Nasib Bahasa Indonesia
Oleh: Nuim Hidayat
(Litbang Sekolah Alam dan Sains Al Jannah dan Kepala Sekolah SMA Pesantren Husnayain)
Di Tanah air kini bermunculan SMP dan SMA internasional. Sekolah-sekolah menengah internasional ini memungut bayaran yang mahal, puluhan juta dan kelebihannya terutama hanya satu yaitu menggunakan bahasa Inggris dalam berbagai mata pelajarannya. Perlu didukung atau dihentikankah tren seperti ini?
Kita faham bersama bahwa bahasa adalah alat untuk menyampaikan suatu makna benda atau peristiwa. Bila dua orang atau lebih berkomunikasi, menggunakan sebuah bahasa, mereka saling paham, maka telah cukuplah fungsi bahasa itu. Bahasa bukan untuk bergaya-gaya atau menghegemoni suatu komunitas/bangsa ke bangsa lain. Raja Ali Haji, ulama besar dan ahli bahasa Melayu menyatakan bahwa tujuan belajar bahasa adalah untuk makrifat kepada Allah, Sang Pencipta.
Bahasa juga adalah kebiasaan. Orang yang dilahirkan di Jawa, bapak ibu dan teman-temannya menggunakan bahasa Jawa maka anak itu—bila normal—pasti bisa berbahasa Jawa. Bila di sekolah mereka diajari tiap hari bahasa Indonesia, maka ia akan lancar berbahasa Indonesia. Begitu pula orang Inggris, Arab, Jerman, Cina dan lain-lain. Sebuah masyarakat atau individu unggul bukan karena bahasa yang digunakan. Tapi karena ilmu, kecerdasan dan kreativitas yang masyarakat miliki. Maka bangsa Jepang, Jerman dan Cina unggul dalam berbagai bidang kehidupan, tapi tetap mereka tidak kehilangan identitas bahasanya. Begitu juga dulu bangsa Arab, sekarang bangsa Inggris atau Amerika.
Di negara tetangga kita, bila kita mencermati kelahiran Universiti Malaya atau Universiti Kebangsaan Malaysia, banyak ahli pendidikannya mengkhawatirkan tergerusnya bahasa Melayu ke bahasa Inggris. Maka kini di universitas itu, tiap mahasiswa dari luar negeri (tidak terkecuali dari Indonesia), bila mencari ilmu di kedua universitas itu, apapun jurusannya, mereka harus mengambil bahasa Melayu. Untuk di Universiti Malaya, mahasiswa-mahasiswa Indonesia biasanya disuruh tes bahasa Melayu terlebih dulu. Bila lulus, maka mereka terlepas beban untuk mengambil SKS bahasa Melayu.
Meski demikian banyak cendekiawan Melayu di Malaysia (dan Singapura) resah karena bahasa Melayu di kedua negara tetangga kita itu, mulai jarang dipakai anak-anak muda mereka. Bila anak-anak India, Cina dan Melayu berbincang bertiga di Malaysia, maka mereka menggunakan bahasa Inggris bukan bahasa Melayu. Bila kita berkunjung ke kedai-kedai buku Malaysia, maka jumlah buku berbahasa Inggris jauh lebih membludak dari bahasa Melayu. Di Singapura, penggunaan bahasa Melayu lebih menyedihkan lagi. Ia hampir-hampir hanya digunakan orang-orang Muslim Melayu saja, yang jumlahnya kini hanya sekitar 15%. Bahasa Inggris menjadi bahasa pengantar wajib di sekolah-sekolah.
Dalam sejarah kita, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, sebenarnya mengajarkan kepada kita semangat agar bahasa Indonesia-Melayu ini menjadi ciri bangsa Indonesia. Agar bangsa Indonesia dikemudian hari menjadi bangsa besar dengan bahasa Indonesia. Bukan dengan bahasa Belanda yang saat itu banyak dipakai kaum terpelajar Indonesia, karena diwajibkan pemerintah Belanda digunakan di sekolah-sekolah tanah air.
Para ulama kita juga merintis penggunaan bahasa Melayu ini dalam karya-karya mereka. Bahasa Arab Jawi atau Arab Melayu mereka tulis dalam karya-karya agung mereka mengenai bahasa, sejarah, biografi, politik, kisah-kisah dan lain-lain. Buku-buku karya ulama dan tokoh-tokoh Islam terkemuka seperti Nuruddin ar Raniri, Raja Ali Haji, Hamka, Mohammad Natsir, Syafruddin Prawiranegara, A Hassan Ahmad Dahlan, Hasyim Asyari ditulis dalam bahasa Melayu.
Kini bahasa Inggris, seolah-olah menjadi tolok ukur kecerdasan. Bila orang tidak bisa bahasa Inggris dengan skor sekian, maka mereka sulit untuk masuk ke perguruan tinggi ternama. Seolah-olah derajat mereka yang bisa bahasa Inggris, lebih tinggi dari mereka yang faham bahasa Indonesia. Mereka lupa, bahwa kecerdasan bahasa hanyalah salah satu kecerdasan pada diri manusia. Ada delapan kecerdasan di diri manusia: kecerdasan bahasa, matematika, spasial, interpersonal, musik dan lain-lain. Orang Indonesia bisa ahli matematika, organisasi atau musik tanpa menguasai bahasa Inggris.
Yang paling gawat dampaknya, bila bahasa sendiri tidak dihormati, menurut pakar pendidikan Malaysia, Wan Mohd Nor Wan Daud : “Bangsa itu menjadi tidak menghormati karya-karya orang-orang yang cerdas dari bangsa sendiri.” Seolah-olah karya berbahasa lain mesti lebih bagus dari tokoh-tokoh bangsa sendiri. Padahal orang-orang hebat bangsa itu sendirilah yang hari ke hari mengamati kondisi bangsanya, yang akan sanggup mengatasi permasalahan di bangsa itu.
Tentu, tidak dipungkiri bahasa asing perlu dikenal. Mahasiswa-mahasiswa di perguruan tinggi perlu belajar bahasa Inggris untuk lebih mendalami sains, teknologi, komputer dan lain-lain. Karena memang tidak dipungkiri sains dan teknologi sekarang ini, banyak ditulis dalam bahasa Inggris. Permasalahannya, bila bahasa Inggris diajarkan intensif di sekolah menengah, maka para murid akan setengah matang pemahamannya terhadap bahasa ibu sendiri. Akhirnya kemampuan bahasa Indonesia pun setengah jadi dan bahasa Inggrisnya pun tanggung. Jadilah penggunaan bahasa yang kacau di masyarakat, seperti kita lihat di mall-mall, perumahan-perumahan dan buku-buku sekarang ini.
Juga banyak mental para pebisnis dan penerbit buku di tanah air sekarang ini, bila hanya menggunakan bahasa Indonesia, seolah-olah kurang keren. Kurang diminati. Mereka pun ikut-ikutan membuat judul dengan bahasa Inggris, padahal isinya bahasa Indonesia. Dampak lebih jauh generasi muda di masa 10 tahun mendatang bisa-bisa lebih bangga berbahasa Inggris daripada berbahasa Melayu. Seperti yang terjadi di Malaysia dan Singapura sekarang ini.
Memang tidak dipungkiri adanya pertarungan ide dalam memasukkan sebuah kata serapan dalam bahasa Indonesia. Bila dulu banyak lafadz-lafadz Arab masuk dalam kosa kata Indonesia, kini kebanyakan kata-kata Inggris yang masuk. Seiring digesernya peranan ahli sastra Melayu, seperti Raja Ali Haji dan Hamka dengan Gorrys Keraf dan A Teeuw.
Nasib pendidikan di Indonesia juga kini secara umum memang belum menggembirakan. Meski anggaran pendidikan dinaikkan hampir 20 persen, tapi sistem pendidikan di Indonesia masih kalah di zaman Belanda atau sebelum Belanda masuk. Kini, aspek material lebih banyak didulukan para dosen atau guru daripada kepedulian terhadap pribadi arau akhlak murid. Setelah guru mengajar, mereka kebanyakan langsung pulang. Jarang yang menanyakan atau tahu bagaimana kondisi pergaulan murid, akhlak mereka sehari-hari di rumah /sekolah dan keseluruhan kepribadian murid itu.
Ya begitulah nasib pendidikan bangsa kita sekarang ini. ‘Rekayasa Pendidikan’ menjauhkan murid dari agamanya telah berlangsung lama di negeri ini. Kita bisa melihat mulai digantinya kata murid menjadi siswa. Kata murid, yang digulirkan secara cermat oleh ulama-ulama Islam diganti dengan kata siswa menginduk pada Taman Siswa Ki Hajar Dewantoro. Murid dari kata araada-yuriidu-muriidan. Maknanya orang mempunyai kehendak. Orang yang mempunyai kemauan. Orang yang mempunyai cita-cita. Sedangkan siswa? Wallahu aliimun hakiim.*
1 komentar:
Posting Komentar