"Berbuat Adillah, Karena Adil itu Lebih Dekat Kepada Taqwa" "(Ulil Albab) Mereka yang mendengarkan Perkataan, Lalu Mengikuti yang Terbaik"
Rabu, 05 Mei 2010
Peran Penting Islam di Tanah Melayu
Peran Penting Islam di Tanah Melayu
Oleh : Nuim Hidayat (Penulis Buku Imperialisme Baru)
Hati hampa yang tiada mengandung Sejarah Bangsa,
Tiadakan dapat tahu menilai hidup yang mulia;
Penyimpan Khabar zaman yang Lalu menambah lagi
Pada umurnya umur berulang berkali-ganda
(Prof Naquib al Attas)
Sejarah masuknya Islam di tanah Melayu (khususnya di Indonesia), selama ini masih banyak yang mengikuti alur teori Snouck Hugronje. Pelajaran sejarah kita di SD, SMP, SMA atau universitas, menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia abad ke-13 dan dibawa oleh para pedagang Gujarat. Karena telah berlangsung puluhan tahun pengajaran sejarah seperti itu, maka seolah-olah teori sejarah itu menjadi kebenaran.
Teori masuknya Islam ke Indonesia abad ke-13 dan dibawa oleh para pedagang Gujarat, telah dibantah kelas oleh para cendekiawan Muslim yang konsen terhadap sejarah. Mereka sepakat menyatakan bahwa Islam masuk ke tanah Melayu-Indonesia pertama kali abad ke-7 dan dibawa langsung oleh para ulama (dan wirausahawan) dari jazirah Arab. Termasuk dalam deretan cendekiawan ini diantaranya adalah : Prof Dr Buya Hamka, Prof Dr Naquib al Attas, KH Abdullah bin Nuh dan Prof Ahmad Mansur Suryanegara. Sedangkan ‘teori sejarah orientalis’ itu diantaranya dipelopori oleh: Snouck Hugronje, WF Sttutterheim, Bernard HM Vlekke, Clifford Geertz, Harry J Benda dan John Bastin.
Buya Hamka membantah bahwa Islam masuk ke Indonesia abad ke-13 dengan ditandai berdirinya kerajaan Samudera Pasai (1275). Menurut Hamka, apakah mungkin tiba-tiba berdiri sebuah kerajaan tanpa Islam menyebar terlebih dahulu di daerah itu di masa-masa sebelumnya? Karena itu, Hamka berkeyakinan dan menunjukkan bukti bahwa Islam telah berkembang ke pulau Sumatera di abad ke-7. Yaitu dengan ditemukannya komunitas Islam di Palembang pada abad itu.
Prof Ahmad Mansur dalam bukunya Api Sejarah dan Menemukan Sejarah, menyatakan bahwa pada masa Khalifah Muawiyah (661-750M), Islam menyebar di tanah Melayu. Muawiyah memang dalam sejarah dikenal dengan armada maritimnya. Di masanya, ia diperkirakan telah mempunyai sekitar 600 kapal laut. Prof Mansur menyatakan : “Besar kemungkinannya bahwa Islam dibawa oleh para wirausahawan Arab ke Asia Tenggara pada abad pertama dari tarikh Hijriyah atau abad ke-7M. Hal ini menjadi lebih kuat, menurut TW Arnold dalam The Preaching of Islam – Sejarah Da’wah Islam pada abad ke-2H perdagangan dengan Sailan atau Srilangka sudah seluruhnya di tangan bangsa Arab. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Prof Dr BH Burger dan Prof Dr Mr Prajudi dalam Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia.”
Prof Mansur menambahkan : “JC Van Leur dalam bukunya Indonesian: Trade and Society, menyatakan bahwa pada 674 (M) di pantai Barat Sumatra telah terdapat perkampungan (koloni) Arab Islam. Dengan pertimbangan bangsa Arab telah mendirikan perkampungan perdagangannya di Kanton pada abad ke-4. Perkampungan perdagangan ini mulai dibicarakan lagi pada 618 dan 626. Tahun-tahun berikutnya perkembangan perdagangan ini mulai mempraktikkan ajaran agama Islam. Hal ini mempengaruhi pula perkampungan Arab yang terdapat di sepanjang jalan perdagangan di Asia Tenggara.”
Prof Mansur juga mengkritik keras adanya upaya sebagian sejarawan yang menyatakan bahwa Islam baru masuk ke Indonesia setelah runtuhnya kerajaan Hindu Majapahit (1478) dan ditandai berdirinya kerajaan Demak. Kata pakar sejarah ini: “Pada umumnya keruntuhan Kerajaan Hindoe Madjapahit sering didongengkan akibat serangan dari Kerajaan Islam Demak. Padahal realitas sejarahnya yang benar Keradjaan Hindhoe Madjapahit runtuh akibat serangan radja Girindrawardhana dari Kerajaan Hindoe Kediri pada tahun 1478M.”
Para cendekiawan Muslim juga menyatakan bahwa pembawa ajaran Islam ke tanah Nusantara (Melayu) adalah para ulama Islam dan wirausahawan Islam dari jazirah Arab. Menurut Buya Hamka, hal itu ditandai dengan berkembangnya mazhab Imam Syafii yang berkembang di tanah air. Sedangkan Gujarat, menurut Prof Mansur, banyak bermazhab Syiah.
Prof Al-Attas menyorot tajam ulah kebanyakan para Sarjana Barat terhadap sejarah Islam di tanah Melayu: “Sarjana2 Barat dan ahli sejarahnya melangsungkan penilitian ilmiah terhadap sejarah dan kebudayaan Kepulauan Melayu-Indonesia telah lama menyebarkan fahaman bahwa masharakat Kepulauan ini seolah2 merupakan masharakat penyaring dan penapis serta penyatu unsur2 murni dan agung agama2 yang tiba dengan pengaruhnya masing2 di daerah ini seperti agama2 Hindu, Buddha, dan Islam. Akan tetapi fahaman yang mensifatkan daya sinkretis terhadap masharakat Melayu-Indonesia ini sebenarnya kosong belaka, tiada berdasarkan hujah2 tulen.”
Meski Van Leur sepakat para cendekiawan Islam tentang awal masuk Islam ke Nusantara abad ke-7, tapi menurut al Attas, Van Leur telah mengelirukan peranan penting Islam di tanah Melayu. Kata cendekiawan besar ini: “Keputusan akhir Van Leur laksana hukuman yang telah dijatuhkan terhadap Islam ialah bahwa Islam itu tiada membawa apa2 perubahan asasi dan tiada pula membawa suatu tamaddun yang lebih luhur daripada apa yang sudah sedia ada. Bawaan pemikiran sarjana2 Belanda dari dahulu memang sudah mengisharatkan kecenderungan ke arah memperkechil-kechilkan Islam dan peranannya dalam sejarah Kepulauan ini dan sudahpun nyata, misalnya dalam tulisan2 Snouck Hugronje pada akhir abad yang lalu”
Apa yang dibawa Islam di tanah Melayu ini? Al Attas menguraikan : “Para penyebar agama Islam mendakyahkan kepercayaan ketuhanan yang kudratNya terhukum pada hikmatNya; yang iradatNya berjalan selaras dengan Akal. Insan dichitakan sebagai hasil tertinggi chiptaan raya –bahwa pada gelang kehidupan semesta, insanlah umpama khatim permata jauharnya. Sifat asasi insan itu ialah akalnya, dan unsur akliah inilah yang menjadi perhubungan antara dia dan Hakikat semesta….sebagaimana kegelapan yang menyelubungi Eropa sebelum menyingsingnya Abad Pertengahan lenyap dipanchari sinaran surya baru galakan Islam, menerangi alam baru di layar lakonan sejarah –demikian juga kedatangan Islam di Kepulauan Melayu Indonesia harus kita lihat sebagai menchirikan zaman baru dalam persejarahannya,sebagai semboyan tegas membawa rasionalisma dan pengetahuan akliah serta menegaskan suatu sistim masharakat yang berdasarkan orang perseorangan, keadilan dan kemuliaan kepribadian insan.”
