Senin, 26 Januari 2009

Kebebasan vs Amar Makruf Nahi Mungkar

“Hendaklah kamu beramar makruf nahi mungkar. Kalau tidak, maka Allah akan menguasakan atasmu orang-orang yang paling jahat diantara kamu, kemudian orang-orang baik diantara kamu berdoa, Allah tidak mengabulkan.” (HR Al-Bazaar)

Salah satu konsep utama yang membedakan Islam dengan Barat, adalah konsep amar ma’ruf nahi munkar. Al-Qur’an telah menyebut istilah ini dalam berbagai ayat dengan kalimat yang sama ‘amar makruf nahi mungkar’. Dan Al-Qur’an hanya menyuruh umat Islam melaksanakan amar makruf nahi mungkar, tidak disuruh melaksanakan amar makruf nahi makruf, amar mungkar nahi makruf atau amar mungkar nahi mungkar. Perilaku orang yang bekerjasama dalam kemungkaran - “ya’muruuna bilmungkar wayanhauna anil ma’ruf” (QS. at Taubah 67), disebut Al-Qur’an sebagai perilaku orang-orang munafik.

Sedangkan Barat tidak jelas konsep amar makruf nahi mungkarnya. Kadang-kadang mereka amar makruf, kadang-kadang mereka amar mungkar. Kadang-kadang mereka nahi mungkar, kadang-kadang mereka nahi makruf. Karena mereka sendiri tidak mempunyai definisi yang jelas tentang makruf dan definisi yang jelas tentang mungkar.

Dalam Islam yang disebut makruf adalah hal-hal yang sesuai atau tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan as-Sunnah, sedangkan yang disebut mungkar adalah hal-hal yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan as-Sunnah. Karena itu kita dapati seluruh ormas atau gerakan Islam, menjadikan amar makruf nahi mungkar sebagai dasar atau asas dakwah mereka.

Dalam Al Qur’an disebutkan bahwa amar makruf nahi mungkar adalah tugas individu, kelompok (jamaah) dan negara. Bahkan Al-Qur’an mensyaratkan agar seorang idividu, masyarakat atau bangsa mencapai kejayaan, maka ia mesti melaksanakan amar makruf nahi mungkar.

“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (Ali Imran : 110)

Makruf secara makna bahasa (Arab) artinya dikenal atau diketahui. Berasal dari kata dari arafa, ya’rifu, irfaanan -ma’ruufan. Yang menarik arufa (thaaba riihuhu), artinya harum baunya. Jadi hal yang makruf itu sebenarnya dikenali secara fitrah oleh manusia –kecuali manusia yang membutakan fitrahnya. Seperti perintah Islam untuk jujur, rajin, kerja keras, hemat, sedekah, beribadah dll, adalah dikenali manusia sebagai hal yang baik. Dan mungkar adalah lawan dari makruf, dimana fitrah manusia cenderung mengingkarinya, seperti zina, mencuri, riba (memiskinkan masyarakat), bohong dan lain-lain.

Sedangkan mungkar secara bahasa artinya hal yang tidak dikenali atau hal yang diingkari. Nakural amru artinya sha‘uba wasytadda, hal yang sulit atau susah. Jadi hal mungkar itu, sebenarnya susah untuk dikerjakan manusia dan juga bisa dimaknakan, orang yang mengerjakan kemungkaran, akan mengalami kesusahan di dunia atau di akherat.

Dalam Islam, tidak ada perubahan konsep amar makruf nahi mungkar oleh waktu dan tempat (kondisi geografis). Masyarakat di zaman Rasulullah yang masih sederhana struktur sosial dan teknologinya, zina diharamkan. Dalam masyarakat yang modern saat ini, di mana industri dan pabrik-pabrik bertebaran, teknologi digital visual dimana-mana, laki-laki dan perempuan banyak yang bekerja, zina tetap haram.

Lain dengan Barat. Bila kita belajar ilmu sosiologi, maka perubahan masyarakat dari pertanian ke industri misalnya, memaksa hubungan sosial laki-laki perempuan mengalami pergeseran. Dan dianggap budaya dansa-dansi, pesta laki-laki perempuan anak-anak muda biasa saja, dan ujung-jungnya zina bukan suatu hal yang haram. Karena itu di Barat, hubungan seksual dianggap hubungan biologis semata. Tidak ada halal-haram di situ. Meskipun ada kalangan Kristen Konservatif yang mengharamkan perzinahan, tapi mereka tidak serius melarang masyarakatnya berzina. Misalnya, meskipun ada diantara warganya yang tidak setuju perzinahan, aborsi, lesbian atau lainnya, tapi pemerintah Amerika tidak serius melarangnya. Mereka tidak membuat peraturan yang melarang perzinahan. Membiarkan, bila tidak dikatakan menfasilitasi film-film porno (ingat tahun 90’an kasus “perijinan jaringan bioskop 21 vs ekspor tekstil Indonesia”), setengah porno dibuat dan diedarkan di seluruh dunia. Mereka tidak bisa melarang film-film perzinahan, kebohongan, pencurian minyak ke negara lain, dan lain-lain, karena landasan negara dan masyarakatnya bukan amar makruf nahi mungkar tapi kebebasan (freedom).

Kebebasan adalah sebuah konsep yang tidak jelas ke mana manusia mau dibawa. Karena seringkali kebebasan itu merusak, bukan memperbaiki manusia. Seorang yang melakukan hubungan seksual sebebas-bebasnya, orang yang bebas minum dan makan apa saja, orang yang berpakaian seenak nafsunya, maka yang terjadi pada orang itu adalah kerusakan.

Kita lihat misalnya, beberapa film Barat bagus tentang persekongkolan politik, pembunuhan dan lain-lain, tapi seringkali di film itu diselipkan dengan aktivitas-aktivitas yang mungkar (pemainnya berzina, berselingkuh dan lain-lain). Karena sutradara atau pemainnya tidak memiliki konsep amar makruf nahi mungkar untuk film, yang mereka miliki adalah ideologi uang atau kebebasan.

“Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, satu dengan yang lain adalah (sama), mereka menyuruh (berbuat) yang mungkar dan mencegah (perbuatan) yang makruf dan mereka meng-genggamkan tangannya (kikir). Mereka telah melupakan kepada Allah, maka Allah melupakan mereka (pula). Sesungguhnya orang-orang munafik itulah orang-orang yang fasik” (at-Taubah : 67)


Konsep kebebasan adalah konsep yang absurd. Tidak ada kebebasan yang mutlak pada manusia. Maka, di sini Islam melandasi pembangunan masyarakat dengan amar makruf nahi mungkar bukan kebebasan. Kebebasan manusia dibingkai oleh Islam dalam makruf dan mungkar. Sebagaimana indra kita, mata, telinga, dan lain-lain, kita tidak bisa liarkan. Kita membatasi fungsi indra kita pada hal-hal yang bermanfaat yang tidak bertentangan dengan Islam. Bila sebuah aktivitas disebut makruf, manusia bebas disitu untuk berkreasi dan bila sebuah kegiatan disebut mungkar, maka manusia harus berhenti dan berusaha mencegahnya sekuat mungkin.

Kaidah Amar Makruf Nahi Mungkar


Firman Allah SWT, “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (QS at-Taubah 71)

Memerintahkan yang makruf dan mencegah kemungkaran adalah salah satu pokok Islam yang penting. Untuk itulah para rasul diutus, kitab-kitab diturunkan dan syariat agama ditegakkan. Allah swt berfirman ketika menjelaskan sifat Nabi kita saw,“Dia memerintahkan mereka berbuat yang makruf dan mencegah yang mungkar, menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala buruk”. Sahabat Abu Hurairah berkata: “Kalian adalah sebaik-baik manusia, kalian datangi mereka dalam keadaan terbelenggu dan terikat hingga kalian menghantarkannya masuk surga”. Dikatakan kepada Ibnu Mas’ud: “Siapakah mayat yang hidup? Beliau menjawab: “Yaitu yang mengenal yang makruf dan tidak pula mengingkari kemungkaran”.
Kelompok yang menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, namun tidak menjaga kaidah-kaidah pengingkaran, fikih yang makruf, dampak, ekses serta kerusakan yang mungkin akan ditimbulkan. Karena itulah, Imam Hasan Al Banna mengingatkan kaidah amar makruf nahi mungkar ini,”Dengan sarana-sarana yang terbaik, yang tidak mendatangkan hal-hal yang lebih buruk darinya”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menegaskan, “Apabila kerusakan yang akan timbul dari seruan atau pencegahan lebih besar dari kemaslahatannya, maka tidaklah ia tergolong yang diperintahkan Allah.”

Ibnu Taimiyah juga mengungkapkan,“Sesungguhnya sebuah seruan atau pencegahan, betapapun mengandung kemaslahatan serta mencegah kerusakan maka harus dilihat dampak-dampaknya, apabila kemaslahatan yang akan hilang dan kerusakan yang akan terjadi lebih besar, maka ia tidak termasuk yang diperintahkan, bahkan menjadi haram apabila kerusakannya lebih besar dari kemaslahatannya, akan tetapi tolok ukur maslahat atau kerusakan adalah berdasarkan timbangan syariat...” (Al Fatawa: 28/129 dalam www.al-ikhwan.net). Wallahu aliimun hakiim.*

Tidak ada komentar: