemikir, pembuat kebijakan dan akademisi Barat.

Yang menarik tentang khilafah ini, Taqiyudin an-Nabhani menyatakan:
“...mengadakan banyak seminar tentang Khilafah, bukanlah jalan yang mengantarkan pada pembentukan Negara Islam. Upaya menyatukan negara-negara yang memerintah negeri-negeri Islam bukanlah sarana yang bisa membangun Negara Islam. Piagam atau deklarasi yang dikeluarkan berbagai muktamar bangsa-bangsa Islam, bukanlah bentuk perwujudan yang mampu menciptakan kehidupan yang Islami. Semua itu dan yang sejenisnya bukanlah jalan (thariqah). Itu adalah hiburan sesaat yang sedikit menyegarkan jiwa kaum Muslimin. Kemudian semangat muktamar itu lambat laun menjadi padam. Setelah itu duduk-duduk santai tanpa melakukan aktivitas yang nyata. Lebih dari itu semuanya adalah jalan yang bertentangan dengan thariqah Islam. Metode satu-satunya untuk mendirikan negara Islam hanya dengan mengemban dakwah Islam dan berbuat nyata dalam mewujudkan kehidupan yang Islami. Hal ini menuntut menuntut satu kesatuan yang utuh. Karena umat Islam adalah satu. Mereka adalah kumpulan manusia yang dikumpulkan oleh aqidah yang satu. Dari situ sistem negara Islam memancar.”1

Metode satu-satunya untuk mendirikan negara Islam hanya dengan mengemban dakwah Islam dan berbuat nyata dalam mewujudkan kehidupan yang Islami. Hal ini menuntut menuntut satu kesatuan yang utuh. Karena umat Islam adalah satu. Mereka adalah kumpulan manusia yang dikumpulkan oleh aqidah yang satu. Dari situ sistem negara Islam memancar.”2

Dengan konsep khilafahnya, Taqiyuddin menentang habis nasionalisme:

“Ikatan kebangsaan (nasionalisme) tumbuh di tengah-tengah masyarakat, tatkala pola pikir manusia mulai merosot. Ikatan ini terjadi ketika manusia mulai hidup bersama dalam satu wilayah dan tidak beranjak dari situ...” 3

“Ikatan nasionalisme (rabithah wathaniyah) ikatan yang rusak karena 3 hal: pertama, ikatan yang rendah karena tidak mampu mengikat satu manusia dengan yang lain menuju jalan kebangkitan. Kedua, ikatan reaksioner, yang selalu didsarkan pada perasaan yang muncul secara spontan dari naluri mempertahankan diri. Juga ikatan ini sangat berpeluang berubah-ubah sehingga tidak bisa dijadikan ikatan yang langgeng antara manusia satu dengan yang lain. Ketiga, ikatan temporal, muncul saat membela diri karena datangnya ancaman. Dalam keadaan stabil, ikatan ini tidak muncul. Karena itu, ia tidak bisa dijadikan pengikat antara sesama manusia.” 4*

Tidak ada komentar: