Oleh: Nuim Hidayat (Penulis Buku
‘Imperialisme Baru’)
Suatu ketika sahabat Abdullah bin
Zubair berkata,” “Suatu malam aku sedang menemani Umar bin Khattab berpatroli
di Madinah. Ketika ia merasa lelah, ia bersandar ke sebuah dinding di malam
gelap buta, Ia mendengar suara seorang wanita berkata kepada putrinya, ‘Wahai
putriku, campurlah susu itu dengan air.’ Maka putrinya menjawab, ‘Wahai ibunda,
apakah engkau tidak mendengar maklumat Amirul Mukminin?’ Ibunya bertanya, ‘Wahai
putriku, apa maklumatnya?’ Putrinya menjawab, ‘Dia memerintahkan petugas untuk
mengumumkan, hendaknya susu tidak dicampur dengan air.’ Ibunya berkata,
‘Putriku, lakukan saja, campur susu itu dengan air, kita di tempat yang tidak
dilihat oleh Umar dan petugas Umar.’ Maka gadis itu menjawab, ‘Ibu, Amriul
Mukminin memang tidak melihat kita. Tapi Rabb Amirul Mukminin melihatnya. “
Umar mendengar perbincangan ibu dan
anak itu. Maka ia menugaskan pengawalnya untuk menandai rumah itu dan mencari
informasi lebih lanjut tentang anak gadis itu. Setelah itu, Umar kemudian memanggil
putra-putranya dan mengumpulkan mereka, Umar berkata, ‘Adakah di antara kalian
yang ingin menikah?’ Ashim menjawab, ‘Ayah, aku belum beristri, nikahkanlah
aku.’ Maka Umar meminang gadis itu dan menikahkannya dengan Ashim. Dari
pernikahan inilah lahir seorang putri yang di kemudian hari menjadi ibu bagi
Umar bin Abdul Aziz. Sedangkan ayahnya adalah Abdul Aziz bin Marwan, salah
seorang gubernur yang shaleh dari Bani Umayah.
Umar bin Abdul Aziz terkenal dengan
kezuhudannya, kealimannya dan kepeduliannya yang tinggi terhadap urusan rakyat.
Suatu ketika seorang penduduk mengadukan kepada Umar tentang nasibnya. Ia
melaporkan bahwa ada pejabatnya yang telah merampas toko-tokonya. Pejabat itu lantas
dipanggil Umar dan kemudian ia memerintahkan pejabat itu untuk mengembalikan
toko itu kepada penduduk yang memilikinya. Tapi pejabat itu bandel, ia tidak
menaati perintah Umar.
Khalifah Umar kemudian memanggil
polisinya dan mengatakan,”Jika dia mengembalikan toko itu kepada pemiliknya,
maka tinggalkanlah dia. Tetapi bila orang itu (pejabat) masih membangkang juga,
maka pancunglah kepalanya.” Karena ancaman yang keras itu, akhirnya pejabat itu
mengembalikan toko itu kepada pemiliknya.
Kiyai Firdaus AN dalam bukunya Kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz
menceritakan, di masa Umar bin Abdul Aziz, terjadi fitnah adanya ‘saling
mencaci’ antara pengikut Sayidina Ali dan Bani Umayah. Pencacian itu
kadang-kadang dilakukan di mimbar-mimbar. Umar bersedih, karena ia mengetahui
kehebatan dan kealiman Sayidina Ali. Maka kemudian ia memerintahkan kepada
rakyatnya untuk menghentikan pengutukan terhadap Sayidina Ali dan menyuruh para
khatib untuk menggantinya dengan membaca surah an Nahl ayat 90 dan atau surah
al Hasyr ayat 10.
“Sesungguhnya Allah menyuruh berbuat adil dan berbuat
kebajikan (ihsan), member kepada kaum kerabat, dan Allah melarang perbuatan
keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia member pengajaran kepadamu agar kamu
dapat mengambil pelajaran.” (an Nahl 90)
“Ya Tuhan kami beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami
yang telah beriman lebih dahulu dari kami dan janganlah Engkau membiarkan
kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan Kami
sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (al Hasyr 10)
Untuk menjaga keadilan dan
kelancaran administrasi Negara, maka Umar bin Abdul Aziz melarang para gubernur
dan pejabat-pejabat berdagang untuk kepentingan pribadi, keluarga maupun
familinya. Umar menulis surat berikut: “Kami berpendapat, bahwa seorang Imam
(pemimpin Negara) tidak pantas untuk berdagang. Begitu pula tidak halal bagi
seorang gubernur untuk berdagang di dalam wilayah kekuasannya. Karena seorang
Amir bila ia berdagang ia akan mudah melakukan monopoli dan membenarkan
perbuatan yang merusak Negara, sekalipun ia berusaha keras untuk tidak berbuat
demikian.”
Untuk itu, agar para pejabatnya
tidak berbisnis dan tidak menyelewengkan uang negara, maka Umar memberikan gaji
yang cukup tinggi kepada para pejabatnya. Karena begitu makmurnya Negara saat
itu, hingga gaji para pejabat itu sampai ada yang berjumlah tiga ratus Dinar.
Memang kemakmuran dan keadilan
mewarnai Negara pada saat itu. Yahya Ibnu Said berkata,”Umar bin Abdul Aziz
telah mengutus aku ke Afrika Utara untuk membagi-bagikan zakat penduduk di
sana. Maka aku laksanakanlah perintah itu. Lalu aku cari orang-orang fakir
untuk kuberikan zakat itu pada mereka. Tetapi kami tidak mendapatkan seorangpun
juga dan kami tidak menemukan orang-orang yang menerimanya. Umar betul-betul
telah menjadikan rakyatnya kaya. Akhirnya kubeli dengan zakat itu beberapa
orang hamba sahaya yang kemudian kumerdekakan.”
Meski rakyatnya kaya, Umar hidup
sederhana. Kezuhudannya terkenal di seluruh penjuru wilayahnya. Ia member
anak-anaknya pakaian dan makanan yang sederhana. Sering anak-anak perempuannya
disuguhi dengan makanan kacang dan bawang merah, sambil dia menangis dan
berkata,”Apa gunanya wahai anak-anakku. Kalian hidup dengan mengecap
bermacam-macam makanan yang lezat, tetapi yang mempersiapkan itu karenanya
pergi masuk neraka.”
Umar memang umara yang sekaligus
ulama. Pendalamannya yang mendalam terhadap agama, menjadikannya pemimpin yang
adil, bijaksana dan menjadikan Islam bersinar terang karena pemimpin dan
masyarakat menerapkannya bersama. Ia bukan pemimpin yang zalim yang menyebabkan
agama menjadi rusak. Dalam Mukhtarul Haditsun
Nabawiyyah, Sayyid Ahmad Hasyimi mengutip hadits Rasulullah saw :
“Pernyakit agama ada tiga: orang yang faqih tapi fajir (suka berbuat dosa besar), imam yang jair (suka berbuat zalim) dan mujtahid yang jahil (bodoh).” HR Ad
Dailami dari Ibnu Abbas.
Karena itu, kakeknya Umar bin
Khattab pernah memberi nasehat kepada rakyatnya.”Perdalamlah ilmu agama,
sebelum kamu menjadi pemimpin.” (tafaqqahu
qabla an tusawwadu). Dan Umar bin Abdul Aziz pernah memberi kepada
gubernur-gubernurnya: “Adapun kemudian daripada itu, Allah Azza Wajalla telah
memuliakan pemeluk-pemeluknya dengan agama Islam, menjunjung tinggi mereka
serta menghormatinya. Sebaliknya mengecilkan dan merendahkan martabat
orang-orang yang menentang mereka itu. Dan Allah telah menjadikan mereka
sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk kepentingan umat manusia. Dari itu
janganlah sekali-kali kalian menyerahkan kepemimpinan mereka kepada orang-orang
dzimmi. Karena nanti mereka membelenggu tangan dan mengunci lisan orang Islam,
yang dengan begitu kalian berarti merendahkan mereka setelah Allah memuliakan
mereka dan menghinakan mereka setelah Allah meninggikan martabat mereka…”
Khalifah yang mulia ini lahir pada
63H (682M) dan hanya memerintah selama dua setengah tahun saja (717-720M). Ia
meninggal pada usia 38 tahun, karena diracun oleh sekawanan orang yang dendam
dengannya. Pembunuhnya berhasil ditangkap dan mengaku mendapat bayaran seribu
Dinar. Uang itu akhirnya dimintanya dan dimasukkan ke Baitul Mal.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar