Suatu Hari Ramadhan di Pesantren Husnayain Sukabumi
Raja Ali Haji, A Teeuw dan Gorrys Keraf
Oleh: Nuim Hidayat (Pengajar Pesantren Husnayain)
Seperti biasa tiap Senin pagi saya bersama beberapa Ustadz mengajar ke Pesantren Husnayain Sukabumi, Saya di pesantren itu diamanahi mengajar bahasa Indonesia untuk murid-murid SMA. Tapi kadangkala juga disuruh mengajar Tauhid, Sejarah dan lain-lain, seperti pada semester-semester lalu. Murid di pesantren itu tidak begitu banyak. Rata-rata santrinya sekelas kurang dari 20 orang. Bila pelajaran, mereka laki-laki dan perempuan kumpul dalam kelas. Laki-laki di depan, perempuan di belakang.
Dulu pernah ada niat untuk memisahkan laki-laki dan perempuan -atau baniin dan banaat, istilah popular di pesantren itu—tapi karena gurunya kurang, kini dicampur lagi.
Meski dicampur interaksi baniin dan banaat dijaga ketat. Bila ketahuan mereka pacaran –misalnya berduaan di tempat sepia tau berboncengan motor- pesantren tak segan-segan akan mengeluarkannya. Meski total jumlah santri tidak begitu banyak, tapi saya melihat semangat dalam diri mereka menyala dalam belajar. Mereka tiap hari latihan bicara bahasa Arab atau Inggris. Kosa kata ‘bahasa asing’ hampir tiap hari diberikan untuk dihafalkan. Untuk semakin memperlancar bahasa lain, mereka sering mengadakan latihan pidato dalam bahasa Arab/Inggris. Latihan ini diikuti oleh semua santri dan masing-masing mereka gantian ke depan mempersembahkan pidato terbaiknya. Saya pernah mengikuti acara ini –pada malam hari—serunya bukan main. Saya melihat hampir tidak ada yang malu atau grogi dalam latihan pidato itu. Mereka bertepuk tangan atau tertawa riang bila kawannya yang ngomong berbahasa asing itu salah ucap atau bingung memperpanjang ceramahnya.
Pesantren ini memang ingin mengadopsi Gontor dalam kurikulumnya. Terutama kurikulum pondoknya. Jadi ada pelajaran pondok, ada pelajaran umum. Cukup padat memang. Apalagi kurikulum SMA umum diberikan full di situ. Jam pelajaran dimulai dari 7.30 pagi sampai 15.00, dengan istirahat dua kali. Jam 09.00-09.30 dan 12.00-13.30. Tapi saya melihat kebanyakan santri disitu (entah saya lebih suka menyebutnya murid, karena lebih membawa makna), semangat dalam belajar. Apalagi kalau diberikan tanya jawab atau kuiz. Mereka akan saling berlomba menjawabnya. Dalam pelajaran ekstranya, mereka mendapat materi jurnalistik, pencak silat/’wushu’, olahraga, hafalan Al Qur’an, latihan pidato bahasa asing, pramuka dan lain-lain.
000
Saya terus terang sebenarnya tidak begitu ahli dalam pelajaran bahasa Indonesia ini. Mungkin karena saya senang menulis, saya diamanahi materi ini. Saya lebih suka mengajar jurnalistik sebagaimana pengalaman saya selama ini mengajar di STID Mohammad Natsir, UIKA Bogor atau Az Zahra. Tapi di pesantren pelajaran itu hanya ekstra. Dari beberapa semester saya mengajar bahasa Indonesia, buku teks atau kurikulumnya tidak begitu bagus. “kering” dan bisa membuat bosan murid. Bahkan saya melihat materi-materi tentang drama terlalu banyak. Saya menangkap Diknas sendiri ‘bingung’ membuat materi bahasa Indonesia. Maka dalam Ujian Nasional, yang keluar hanya sedikit dari buku teks. Kebanyakan analisa kalimat atau logika. Logikanya pun kadang-kadang ‘linier’ alias tidak memberi kesempatan murid untuk memahami berbeda dalam kalimat bacaan itu. Saya pernah mendiskusikan soal-soal ujian Nasional bahasa Indonesia ini dengan beberapa teman dan kesimpulannya sama, banyak soal yang mestinya bisa dijawab lebih dari satu jawaban.
Yang menyedihkan buat saya adalah lepasnya pendidikan bahasa sekarang ini dari ruh Islam. Pelajaran bahasa sekarang didominasi oleh pakar-pakar Belanda atau sekuler. Maka tokoh-tokoh dalam bahasa Indonesia adalah Prof A Teeuw dan Gorys Keraf. Mereka telah berhasil membuat bahasa Indonesia ini menjadi sekuler. Yakni belajar bahasa hanya belajar tentang struktur kalimat, komposisi, diksi atau lainnya. Tidak ada sedikitpun dalam pelajaran bahasa dikaitkan dengan akhlak atau bahkan tauhid.
Padahal peletak dasar pertama kaidah-kaidah bahasa Indonesia sebenarnya adalah Raja Ali Haji. Ulama, sastrawan, penasehat raja dan ahli hikmah. Ia dilahirkan di Riau 1808 dan meningal dunia 1873. Karya-karyanya berbobot dan ditulis dalam bahasa Arab Melayu. Bila menulis tentang bahasa, syair/gurindam selalu ia kaitkan dengan nilai-nilai dalam ajaran Islam. Bandingkan bila dia menulis dengan pakar-pakar Belanda itu atau pakar-pakar bahasa Indonesia sekarang.
Dalam sebuah bukunya –kebetulan saya dapatkan dari salah seorang professor ketika berkunjung ke Universiti Kebangsaan Malaysia—ia menyatakan bahwa belajar bahasa itu tujuannya adalah untuk semakin makrifat kepada Allah. Yakni menambah keimanan. Apakah ada dalam kurikulum bahasa Diknas sekarang? Maknanya dalam pelajaran bahasa, karena bahasa ini adalah simbol dari fakta atau ‘benda-benda’ di alam ini, maka semestinyalah dengan belajar bahasa orang akan semakin mengagumi pencipta-Nya. Apalagi proses berbahasa lewat alat indera yang diberikan Allah kepada kita.
Sekarang ini tujuan orang belajar bahasa –bahasa Indonesia atau lainnya—kebanyakan semata-mata tujuannya adalah materi. Sebagai alat komunikasi atau penyebaran ide belaka. Banyak orang belajar bahasa akhlaknya makin buruk dan seterusnya. Karena pelajaran bahasa telah rusak, maka akhlak pelajar kini banyak yang rusak. Dan yang timbul bukan bahasa-bahasa yang beradab, tapi bahasa yang biadab. Maka popular lah kemudian bahasa-bahasa kasar atau bahasa prokem yang tidak mempunyai makna yang berarti.
Maka dalam pelajaran bahasa, saya sering mengingatkan murid-murid tentang Raja Ali Haji ini. Karya Gurindamnya seringkali saya suruh baca mereka di depan kelas. Dan saya kadang-kadang juga memberikan mereka latihan untuk membuat gurindam, pantun, puisi dan lain-lainnya dengan maksud agar suatu saat lahir kembali tokoh seperti Raja Ali Haji ini. Begitu hebatnya Raja Ali Haji ini, seorang professor dari Malaysia dengan ‘telaten’ mau menerjemahkan karyanya kata per kata dalam bahasa Melayu. Ia pun dalam pengantarnya menyatakan begitu terkesan dengan karya Raja Ali Haji ini.
000
Sore kemarin bertepatan dengan 17 Ramadhan 1433H, saya hadir di acara buka bersama Pesantren Husnayain. Acara ini hampir sepenuhnya diinisiatif oleh para santri sendiri. Terutama oleh murid senior kelas III SMA. Mulai dari penggalangan dana, penyebaran undangan ke masyarakat, jadwal acara dan lain-lain. Lebih dari dua ratus orang hadir pada acara itu. Diantaranya puluhan anak yatim. Dalam acara ini memang mereka sengaja diundang untuk diberikan santunan sekedarnya agar mereka turut merasakan kebahagiaan di bulan suci ini.
Yang menarik dalam acara itu, adalah ceramah dari pimpinan pesantren KH Ahmad Kholil Ridwan menjelang buka puasa. Dalam ceramahnya ini ia menguraikan tentang lafadz ‘kutiba’ dalam Al Qur’an, terutama dalam surat Al Baqarah. Di surat ini, terdapat empat lafadz kutiba (diwajibkan/kewajiban). Pertama tentang kewajiban puasa, kewajiban menjalankan hukum qishash, kewajiban berperang dan kewajiban menuliskan wasiat sebelum meninggal.
Kiyai Kholil menjelaskan materi ini ia sampaikan, karena pernah pada suatu saat ia ceramah, panitianya berpesan agar tidak membahas lagi tentang ayat ‘kutiba alaikumus shiyam’, bosan katanya. Meski ia mempertanyakan tentang tidak bolehnya bosan kepada ayat Al Qur’an, tapi ia selama hampir setahun merenung dan akhirnya menemukan tentang makna kutiba dalam surat al Baqarah. Jadi, menurutnya, kewajiban itu bukan puasa saja, tapi juga menegakkan syariat-syariat Allah yang lain, seperti penegakan hukum qishash bagi pembunuh, hukum jihad dan lain-lain. “Karena itu saya berpesan kepada santri-santri Husnayain agar setelah lulus nanti menjadi penegak-penegak syariat Allah di Indonesia,”tegasnya.
Ketua MUI ini mengingatkan bahwa kini telah berdiri Bank Syariat, Pengadilan Agama dan lain-lain, kenapa tidak sekalian menegakkan syariat Allah yang lain. “Bila hukum qishash ditegakkan, maka tidak usah memberi makan para pembunuh itu sampai dua puluh tahun atau seumur hidup. Uang rakyat jadi tersedot untuk makan mereka, padahal masih banyak rakyat yang miskin dan kelaparan butuh makan,”urainya. Ia juga prihatin kenapa pemerintah SBY masih terus memilih hukum peninggalan Belanda daripada hukum Islam. Padahal bila pembunuh dihukum bunuh (qishash) justru akan meminimalkan banyaknya kasus pembunuhan di Indonesia. Karena orang menjadi ngeri bila mau membunuh. “Walakum filqishaashi yaa Uulil Albaab”, Dan pada hukum qishash itu ada kehidupan wahai Ulil Albab (wahai orang mempunyai otak), kata Al Qur’an.
000
Begitulah sedikit pengalaman mengajar di Pesantren Husnayain, yang mungkin merupakan pesantren dengan view terindah di Indonesia. Karena pesantren ini di belakangnya persis adalah bukit-bukit perkebunan teh Jayanegara, Sukabumi. Karena begitu indah pemandangannya, perusahaan gas Amerika Chevron menempatkan kantor dan pabriknya persis di puncak bukit perkebunan teh itu. Saya akhiri tulisan ini dengan Gurindam dari tokoh bahasa kita Raja Ali Haji. Semoga banyak manfaatnya. Wallaahu aliimun hakim.
* Gurindam I Ini gurindam pasal yang pertama:
Barang siapa tiada memegang agama, sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama. Barang siapa mengenal yang empat, maka ia itulah orang yang ma'rifat Barang siapa mengenal Allah, suruh dan tegahnya tiada ia menyalah. Barang siapa mengenal diri, maka telah mengenal akan Tuhan yang bahri. Barang siapa mengenal dunia, tahulah ia barang yang teperdaya. Barang siapa mengenal akhirat, tahulah ia dunia mudarat.
Gurindam II Ini gurindam pasal yang kedua: Barang siapa mengenal yang tersebut, tahulah ia makna takut. Barang siapa meninggalkan sembahyang, seperti rumah tiada bertiang. Barang siapa meninggalkan puasa, tidaklah mendapat dua termasa. Barang siapa meninggalkan zakat, tiadalah hartanya beroleh berkat. Barang siapa meninggalkan haji, tiadalah ia menyempurnakan janji.
Gurindam III Ini gurindam pasal yang ketiga: Apabila terpelihara mata, sedikitlah cita-cita. Apabila terpelihara kuping, khabar yang jahat tiadalah damping. Apabila terpelihara lidah, niscaya dapat daripadanya faedah. Bersungguh-sungguh engkau memeliharakan tangan, daripada segala berat dan ringan. Apabila perut terlalu penuh, keluarlah fi'il yang tiada senonoh. Anggota tengah hendaklah ingat, di situlah banyak orang yang hilang semangat Hendaklah peliharakan kaki, daripada berjalan yang membawa rugi.
Gurindam IV Ini gurindam pasal yang keempat: Hal kerajaan di dalam tubuh, jikalau lalim segala anggotapun rubuh. Apabila dengki sudah bertanah, datanglah daripadanya beberapa anak panah. Mengumpat dan memuji hendaklah pikir, di situlah banyak orang yang tergelincir. Pekerjaan marah jangan dibela, nanti hilang akal di kepala. Jika sedikitpun berbuat bohong, boleh diumpamakan mulutnya itu pekong. Tanda orang yang amat celaka, aib dirinya tiada ia sangka. Bakhil jangan diberi singgah, itupun perampok yang amat gagah. Barang siapa yang sudah besar, janganlah kelakuannya membuat kasar. Barang siapa perkataan kotor, mulutnya itu umpama ketur2. Di mana tahu salah diri, jika tidak orang lain yang berperi.
Gurindam V Ini gurindam pasal yang kelima: Jika hendak mengenai orang berbangsa, lihat kepada budi dan bahasa, Jika hendak mengenal orang yang berbahagia, sangat memeliharakan yang sia-sia. Jika hendak mengenal orang mulia, lihatlah kepada kelakuan dia. Jika hendak mengenal orang yang berilmu, bertanya dan belajar tiadalah jemu. Jika hendak mengenal orang yang berakal, di dalam dunia mengambil bekal. Jika hendak mengenal orang yang baik perangai, lihat pada ketika bercampur dengan orang ramai.
Gurindam VI Ini gurindam pasal yang keenam: Cahari olehmu akan sahabat, yang boleh dijadikan obat. Cahari olehmu akan guru, yang boleh tahukan tiap seteru. Cahari olehmu akan isteri, yang boleh dimenyerahkan diri. Cahari olehmu akan kawan, pilih segala orang yang setiawan. Cahari olehmu akan abdi, yang ada baik sedikit budi,
Gurindam VII Ini Gurindam pasal yang ketujuh: Apabila banyak berkata-kata, di situlah jalan masuk dusta. Apabila banyak berlebih-lebihan suka, itulah landa hampirkan duka. Apabila kita kurang siasat, itulah tanda pekerjaan hendak sesat. Apabila anak tidak dilatih, Jika besar bapanya letih. Apabila banyak mencela orang, itulah tanda dirinya kurang. Apabila orang yang banyak tidur, sia-sia sahajalah umur. Apabila mendengar akan khabar, menerimanya itu hendaklah sabar. Apabila mendengar akan aduan, membicarakannya itu hendaklah cemburuan. Apabila perkataan yang lemah-lembut, lekaslah segala orang mengikut. Apabila perkataan yang amat kasar, lekaslah orang sekalian gusar. Apabila pekerjaan yang amat benar, tidak boleh orang berbuat onar.
Gurindam VIII Ini gurindam pasal yang kedelapan: Barang siapa khianat akan dirinya, apalagi kepada lainnya. Kepada dirinya ia aniaya, orang itu jangan engkau percaya. Lidah yang suka membenarkan dirinya, daripada yang lain dapat kesalahannya. Daripada memuji diri hendaklah sabar, biar dan pada orang datangnya khabar. Orang yang suka menampakkan jasa, setengah daripada syarik mengaku kuasa. Kejahatan diri sembunyikan, kebalikan diri diamkan. Keaiban orang jangan dibuka, keaiban diri hendaklah sangka.
Gurindam IX Ini gurindam pasal yang kesembilan: Tahu pekerjaan tak baik, tetapi dikerjakan, bukannya manusia yaitulah syaitan. Kejahatan seorang perempuan tua, itulah iblis punya penggawa. Kepada segaia hamba-hamba raja, di situlah syaitan tempatnya manja. Kebanyakan orang yang muda-muda, di situlah syaitan tempat berkuda. Perkumpulan laki-laki dengan perempuan, di situlah syaitan punya jamuan. Adapun orang tua yang hemat, syaitan tak suka membuat sahabat Jika orang muda kuat berguru, dengan syaitan jadi berseteru.
Gurindam X Ini gurindam pasal yang kesepuluh: Dengan bapa jangan durhaka, supaya Allah tidak murka. Dengan ibu hendaklah hormat, supaya badan dapat selamat. Dengan anak janganlah lalai, supaya boleh naik ke tengah balai. Dengan isteri dan gundik janganlah alpa, supaya kemaluan jangan menerpa. Dengan kawan hendaklah adil supaya tangannya jadi kafill.
Gurindam XI Ini gurindam pasal yang kesebelas: Hendaklah berjasa, kepada yang sebangsa. Hendaklah jadi kepala, buang perangai yang cela. Hendaklah memegang amanat, buanglah khianat. Hendak marah, dahulukan hajat. Hendak dimulai, jangan melalui. Hendak ramai, murahkan perangai.
Gurindam XII Ini gurindam pasal yang kedua belas: Raja mufakat dengan menteri, seperti kebun berpagarkan duri. Betul hati kepada raja, tanda jadi sebarang kerja. Hukum adil atas rakyat, tanda raja beroleh inayat. Kasihan orang yang berilmu, tanda rahmat atas dirimu. Hormat akan orang yang pandai, tanda mengenal kasa dan cindai. Ingatkan dirinya mati, itulah asal berbuat bakti. Akhirat itu terlalu nyata, kepada hati yang tidak buta.
Raja Ali Haji, A Teeuw dan Gorrys Keraf
Oleh: Nuim Hidayat (Pengajar Pesantren Husnayain)
Seperti biasa tiap Senin pagi saya bersama beberapa Ustadz mengajar ke Pesantren Husnayain Sukabumi, Saya di pesantren itu diamanahi mengajar bahasa Indonesia untuk murid-murid SMA. Tapi kadangkala juga disuruh mengajar Tauhid, Sejarah dan lain-lain, seperti pada semester-semester lalu. Murid di pesantren itu tidak begitu banyak. Rata-rata santrinya sekelas kurang dari 20 orang. Bila pelajaran, mereka laki-laki dan perempuan kumpul dalam kelas. Laki-laki di depan, perempuan di belakang.
Dulu pernah ada niat untuk memisahkan laki-laki dan perempuan -atau baniin dan banaat, istilah popular di pesantren itu—tapi karena gurunya kurang, kini dicampur lagi.
Meski dicampur interaksi baniin dan banaat dijaga ketat. Bila ketahuan mereka pacaran –misalnya berduaan di tempat sepia tau berboncengan motor- pesantren tak segan-segan akan mengeluarkannya. Meski total jumlah santri tidak begitu banyak, tapi saya melihat semangat dalam diri mereka menyala dalam belajar. Mereka tiap hari latihan bicara bahasa Arab atau Inggris. Kosa kata ‘bahasa asing’ hampir tiap hari diberikan untuk dihafalkan. Untuk semakin memperlancar bahasa lain, mereka sering mengadakan latihan pidato dalam bahasa Arab/Inggris. Latihan ini diikuti oleh semua santri dan masing-masing mereka gantian ke depan mempersembahkan pidato terbaiknya. Saya pernah mengikuti acara ini –pada malam hari—serunya bukan main. Saya melihat hampir tidak ada yang malu atau grogi dalam latihan pidato itu. Mereka bertepuk tangan atau tertawa riang bila kawannya yang ngomong berbahasa asing itu salah ucap atau bingung memperpanjang ceramahnya.
Pesantren ini memang ingin mengadopsi Gontor dalam kurikulumnya. Terutama kurikulum pondoknya. Jadi ada pelajaran pondok, ada pelajaran umum. Cukup padat memang. Apalagi kurikulum SMA umum diberikan full di situ. Jam pelajaran dimulai dari 7.30 pagi sampai 15.00, dengan istirahat dua kali. Jam 09.00-09.30 dan 12.00-13.30. Tapi saya melihat kebanyakan santri disitu (entah saya lebih suka menyebutnya murid, karena lebih membawa makna), semangat dalam belajar. Apalagi kalau diberikan tanya jawab atau kuiz. Mereka akan saling berlomba menjawabnya. Dalam pelajaran ekstranya, mereka mendapat materi jurnalistik, pencak silat/’wushu’, olahraga, hafalan Al Qur’an, latihan pidato bahasa asing, pramuka dan lain-lain.
000
Saya terus terang sebenarnya tidak begitu ahli dalam pelajaran bahasa Indonesia ini. Mungkin karena saya senang menulis, saya diamanahi materi ini. Saya lebih suka mengajar jurnalistik sebagaimana pengalaman saya selama ini mengajar di STID Mohammad Natsir, UIKA Bogor atau Az Zahra. Tapi di pesantren pelajaran itu hanya ekstra. Dari beberapa semester saya mengajar bahasa Indonesia, buku teks atau kurikulumnya tidak begitu bagus. “kering” dan bisa membuat bosan murid. Bahkan saya melihat materi-materi tentang drama terlalu banyak. Saya menangkap Diknas sendiri ‘bingung’ membuat materi bahasa Indonesia. Maka dalam Ujian Nasional, yang keluar hanya sedikit dari buku teks. Kebanyakan analisa kalimat atau logika. Logikanya pun kadang-kadang ‘linier’ alias tidak memberi kesempatan murid untuk memahami berbeda dalam kalimat bacaan itu. Saya pernah mendiskusikan soal-soal ujian Nasional bahasa Indonesia ini dengan beberapa teman dan kesimpulannya sama, banyak soal yang mestinya bisa dijawab lebih dari satu jawaban.
Yang menyedihkan buat saya adalah lepasnya pendidikan bahasa sekarang ini dari ruh Islam. Pelajaran bahasa sekarang didominasi oleh pakar-pakar Belanda atau sekuler. Maka tokoh-tokoh dalam bahasa Indonesia adalah Prof A Teeuw dan Gorys Keraf. Mereka telah berhasil membuat bahasa Indonesia ini menjadi sekuler. Yakni belajar bahasa hanya belajar tentang struktur kalimat, komposisi, diksi atau lainnya. Tidak ada sedikitpun dalam pelajaran bahasa dikaitkan dengan akhlak atau bahkan tauhid.
Padahal peletak dasar pertama kaidah-kaidah bahasa Indonesia sebenarnya adalah Raja Ali Haji. Ulama, sastrawan, penasehat raja dan ahli hikmah. Ia dilahirkan di Riau 1808 dan meningal dunia 1873. Karya-karyanya berbobot dan ditulis dalam bahasa Arab Melayu. Bila menulis tentang bahasa, syair/gurindam selalu ia kaitkan dengan nilai-nilai dalam ajaran Islam. Bandingkan bila dia menulis dengan pakar-pakar Belanda itu atau pakar-pakar bahasa Indonesia sekarang.
Dalam sebuah bukunya –kebetulan saya dapatkan dari salah seorang professor ketika berkunjung ke Universiti Kebangsaan Malaysia—ia menyatakan bahwa belajar bahasa itu tujuannya adalah untuk semakin makrifat kepada Allah. Yakni menambah keimanan. Apakah ada dalam kurikulum bahasa Diknas sekarang? Maknanya dalam pelajaran bahasa, karena bahasa ini adalah simbol dari fakta atau ‘benda-benda’ di alam ini, maka semestinyalah dengan belajar bahasa orang akan semakin mengagumi pencipta-Nya. Apalagi proses berbahasa lewat alat indera yang diberikan Allah kepada kita.
Sekarang ini tujuan orang belajar bahasa –bahasa Indonesia atau lainnya—kebanyakan semata-mata tujuannya adalah materi. Sebagai alat komunikasi atau penyebaran ide belaka. Banyak orang belajar bahasa akhlaknya makin buruk dan seterusnya. Karena pelajaran bahasa telah rusak, maka akhlak pelajar kini banyak yang rusak. Dan yang timbul bukan bahasa-bahasa yang beradab, tapi bahasa yang biadab. Maka popular lah kemudian bahasa-bahasa kasar atau bahasa prokem yang tidak mempunyai makna yang berarti.
Maka dalam pelajaran bahasa, saya sering mengingatkan murid-murid tentang Raja Ali Haji ini. Karya Gurindamnya seringkali saya suruh baca mereka di depan kelas. Dan saya kadang-kadang juga memberikan mereka latihan untuk membuat gurindam, pantun, puisi dan lain-lainnya dengan maksud agar suatu saat lahir kembali tokoh seperti Raja Ali Haji ini. Begitu hebatnya Raja Ali Haji ini, seorang professor dari Malaysia dengan ‘telaten’ mau menerjemahkan karyanya kata per kata dalam bahasa Melayu. Ia pun dalam pengantarnya menyatakan begitu terkesan dengan karya Raja Ali Haji ini.
000
Sore kemarin bertepatan dengan 17 Ramadhan 1433H, saya hadir di acara buka bersama Pesantren Husnayain. Acara ini hampir sepenuhnya diinisiatif oleh para santri sendiri. Terutama oleh murid senior kelas III SMA. Mulai dari penggalangan dana, penyebaran undangan ke masyarakat, jadwal acara dan lain-lain. Lebih dari dua ratus orang hadir pada acara itu. Diantaranya puluhan anak yatim. Dalam acara ini memang mereka sengaja diundang untuk diberikan santunan sekedarnya agar mereka turut merasakan kebahagiaan di bulan suci ini.
Yang menarik dalam acara itu, adalah ceramah dari pimpinan pesantren KH Ahmad Kholil Ridwan menjelang buka puasa. Dalam ceramahnya ini ia menguraikan tentang lafadz ‘kutiba’ dalam Al Qur’an, terutama dalam surat Al Baqarah. Di surat ini, terdapat empat lafadz kutiba (diwajibkan/kewajiban). Pertama tentang kewajiban puasa, kewajiban menjalankan hukum qishash, kewajiban berperang dan kewajiban menuliskan wasiat sebelum meninggal.
Kiyai Kholil menjelaskan materi ini ia sampaikan, karena pernah pada suatu saat ia ceramah, panitianya berpesan agar tidak membahas lagi tentang ayat ‘kutiba alaikumus shiyam’, bosan katanya. Meski ia mempertanyakan tentang tidak bolehnya bosan kepada ayat Al Qur’an, tapi ia selama hampir setahun merenung dan akhirnya menemukan tentang makna kutiba dalam surat al Baqarah. Jadi, menurutnya, kewajiban itu bukan puasa saja, tapi juga menegakkan syariat-syariat Allah yang lain, seperti penegakan hukum qishash bagi pembunuh, hukum jihad dan lain-lain. “Karena itu saya berpesan kepada santri-santri Husnayain agar setelah lulus nanti menjadi penegak-penegak syariat Allah di Indonesia,”tegasnya.
Ketua MUI ini mengingatkan bahwa kini telah berdiri Bank Syariat, Pengadilan Agama dan lain-lain, kenapa tidak sekalian menegakkan syariat Allah yang lain. “Bila hukum qishash ditegakkan, maka tidak usah memberi makan para pembunuh itu sampai dua puluh tahun atau seumur hidup. Uang rakyat jadi tersedot untuk makan mereka, padahal masih banyak rakyat yang miskin dan kelaparan butuh makan,”urainya. Ia juga prihatin kenapa pemerintah SBY masih terus memilih hukum peninggalan Belanda daripada hukum Islam. Padahal bila pembunuh dihukum bunuh (qishash) justru akan meminimalkan banyaknya kasus pembunuhan di Indonesia. Karena orang menjadi ngeri bila mau membunuh. “Walakum filqishaashi yaa Uulil Albaab”, Dan pada hukum qishash itu ada kehidupan wahai Ulil Albab (wahai orang mempunyai otak), kata Al Qur’an.
000
Begitulah sedikit pengalaman mengajar di Pesantren Husnayain, yang mungkin merupakan pesantren dengan view terindah di Indonesia. Karena pesantren ini di belakangnya persis adalah bukit-bukit perkebunan teh Jayanegara, Sukabumi. Karena begitu indah pemandangannya, perusahaan gas Amerika Chevron menempatkan kantor dan pabriknya persis di puncak bukit perkebunan teh itu. Saya akhiri tulisan ini dengan Gurindam dari tokoh bahasa kita Raja Ali Haji. Semoga banyak manfaatnya. Wallaahu aliimun hakim.
* Gurindam I Ini gurindam pasal yang pertama:
Barang siapa tiada memegang agama, sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama. Barang siapa mengenal yang empat, maka ia itulah orang yang ma'rifat Barang siapa mengenal Allah, suruh dan tegahnya tiada ia menyalah. Barang siapa mengenal diri, maka telah mengenal akan Tuhan yang bahri. Barang siapa mengenal dunia, tahulah ia barang yang teperdaya. Barang siapa mengenal akhirat, tahulah ia dunia mudarat.
Gurindam II Ini gurindam pasal yang kedua: Barang siapa mengenal yang tersebut, tahulah ia makna takut. Barang siapa meninggalkan sembahyang, seperti rumah tiada bertiang. Barang siapa meninggalkan puasa, tidaklah mendapat dua termasa. Barang siapa meninggalkan zakat, tiadalah hartanya beroleh berkat. Barang siapa meninggalkan haji, tiadalah ia menyempurnakan janji.
Gurindam III Ini gurindam pasal yang ketiga: Apabila terpelihara mata, sedikitlah cita-cita. Apabila terpelihara kuping, khabar yang jahat tiadalah damping. Apabila terpelihara lidah, niscaya dapat daripadanya faedah. Bersungguh-sungguh engkau memeliharakan tangan, daripada segala berat dan ringan. Apabila perut terlalu penuh, keluarlah fi'il yang tiada senonoh. Anggota tengah hendaklah ingat, di situlah banyak orang yang hilang semangat Hendaklah peliharakan kaki, daripada berjalan yang membawa rugi.
Gurindam IV Ini gurindam pasal yang keempat: Hal kerajaan di dalam tubuh, jikalau lalim segala anggotapun rubuh. Apabila dengki sudah bertanah, datanglah daripadanya beberapa anak panah. Mengumpat dan memuji hendaklah pikir, di situlah banyak orang yang tergelincir. Pekerjaan marah jangan dibela, nanti hilang akal di kepala. Jika sedikitpun berbuat bohong, boleh diumpamakan mulutnya itu pekong. Tanda orang yang amat celaka, aib dirinya tiada ia sangka. Bakhil jangan diberi singgah, itupun perampok yang amat gagah. Barang siapa yang sudah besar, janganlah kelakuannya membuat kasar. Barang siapa perkataan kotor, mulutnya itu umpama ketur2. Di mana tahu salah diri, jika tidak orang lain yang berperi.
Gurindam V Ini gurindam pasal yang kelima: Jika hendak mengenai orang berbangsa, lihat kepada budi dan bahasa, Jika hendak mengenal orang yang berbahagia, sangat memeliharakan yang sia-sia. Jika hendak mengenal orang mulia, lihatlah kepada kelakuan dia. Jika hendak mengenal orang yang berilmu, bertanya dan belajar tiadalah jemu. Jika hendak mengenal orang yang berakal, di dalam dunia mengambil bekal. Jika hendak mengenal orang yang baik perangai, lihat pada ketika bercampur dengan orang ramai.
Gurindam VI Ini gurindam pasal yang keenam: Cahari olehmu akan sahabat, yang boleh dijadikan obat. Cahari olehmu akan guru, yang boleh tahukan tiap seteru. Cahari olehmu akan isteri, yang boleh dimenyerahkan diri. Cahari olehmu akan kawan, pilih segala orang yang setiawan. Cahari olehmu akan abdi, yang ada baik sedikit budi,
Gurindam VII Ini Gurindam pasal yang ketujuh: Apabila banyak berkata-kata, di situlah jalan masuk dusta. Apabila banyak berlebih-lebihan suka, itulah landa hampirkan duka. Apabila kita kurang siasat, itulah tanda pekerjaan hendak sesat. Apabila anak tidak dilatih, Jika besar bapanya letih. Apabila banyak mencela orang, itulah tanda dirinya kurang. Apabila orang yang banyak tidur, sia-sia sahajalah umur. Apabila mendengar akan khabar, menerimanya itu hendaklah sabar. Apabila mendengar akan aduan, membicarakannya itu hendaklah cemburuan. Apabila perkataan yang lemah-lembut, lekaslah segala orang mengikut. Apabila perkataan yang amat kasar, lekaslah orang sekalian gusar. Apabila pekerjaan yang amat benar, tidak boleh orang berbuat onar.
Gurindam VIII Ini gurindam pasal yang kedelapan: Barang siapa khianat akan dirinya, apalagi kepada lainnya. Kepada dirinya ia aniaya, orang itu jangan engkau percaya. Lidah yang suka membenarkan dirinya, daripada yang lain dapat kesalahannya. Daripada memuji diri hendaklah sabar, biar dan pada orang datangnya khabar. Orang yang suka menampakkan jasa, setengah daripada syarik mengaku kuasa. Kejahatan diri sembunyikan, kebalikan diri diamkan. Keaiban orang jangan dibuka, keaiban diri hendaklah sangka.
Gurindam IX Ini gurindam pasal yang kesembilan: Tahu pekerjaan tak baik, tetapi dikerjakan, bukannya manusia yaitulah syaitan. Kejahatan seorang perempuan tua, itulah iblis punya penggawa. Kepada segaia hamba-hamba raja, di situlah syaitan tempatnya manja. Kebanyakan orang yang muda-muda, di situlah syaitan tempat berkuda. Perkumpulan laki-laki dengan perempuan, di situlah syaitan punya jamuan. Adapun orang tua yang hemat, syaitan tak suka membuat sahabat Jika orang muda kuat berguru, dengan syaitan jadi berseteru.
Gurindam X Ini gurindam pasal yang kesepuluh: Dengan bapa jangan durhaka, supaya Allah tidak murka. Dengan ibu hendaklah hormat, supaya badan dapat selamat. Dengan anak janganlah lalai, supaya boleh naik ke tengah balai. Dengan isteri dan gundik janganlah alpa, supaya kemaluan jangan menerpa. Dengan kawan hendaklah adil supaya tangannya jadi kafill.
Gurindam XI Ini gurindam pasal yang kesebelas: Hendaklah berjasa, kepada yang sebangsa. Hendaklah jadi kepala, buang perangai yang cela. Hendaklah memegang amanat, buanglah khianat. Hendak marah, dahulukan hajat. Hendak dimulai, jangan melalui. Hendak ramai, murahkan perangai.
Gurindam XII Ini gurindam pasal yang kedua belas: Raja mufakat dengan menteri, seperti kebun berpagarkan duri. Betul hati kepada raja, tanda jadi sebarang kerja. Hukum adil atas rakyat, tanda raja beroleh inayat. Kasihan orang yang berilmu, tanda rahmat atas dirimu. Hormat akan orang yang pandai, tanda mengenal kasa dan cindai. Ingatkan dirinya mati, itulah asal berbuat bakti. Akhirat itu terlalu nyata, kepada hati yang tidak buta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar