Oleh: Nuim Hidayat
Kaum Liberal ekstrim menafikan keberadaan Nabi. Bahkan
pada sebuah perkuliahan di Universitas Indonesia tahun 2002, seorang lulusan
IAIN Ciputat menyatakan:”Muhammad itu kan mengaku-aku aja sebagai Nabi.”
Pernyataan ini seperti pernyataan orientalis yang tidak mengakui Nabi Muhammad
saw sebagai nabi terakhir. Bagaimana memahami keimanan Nabi Muhammad ini?
Seorang tokoh Islam besar
dari Pakistan menjawabnya. Abul A’la Maududi dalam bukunya ‘Mabaadiul Islam”
(Prinsip-Prinsip Islam) mengulas secara logis masalah keimanan kepada Nabi yang
mendasar ini. Begitu pentingnya buku ini sehingga International Islamic
Federation of Student Organization menerjemahkan dalam bahasa Indonesia dan
menyebarkannya secara luas di Asia Tenggara.
Sebelum kita membahas tentang
buku itu, mari kita bahas sedikit tentang tokoh yang menulis buku ini.
Abul A’la al Maududi lahir di Hyderabad, India Selatan, 25 September
1903. Wafat pada 22 September 1979. Ia
mendapatkan pendidikan Islam sejak kecil di keluarga dan lingkungannya. Syekh Maududi adalah tokoh pendiri Jamaat
Islami. Ia pemikir besar Islam dan peletak dasar negara Islam Pakistan.
Maulana Maududi mendapat pendidikan di Madrasah Furqaniyah , sebuah
sekolah tinggi terkenal di Hyderabad yang dipanggil "Madrassah",
bukan sekolah Islam tradisional . Kemudian melanjutkan pelajaran di Darul Ulum
di Hyderabad. Ia mahir berbahasa Arab,
Parsi, Inggris,
dan Urdu .
Tahun 1918, ketika usia 15 tahun, ia mulai bekerja sebagai wartawan dalam
surat kabar berbahasa Urdu. Tahun 1920, menyandang jabatan sebagai editor surat
kabar Taj, yang diterbitkan di bandar Jabalpore sekarang bernama Madhya
Pradesh, India.
Tahun 1921, Maulana Maududi pindah ke Delhi bekerja sebagai
editor surat kabar Muslim (1921-1923), dan kemudian editor al-Jam’iyat
(1925-1928), yang diterbitkan oleh Jam’iyat-i ‘Ulama-i Hind,
sebuah organisasi politik Deoband. Hasil kepemimpinannya sebagai
editor, al-Jam’iyat menjadi surat kabar utama untuk orang Islam di Asia Selatan
(India, Pakistan, Bangladesh
, Sri Langka dan Maldive). Maulana Maududi juga terlibat
membentuk Pergerakan Khilafah dan Tahrik-e Hijrat, yaitu Organisasi
Asia Selatan yang menentang penjajahan kolonial Inggris.
Maulana Maududi aktif menerjemahkan buku-buku berbahasa Arab dan Inggris ke
bahasa Urdu. Ia juga menulis buku bertajuk al-Jihad fi al-Islam
diterbitkan secara berseri di al-Jam’iyat tahun 1927 dan dibukukan tahun
1930. Tahun 1933, Maulana Maududi menjadi editor majalah bulanan Tarjuman al-Qur'an
("Tafsiran al Qur'an"). Bidang penulisannya ialah tentang Islam,
konflik antara Islam dengan imperialisme dan modenisasi. Ia juga menjelaskan jawaban
Islam bagi setiap permasalahan masyarakat Islam yang dijajah.
Bersama dengan filosof dan ulama Muhammad Iqbal, Maulana Maududi
mendirikan pusat pendidikan Darul-Islam di bandar Pathankot di wilayah Punjab. Tujuan pusat
pendidikan ini ialah melahirkan pelajar yang mempunyai falsafah politik Islam.
Maulana Maududi mengkritik habis konsep-konsep Barat seperti nasionalisme, pluralisme and feminisme.
Tahun 1941, Maulana Maududi
mendirikan organisasi Jamaat-e-Islami
untuk mengembangkan Islam sebagai satu cara hidup di Asia Selatan. Ia terpilih
sebagai pemimpin Jamaat Islami dan memegang jabatan itu sampai 1972.
Sebelumnya tahun 1953, Maududi pernah membuat tulisan yang mengkritik tajam
Ahmadiyah. Tulisan ini kemudian
menimbulkan demo dan rusuh di Pakistan. Mahkamah militer menjatuhi hukuman mati
ke Maududi. Tapi kemudian militer membatalkan hukuman mati kepadanya.
Pada 22 September, 1979, Maududi meninggal
dunia pada usia 76 tahun di Buffalo, New York. (Lihat http://en.wikipedia.org/wiki/Sayyid_Abul_Ala_Maududi)
Semasa hidupnya Maududi menulis puluhan buku dan ratusan makalah atau
tulisan lepas. Ulama-ulama di dunia Islam, bahkan orientalis pun mengakui
kecendekiawanannya. Ia dan ulama-ulama
Pakistan pernah konflik dengan Fazlurrahman dan menjadikan Fazlurrahman tidak
betah tinggal di Pakistan dan akhirnya pindah ke Amerika. Puluhan karyanya
menjadi rujukan kaum cendekia Islam. Diantaranya adalah: Tafhim al-Qur’an, al Jihad fil Islam, Islamic Law and Constitution,
Islamic Way of Life, Economic System of Islam, Social System of Islam, Human
Rights in Islam, Qadiani Problem, dll.
Mengapa Perlu Ada Nabi?
Syekh Maududi membahas tentang kenabian ini dengan bagus
sekali. Pertama-tama ia membahas tentang karunia Allah kepada manusia. “Allah SWT telah menganugerahkan kepada
manusia segala sesuatu yang dibutuhkannya : bakat, kecakapan, dan kekuatan
untuk bekerja di dunia. Tiap-tiap individu daripada masyarakat manusia
memiliki sedikit atau banyak dari kekuatan jasmani dan akal, kekuatan faham,
kecerdasan otak dan kepandaian berbicara. Allah mempunya tujuan-tujuan pada
makhluknya yang hanya Ia sendiri yang mengetahuinya, karena Ia tidak
menyamaratakan sekalian individu masyarakat manusia dalam pembagian bakat-bakat
dan keahlian-keahlian ini diantara mereka. Jika kiranya disamaratakannya mereka
dalam pembagiannya diantara mereka, niscaya masing-masing mereka tidak
memerlukan yang lain dan tidak memperdulikannya sama sekali.
Oleh karena itu Allah SWT telah menentukan berbagai-bagai
bakat dan kecakapan yang diperlukan oleh jenis manusia dalam keseluruhannya.
Kemudian dibagikannya diantara berbagai-bagai individu, dimana Ia memberikan
bagian yang ini dari salah satu kecakapan apa yang tidak diberikannya kepada
yang lain. Dan memberikan bagian yang itu dari suatu kecakapan yang lain yang
tidak diberikannya kepada yang ini. Oleh sebab itu anda lihat sebagian manusia
melebihi yang lain, dalam kekuatan jasmani, sebagian mereka mempunyai kemahiran
dalam salah satu vak atau profesi yang tidak ada pada yang lain. Sebagian
mereka memiliki kecerdasan akal dan kekuatan faham yang tidak ada pada yang
lain. Sebagian dari mereka condong secara naluri pada ketentaraan, sebagian
dari mereka dilahirkan dalam satu kecakapan yang khas dalam bidang pemerintahan
dan kekuasaan. Sebagian dari mereka
dilahirkan dalam keahlian yang luar biasa dalam berpidato. Sebagian dari mereka
mempunyai kecakapan dalam bidang karang mengarang. Sebagian dari mereka tajam
fikirannya, cemerlang otaknya dalam ilmu pasti, hingga ia dapat memecahkan
masalah-masalah yang pelik-pelik dengan mudah dan menggemparkan dunia dengan
ciptaan-ciptaannya. Sebagian dari mereka cerdas dalam urusan
perundang-undangan, hingga dengan cepat pandangannya dapat menyelami
kemusykilan-kemusykilan yang tidak dapat diselami oleh pandangan orang yang
lain sampai berpuluh-puluh tahun.”
Maulana Maududi melanjutkan: “Semua itu adalah anugerah
Allah yang dilimpahkannya kepada hambanya yang dikehendakinya. Seseorang tidak
dapat mengadakan kecakapan-kecakapan ini pada dirinya sendiri dan tidak dapat
mewujudkannya pada dirinya dengan pengajaran dan pendidikan. Karena ia
semata-mata adalah bakat-bakat alamiah yang dikhususkan Allah bagi hambanya
yang dikehendakinya menurut kebijaksanaannya.”
Kemudian imam pendiri Jamaat Islami bertanya:”Tetapi
apakah cukup bagi hajat manusia dan
kebahagiaannya di dunia dengan adanya orang-orang yang mahir dalam ilmu-ilmu ukur,
pasti, kimia, peundang-undangan, politik, ekonomi dan lain-lainnya?
Sekali-kali tidak! Bahkan yang lebih dihajatkannya dari
ilmu-ilmu pengetahuan ini semua, ialah adanya orang-orang yang menuntun manusia
dan memimpinnya ke jalan Allah yang lurus. Benar bahwa tiap-tiap sarjana ilmu
pengetahuan ini memberi petunjuk untuk mengetahui apa yang menjadi haknya di
dunia ini dan apakah jalan untuk mempergunakannya. Tapi hajatnya untuk
mengetahui siapakah yang menjadi Pemiliknya, siapakah yang mengaruniainya apa
yang ada di langit dan di bumi dan apakah keirdhaan itu, lebih besar dan lebih
utama.” (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar