Ketika masa reformasi
memang Amien Rais dielu-elukan. Amien yang fasih dalam bicara social dan
politik, menjadi magnet bagi mahasiswa dan masyarakat untuk mengakhiri
pemerintahan Soeharto.
Bagaimana pandangan
tokoh-tokoh Islam, terutama Masyumi dalam hal ini? Kebetulan penulis saat itu
menjadi wartawan Media Dakwah, sedikit banyak memahami pandangan tokoh-tokoh
itu tentang reformasi.
Setelah reformasi
bergulir, Mansur Suryanegara pernah berceramah di ruang bawah masjid Istiqlal.
Ia dengan tegas menyatakan bahwa reformasi ini adalah istilah Katolik. Tidak
ada dalam Islam. Penulis sendiri yang sempat mengamati gerakan awal reformasi
ini bergulir, khususnya di UI, memang yang terlibat dalam demo-demo menyerukan
reformasi bukanlah mahasiswa aktivis Lembaga Dakwah Kampus. Di UI Salemba, saat
itu terlihat mahasiswa-mahasiswa tidak berjilbab dan ‘mahasiswa non Islam’ yang
meneriakkan ‘reformasi-reformasi’.
Tokoh-tokoh yang
bergerak di kampus-kampus juga bukan tokoh mahasiswa Islam. Tapi jaringan
Famred dan ‘kelompok-kelompok kiri’ lainnya. Mereka begitu getol ingin
menggulingkan Soeharto karena mungkin balas dendam terhadap sikap Soeharto
terhadap PKI. Di sisi lain kelompok non Islam juga mengkhawatirkan adanya
kelompok Islam yang mulai mayoritas menguasai negeri ini. Munculnya Bank
Muamalat, Republika, ICMI dan naiknya jenderal-jenderal Muslim sangat
mengkhawatirkan mereka. Mereka yang sebelumnya menguasai negeri Islam ini,
merasa terganggu dengan naiknya Muslim ke panggung militer dan politik.
Kelompok-kelompok Moerdani tidak rela kelompok Prabowo-Wiranto-Feisal Tanjung
dan lain-lain mewarnai militer yang selama ini mereka kendalikan.
Kelompok CSIS yang
merupakan gang Katolik ternama, mereka tersingkirkan setelah Pak Harto dan
Habibie merestui pembentukan ICMI. Mereka menggandeng Gus Dur untuk melawan
ICMI dengan membentuk diantaranya ‘Fordem’, Forum Demokrasi. Ketika kelompok
politik Islam semakin kuat, maka mereka mulai membentuk strategi yang serius
untuk menumbangkan Pak Harto. Seorang saksi mengatakan pada penulis, ketika
awal reformasi bergulir, saatnya nanti akan dibuat konflik elit.
Dan tentu saja mereka
mesti mempunyai ‘wakil dari kelompok Islam’ yang dapat menyampaikan strategi
mereka. Mereka memilih Amien Rais. Kebetulan Amien juga getol sejak 2003 telah
mengkritisi Pak Harto karena Korupsi
Kolusi dan Nepotismenya. Bertemulah dua
kepentingan itu. Kelompok non Islam yang ingin menggulingkan Pak Harto karena
terlalu dekat dengan Islam, dan kelompok pak Amien yang ingin menjatuhkan
Soeharto karena KKN-nya. Pak Harto meski mulai mengambil kebijakan yang
menguntungkan Islam, tapi ia tidak mencegah anak-anaknya terus bergelimangan
dengan harta. Hal itulah yang menyebabkan banyak masyarakat marah terhadapnya.
Agendanya tentu lain.
Kelompok non Islam (kelompok kiri, abangan dll), ingin menjatuhkan paket
Soeharto Habibie. Kelompok Amien ingin menjatuhkan Soeharto saja. Tentu bagi
kelompok non Islam ini sudah sangat menguntungkan. Karena mereka melihat yang
kuat kekuasaannya adalah Pak Harto bukan Habibie. Mereka mempunyai strategi
selanjutnya menggulingkan Habibie. Dan itu terbukti setelah Habibie memimpin
negeri ini, mereka berteriak lantang menolak laporan pertanggunganjawabnya
dalam Sidang MPR.
Penulis yang sempat
menyaksikan demo-demo di Universitas Gunadarma dan UI, melihat betul bahwa yang
menyerukan dan menggalang demo-demo itu bukan dari kelompok Islam. Bahkan
ketika penulis melihat langsung mereka menduduki DPR/MPR penulis mendengar
adanya bis rombongan GMKI (Gerakan Mahasiswa Katolik Indonesia) datang. Melihat
dan mengamati langsung aksi-aksi demo yang marah kepada Soeharto berhari-hari
menjadikan penulis sakit. Muntah-muntah dan seterusnya. Karena tidak terjaga
makan dan minum saat itu.
Tapi penulis juga
sempat ke CPDS (Center for Policy and Development Studies) saat itu yang
diketuai Fadli Zon. Bahkan foto-foto yang penulis ambil ketika kerusuhan
reformasi berlangsung, Fadli memintanya. Foto itu ada dua rol. Yang satu
cetakannya penulis titipkan ke Ahsan Abidin wartawan foto Majalah Aulia.
Fadli saat itu memang
dikenal dekat dengan jenderal-jenderal Islam, Mbak Tutut dan seterusnya. Ia
memang tokoh muda yang hebat, dalam usia muda itu ia sudah membawahi para
professor dan doctor. Ia sangat dipercaya Prabowo ketika Prabowo menjadi Danjen
Kompasus. Dan hubungan Prabowo dan kalangan Islam saat itu sangat dekat. Dengan
KISDI (Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam) dan Dewan Dakwah Prabowo
sangat akrab. Karena kedekatannya dengan Islam itulah, maka tidak heran ketika
reformasi berlangsung Prabowo menjadi kambing hitam, baik di internet maupun
media-media cetak yang dikuasai kelompok sekuler dan non Islam. Waktu itu KISDI
dikomandani oleh tokoh-tokoh Islam: Ahmad Sumargono, Hussein Umar, KH Cholil
Ridwan dan KH Rasyid Abdullah Syafii.
Penulis ingat ketika
reformasi mengalami puncaknya, diadakan rapat di CPDS (kantor Fadli Zon) untuk
menggalang demo dari kelompok Islam yang dipimpin Cholil Badawi. Saat itu
kumpul tokoh-tokoh Ahmad Sumargono dan lain-lain. Mereka membuat agenda bahwa
bila Pak Harto turun, maka Habibie harus naik. Saat itu dibagi beberapa
kelompok dari masing-masing ormas untuk menggalang kekuatan dan demo
besar-besaran untuk menyerbu Gedung DPR/MPR dan mengosongkan massa di sana.
Ketika hari H demo itu penulis sakit. Karena makan dan minum yang tidak teratur
dan mungkin juga karena melihat banyak peristiwa dan tidak tahu apa yang harus
dilakukan.
Sebenarnya ketika awal
reformasi itu digulirkan, Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Anwar Haryono
telah mewanti-wanti ‘jangan menari di atas gendang orang lain’, tapi nampaknya
sebagian tokoh Islam tidak mendengarkan. Anwar Harjono cs sangat faham terhadap
politik Indonesia , karena mereka telah mengalami masa yang panjang dalam
perjuangan Islam di Indonesia lewat Masyumi. Wallaahu aliimun hakiim.(bersambung) oleh :
Nuim Hidayat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar