Senin, 26 Januari 2009

Bagaimana Menghadapi Israel?

Delegasi parlemen Israel (Knesset) pada 29 April - 4 Mei 2007 ini akan berkunjung ke Indonesia. Kedatangan mereka ke Bali itu dalam rangka acara Inter Parliamentary Union (IPU). Menurut Menlu RI Nur Hassan Wirajuda, kedatangan delegasi Israel itu adalah hal yang lumrah. “Kehadiran seluruh anggota IPU itu lumrah saja. Kita juga tak perlu melakukan special welcome, cukup mereka (IPU) saja yang menyambutnya,”kata Hassan. (Republika, 17 April 2007).

Ketua Badan Kerjasama Antarparlemen (BKSAP), Abdillah Toha memaparkan, delegasi parlemen Israel mendapatkan undangan dari IPU. Undangan itu dibuat langsung oleh IPU Pusat, karena Israel merupakan satu dari 148 anggota IPU.

Menanggapi rencana kedatangan anggota Knesset ke Bali itu, Ketua Badan Kerja Sama Antarparlemen Dewan Perwakilan Rakyat Abdillah Toha meminta agar hal ini tidak dibesar-besarkan lantaran bukan yang pertama. Ia juga menegaskan pemerintah tidak boleh melarang kedatangan mereka. "Yang pasti tidak ada pertemuan, baik formal maupun informal, dengan pejabat Indonesia," kata politikus dari Partai Amanat Nasional itu.

Parlemen Israel (Knesset) sendiri menegaskan akan mengirimkan delegasinya. "Kami memang akan mengirimkan delegasi," kata Ilan Ostfeld, juru bicara Ketua Knesset Dalia Itzik, saat dihubungi Tempo melalui telepon selulernya kemarin. Hanya, ia belum bisa memastikan apakah Ketua Knesset, yang juga pejabat Presiden Israel, akan hadir.

Dihubungi terpisah, Direktur Jenderal Asia Pasifik Kementerian Luar Negeri Israel Giora Becher membenarkan soal rencana kedatangan delegasi Knesset ke Indonesia. "Ini hak kami karena kami bukan diundang ke Indonesia. Kami anggota parlemen sedunia (IPU) dan diundang oleh mereka," katanya. (Koran Tempo, 16 April 2007).

Kedatangan delegasi Israel ke Indonesia bukanlah yang pertama. Tahun lalu delegasi negara Yahudi itu, termasuk Duta Besar Israel di Thailand, menghadiri pertemuan ESCAP di Jakarta.


Posisi Israel

Indonesia, kini memang menjadi incaran negara-negara di dunia, termasuk Israel. Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia menjadi market bisnis yang menggiurkan bagi negara manapun di dunia. Karena itu, Kementerian Luar Negeri Israel meluncurkan situs berbahasa Indonesia awal tahun ini. "Kami ingin memberikan informasi yang sebenarnya tentang Israel kepada rakyat Indonesia," kata Duta Besar Israel di Indonesia, Ilan Ben Dov.

Lewat lobi-lobi khusus, Israel terus menerus ingin menjalin hubungan yang erat dengan Indonesia. Bukan hanya hubungan dagang –yang telah berlangsung- tapi juga hubungan diplomatik.

Masalah hubungan RI-Israel itu pernah mencuat ke permukaan tidak lama setelah terbentuknya kabinet Gus Dur (1999-2001). Waktu itu Gus Dur dan Menlu Alwi Shihab melontarkan keinginan mereka untuk membuka hubungan dengan Israel, kendati akhirnya hanya berhasil dalam taraf hubungan ekonomi dan perdagangan. Bahkan saat itu pemerintah Gus Dur ingin membuka hubungan diplomatik dengan Israel, tapi karena reaksi masyarakat –terutama ormas-ormas Islam cukup kuat—akhirnya Gus Dur membatalkan. Bahkan sampai-sampai saat itu 16 Duta Besar Negara-negara Arab di Jakarta, menyampaikan keberatannya, sehingga akhirnya Gus Dur menghentikan niatnya membuka hubungan diplomatik dengan Israel.

Tentang hubungan perdagangan, entah sejak kapan pemerintah Indonesia memulainya. Tapi ketika Luhut Panjaitan menjabat sebagai Menteri Perdagangan dan Perindustrian (2000-2001) era Gus Dur, mencuat ke media massa itu, tentang bocoran dokumen persetujuan perdagangan dengan Israel. Sampai saat ini hubungan dagang dengan Israel nampaknya berlangsung diam-diam, tidak pernah pemerintah memberi informasi yang benderang kepada masyarakat.

Sikap Indonesia?

Negara Israel yang diproklamasikan sejak 14 Mei 1948, memang merupakan satu-satunya negara yang kini menjadi musuh bersama dunia Islam. Sebagian besar Negara Arab –kecuali Yordania, Mesir, Turki dll-- kini tetap konsisten tidak mau berhubungan diplomatik dengan Israel. Sedangkan Oman, Qatar, Tunisia dll memang telah mengadakan hubungan dagang dengan Israel, meski sampai saat ini tidak banyak diketahui tentang keuntungan mereka membuka hubungan dagang dengan Negara zionis itu.

Yang menarik, pemerintah Indonesia –lewat Menteri Pemuda dan Olahraga—pada Juli 2006 lalu memutuskan tidak mengirim tim tennis Fed Cup karena tim Indonesia harus bertanding di Ramat Hasharon, Israel. Keputusan berani pemerintah Indonesia ini, memang berbuah ancaman dari Federasi Tenis Internasional (ITF). ITF akan mengeluarkan Indonesia dari keanggotaan, bila tidak membayar denda sebesar sebesar 15.000 poundsterling atau sekitar Rp. 268 juta lebih.

“Jika gagal membayar denda, kami bisa disingkirkan dari ITF dan tidak dapat bermain di ajang Fed Cup, Davis Cup atau pertandingan internasional, serta even multi sport karena sanksi yang diberikan oleh ITF,” kata Martina Widjaja seperti dilansir Eurosport. (lihat www.detiksport.com/raket/index.php/home.read/tahun /2007/bulan/03/tgl/27/time/070226/idnews/758970/idkanal/79).

Entah, karena trauma tidak mengikuti Fed Cup atau membebek IPU, kini pemerintah Indonesia melunak kepada Israel. Pemerintah lewat Menlu Hassan mungkin berhitung akibat-akibat yang buruk yang akan diterima pemerintah Indonesia, bila menolak kunjungan parlemen Israel April mendatang.

Memang jalinan berkelindan yang rumit pemerintah Israel dengan negara-negara besar (khususnya Amerika dan Inggris), menjadikan Negara Israel kini hari ke hari makin digdaya. Meski jutaan masyarakat dunia terus menerus mengecam kezaliman negara zionis ini, tapi pemerintah negara-negara bersangkutan tetap adem ayem dengan Israel. Ironisnya negeri-negeri Muslim sendiri tidak mempunyai sikap yang satu dalam menghadapi Israel. Padahal penduduk Israel kini hanyalah berjumlah 6.352.117 orang (lihat www.cia.gov/ cia/publications/ factbook/geos/is.html).

Tapi, memang begitulah hukum sunnatullah di alam ini. Tidak mesti golongan yang besar itu akan mengalahkan golongan yang kecil. Malah yang terjadi seringkali sebaliknya. Israel, karena kecerdasan dan kelicikannya mampu bertahan hingga kini dan bahkan makin digdaya, dengan memiliki persenjataan militer –termasuk nuklir—yang jauh lebih dahsyat daripada yang dimiliki negeri-negeri Islam.

Bukan mudah memang bagi pemerintah Indonesia, untuk bersikap tegas terhadap Israel. Karena suatu keputusan politik kepada Israel mempunyai imbas yang besar pada pemerintah Amerika dan Inggris (kedua Negara inilah sponsor utama pendirian Negara Israel 1948). Jadi kalau selama ini sikap politik internasional pemerintah seringkali “membebek” kepada AS jangan berharap pemerintah akan bersikap tegas kepada Israel.

Tapi bagaimanapun sebuah negara tergantung pada pemimpinnya. Pepatah yang terkenal mengatakan “ikan itu busuk dari kepalanya.” Bila pemimpinnya penakut, maka penyakit takut itu akan menular ke pejabat-pejabat bawahannya dan kemudian ke rakyatnya. Memang yang repot bila tokoh-tokoh kita sendiri sejak awal sudah tidak ada idealisme. Artinya tidak ada inisiatif bagaimana menghilangkan kezaliman di dunia ini. Akhirnya sikap yang muncul adalah sikap “Pak Turut”. Pernyataan Menlu Hassan atau Abdillah Thoha yang menyatakan bahwa kedatangan Israel itu hal yang lumrah, menunjukkan hal itu.

Dan inilah bahaya terbesar di negeri ini bahkan bahaya umat manusia secara umum. Penyakit takut menghadapi kezaliman dan penyakit “Pak Turut”. Karena dari sinilah akan muncul sikap-sikap pembenaran, bahwa kezaliman, kerusakan yang terjadi adalah hal yang lumrah. Tidak muncul upaya-upaya kreatif bagaimana menghilangkan kezaliman itu.

Dalam masalah ini, katakanlah pemerintah Indonesia, berani menolak kedatangan delegasi Israel dalam IPU di Bali itu, rakyat Indonesia tidak akan kiamat. Justru, bisa jadi negeri-negeri Muslim yang lain akan hormat, bahkan mengikuti sikap berani pemerintah Indonesia itu. Tapi, dengan mengatakan bahwa kedatangan Israel adalah hal yang lumrah dan jangan dipersoalkan, maka menunjukkan negara Indonesia adalah negara Pak Turut. Tidak ada keteladanan sama sekali dalam upaya ikut andil penghapusan kezaliman global sebagaimana yang dicontohkan para pejuang-pejuang kita terdahulu.

Akhirnya, kita perlu menyimak pernyataan tokoh pemberani mantan PM Malaysia Mahathir Mohammad di depan Sidang OKI beberapa tahun lalu:

“Kita sesungguhnya sangat kuat. Umat Islam yang berjumlah 1,3 miliar orang (seharusnya) tak bisa dengan mudah dikalahkan. Orang Eropa membunuh 6 dari 12 juta orang Yahudi. Akan tetapi, kini orang Yahudi secara tak langsung menguasai dunia. Mereka bisa membuat orang lain berperang dan mati untuk mereka…
Apakah benar kita tak perlu dan tak dapat melakukan apa-apa bagi diri kita sendiri? Apakah benar 1,3 miliar orang (Islam) tak memiliki kekuatan untuk menyelamatkan diri mereka sendiri dari penghinaan dan penindasan yang dilakukan oleh musuh yang jumlahnya jauh lebih kecil? Apakah mereka (umat Islam) hanya dapat membalas secara membabi buta dengan kemarahan. Apakah tak ada jalan lain kecuali meminta anak-anak muda kita untuk meledakkan dirinya sendiri dan membunuh orang lain, tindakan yang hanya mengundang dilancarkannya pembantaian lebih banyak lagi atas rakyat kita?...Tak mungkin tak ada jalan lain. Kaum Muslim yang berjumlah 1,3 miliar tak dapat dikalahkan oleh berapa juta orang Yahudi. Seharusnya ada jalan (bagi kita).” Jalan Rasulullah saw. saja 13 tahun membentuk generasi yang hebat dan cerdas untuk mengalahkan Yahudi. Bagaimana dengan kita? Wallahu Aziizun Hakiim. * (18 April 2007)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

wah, referensi tepat untuk natsir neh...mantabs Kang artikel2nya. ijin ngebookmark untuk referensi. http://semarangreview.blogspot.com/2008/06/bung-tomo-tan-malaka-syahrir-natsir_27.html