Jadi Islam membawa peradaban yang tinggi, intelektualisme dan ketinggian budi insan di tanah Melayu. Prof al-Attas juga menunjukkan bukti bahwa dari tangan ulama-ulama Islam lahirlah budaya sastra, tulisan, falsafah, budaya buku dan lain-lain, yang tidak dibawa peradaban sebelumnya. Islam memang tidak meninggalkan kebudayaan patung/candi sebagaimana kebudayaan pra Islam. Kembali mengutip al-Attas: “Salah satu kejadian baru yang terpenting mengenai kebudayaan, yang dengan sechara langsung digerakkan oleh proses sejarah kebudayaan Islam adalah penyebaran bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar, bukan sahaja dalam kesusasteraan epik dan roman, akan tetapi –lebih penting– dalam pembicharaan falsafah. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa kesusasteraan falsafah Islam di kepulauan Melayu-Indonesia menambah serta meninggikan perbendaharaan katanya dan istilah2 khususnya dan merupakan salah satu faktor terutama yang menjunjungnya ke peringkat bahasa sastera yang bersifat rasional, yang akhirnya berdaya serta sanggup menggulingkan kedaulatan bahasa Jawa sebagai bahasa sastera Melayu-Indonesia.”
Prof Naquib al Attas, lebih jauh menyorot tentang adanya upaya-upaya ahli sejarah yang selalu mengkait-kaitkan perkembangan Islam di tanah Melayu dengan budaya India (Hindu). Memang diakui al-Attas bahwa budaya India mempengaruhi budaya Jawa, diantaranya adalah bukti adanya tulisan Jawa Kuno yang ‘modelnya’ mirip dengan tulisan India. Karena itu, menurutnya merupakan keputusan yang mendalam ketika para Ulama mengembangkan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar-pemersatu tanah Melayu (juga pemersatu di Indonesia).
Bahasa Jawa, menurut al Attas telah banyak tercampur dengan alam berfikir Hindu. Meski kemudian para Ulama Melayu tetap menghormati Jawa, dengan dikembangkannya tulisan Melayu atau Jawa dengan huruf Arab, dengan sebutan Arab Jawi (sayangnya tulisan Arab Jawi/Arab Pegon ini sekarang dihilangkan/hampir hilang dalam tradisi pendidikan kita). Hal ini menurut al-Attas mirip dengan perkembangan bahasa Arab, yang dipilih sebagai bahasa al Qur’an (dipilih Allah SWT). Bukan bahasa Yunani (Latin) yang telah jauh terpengaruh oleh kebudayaan Yunani/Romawi atau bukan bahasa Persia yang telah terhegemoni budaya Persia. (lihat Naquib al Attas dalam bukunya Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu).
Walhasil, lihatlah ketinggian falsafah puisi yang ditulis ulama, penasehat Raja dan ahli bahasa Raja Ali Haji, dalam Gurindam Dua Belas-nya (1846/1847):
Jika hendak mengenal orang berbangsa
Lihat kepada budi dan bahasa
Jika hendak mengenal orang yang berbahagia
Sangat memeliharakan (diri dari) yang sia-sia
Jika hendak mengenal orang mulia
Lihatlah kepada kelakuan dia
Jika hendak mengenal orang yang berilmu
Bertanya dan belajar tiada jemu
Jika hendak mengenal orang yang berakal
Di dalam dunia mengambil bekal
Jika hendak mengenal orang yang baik perangai
Lihat pada ketika bercampur dengan orang ramai.*
(artikel ini telah dimuat di Majalah Hidayatullah edisi Mei 2010).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar