"Berbuat Adillah, Karena Adil itu Lebih Dekat Kepada Taqwa" "(Ulil Albab) Mereka yang mendengarkan Perkataan, Lalu Mengikuti yang Terbaik"
Rabu, 07 Oktober 2009
“Walaupun Puyuh Mencuri Sayap Elang, Dia tak Bisa Terbang”
Prof. Dr. Wan Mohd Nor bin Wan Daud
(Peneliti Utama, Institut Alam dan Tamadun Melayu, Universiti Kebangsaan Malaysia, ATMA-UKM ):
“Walaupun Puyuh Mencuri Sayap Elang, Dia tak Bisa Terbang”
Tidak banyak profesor yang mudah ditemui dan senang diajak berbincang dengan para mahasiswa. Prof Wan Daud adalah salah satu pengecualian. Di kamar kerjanya sekarang, ATMA-UKM –setelah lebih lima tahun terpaksa meninggalkan ISTAC— hampir tiap hari ia menerima tamu. Mulai dari yang memberi pertanyaan, mengadukan masalah atau yang ingin silaturrahim untuk berdiskusi. Tamu yang datang pun bervariasi, mulai dari profesor, doktor, mahasiswa biasa atau tokoh-tokoh ketua perhimpunan mahasiswa.
Berbincang dengan Prof Wan, seperti berbincang dengan sahabat dekat. Ia akan melayani, menjawab pertanyaan-pertanyaan dan berdiskusi dengan kita dengan riang gembira. Mungkin karena kepribadiannya yang menarik itulah, maka Prof Naquib al Attas jatuh hati padanya mengajak bersama untuk membangun ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization), 1988. Prof Wan Daud pun menyambut ajakan ini dengan tangan terbuka. Karena ini adalah proyek besar yang berniyat untuk menjayakan pemikiran dan peradaban Islam semula.
Tapi takdir berkehendak lain. Setelah membangun dan mengelola ISTAC selama lebih kurang 15 tahun, Prof Naquib dan Prof Wan Daud dipaksa hengkang dari ISTAC. .Kini Prof Naquib banyak di rumah membuat karya dan memberikan kursus-kursus tentang Islam dan Prof Wan pindah ke ATMA-UKM, melanjutkan kepeduliannya membina para mahasiswa, khususnya tingkat master dan doktoral.
Selain banyak berdiskusi dan membimbing para mahasiswa, Prof Wan juga kini sibuk menulis. Ia kini sedang mempersiapkan tiga buku, yang diharapkan dapat terbit tahun ini atau tahun depan. Yaitu buku tentang tanggapan/tulisan para tokoh atau murid-murid tentang Prof Naquib Al Attas, buku tentang aliran-aliran filsafat yang menghancurkan ilmu pengetahuan dan buku tentang syarah ar Raniri, Aqaid an Nasafi.
Prof Wan Daud lahir di Kelantan pada 23 Desember 1955. Ia menyelesaikan sarjana mudanya jurusan Ilmu Biologi dan masternyajurusan pendidikan di Notthern Illinois University, AS. Gelar PhD-nya diraih di The University of Chicago. Selama studi di Amerika, ia aktif dalam kegiatan-kegiatan mahasiswa Islam. Ia pernah menjadi “President of the National Malaysian Islamic Study Group” dan “President of Muslim Student Association of USA and Canada”.
Lelaki beristri satu dan mempunyai anak empat ini, telah menulis lebih dari 12 buku dan monograph. Ia juga telah menulis lebih dari 30 makalah-makalah akademik yang serius yang dimuat dalam jurnal nasional dan internasional. Di antara buku-bukunya yang telah diterbitkan adalah: The Concept of Knowledge in Islam: Its Implications for Education in Developing Country, The Beacon on the Crest of Hill, Penjelasan Budaya Ilmu, Pembangunan Malaysia: Ke Arah Satu Pemahaman Baru yang Lebih Sempurna, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al Attas: An Exposition of the Original Concept of Islamization, Mutiara Taman Adabi: Sebuah Puisi Mengenai Agama, Filsafat dan Masyarakat dan lain-lain.
Saat ini, selain banyak menjadi nara sumber atau penceramah tentang Islamisasi, filsafat Islam, pendidikan Islam dan tamadun Islam, Melayu dan Barat di berbagai Negara, seperti Amerika, Inggris, Rusia, Pakistan, Rusia, Turki, Afrika Selatan, Singapura dan Indonesia, Prof Wan juga sering diminta untuk menjadi pembicara tentang kepemimpinan. Bulan Juni 2009 lalu, ia diminta IDB (Islamic Development Bank) dan universitas-universitas di Timteng, untuk memberikan pelatihan bagi para pemimpin perbankan/profesional, dosen-dosen, mahasiswa-mahasiswa di Jedah dan Bahrain. Ia juga banyak memberikan pelatihan kepemimpinan di negerinya sendiri, Malaysia. Bukunya terbaru yang ditulis bersama dengan Prof. Naquib Alatas: The ICLIF Leadership Competency Model (LCM): an Islamic Alternative, menjadi buku panduan untuk pelatihan itu.
Berikut adalah petikan wawancara dari koresponden Hidayatullah di Malaysia, Nuim Hidayat, yang mewawancarai Prof Wan Daud di kantornya ATMA-UKM, Bangi-Selangor, Malaysia:
Setelah menggulirkan Islamisasi, mengapa Anda dan Prof Al Attas secara bersamaan mengeluarkan buku tentang Leadership ini?
Pertama sekali kita katakan, bahwa islamisasi dalam bentuknya yang paling intensif berlaku pada pribadi. Apabila pribadi itu mau diislamkan, maka aspek pertama yang diislamkanya adalah akal pikirannya. Apabila alam pikriannya tidak dikuasai dengan pandangan alam Islami, maka tindak-tanduknya, akhlaknya baik di tingkat pribadi maupun sosial atau di tingkat negara atau global tidak akan dapat dibentuk mengikut kehendak Islam.
Dan akal pikiran seseorang itu dibentuk melalui ilmu pengetahuan. Dalam Al Qur’an penekanan terhadap ilmu pengetahuan ini adalah cukup fundamental. Menurut Prof Hamidullah dan banyak pengkaji lainnya, bahwa setelah nama-nama Allah yang paling banyak disebut Al Qur’an, maka setelah itu banyak disebut kata yang berkait dengan ilmu pengetahuan, makna-maknanya dan contoh-contohnya. Seperti ungkapan, ya’lamun, ya’qilun, yatafakkarun, dan sebagainya.
Ayat-ayat ini banyak ayat Makiyyah. Maknanya ini adalah pembinaan pada generasi pertama. Yakni untuk mempersiapkan kepemimpinan umat masa itu dan juga kepemimpinan umat mendatang. Mereka yang akan menjadi pemimpin dan pengikut yang bijak. Sehingga kemudian ketika di Madinah, ilmu menjadi budaya.
Dalam Perang Badar saja, ada satu kaidah perang yang penting, yang digunakan oleh Rasulullah saw. Bahwa Rasulullah memberikan syarat pembebasan tawanan pada siapa-siapa yang bisa mendidik sepuluh umat Islam. Maka di sini pendidikan itu adalah ‘resiko politik’, di mana Rasulullah membebaskan tawanan yang paling pandai. Biasanya di zaman sekarang, tawanan yang paling pandai itu dipenjarakan dalam waktu yang lama. Tetapi bagi Rasulullah, bila seorang paling pandai bisa mendidik sepuluh orang, maka keuntungan bagi umat Islam sepuluh kali lipat.
Ada buku Prof Naquib al Attas, yang cukup terkenal dan monumental, yaitu Islam and Secularism. Ia menyebut bahwa masalah umat Islam yang paling fundamental bukanlah ekonomi, ketentaraan/militer, politik, sains --walaupun itu adalah masalah yang penting-- tapi masalah fundamental yang menimbulkan berbagai masalah ini, adalah kekeliruan dan kekacauan ilmu pengetahuan yang berakhir pada kehilangan adab umat Islam. Kehilangan adab dan kekeliruan ilmu pengetahuan ini melahirkan kepemimpinan yang salah dalam semua bidang.
Maka sebenarnya permulaannya kita diminta oleh Direktur Eksekutif ICLIF (The International Centre for Leadership in Finance, Kuala Lumpur), Datuk Rafiah binti Salim yang kemudian dia diangkat pemerintah Malaysia mejadi rektor wanita pertama di Universiti Malaya. Dia meminta kita menulis buku tentang leadership itu. Selepas 3-4 bulan minta penulisan itu, dia dilantik menjadi rektor di Universiti Malaya. Jadi dia tidak sempat ‘melihat’ buku ini, walaupun tentu dia tentu dapat buku ini kemudian.
Buku ini sebenarnya merupakan satu proses natural dalam proses Islamisasi yang kita gulirkan bersama. Sesungguhnya kita tidak mengira akan melahirkan buku leadership itu secepat ini, kalau tidak diminta oleh Datuk Rafiah itu. Bisa jadi tidak tidak tahun 2007 terbit, mungkin tahun depan. Jadi dia datang lebih awal sedikit dari semula yang kita rencanakan. Karena dalam kehidupan ini sering tidak mengikut jadwal yang kita rencanakan. Hidup mati kita juga begitu.
Tapi dari segi proses Islamisasi, penerbitan buku ini adalah natural. Karena masalah kita sekarang adalah belum cukupnya para pemimpin yang benar di segala bidang. Banyak kepemimpinan bidang ekonomi, sosial, pendidikan, agama dan politik yang tidak menepati kehendak alam Islam dan akhlak yang mulia. Ini karena Confusion of Knowledge (kekacauan ilmu pengetahuan). Confusion of Knowledge ini disebabkan karena hilangnya adab.
Jadi tidak ada upaya untuk meletakkan sesuatu di tempat yang betul. Sebab umat Islam ini bukan tidak ada resources (sumber daya). Bukan tidak ada minyak, tidak ada kekayaaan, fasilitas, ilmu dan sebagainya, tapi masalahnya itu semua tidak digunakan secara betul. Misalnya kini, tokoh non Muslimdigunakan sebagai rujukan utama dalam kajian Islam atau dalam bidang politik seorang penyanyi atau pelawak diminta untuk menjadi pemimpin politik.
Bagaimana sifat kepemimpinan itu?
Perlu diingat, bahwa dalam Islam, kepemimpinanan bukanlah.bersifat satu dimensi. Pertama sekali kepemimpinan itu adalah satu kualitas insaniyah. Seseorang itu harus bisa memimpin dirinya. Bermakna, bagaimana dia memimpin jiwa aqlinya, memimpin jiwa badaninya, nafsunya, syahwatnya atau marahnya. Karena itu ini ada kaitannya dengan ilmu dan adab/akhlak.
Kalau dia ada ilmu tentang dirinya, tentang ilmu aqidah, halal haram, maka dia bisa mengontrol secara rasional kehendak hewaninya dalam dirinya itu. Kehendak hewani bukan harus dimatikan, tapi perlu dikontrol. Sebab kita perlu ada rasa syahwat, kalau tidak kita tidak punya anak. Perlu ada marah, sehingga bisa berjuang, berjihad di jalan yang benar. Juga berani menyatakan yang benar. Karena menyatakan yang benar ini adalah manifestasi dari rasa marah itu. Cuma jangan marah selalu. Juga jangan syahwat selalu.
Kepemimpinan bersifat multidimensi (lintas sektoral) ini contohnya, pemimpin dalam bidang politik maka dia juga pemimpin keluarganya. Banyak keputusan politik, ditentukan oleh keluarganya yang tidak dipilih oleh rakyat. Jadi dia tidak bisa memimpin rakyat, kalau dia tidak bisa memimpin keluarganya itu. Banyak kita tahu bahwa pemimpin dalam bidang, perbankan, politik, universitas contohnya, memutuskan pelantikan atau pengangkatan seseorang, kadang-kadang ditentukan di rumahnya. Oleh suaminya, oleh anaknya atau istrinya. Begitu juga ketika seseorang memimpin universitas.
Maka kepemimpinan dalam ekonomi ada hubungannya dengan politik. Politik ada hubungannya dengan keluarga. Semuanya interrelated. Walaupun kita targetkan misalnya mendidik golongan-golongan pemimpin perbankan, profesional, maka prinsip-prinsip, contoh-contoh tidak hanya dari perbankan. Malah kita rujuk kepada Al Qur’an, Hadits, sejarah Rasulullah, sahabat dan para ulama-ulama yang kemudian. Para pemimpin di masa Utsmani, Mughol, Safawi, Andalusia, Melayu dan lain-lain. Jadi pendidikan kepemimpinan itu bukan khusus untuk para peniaga, meskipun mereka terlibat dalam pernigaaan, keuangan dan sebagainya.
Malah bila saya hadiri kursus-kursus di antara para pemimpin-pemimpin bank ini, mereka juga tidak menggunakan contoh-contoh dalam budang ekonomi saja. Mereka menggunakan contoh dalam bidang tentara, militer. Seperti Sun Tzu dalam The Art of War atau menggunakan Strategy of Jengis Khan dan sebagainya. Di mana tokoh-tokoh ini bukan seorang ekonom, tapi seorang tentara. Mereka juga menggunakan contoh sang Budha.
Jadi dalam training-traing tertinggi golongan direktur/manajer industri keuangan itu, mereka merujuk bukan hanya tentang ekonomi, tapi juga tentang hal-hal yang personal atau global. The Art of War misalnya, walaupun ditulis lebih dari 2000 tahun yang lalu, dimana isinya banyak tentang peperangan, tapi digunakan untuk ‘analogi’ pengurusan ekonomi, sosial dan lain-lain. Karena leadership memang begitu. Ia interrelated. Buku Niccollo Machiavelli, The Prince juga digunakan. Karena banyak asas kepemimpinan, peniagaan, dll. sekarang ini adalah Machiavellian. Padahal Machiavelli berbicara dalam konteks politik, yang banyak dibaca orang politik juga.
Apa saja karakter-karakter dasar yang mesti dimiliki seorang pemimpin?
Pemimpin itu dalam konteks Islam harus memahami dan menghayati worldview Islam. Worlview Islam adalah pandangan Islam yang sebenarnya harus terwujud dalam diri manusia (Muslim). Tentang tuhan, ruh, alam, manusia dan seterusnya. Tentang hakekat manusia, bahwa dia dijadikan, tidak kekal. Ada alam akhirat setelah alam dunia ini. Juga tentang arti kekuasaan, ilmu pengetahuan dan kebahagiaan. Ini akan membentuk worlview Islam pada diri seseorang (pemimpin). Sehingga tidak dikelirukan oleh worldview lain.
Tapi kita tahu beberapa tahun belakangan ini, pandangan alam Islam itu telah dikelirukan. Dengan unsur-unsur sekuler yang sekarang ini marak, dengan kejahilan umat Islam sendiri, dengan kaidah-kaidah yang salah dalam memahami teks-teks Al Qur’an dan Hadits dan sejenisnya. Bila hal-hal seperti ini berlaku maka worlview berubah. Bila worldview berubah, tujuan berubah. Motivasinya, kaidahnya juga berubah. Dia menjadi bukan lagi Islami. Meskipun tak sepenuhnya anti Islami. Tapi Islami dari segi komperehensif, tidak mewujud dalam dirinya. Maknanya bila pemahaman Islamnya komperehensif dan clear, walaupun dia buat silap (kesalahan), dia tahu itu suatu kesalahan, maka dia akan bertobat. Dia tahu jalan untuk memperbaikinya. Karena worlview itu telah jelas dalam dirinya. Tapi kalau worldview itu kelitu, maka dia tidak tahu kalau yang dia buat itu salah. Karena dia tidak tahu benarnya.
Contohnya dalam ekonomi dan perbankan Islam. Riba itu haram. Jelas riba itu haram. Tapi persoalan dalam Islam, bukan hanya riba, tapi juga pengentasan kemiskinan. Bank Islam harus dapat mengentaskan kemiskinan. Ini hanya satu contoh kecil saja. Bagaimana telah berlaku kekeliruan.
Juga dalam kepemimpinan politik Muslim.Bukan hanya pemimpin menjaga bidang ekonomi, perniagaan atau kesejahteraan. Tapi penjagaan terhadap jiwa dan akhlak rakyat, terhadap keselamatan yaumil akhirah haruslah dibuat dengan baik. Para pemimpin di bidang itu kini tak berbuat sewajarnya. Dianggap bahwa pembangunan ekonomi itu yang paling tinggi. Dalam Islam, ekonomi tentu tak dikecilkan. Kita harus menjada harta kita, menjaga keluarga, menjaga negara kita, tapi semua adalah alat untuk kemajuan rohani dan ukhrawi. Tapi sekarang justru yang rohani dan ukhrawi ini ditepikan. Bukan dibuat sebagai kebijakan utama. Ekonomi yang dinomorsatukan.
Dalam konteks sekarang, misalnya krisis ekonomi yang berlangsung sekarang. Bila perusahaan itu bangkrut, apakah manajer/direktur mau dikurangi pendapatannya? Perusahaan mengalami kerugian, ramai pekerja-pekerja yang dipecat, tapi ia (manajer) itu tidak mau rugi. Mereka tidak mau mengeluarkan uangnya atau dipotong gajinya. Sebab ia hanya melihat dari segi kontrak saja. Kontrak dengan pekerjanya bisa dibatalkan setiap waktu, sedang kan kontrak dia nggak mau diapa-apakan. Maka disini bukan kontrak itu yang terpenting, tapi segi maslahat ia lupakan. Hilang sifat ihsan, sifat kasih sayang kepada manusia lain.
Dalam buku ini juga kita paparkan bagaimana contohnya orang yang paling praktikal macam para sahabat yang menjadi khalifah sebagai teladan. Misalnya.Jendral Abdullah bin Husain. Dia seorang jendral dalam sejarah Islam. Dulu jenderal itu orang yang mengerti hal-hal yang praktis (paktikal). Tapi dia menulis surat kepada anaknya, agar ingat kepada Allah SWT, ingat hari pembalasan, orang miskin dan sebagainya. Apabila kita bicara dengan jenderal sekarang, bagaimana? Jenderal sekarang ini, bukan praktikal. Kalau dulu mereka maju perang, kalau kalah ditebas kepala mereka. Contoh-contoh yang disebutkan dalam buku itu adalah bagaimana hal-hal ukhrawi, imani, akhlaki itu mejadi pendorong utama bagi hal-hal duniawi.
Contoh Sayyidina Ali. Dia orang yang sangat praktikal. Tapi dalam surat ke gubernurnya, ia sangat menekankan hal-hal yang bersifat ukhrawi, imani, dan lain-lainl. Ibnu Sina, juga seorang yang praktikal (ahli kedokteran), dia menekankan pada ilmu, pada shalat nawafil dll. Dalam kaidah Islam ada satu kesatuan yang saling menyokong (ukhrawi duniawi). Sekarang ini telah banyak dikelirukan. Maka contohnya bila kita bercakap tentang keilmuan, pemikiran, itu praktikal dan logical. Orang dulu sebenarnya lebih pratikal dari orang sekarang. Mereka political juga. Aqidah, pandangan alam Islam ini teoritikal. Tapi teoritikal yang terkait langsung dengan paktik. Sekarang telah berlaku dualisme, tentang hal-hal yang berkaitan dengan aqidah, terpisah dengan hal-hal keuangan, politik, dsbnya.
Bagaimana adab yang dimiliki seorang pemimpin?
Adab yang dimaksudkan di sini adalah disiplin aqli, rohani dan fisik. Di mana seseorang itu menempatkan sesuatu di tempatnya yang betul, mengikut sistem Islam. Sehingga dia menempatkan Allah sebagai Tuhan di tempat yang sebenarnya. Tujuan adab sebenarnya adalah menjadikan seseorang itu menjadi ibadurrahman, menjadi muslim yang terbaik. Allah diletakkan pada tujuan pertama, bukan tujuan kedua atau ketiga. Sekarang ini kalau pemilihan umum, orang berjanji ke masyarakat, setelah pemilu lupa kepada tujuan awalnya itu. Jadi Allah dia gunakan untuk mendapatkan dunia. Kekuatan kepemimpinan akan berlaku, selama adabnya betul.
Contohnya bila seorang Muslim menjadikan Nabi sebagai contoh yang paling utama, dan juga para sahabatnya, maka keteladanan itu harus dioperasionalkan. Tapi karena sekarang ini adab berlalu, Nabi dan para sahabatnya dianggap sebagai out of date. Mereka lebih suka menggunakan Sun Tzu, Jengis Khan, yang tokoh-tokoh ini --memang boleh digunakan contoh (hikmah)-- tapi jangan dikatakan bahwa Nabi dan sahabat-sahabatnya itu out of date.
Atau kita lebih baik meneladani tokoh-tokoh ulama lain, seperti ulama-ulama Melayu. Syekh Yusuf Makarsari, Syekh Ar Raniri, Raja Ali Haji dsb nya. Sebab dalam politik Islam, tempat-tempat mereka ini bukan dibatasi oleh sejarah. Kita berprinsip bahwa siapa-siapa yang baik, mereka akan tetap baik (diteladani). Walaupun ada unsur-unsur pada dirinya atau pemikirannya yang mungkin saat ini boleh berubah. Seperti apa yang mereka pakai, dia makan dsbnya. Tapi akhlaknya itu tetap bisa diteladani. Juga bisa diteladani tentang keadilannya, kesabaran, keberanian, tawadhunya dll.
Kehilangan adab juga menyebabkan jatuhnya kepemimpinan. Dia mungkin baik-baik, tapi karena kelemahan kecil, ia dijatuhkan oleh kawannya yang tidak ada adab. Dia adianggap sebagai orang yang konservatif, out of date, tidak progresif. Padahal ulama-ulama itulah yang mau agar Melayu maju dari dulu sampai dengan sekarang.
Dengki juga mengakitbatkan kehilanga adab. Bagaimana dia berdengki kepada seorang pemimpin yang telah berjaya. Pemimpin itu misalnya mau menyatukan umat, menjayakan umat, ada di antara mereka yang dengki. Mestinya pemimpin seperti itu ditempatkan di tempat yang betul. Dia mestinya didukung. Tapi kadang-kadang adayang membuat fitnah-fitnah untuk menjatuhkan dia. Kita boleh menasihati dia kalau tidak setuju, bukan buat fitnah. Seorang pemimpin kalau zalim sekalipun, tentu kita tidak membenarkan kezalimannya, kita harus ikut dia. Tapi dia harus terus dinasihati. Atau kalau diganti harus dengan cara-cara yang bijak. Kalau kita jatuhkan dia, bukan tidak mungkin yang naik nanti akan buat kezaliman yang lain. Ini akan menimbulkan khawarij. Khawarijme ini akan menimbulkan ketidakstabilan dalam bidang politik. Karena tidak ada pemimpin yang tidak buat kesalahan. Dan bila berlaku instability maka akan berlaku kezaliman yang lebih merusak lagi.
Karena itu bagi Prof Naqib, untuk mengembabalikan budaya ilmu, budaya Islam harus berpegang pada adab. Kita harus me-refer kepada Rasulullah. Kepada ulama seperti Imam al Ghazali misalnya. Kalau al Ghazali dikecam juga, kita nanti akan merujuk pada orang-orang yang salah yang tidak berbuat apa-apa kepada Islam. Walaupun mungkin al Ghazali buat kesalahan, kesalahan yang ia buat kecil, sedangkan orang-orang yang jadi rujukan para pengecam al Ghazali itu, justru membuat kesalahan-kesalahan yang lebih besar.
Adab itu adalah satu syarat untuk mengembalikan kepada kepemimpinan dan intelektual masyarakat Islam. Jadi kita harus merujuk pada pemimpin yang sesuai, pemimpin ini tidak ramai. Kalau banyak orang nggak betul, maka seorang pemimpin pun cukup. Misalnya adalam bola, ada Maradona. Maka tidak banyak orang seperti Maradona. Dan Maradona harus ditempatkan sebagai pemain utama, kalau dia dibuat sebagai pemain sampingan maka tak berfungsi Maradona itu.
Orang-orang seperti itu tak ramai, tapi harus diberikan peranannya yang utama. Kalau orang yang hebat itu ramai, maka dia bukan orang hebat. Sifat ketokohan tertinggi itu tidak ramai. Imam Syafii seorang saja. Juga Imam Malik. Tapi pembangunan tamadun di Andalusia itu, meskipun pemain-pemainnya ramai, tapi mereka semuanya bermazhab Maliki, walaupun mereka tidak bersetuju dengan semua yang Imam Malik katakan, tapi mereka menghormati Imam Malik itu. Begitu juga ketika masa Utsmani.. Di Anatolia Turki, mereka bermazhab pada Imam Hanafi, dari segi teologi mereka bermazhab Imam Maturidi. Kita boleh berbeda, boleh ada perubahan, tapi mesti ada respek. Seperti orang Melayu ini, orang Jawa, Batak, Malaka, tapi hampir semuanya bermazhab Syafii.
Syekh ar Raniri misalnya membuat syarah an Nasafi. An Nasafi itu madzhabnya Maturdii. Raniri memuji Nasafi dan Taftazani (yang membuat syarah an Nasafi), tapi dia juga mengatakan bahwa dalam beberapa hal, Imam Syafii lebih hampir kepada kebenaran. Maka kalau ada orang menyatakan bahwa mazhab ini memecah belah umat Islam itu salah. Dalam bidang aqidah, ulama besar-besar merujuk pada ulama-ulama besar dari mazhab lain juga.
Bagaimana memulai lagi, menumbuhkan pemimpin-pemimpin baru?
Pertama sekali umat Islam harus bangkit dengan pandangan alam Islami yang tadi. Kita tentu tak bisa mengharapkan kesempurnaan. Karena kesempurnaan itu hanya pada Nabi saja. Dan para pemimpin kita harus menerima nasihat-nasihat, karena mereka juga tidak sempurna. Kita harus mengenal pasti siapa di antara umat Islam itu yang memancarkan pandangan alam Islam ini. Dan juga akhlaknya dan juga kewibawaannya untuk memimpin, sehingga orang lain memahami. Kalau orang nggak memahami dia sebagai pemimpin, maka ia tidak boleh memimpin. Jadi harus ada kecakapan memimpin.
Misalnya kepahaman dia (tentang Islam) tidak begitu mendalam, tapi dia mempunyai kecakapan memimpin dan akhlak yang baik, maka dia harus memimpin. Untuk meningkatkan pemahaman ini, maka dia harus konsultasi atau meminta nasihat yang lebih ahli. Inilah juga yang diharapkan Imam al Ghazali, Taftazani dan ar Raniri. Tak semestinya bahwa setiap pemimpin itu adalah orang yang paling baik dalam pemahaman dan dalam akhlak sekalipun. Tapi dia harus orang yang paling cakap mempimpin. Dia harus mengenali dirinya itu dan berkonsutasi dengan tokoh-tokoh yang lebih berwibawa. Dia harus mendengar nasihat-nasihat itu. Kalau tidak dia akan membenarkan kejahatan, membenarkan kezaliman. Kalau pemimpin itu membenarkan kejahatan, kezaliman dia boleh diberi sanksi dan dia boleh bertobat.
Taubat adalah kesadaran aqliyah dan rohaniyah tentang apa-apa yang telah dilakukannya. Taubat adalah karena dia tahu perbuatannya salah.Tapi kalau dia justifikasi bahwa dia tidak bersalah, maka dia merasa tobat tak perlu lagi. Dia merasa benar, malah yang benar dia anggap salah. Dalam teks aqidah ar Raniri dia katakan: Raja yang zalim, dia boleh memegang kepemimpinan. Tapi bila raja itu berbuat yang menjatuhkan imannya, menyatakan bahwa babi itu halal, arak itu halal, itu kufur, maka dia boleh dijatuhkan. Kalau dalam demokrasi dia boleh dijatuhkan dalam pemilu atau impeachment.
Dalam umat Islam sekarang ini, ketidakstabilan berlaku, karena terlalu banyak pertukaran pemimpin. Padahal dia membuat kesalahan-kesalahan yang tidak fundamental. Duit yang diguakan dalam demokrasi ini begitu besar. Lebih mahal dari pembinaan manusia yang berkualitas, lebih mahal dari pembinaan rumah-rumah rakyat kecil yang diperlukan. Duit dibuang untuk pemilu. Inti demokrasi untuk membangun rakyat, kesejahteraannya, sekarang berubah, intinya adalah proses. Hanya pada proses, tak mengira pada perubahan yang terjadi. Ini bukan suatu tindakan yang bijak.
Jadi, pandangan alam Islami ini harus dipahami lebih mendalam, baik di masyarakat level paling atas maupun tingkat paling bawah. Peningkatan pemahaman worldview ini harus dimulai dari level atas. Sebab rakyat awam mengikut golongan yang paling atas. Kalau dia benar sekalipun, kalau golongan atas tak melakukan, maka kebenaran itu biasanya akan dinafikan. Karena itu, kata Prof Naquib, perubahan yang paling strategis adalah prubahan di level atas.
Karena itu perubahan yang terpenting adalah perubahan pendidikan di tingkat tertinggi. S3, S2, S1. Ini bukan bersifat elitis yang negaitif, tapi elitis yang strategik. Pendidikan juga mengubah orang dewasa dahulu. Yakni kalau orang dewasa telah berubah, maka anak-anak akan berubah. Tapi alau anak-anak berubah, orang-orang tua atau dewasa tidak berubah, perubahan akan kecil maknanya. Anak-anak shalat, bapaknya tidak shalat. Lama-lama anaknya tidak shalat. Itu kaidah Ilahi juga, Semua anbiya’ diturunkan untuk orang-orang dewasa. Dan mereka menyadarkan pemimpin-pemimpn politik tertinggi saat itu. Karena itu kita mendirikan ISTAC dulu, juga Prof Naquib ketika tahun 70-an Seminar di Mekkah tentang Pendidikan, mengingatkan tentang pentingnya Universitas.
Bila universitas telah dibereskan, maka sekolah-sekolah menengah juga akan beres. Sebab guru-guru sekolah menengah dari universitas juga, pegawai-pegawai keuangan juga universitas, paling kurang S1. Kalau fokus di level bawah, maka perubahan itu tidak akan berlaku dengan sebaik-baiknya. Orang-orang Barat faham akan hal itu. Mereka tidak menggarap SD, atau sekolah menengah, tapi menggarap di tingkat universitas.
Nampaknya dunia Islam tidak serius dalam menggarap pendidikan tinggi ini?
Bukan tidak serius, pendidikan tinggi ini paling sulit. Untuk mendidik orang-orang yang pintar ini paling sukar. Karena itulah kita memerlukan leadership, intelektual yang pintar itu. Diberikan pinjaman untuk mahasiswa, juga dididik keberaniannya dan lain-lain. Tapi tentu harus dipikirkan semuanya. Pendidikan di tingkat bawah atau menengah juga Ok digarap. Tapi jangan pikir itu sudah selesai. Sebab semuanya menjurus ke atas.
Masalah umat ini bukan karena SDM yang tidak bagus, tapi karena kepemimpinan yang tidak bagus. Mereka mungkin pergi shalat, umrah, pakai jilbab, tapi worldviewnya bagaimana. Juga akhlaknya. Dia pikir selesai pergi ke masjid dapat pahala. Jangan diperentengkan pahala itu. Jadi ada ibadah-ibadah fardi/ individu yag mungkin bisa dilaksanakan, tapi yang ijtimai/kemsyarakatan ini mesti harus dilaksanakan secara serius.
Mengapa Barat ramai atau serius memperhatikan masalah universitas ini?
Mereka ramai (serius) karena mereka telah mengenal pasti masalah itu. Mereka tahu petanya dimana. Dalam kehidupan kita kalau banyak tokoh alhamdulillah. Tapi persoalannya tokoh itu sedikit, dan dari sedikit ini apa yang telah kita lakukan. Jadi kalau yang sedikit tokoh ini diabaikan, tak diberi kesempatan, maka tak akan jadi ramai. Sebab siapa yang akan belajar kepada dia? Sebab dia ditutup, dibungkus. Jadi pertama cari dulu tokoh yang ada, kemudian kasih posisi. Sehigga dia ada peluang untuk mendidik dan mengajar. Sehingga nanti akan jadi ramai murid-muridnya.
Maka persoalan yang paling awal, siapakah dalam bidang-bidang itu yang paling berwibawa? Yang mempunyai integritas. Tapi masalahnya jumlah yang sedikit ini tidak diberdayakan. Orang lebih yang rendah ilmu dan kepribadiannya, dipernobatkan diangkat-angkat. Dan mereka ini bila berada di posisi itu, maka ia akan mengecil-ngecilkan yang besar. Kemudian menuduh seorang tokoh ini tak bisa kerjasama dengan orang, angkuh, jahat, anti kerajaan, sufi, pro syiah dan lain-lain, dia menfitnah. Maka dalam buku saya, saya katakan: “Walaupun puyuh mencuri sayap elang, dia tak bisa terbang. Dia tak bisa mengawal kuatnya angin di awan, hatinya sebesar kuman.”
Jadi walaupun orang itu diletakkan tinggi-tinggi, menjadi perdana menteri, pengarah/direktur, dia tidak bisa memegang amanah itu. Sebab amanah memerlukan ilmu, keberanian, akhlak dan keadilan. Jadi masalahnya bukan tak ada menteri, profesor, presiden, tapi masalah kecakapan. Macam puyuh tadi. Sehingga akhirnya mereka-mereka ini malah menjadi rayap, hewan yang meruntuhkan bangunan dari dalam.
Karena itu dalam hadits yang terkenal dikatakan bahwa “Bila Allah murka dalam satu umat, dia akan tarik ilmu dengan mematikan orang-orang yang berilmu dan digantikan dengan orang-orang yang tidak berilmu. Dan orang ini bila diminta pandangan, maka dia menyampaikan pada orang-orang ramai dan pandangannya sesat menyesatkan.”
Mematikan ilmuwan (ulama) itu bukan hanya maknanya mencabut nyawa ilmuwan itu saja. Ilmuwan yang mati, tapi ilmunya dimanfaatkan, diguna banyak orang, dia masih belum mati. Mati bila ilmu tak digunakan lagi. Seperti Imam Malik dan Imam Ghazali mereka tidak mati, karena ilmunya terus dipergunakan orang sampai sekarang. Tapi bila orang-orang yang tak berilmu memimpin, maka menjadi rusaklah dirinya dan umat juga. Orang yang tak berilmu akan mengatakan yang haram itu halal atau sebaliknya.
Dalam buku saya yang baru akan terbit nanti, saya mengutip al Ghazali bahwa ada empat kategori orang. Pertama, orang yang tahu bahwa dirinya tahu, ia harus diikuti. Ia harus diperhelangkan (dijadikan semacam burung elang). Yang kedua, orang yang tahu, dia tidak tahu. Ia harus diajari. Semacam kita-kita ini. Yang ketiga, tidak tahu bahwa ia tahu. Ia harus dikejutkan, harus diberi kesadaran. Keempat, ia tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu, ia harus ditepikan. Problemnya justru orang yang seperti ini kadang dipernobatkan, padahal ia akan buat banyak masalah.
Karegori ini penting, agar kita tahu menempatkan orang dimana. Orang yang tahu bahwa dirinya tahu, perlu dipernobatkan. Ar Raniri dan Raja Ali Haji perlu diteladani misalnya, agar rakyat menjadi terbimbing. Tapi kalau ia tidak tahu, hanya menuruti nafsunya, hanya karena keluarganya dari yang berkuasa, bapaknya orang berkuasa, atau ia menjadi menantunya kemudian berkuasa, maka rusaklah rakyat itu. Maka Abdullah Munsyi menyebut, bagaimana personifikasi orang di zamannya, setelah kerajaan Malaka hancur: Belalang disangka elang, cacing disangka ular naga, kutu disangka kura-kura. Jadi terjadi confussion and error.
Ada yang menyebut bahwa kepemimpinan yang benar itu adalah kepemimpinan berfikir, bukan kepemimpinan politik, ekonomi, militer, dan lain-lain. Bagaimana pendapat Anda?
Mengikut Imam Ghazali, ada tiga tipe kepemimpinan. Pertama, kepemimpinan para anbiya’, yang memimpin jiwa dan tubuh manusia. Kedua, kepemimpinan para umara’ yang memimpin tubuh saja. Ketiga kepemimpinan para ulama, yang memimpin jiwa. Bagi al Ghazali dan berlaku umat Islam juga, kepemimpinan yang paling afdhal, selepas Nabi, adalah kepemimpinan ulama. Sebab ulama dalah pewaris anbiya. Walaupun tubuh itu penting, tapi yang terbesar dalam manusia ini adalah jiwanya. Jiwanya bukan untuk hidup duniawi, tapi juga ukhrawi. Kalau boleh kedua-keduanya tentu lebih afdhal. Sebab ada di kalangan umara yang berupaya memimpin jiwanya masyarakat, ilmunya ada. Dan juga ada ulama yang bisa memimpin masyarakat, karena dia pewaris anbiya’ itu. Seperti contohnya para sahabat. Jadi ini bukan tiga kategori yang terpisah. Tapi tak banyaklah orang seperti ini.*
(Petikan wawancara bisa dinikmati di Majalah Hidayatullah, edisi Oktober 2009).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar