Oleh: Nuim Hidayat (Dosen STID Moh Natsir,
Jakarta)
Masalah
nyanyian atau musik dalam Islam seringkali menjadi kontroversi. Ada yang
membolehkannya secara terbatas,tapi ada
pula yang mengharamkannya secara mutlak.
Bagaimana hukum nyanyian dan musik dalam Islam? Syekh Abdurrahman Al
Baghdadi menguraikan dengan lugas dan jelas masalah ini. Berikut ringkasan bukunya ‘Seni dalam Pandangan Islam’
.
Pakar Fiqih
Islam ini menuliskan dalil-dalil dari kalangan ulama baik yang mengharamkan
maupun yang membolehkan. Kemudian ia mentarjihnya dan mengambil kesimpulan. Ia
berkesimpulan bahwa bagi yang telah mengkaji serius masalah hukum musik ini dan
menarik suatu kesimpulan, maka itu menjadi hukum syara’ baginya. Apakah itu haram, makruh atau mubah. Dengan
kata lain, seorang mujtahid terikat dengan ijtihadnya, begitulah kaidah ushul
menyatakan.
Mereka yang
mengharamkan nyanyian dan musik ini diantaranya adalah Imam Ibnu al Jauzi, Imam
Qurthubi dan Imam asy Syaukani. Sedang yang membolehkan musik adalah Imam
Malik, Imam Ja’far, Imam al Ghazali dan Imam Daud azh Zhahiri.
Masing-masing
mereka menggunakan dalil al Qur’an dan Hadits. Kalangan yang mengharamkan
diantaranya menggunakan dalil:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ
لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ
لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ
“Dan diantara manusia (ada) orang yang
mempergunakan perkataan yang tidak berguna (lahualhadits) untuk menyesatkan
(manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu
olok-olokkan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” (Luqman 6)
وَاسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ
“Dan bujuklah siapa yang kamu sanggupi diantara
mereka dengan suaramu (shautika)” (al Isra’ 64)
Dan juga
beberapa hadits Rasulullah saw:
“Sesungguhnya akan terdapat di kalangan umatku
golongan yang menghalalkan zina, sutra, arak dan alat permainan (musik).
Kemudian segolongan (dari kaum Muslimin) akan pergi ke tebing bukit yang
tinggi. Lalu para penggembala dengan ternak kambingnya mengunjungi golongan
tersebut. Lalu mereka didatangi oleh seorang fakir untuk meminta sesuatu.
Ketika itu mereka kemudian berkata,”Datanglah kepada kami esok hari.” Pada
malam hari Allah membinasakan mereka, dan menghempaskan bukit itu ke atas
mereka. Sisa mereka yang tidak binasa pada malam tersebut ditukar rupanya
menjadi monyet dan babi hingga hari kiamat.” (HR Bukhari).
“Pada umat ini berlaku tanah longsor,
pertukaran rupa dan kerusuhan.” Bertanya salah seorang diantara kaum
Muslimin,”Kapankah yang demikian itu terjadi, ya Rasulullah?” Beliau
menjawab,”Apabila telah muncul biduanita, alat-alat musik dan minuman arak di
tengah-tengah kaum Muslimin.”
Sedangkan
ulama yang membolehkan nyanyian dan musik ini menggunakan dalil:
إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ
“…dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya
seburuk-buruk suara adalah bunyi keledai.” (Luqman 19)
Imam
Ghazali mengambil pengertian ayat ini dari mafhum mukhalafah. Allah SWT memuji
suara yang baik. Dengan demikian dibolehkan mendengarkan nyanyian yang baik. (Ihya’ Ulumudddin, juz VI, jilid II, hal.
141).
Hadits
Bukhari, Tirmidzi, Ibnu Majah dan lain-lain dar Rubayyi’ binti Muawwiz Afra:
“Rubayyi’ berkata bahwa Rasulullah saw datang
ke rumah pada pesta pernikahannya. Lalu Nabi saw duduk di atas tikar. Tak lama
kemudian beberapa orang dari jariah (wanita budak) nya segera memukul rebana
sambil memuji-muji (dengan menyenandungkan) orang tuanya yang syahid di medan
perang Badar. Tiba-tiba salah seorang dari jariah berkata,”Diantara kita ini
ada Nabi saw yang dapat mengetahui apa yang akan terjadi pada esok hari.”
Tetapi Rasulullah saw segera bersabda,”Tinggalkanlah omongan itu. Teruskanlah
apa yang kamu (nyanyikan) tadi.”
Hadits
Bukhari dan Muslim dari Aisyah ra:
“Pada suatu har Rasulullah saw masuk ke
tempatku. Ketika itu di sampingku ada dua gadis perempuan budak yang sedang
mendendangkan nyanyian (tentang hari Buats). Kulihat Rasulullah saw berbaring
tapi dengan memalingkan mukanya. Pada sat itulah Abu Bakar masuk dan ia marah
kepadaku. Katanya,”Di tempat/rumah Nabi ada seruling setan?” Mendengar seruan
itu Nabi lalu menghadapkan mukanya kepada Abu Bakar seraya berkata,
“Biarkanlah keduanya, hai Abu Bakar.”
Tatkala Abu Bakar tidak memperhatikan lagi maka
aku suruh kedua budak perempuan itu keluar. Waktu itu adalah hariraya dimana
orang-orang Sudan sedang menari dengan memainkan alat-alat penangkis dan
senjata perangnya (di dalam masjid).”
Hadits
riwayat Imam Ahmad, Bukhari dan Muslim dari Aisyah ra. Katanya,”Aku pernah mengawinkan seorang wanita dengan seorang laki-laki
dari kalangan Anshar. Maka Nabi saw bersabda,
“Hai Aisyah, tidak adakah padamu hiburan
(nyanyian) karena sesungguhnya orang-orang Anshar senang dengan hiburan
(nyanyian).”
Dalam
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad terdapat lafaz:
“Bagaimana kalau diikuti pengantin itu oleh
(orang-orang) wanita untuk bernyanyi sambil berkata dengan senada: “Kami datang
kepadamu. Hormatilah kami dan kami pun menghormati kamu.Sebab kaum Anshar
senang menyanyikan (lagu) tentang wanita.”
Karena itu,
menurut Syekh Abdurrahman al Baghdadi:
“Bertolak
dari dasar hukum inilah maka mendengar atau memainkan alat-alat musik atau
menyanyi mubah selama tidak terdapat suatu dalil syar’I yang menunjukkan bahwa
pekerjaan tersebut haram atau makruh. Mengenai menyanyi atau memainkan alat musik
dengan atau tanpa nyanyian, tidak terdapat satu pun nash, baik dari Al Qur’an
maupun sunnah Rasul yang mengharamkannya dengan tegas. Memang ada sebagian dari
para sahabat, tabiin dan ulama yang mengharamkan sebagian atau seluruhnya
karena mengartikannya dari beberapa nash tertentu. Diantara mereka ada yang
menyatakan bahwa hal tersebut makruh, sedangkan yang lain mengatakan hukumnya
mubah.
Adapun
nash-nash (dalil-dalil) yang dijadikan alasan oleh mereka yang mengharamkan
seni suara dan musik bukanlah dalil-dalil yang kuat. Sebagaimana telah
disebutkan di atas, tidak ada satu dalil pun yang berbicara secara tegas dalam
hal ini. Dengan demikian tidak ada
seorang manusia pun yang wajib diikuti selain dari pada Rasulullah saw. Beliau
sendiri tidak mengharamkannya. ..Oleh karena itu Imam Abu Bakar Ibnul Arabi
(dalam Ahkamul Qur’an jilid III, hal. 1053-1054) menyatakan: “Tidak terdapat
satu dalil pun di dalam Al Qur’an maupun Sunnah Rasul yang mengharamkan
nyanyian. Bahkan hadits shahih (banyak yang) menunjukkan kebolehan nyanyian
itu. Setiap hadits yang diriwayatkan maupun ayat yang dipergunakan untuk
menunjukkan keharamannya maka ia adalah bathil dari segi sanad, bathil juga
dari segi I’tiqad, baik ia bertolak dari nash maupun dari satu penakwilan.”
Tentang
surah Luqman ayat 6 yang dijadikan dalil untuk haramnya nyanyian, menurut pakar
fiqh yang bukunya puluhan ini, ayat itu tidak terkait dengan nyanyian. “Tetapi
ayat tersebut berkaitan erat dengan sikap orang-orang kafir yang berusaha
menjadikan ayat-ayat Allah SWT sebagai sendau gurau,”terangnya.
Sedangkan
tentang hadits Imam Bukhari, menurut Syekh Abdurrahman : “…maksud hadits Imam
Bukhari tersebut jatuh pada segolongan orang-orang dari kaum Muslimin yang
berani menghalalkan pengggunaan alat-alat musik di luar batas-batas yang telah
digariskan syara’. Misalnya memainkannya di tempat umum (televisi, stadion,
atau panggung-panggung pertunjukan terbuka lainnya), bukan di tempat dan acara
khusus, seperti pada acara pesta pernikahan, di rumah-rumah. Dengan kata lain,
syara’ membolehkan biduanita budak menyanyi untuk pemiliknya dan atau para
wanita lainnya dalam acara pernikahan. Boleh saja salah seorang diantara
anggota keluarga pengantin ikut bernyanyi, tetapi syara’ tidak membolehkan ada
penyanyi wanita bayaran sebagaimana yang umum terjadi sekarang ini.”
Meski
demikian tidak boleh wanita yang mengadakan pertunjukan itu membuka auratnya,
berkumpul bebas laki-laki dan perempuan, membuat suara-suara yang merangsang
dan lain-lain.
Imam Ibnu
Hazm menyatakan:
“Jika belum
ada perincian dari Allah SWT maupun RasulNya tentang haramnya sesuatu yang kita
bincangkan di sini (dalam hal ini adalah nyanyian dan menggunakan alat-alat musik),
maka telah terbukti bahwa ia adalah halal atau boleh secara mutlak.”
Meski
demikian, Syekh Abdurrahman membagi nyanyian ke dalam dua jenis. Nyanyian haram
dan nyanyian halal. Nyanyian haram, nyanyian yang disertai dengan perbuatan
haram atau mungkar, semisal minuman khamr, menampilkan aurat wanita atau
nyanyiannya berisi syair yang bertentangan dengan aqidah atau melanggar etika
kesopanan Islam. Contoh untuk ini adalah syair lagu kerohanian agama selain
Islam, lagu asmara, lagu rintihan cinta yang membangkitkan birahi, kotor dan
porno. Tak peduli apakah nyanyian itu berbentuk vocal atau diiringi dengan musik,
baik yang dinyanyikan laki-laki atau wanita.”
Sedangkan nyanyian halal (baik diikuti alat musik atau
tidak –pen), adalah nyanyian yang syairnya membangkitkan semangat perjuangan
(jihad), atau nyanyian yang syairnya
menunjukkan ketinggian ilmu para ulama dan keistimewaan mereka, atau nyanyin
yang yang memuji saudara-saudara maupun sesama
teman dengan cara menonjolkan sifat-sifat mulia yang mereka miliki, atau juga
nyanyian yang melunakkan hati kaum Musimin terhadap agama atau yang mendorong
mereka untuk berpegang teguh kepada ajaran-ajaran Islam dan bahaya yang akan
menimpa orang yang melanggarnya. Begitu
pula macam-macam nyanyian yang membicarakan tentang keindahan alam atau yang membicarakan
tentang persoalan ilmu, menunggang kuda dan lain-lain.
Selain itu
nyanyian halal tidak boleh diikuti dengan hal-hal yang haram. Tidak diisi
dengan kata-kata yang memuji kecantikan wanita, kata-kata yang mengajak
pacaran, main cinta/asmara atau disertai dengan mabuk-mabukan, diadakan di
tempat-tempat maksiyat atau bercampurnya laki-laki dan perempuan, klub malam,
diskotik dan lain-lain.
Meski
penulis membolehkan mendengarkan ‘lagu-lagu asmara’ asal tidak mengganggu jiwa
pendengarnya (beda antara menyanyikan/membuat dan mendengarkan dalam rekaman),
tapi penulis mengharapkan Negara melarang nyanyian-nyanyian seperti itu, yang
dapat membahayakan jiwa para remaja. Selain itu Negara harus:
Melarang
setiap nyanyian, rekaman dan tarian yang mengajak orang untuk minum arak,
bergaul bebas, berpacaran, bermain cinta atau bunuh diri karena putus asa.
2.
Melarang
setiap nyanyian dan tarian yang disertai dengan omongan kotor dan cabul yang
mengarah kepada perbuatan-perbuatan dosa atau membangkitkan birahi seksual.
3.
Melarang
setiap nyanyian dan tarian yang disertai dengan perbuatan-perbuatan haram,
seperti minum khamr, percampuran antara lelaki dan wanita.
4.
Lagu-lagu
dan kaset-kaset Barat dilarang beredar dan para penyanyinya tidak diijinkan
melakukan pertunjukan (show) di negeri-negeri Islam.
5.
Setiap
tempat pertunjukan untuk menyanyi dan menari, seperti klub malam, bar dan
diskotik harus ditutup dan tidak diberi ijin membukanya oleh pemerintah. Begitu
pula halnya dengan panggung-panggung terbuka. Dll.
Sejarah Musik
Yang menarik penulis juga menyajikan sedikit tentang sejarah musik.
Menurut Syekh Abdurrahman, khilafah
Islam terdahulu tidak pernah melarang rakyatnya mempelajari seni suara dan
musik. Mereka dibiarkan mendirikan sekolah-sekolah musik dan membangun pabrik alat-alat
musik. Mereka diberikan gairah untuk mengarang buku-buku tentang seni suara,
musik dan ‘tari’.
Perhatian kea rah pendidikan musik telah dicurahkan sejak akhir masa
Daulah Umawiyah yang kemudian dilanjutkan pada masa kekhilafahan Abbasiyah. Sehingga
di berbagai kota banyak berdiri sekolah musik dengan berbagai tingkat
pendidikan, mulai dari tingkat menengah sampai ke perguruan tinggi. Pabrik
alat-alat musik dibangun di berbagai negeri Islam. Sejarah telah mencatat bahwa
pusat pabrik pembuatan alat-alat musik yang sangat terkenal ada di kota Sevilla
(Andalusia atau Spanyol).
Catatan tentang kesenian umat Islam begitu banyak disebut orang. Para
penemu dan pencipta alat musik Islam juga cukup banyak jumlahnya, yang muncul
sejak pertengahan abad kedua hijriah, misalnya Yunus al Khatib yang meninggal
tahun 135H. Khalil bin Ahmad (170H), Ibnu an Nadiem al Naushilli (235H), Hunain
ibnu Ishak (264H), dan lain-lain.
Bahkan dalam buku ‘Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Kebudayaan’ (Islamic and Arab Contribution to the
European Renaissance) karya Komisi Nasional Mesir untuk Unesco (Penerbit
Pustaka, 1986), disebutkan tentang berbagai pengaruh peradaban Islam ini ke
Eropa. Termasuk bidang seni dan musik.
“Musisi Eropa dikirimkan ke ibukota-ibukota Arab untuk mempelajari ilmu
dan seni di lembaga-lembaga dan universitas Arab. Musik menempati tempat utama
diantara seni-seni dan ilmu-ilmu yang mereka pelajari. Karya-karya Al Kindi
diterjemahkan, begitu pula karya Tsabit ibn Qurra, Zakaria al Razi, al Farabi,
Ikhwan al Shafa, Ibn Sina, Safiuddin al Ma’mun al Aramawi, Ibn Bajjah
(Avenpace) dan lain-lain…Mereka membawa pulang ke negerinya seni musik dan
alat-alat musik Arab tu, yang menjadi fondasi pertama bagi Renaissance dalam
bidang seni di Eropa. Ilmu musik Arab dapat dianggap sebagai obor yang
menerangi jalan bagi seni Eropa pada masa itu,”tulis Dr Mahmud Ahmad al Hifni
dalam buku itu.
Lebih lanjut ia menyatakan: “Peradaban Arab (Islam –pen) mempesona para
pemuda dan kaum intelektual Eropa sedemikian rupa sehingga seorang pendeta dari
Kordoba pada abad ke 9M dilaporkan sebagai telah mengeluh bahwa pemuda-pemuda
Kristen lebih tertarik kepada bahasa Arab daripada bahasa Ltin, bahasa budaya
di Eropa pada masa itu. Selain itu, mereka juga menyanyikan nyanyian-nyanyian
Arab dalam perkumpulan-perkumpulan dan pertemuan-pertemuan social mereka.”
(hlm. 380).
Dr Mahmud melanjutkan: “Banyak instrumen Arab lainnya yang diimpor oleh
Eropa. Lengkap dengan nama Arabnya, seperti quittara (guitar), nacaire atau
naker (keledrum), adufe (tambourine), Sonja (cymbals), anafil (born, dari kata
Arab qarn), table atau taber (drum) dan echiquier yang dipandang oleh ahli-ahli
musik Eropa sebagai tahap pertama dalam perkembangan piano.”
Memang peradaban Islam saat itu yang tinggi di dunia Arab dan Andalusia
membuat Eropa banyak belajar kepada orang-orang Islam baik dalam bidang ilmu
pengetahuan maupun budaya, termasuk seni musiknya. Sayangnya kini musik sudah
banyak melenceng jauh dari Islam. Musik tidak digunakan lagi sebagai alat
dakwah, alat jihad atau alat untuk lebih mencintai Allah-RasulNya, mencintai
ilmu dan seterusnya, Tapi musik sekedar untuk hura-hura belaka dan bahkan
banyak yang menyeleweng dari kaidah-kaidah Islam.
Karena itu, saatnyalah kini kaum Muslim mengembalikan musik ini kepada
kaidah-kaidah Islam. Sehingga muncul musisi atau musik yang bernafaskan Islam,
seperti Raihan, Bimbo, Izzatul Islam,
Maher Zain dan lain-lain. Dan kita pun seperti tokoh besar Islam Mohammad
Natsir, bisa mendengarkan musik-musik klasik (instrumen atau musik-musik
Islami) ketika berdakwah, menulis, membaca buku atau aktivitas manfaat lainnya.
Wallaahu A’lam Bishawab.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar